Rabu, 04 Maret 2015

MEMBUMIKAN AL-QUR'AN



PEMBAHASAN

A.    Identitas Buku
Judul Buku            : Membumikan Al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu Dalam
  Kehidupan Masyarakat
      Penulis                   : Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
      Penerbit                 : Mizan
      Tahun Terbit          : 1992
      Halaman                : 421 Halaman

B.     Latar Belakang Penyusunan Buku
Al-Qur’an datang dengan membuka lebar-lebar mata manusia, agar mereka menyadari jati diri dan hakikat keberadaan mereka di pentas bumi ini, juga agar mereka tidak terlena dengan kehidupan ini, sehingga mereka tidak menduga bahwa hidup mereka dimulai dengan kelahiran dan berakhir dengan kematian. Juga sebagai firman Alloh yang menjadi petunjuk mengenai apa yang dikehendakiNya. Jadi manusia yang ingin menyesuaikan sikap dan perbuatannya dengan apa yang dikehendakiNya itu, demi meraih kebahagiaan akhirat, harus dapat memahami maksud petunjuk-petunjuk tersebut.[1]
Oleh karena itu, penulis disini yang juga sebagai ahli di bidang Al-Qur’an diminta oleh Penerbit Mizan untuk menerbitkan makalah-makalah dan ceramah-ceramah tertulis yang pernah disampaikan di berbagai kesempatan dan selanjutnya dicetak menjadi sebuah buku. Keuletan dan ketekunan Penerbit Mizan dalam penyusunan buku ini yang hakikatnya merupakan kumpulan makalah dan ceramah patut dihargai. Akan tetapi muncul lagi kesulitan yang lain, yaitu Penerbit meminta penulis untuk sekalian menuliskan kata pengantar buku, dalam kata pengantar itu diminta juga menyajikan sekilas latar belakang Penulis dan motivasi yang mengantarkan Penulis untuk menekuni Studi Al-Qur’an terutama penafsiran atasnya.[2]
Demikianlah latar belakang penyusunan buku dari seseorang yang menekuni bidang studi tafsir Al-Qur’an di Universitas Al-Azhar itu, dari buku ini dapat mengajak kesadaran pembaca tentang betapa besar kebutuhan umat manusia akan Al-Qur’an dan penafsirannya.

C.    Biografi Penulis
Muhammad Quraisy Shihab lahir di Rappang, Sulawesi Selatan pada 16 Februari 1944. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Ujung Pandang, dia melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang, sambil nyantri di Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah. Pada tahun 1958, dia berangkat ke Kairo, Mesir dan diterima di kelas II Tsanawiyah Al-Azhar. Pada tahun 1967, dia meraih gelar Lc (S-1) pada Fakultas Ushulludin Jurusan Tafsir dan Hadits Universitas Al-Azhar. Kemudian melanjutkan pendidikannya di fakultas yang sama dan meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang tafsir Al-Qur’an dengan tesis yang berjudul “Al-I’jaz Al-Tasyri’iy li Al-Qur’an Al-Karim”.
Pada tahun 1982, Quraisy Shihab menyelesaikan disertasi dengan judul “Nazhm Al-Durrar li Al-Biqa’iy, Tahqiq wa Dirasah”. Dan berhasil meraih gelar doktor dalam ilmu-ilmu Al-Qur’an dengan yudisium Summa Cum Laude disertai penghargaan tingkat I (mumtaz ma’a martabat al-syaraf al-‘ula).[3]
Sekembalinya ke Indonesia, sejak 1984 Quraisy Shihab ditugaskan di Fakultas Ushulludin dan Pasca-Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Selain itu, di luar kampus dia juga dipercayakan untuk menduduki berbagai jabatan. Juga aktif dalam kegiatan tulis-menulis, di surat kabar Pelita pada rubrik “Pelita Hati”, pengasuh rubrik “Tafsir Al-Amanah”, tercatat sebagai anggota dewan redaksi majalah Ulumul Qur’an dan Mimbar Ulama, keduanya terbit di Jakarta. Adapun buku-bukunya yang diterbitkan diantara lain yaitu Tafsir Al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung Pandang: IAIN Alaudin, 1984); Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama, 1987); dan Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir Surat Al-Fatihah) (Jakarta: Untagma, 1988).[4]

D.    Sistematika Penulisan
Dalam buku ini pembahasan dibagi menjadi dua bagian sebagai berikut:[5]
BAGIAN PERTAMA: GAGASAN AL-QUR’AN
Terdiri dari empat bab yaitu:
Bab I Bukti kebenaran Al-Qur’an, berisi tentang keontetikan Al-Qur’an, bukti kebenaran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan I, sejarah turun dan tujuan pokok Al-Qur’an, Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan II, kebenaran ilmiah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan III, hikmah ayat ilmiah Al-Qur’an, Al-Qur’an, ilmu, dan filsafat manusia.
Bab II Sejarah perkembangan tafsir, berisi tentang sejarah perkembangan tafsir, kebebasan dan pembatasan dalam tafsir, perkembangan metodologi tafsir, tafsir dan modernisasi, penafsiran ilmiah Al-Qur’an, metode tafsir tematik.
Bab III Ilmu tafsir dan problematikanya, berisi tentang hubungan hadits dan Al-Qur’an, fungsi dan posisi sunnah dalam tafsir, ayat-ayat kawniyah dalam Al-Qur’an, konsep Qath’iy dan Zhanniy, soal Nasikh dan Mansukh, pokok-pokok bahasan tafsir, penafsiran “Khalifah” dengan metode tematik.
Bab IV Gagasan Al-Qur’an tentang pembudayaannya, berisi tentang falsafah dasar “Iqra’”, konsep pendidikan dalam Al-Qur’an, mengajarkan tafsir di Perguruan Tinggi, pengajaran Akidah dan Syari’ah di Sekolah Umum, soal penilaian dalam Musabaqah Tilawatil Qur’an, metode dakwah Al-Qur’an, komputerisasi Al-Qur’an.
BAGIAN KEDUA: AMALAN AL-QUR’AN
 Terdiri dari empat bab yaitu:[6]
Bab I Agama dan problematikanya, berisi tentang mengapa beragama?, universalisme Islam, agama: antara Absolutisme dan Relativisme, kehidupan menurut Al-Qur’an, kematian dalam Al-Qur’an.
Bab II Islam dan kemasyarakatan, berisi tentang Islam dan cita-cita sosial, Islam dan perubahan masyarakat, keluarga tiang negara, riba menurut Al-Qur’an, kedudukan perempuan dalam Al-Qur’an, kualitas pribadi muslimah, Islam, gizi dan kesehatan masyarakat, Islam, kependudukan dan lingkungan hidup, Islam dan pembangunan.
Bab III Islam dan tuntutan ibadah, berisi tentang tujuan puasa menurut Al-Qur’an, Laylat Al-Qadr, makna Halal Bihalal, soal Zakat dan ‘Amil Zakat, makna Isra’ dan Mi’raj, hikmah Hijrah, wisata ziarah menurut Al-Qur’an.
Bab IV Islam dan peran Ulama, berisi tentang soal ukhuwah Islamiyah, keberagaman dan kerukunan menurut Al-Qur’an, selamat natal menurut Al-Qur’an, Ulama, Kaum Muda dan Pemerintah, Ulama sebagai pewaris Nabi, peran dan tanggung jawab Intelektual Muslim, strategi dakwah tahun 2000.
Juga dilengkapi dengan Indeks Ayat Al-Qur’an dan Indeks Subjek.

E.     Metodologi Penulisan Buku
Banyak cara yang ditempuh para pakar Al-Qur’an untuk menyajikan kandungan dan pesan-pesan Firman Alloh itu, ada yang menyajikannya sesuai urutan ayat-ayat sebagaimana termaktub dalam Mushaf, [7]  misalnya dari ayat pertama surat Al-Fatihah hingga ayat terakhir dan seterusnya. Pesan dan kandungannya dihidangkan dengan rinci dan luas mencakup aneka persoalan yang muncul dalam benak sang penafsir, baik yang berhubungan langsung maupun tidak dengan ayat yang ditafsirkannya. Bagaikan menyajikan hidangan prasmanan, masing-masing memilih sesuai seleranya serta mengambil kadar yang diinginkan dari meja yang telah ditata itu.[8]
Ada juga yang memilih topik tertentu kemudian menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan topik tersebut, dimanapun ayat itu ditemukan. Selanjutnya ia menyajikan kandungan dan pesan-pesan yang berkaitan dengan topik yang dipilihnya itu tanpa terikat dengan urutan ayat dan surat sebagaimana terlihat dalam Mushaf dan tanpa menjelaskan hal-hal yang tidak berkaitan dengan topik walaupun hal yang tidak berkaitan itu secara tegas dikemukakan oleh ayat yang dibahasnya. Disini sang Penafsir bagaikan menyodorkan sebuah kotak berisi hidangan yang telah dipilih dan disiapkan kadar dan ragamnya, sebelum para undangan tiba. Yang memilih dan memilah serta menetapkan porsi adalah tuan rumah, sehingga para tamu tidak lagi direpotkan karena makanan telah siap untuk disantap.[9]
Jadi metodologi penulisan dalam buku ini adalah menetapkan satu topik tertentu, dengan jalan menghimpun seluruh atau sebagian ayat-ayat dari beberapa surat yang berbicara tentang topik tersebut untuk kemudian dikaitkan satu dengan yang lainnya, sehingga pada akhirnya diambil kesimpulan menyeluruh tentang masalah tersebut menurut pandangan Al-Qur’an.
Metode semacam ini di Mesir pertama kali dicetuskan oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumiy, kemudian dalam penerapannya Quraish juga merujuk langkah-langkah dari Prof. Dr. Abdul Hay Al-Farmawiy sebagai berikut:[10]
1.      Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik)
2.      Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut
3.      Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya disertai pengetahuan asbab al-nuzul-nya.
4.      Memahami kolerasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing.
5.      Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out-line)
6.      Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan pokok bahasan.
7.      Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayat yang mempunyai pengertian sama.[11]
Dalam rangka pengembangan metode penulisan, Quraish menambahkan langkah-langkah sebagai berikut:[12]
1.      Penetapan masalah yang dibahas, yang menyentuh masyarakat dan dirasakan langsung oleh mereka.
2.      Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, terkait nasikh dan mansukh dalam Al-Qur’an.
3.      Walaupun tidak mengharuskan uraian tentang pengertian kosakata, namun kesempurnaannya dapat dicapai apabila Mufasir berusaha memahami arti kosakata ayat dengan merujuk kepada penggunaan Al-Qur’an sendiri.
4.      Meskipun tidak mencamtumkan asbab al-nuzul, tetapi perlu memperhatikannya sebagai pertimbangan dalam memahami ayat.

1.      Contoh tema pembahasan dalam buku
Tema “Selamat Natal Menurut Al-Qur’an”
Terlaranglah mengucapkan selamat Natal? Bukanlah Al-Qur’an memberikan contoh? Banyak salam-salam kepada Nabi lain, termasuk kepada Nabi Isa as. Tidak bolehkah Muslim merayakan hari Natal (lahir) Isa as?
Dalam Al-Qur’an surat Maryam ayat 34 disebutkan:
y7Ï9ºsŒ Ó|¤ŠÏã ßûøó$# zNtƒötB 4 š^öqs% Èd,ysø9$# Ï%©!$# ÏmŠÏù tbrçŽtIôJtƒ ÇÌÍÈ  
“Itulah Isa putera Maryam, yang mengatakan Perkataan yang benar, yang mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya”.[13]

Dalam ayat tersebut disebutkan cerita kisah Natal (kelahiran) Isa as. Dengan demikian Al-Qur’an mengabadikan dan merestui ucapan selamat Natalpertama dari dan untuk nabi mulia Isa as. Nabi pernah bersabda “bukanlah seluruh umat manusia bersaudara” jadi tidak ada salahnya berbahagia terhadap kebahagiaan saudara yang lain. dalam ayat lain juga dinyatakan:[14]
ö@è% Ÿ@÷dr'¯»tƒ É=»tGÅ3ø9$# (#öqs9$yès? 4n<Î) 7pyJÎ=Ÿ2 ¥ä!#uqy $uZoY÷t/ ö/ä3uZ÷t/ur žwr& yç7÷ètR žwÎ) ©!$# Ÿwur x8ÎŽô³èS ¾ÏmÎ/ $\«øx© Ÿwur xÏ­Gtƒ $uZàÒ÷èt/ $³Ò÷èt/ $\/$t/ör& `ÏiB Èbrߊ «!$# 4 bÎ*sù (#öq©9uqs? (#qä9qà)sù (#rßygô©$# $¯Rr'Î/ šcqßJÎ=ó¡ãB ÇÏÍÈ  
Katakanlah: "Hai ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara Kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa Kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".[15]

Dari ayat itu ada sekian titik temu antara Muhammad dan Al-Masih, dalam kalimat sawa’ (kata sepakat) yang ditawarkan Al-Qur’an kepada penganut Kristen dan Yahudi. Kalau demikian tidak ada salah mengucapkan Natal kepada mereka yang tujuannya kita memberikannya kepada Isa as. Ditegaskan dalam ayat lain:
* ö@è% `tB Nä3è%ãötƒ šÆÏiB ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÄßöF{$#ur ( È@è% ª!$# ( !$¯RÎ)ur ÷rr& öNà2$­ƒÎ) 4n?yès9 ´èd ÷rr& Îû 9@»n=|Ê &úüÎ7B ÇËÍÈ
 @è% žw šcqè=t«ó¡è? !$£Jtã $oYøBtô_r& Ÿwur ã@t«ó¡çR $£Jtã tbqè=yJ÷ès? ÇËÎÈ  
Katakanlah: "Siapakan yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?" Katakanlah: "Allah", dan Sesungguhnya Kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata.
Katakanlah: "Kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab) tentang dosa yang Kami perbuat dan Kami tidak akan ditanya (pula) tentang apa yang kamu perbuat".

Dari keterangan diatas jelas, dalam rangka interaksi sosial dan keharmonisan hubungan antar sesama, maka mengucapkan selamat Natal diperbolehkan selama tidak mengubah akidah dan garis keyakinannya.[16]

F.     Prinsip Quraish dalam menafsirkan Al-Qur’an
berikut adalah beberapa prinsip yang dipegang oleh Quraish Shihab dalam menafsirkan al-Quran, baik dalam bentuk tahlili  maupun maudhu’i, antara lain:
1.    Memandang al-Quran sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan
Meskipun al-Quran diturunkan dalam kurun waktu sekitar 22 tahun, dan dalam kondisi yang berbeda-beda, tetapi ia sebenarnya saling berkaitan satu dengan lainnya. Bahkan susunannya yang bagi sementara orang ‘dianggap’ tidak berurutan dan sepintas tidak saling berkaitan memiliki keserasian makna yang menakjubkan. Tema-tema tertentu yang di dalam al-Quran berserakan di beberapa tempat sesungguhnya juga memiliki rahasia tersendiri yang hanya dapat diperoleh melalui tadabbur terhadap al-Quran. Pandangan ini kemudian melahirkan suatu model bentuk penafsiran yang dikenal dengan maudhu’i. Cara pandang ini telah dikemukakan sebelumnya oleh Imam Al-Syâthibiy, ulama abad ke VIII asal Cordova, dalam kitabnya al-Muwafaqat, dan diperkenalkan kembali di awal abad modern oleh M. Abduh yang selanjutnya diwujudkan dengan baik oleh murid-muridnya seperti, Rasyid Ridha, M. Musthafa al-Maraghi, M. Syaltout, Abdullah Diraz, Amin al-Khuli, Bintu Syathi dan sebagainya. Hemat penulis, Quraish Shihab telah melakukan itu dengan baik dalam beberapa karya tafsir maudhu’inya.
Metode ini pada dasarnya diperkenalkan untuk menutupi kekurangan metode tafsir klasik yang disusun berdasarkan urutan dalam mushaf. Namun, pengembangan metode ini jika tidak didukung dan dibatasi oleh pagar-pagar metodologis yang kuat, maka kritik yang sering dilontarkan kepada metode klasik seperti, ‘tingginya subyektifitas penafsir’, ‘penafsiran yang ‘mengikat’ generasi berikut’, ‘sebagai justifikasi pendapat mufasir’ juga akan dialaminya. Sejauh ini, penerapan metode ini sangat rentan oleh timbulnya pra-konsepsi mufasir. Sebab, umumnya penetapan dan pemecahan masalah berangkat dari realitas kehidupan, bukan sebaliknya, dari Al-Qur’an. Dari sini mufasir maudhu’i akan terjebak pada kesalahan yang pernah dan sering dilakukan mufasir dengan ittijah ilmiy (saintifik), bedanya, dalam tafsir saintifik mufasir modern terbius dengan teori-teori ilmiah (eksak), sementara dalam tafsir maudhu’i digunakan teori-teori ilmu sosial, misalnya tentang gender, masyarakat madani, demokrasi dan tema-tema lain yang masih bersifat wacana. Selain itu, jika tafsir maudhu’i diumpamakan oleh Quraish Shihab seperti menghidangkan makanan kepada tamu dalam bentuk kotak, sedangkan tafsir tahlili seperti menghidangkan makanan di meja prasmanan,[17] maka sudah barang tentu kualitas kotak makanan itu berpulang kepada penyajinya. Ini misalnya akan terlihat jika kita coba membandingkan karya-karya maudhu’i Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an dan Secercah Cahaya Ilahi, Dawam Raharjo dalam Ensiklopedi Al-Qur’an, dan Fazlurrahman dalam Tema-tema Pokok Al-Qur’an.
 Selanjutnya, keterkaitan bagian-bagian al-Quran; kata, kalimat, ayat dan surat, satu dengan lainnya melahirkan pandangan lain dalam tafsir Quraish Shihab, yaitu:
2.    Pentingnya memahami ilmu munasabah   
 Munasabah adalah korelasi dan keserasian antarkata, ayat dan surat dalam al-Quran. Metode munasabah ini pertama kali diperkenalkan oleh al-Biqa’i, yang kemudian diikuti oleh mufassir setelahnya. Para ulama menekuni ilmu munasabah al-Qur’an, hubungan bagian-bagian al-Qur’an dengan mengemukakan bahkan membuktikan keserasian ayat yakni dengan mengikuti enam langkah sebagai berikut:
a.    Keserasian kata demi kata dalam satu surat.
b.    Keserasian kandungan ayat dengan fashilat, yakni penutup ayat.
c.    Keserasian hubungan ayat dengan ayat berikutnya.
d.   Keerasian uraian awal/mukaddimah satu surat dengan penutupnya.
e.    Keserasian penutup surat dengan uraian awal/mukaddimah surat sesudahnya.
f.     Keserasian tema surat dengan nama surat.[18]
Ulama tafsir yang paling berhasil menerapkan pandangan ini adalah Ibrahim bin Umar al-Biqa’iy (809-885 H/1406-1480 M) dalam karyanya, Nazhm al-Durar Fi Tanasub al-Ayat Wa al-Suwar. Quraish Shihab dalam banyak hal sangat terpengaruh oleh pemikiran ulama asal Libanon ini. Perkenalannya yang sangat intensif dengan ulama ini terjadi ketika pada tahun 1980 Quraish Shihab melakukan penelitian terhadap karya al-Biqa’iy dalam disertasinya untuk meraih gelar Doktor di bidang tafsir dari Universitas Al-Azhar Kairo. Warna ini sangat kental sekali dalam tafsir Quraish Shihab, terutama dalam tafsir tahlili-nya.[19]
3.    Menelusuri penggunaan kosa kata Al-Qur’an di kalangan para pemakainya, bangsa Arab, dan dalam Al-Qur’an sendiri.
  Ini karena al-Quran adalah teks kitab suci yang berbahasa Arab. Bahasa tidak lain adalah simbol yang menyimpan beragam makna. Karenanya hak-hak kebahasaan itu harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum maksud-maksud lain. Dalam hal ini Quraish Shihab banyak merujuk kepada kamus-kamus berbahasa Arab seperti Mu’jam Maqayis al-Lughah, karya Ibnu Faris, Lisan al-‘Arab, karya Ibnu Manzhur dan Al-Mufradat Fi Gharib al-Qur’an, karya al-Raghib al-Ashfahaniy. Kaidah ini lebih banyak ditemukan dalam Tafsir Al-Quran al-Karim daripada al-Mishbah yang terbit belakangan. Ini karena, seperti diakui Quraish Shihab sendiri, cara seperti itu terlalu akademis sehingga kurang menarik minat orang kebanyakan, bahkan sementara orang menilainya bertele-tele.[20]
 Dari penelusuran penggunaan kosa kata ini selanjutnya Quraish Shihab menyimpulkan kaidah lain, yaitu:
4.    Tidak ada kosa kata yang sinonim (muradif) di dalam al-Quran.
 Setiap kata dalam al-Qur’an mempunyai makna tersendiri yang tidak bisa digantikan kedudukannya oleh kata yang lain. Kata qasam dan hilf yang dalam bahasa Indonesia diartikan sama, yaitu sumpah, menurut Quraish Shihab berbeda dalam penggunaan al-Qur’an. Kata qasam dengan berbagai derivasinya, menurutnya tidak digunakan al-Qur’an kecuali untuk sumpah yang oleh pengucapnya diyakini kebenarannya, dengan kata lain sumpah yang kukuh dan tidak dilanggar. Sementara kata hilf dan derivasinya digunakan untuk jenis sumpah palsu, atau sumpah yang boleh jadi dibatalkan oleh pengucapnya. Karena itu, ketika berbicara tentang sumpah orang-orang munafik al-Quran menggunakan kata yahlifun. (QS. 9:56). Demikian juga ketika berbicara tentang tebusan (kaffârat) sumpah yang dibatalkan digunakan kata hilf (idza halaftum, QS. 5:89).[21] Contoh lain, kata sabil dan shirath yang keduanya sering diartikan sebagai jalan. Sabil disebut dalam al-Quran sebanyak 166 kali dalam bentuk tunggal dan 10 kali dalam bentuk jamak. Sering kali kata ini dirangkaikan dengan Tuhan atau sesuatu atau sekelompok manusia yang baik dan sering kali pula sebaliknya. Sementara kata shirath ditemukan sebanyak 45 kali dalam al-Quran kesemuanya berbentuk tunggal dan tidak digunakan kecuali dalam arti jalan menuju kebenaran atau sesuatu yang hak adanya. Dari sini Quraish Shihab menyimpulkan bahwa kata sabil mengisyaratkan keragaman “jalan baik” dan keragaman “jalan buruk”. Sedangkan shirath —sesuai dengan asal maknanya yang berarti “menelan”— menggambarkan jalan yang luas dan lebar seakan-akan menelan pejalannya, serta penempuh jalan-jalan baik yang beraneka ragam itu. Kepada shirath inilah bermuara semua sabil atau jalan-jalan yang baik (al-Maidah: 16). Karena itu yang kita panjatkan dalam shalat adalah petunjuk ke arah as-Shirath al-Mustaqim, bukannya as-Sabil al-Mustaqim.[22]
5.    Perlunya memahami al-Quran berdasarkan urutan sejarah turunnya untuk mengetahui karakteristik idiom-idiom yang digunakan.
Misalnya, dalam wahyu-wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad saw. kata yang digunakan untuk menunjukkan Tuhan Yang Maha Esa adalah Rabb, bukan Allah. Ini menurut Quraish Shihab disebabkan karena kaum musyrikin percaya juga kepada Allah, tetapi keyakinan mereka kepada Allah jauh berbeda dengan keyakinan yang diajarkan dan dihayati oleh Nabi Muhammad saw. Mereka, misalnya, beranggapan bahwa Allah memiliki anak-anak wanita. (QS. 17:40). Dari sini al-Quran ingin melakukan perubahan semantik kata tersebut, yaitu meskipun kosa kata yang digunakannya sama dengan yang digunakan masyarakat jahiliyah, tetapi nilai-nilainya berbeda. Dan ini perlu waktu lama. Sehingga kalau pada masa awal kata Allah digunakan, misalnya dalam perintah membaca (iqra’ bismillah, bukan bismi rabbika) maka akan timbul kerancuan dalam pemahaman.[23]
        Agaknya inilah yang mendorong beberapa pakar al-Quran, termasuk Quraish Shihab, untuk menyusun tafsir berdasarkan urutan turunnya wahyu. Pendekatan ini banyak mendapat kritik dengan alasan usaha itu akan sangat sulit dilakukan, karena tidak ditemukan bukti-bukti otentik yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Bahkan hampir dapat dikatakan mustahil, dan kalaupun dapat dilakukan sangat terbatas sekali pada yang diketahui sebab nuzulnya. al-Quran yang kita warisi urutannya adalah seperti yang ada dalam mushaf. Selain itu, banyak surat dalam al-Quran diturunkan secara terpisah-pisah, bahkan dalam kurun waktu yang cukup lama dan diselingi oleh surat-surat lain.

G.    Penjelasan Indek Buku
Untuk mempermudah pembaca dalam mencari ayat dan surat maupun pembahasan tentang topik tertentu yang ada dalam tema-tema yang dibahas dalam buku, maka penulis menggunakan dua indek yaitu indek ayat ayat Al-Qur’an dan indek subjek yang disajikan di halaman akhir-akhir buku. Seperti dicontohkan sebagai berikut:
1.      Indek ayat Al-Qur’an
Surat: Ayat
Halaman
1 : 7
76
2 : 2
62
       21
295
       23
27

Keterangan indek:
Dari indek diatas, Pembaca dapat memahami bahwa kolom surat dan ayat tertulis 1:7 yang berarti juz 1 ayat 7. Kemudian pada kolom halaman tertulis 76 yang berarti ayat dan surat tersebut terdapat di halaman 76 dalam buku ini, berikut dan seterusnya.
2.      Indek subjek
‘Abbasiyah, 101
‘Abduh, Muhammad, 73, 78, 91, 99, 106, 147, 150, 188, 315, 365, 366; tentang keragaman kelompok dalam Islam, 363; tentang perempuan, 279, 283
‘Abdul Baqiy, Muhammad Fuad, 116
‘Abdul Wahab Khallaf, 137

Keterangan indek:
Dari indek diatas, Pembaca dapat dengan mudah mencari tema-tema yang terkait dengan masalah tertentu berikut posisi halaman pada buku. Seperti contoh ‘Abbasiyah, 101 berarti pembahasan terkait Abbasiyah terdapat di halaman 101 pada buku ini.



H.    Analisis Buku “Membumikan Al-Qur’an” Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat
1.      Corak Pemikiran
Tokoh modern yang dianggap sebagai pelopor melahirkan corak tafsir mawdhu’iy ini adalah Syeikh Muhammad Abduh dalam tafsir al-Manar meskipun juga umumnya bersifat Tahliliy tetapi terlihat jelas pembahasan pada tema-tema tertentu. Kemudian disusul lahirnya tafsir Syeikh Syaltut dan inilah yang pertama membangun dasar-dasar pokok metode tafsir mawdhu’iy. [24] Dan juga penulis buku Membumikan Al-Qur’an  ini bercorak tematik atau mawdhu’iy.[25]
2.      Kontribusi Penulisan
Dari penulisan buku yang disusun oleh M. Quraish Shihab ini dapat memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan beragama khususnya di kalangan masyarakat luas, karena buku ini disajikan dengan sistematis sesuai permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dengan menggunakan metode tematik, sehingga mereka dapat terbimbing sesuai dengan maksud diturunkannya Al-Qur’an.
Terjadinya pemahaman yang terkotak-kotak dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an, sebagai akibat dari tidak dikajinya ayat-ayat tersebut secara menyeluruh. Hal ini sangat berbahaya karena dapat menimbulkan kontradiktif atau penyimpangan yang jauh dalam memahami Al-Qur’an, dan dalam metode tematik hal ini tidak akan terjadi, dengan bukti tersebut penulisan kitab atau buku dengan metode tematik sangat penting dalam kajian tafsir Islam.[26] Dari buku ini dapat dijadikan pelajaran bagi calon mufasir agar mereka dapat memberikan kontribusi menuntun masyarakat sesuai apa yang diajarkan oleh Al-Qur’an.


3.      Kelebihan dan Kekurangan Buku
a.    Kelebihan dari buku ini adalah sebagai berikut:
1)   Menjawab tantangan zaman, semakin modern kehidupan, permasalahan yang timbul semakin kompleks dan rumit. Untuk menghadapi masalah yang demikian jika dilihat dari sudut tafsir Al-Qur’an, akan lebih mudah ditangani dengan metode tematik, karena tujuan dari metode ini adalah menyelesaikan masalah.
2)   Praktis dan sistematis, karena metode ini disusun secara praktis dan sistematis, amat cocok dengan kehidupan umat yang semakin modern dengan mobilitas yang tinggi sehingga seakan-akan kurang waktu untuk membaca kitab-kitab tafsir yang besar, padahal untuk mendapat petunjuk Al-Qur’an mereka harus membacanya. Dengan buku ini Al-Qur’an dapat dipahami dengan menghemat waktu, efektif dan efisien.
3)   Dinamis, dengan petunjuk dari buku ini Al-Qur’an serasa selalu sesuai dengan tuntutan zaman yang menimbulkan kesan bahwa Al-Qur’an senantiasa mengayomi dan membimbing kehidupan sepanjang waktu.
4)   Membuat pemahaman menjadi utuh, Al-Qur’an dengan mudah dapat dipahami secara utuh.[27]
5)   Metode Tematik ini hampir sama dengan tafsir bil-maksur (yang digunakan oleh mufasir klasik) sebab dalam tafsir Tematik mengunakan prinsip ayat Al-Qur'an yang satu menafsirkan ayat Al-Qur'an yang lain. Prinsip ini sering dipakai oleh para sahabat dan tabi'in sehingga produk yang dihasilkan lebih mendekati kebenaran mengingat metode ini di pakai oleh generasi terbaik islam .
6)   Metode ini dapat mengungkap munasabah antar ayat dari berbagi surat yang berbeda, metode ini dapat menangkap makna, petunjuk, keindahan, dan kefasihan Al-Qur'an. 
7)   Dengan metode ini kita bisa menangkap dan dapat penjelasan yang sempurna tentang ide yang kita angkat dari ayat-ayat Al-Qur'an. 
8)   Metode ini dapat menepis image kontradiksi antar ayat Al-Qur'an yang sering dilontarkan oleh Orentalis, dan juga sebagai bukti bahwa agama islam dan Ilmu pengetahuan dapat saling mendukung. 
9)   Metode ini sesuai dengan tuntutan zaman modern yang mengharuskan kita untuk merumuskan hukum-hukum universal yang bersumber dari Al-Qur'an bagi seluruh umat islam. 
10)     Dengan hadirnya metode ini lebih menghemat waktu dan mempermudah kita dalam mencari keterangan tentang tema yang kita cari tanpa membuang waktu dengan mencari refrensi dari kitab-kitab tafsir yang berjilid-jilid.[28]
b.    Kekurangan dari buku ini adalah sebagai berikut:
1)   Memenggal ayat Al-Qur’an, dalam arti mengambil satu kasus yang terdapat di dalam satu ayat atau lebih yang mengandung banyak permasalahan yang berbeda. Misalnya petunjuk Sholat dan Zakat, biasanya kedua ibadah itu diungkapkan bersamaan dalam satu ayat, maka salah satunya mau tak mau harus ditinggalkan ketika menukilnya agar tidak mengganggu analisis.
2)   Membatasi pemahaman ayat, dengan adanya sebuah judul atau tema tertentu mufasir akan terikat oleh judul tersebut. Padahal tidak mustahil satu ayat itu dapat ditinjau dari berbagai aspek.[29]
3)   Seorang mufasir mawdhu’iy tidak bisa menafsirkan keseluruhan dari Al-Qur’an, karena Al-Qur’an mengandung tujuan-tujuan yang tidak seluruhnya dapat dicapai oleh manusia.
4)   Seorang mufasir mawdhu’iy akan kebingungan dan meragukan validitas metode tafsir mawdhu’iy yang digunakan jika tidak mampu menerapkan secara konsisten prinsip-prinsip dan langkah-langkah operasional metode ini.[30]

4.      Saran
Terlalu banyak ayat-ayat yang tidak ditulis dengan lengkap dengan menggunakan tulisan arab berikut artinya, kemudian ayat-ayat yang banyak tersebut hanya dirujuk kepada indek ayat yang ada di halaman akhir buku. Ini sangat memberikan kesulitan bagi pembaca untuk memahami isi tema dalam Al-Qur’an karena mereka tidak bisa membaca ayat yang langsung terkait dengan tema tersebut, apalagi kebanyakan pembaca adalah masyarakat umum.

5.      Kesan Pemakalah
Buku ini adalah karya seorang pakar tafsir dan ilmu-ilmu Al-Quran dalam upaya kerasnya memancarkan kilau cahaya sudut-sudut penting "intan" yang dikandung Al-Quran. Berasal dari enam puluh lebih makalah dan ceramah yang pernah disampaikan oleh penulisnya pada rentang waktu 1975 hingga 1992, tema dan gaya pembahasan buku ini terpola menjadi dua bagian. Di bagian pertama, secara efektif dan efisien, penulis menjabarkan dan membahas pelbagai "aturan main" berkaitan dengan cara-cara memahami Al-Quran. Di bagian kedua, secara jenial, penulis mendemonstrasikan keahliannya memahami, sekaligus juga mencarikan jalan keluar bagi, problem-problem intelektual dan sosial yang muncul dalam masyarakat dengan berpijak pada "aturan main" Al-Quran. Meskipun belum semua problematik di seputar studi-studi Al-Quran, keislaman, dan kemasyarakatan terungkap secara menyeluruh, namun buku ini diharapkan dapat mengantarkan para peminat studi Al-Quran pada khusunya dan studi keislaman pada umumnya untuk melangkah lebih jauh dan terarah. Sebuah buku penting dan langka di bidangnya, serta ditulis oleh seorang pakar yang juga langka di bidangnya.

I.       Kesimpulan
Buku dengan judul “Membumikan Al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat” ini disajikan dengan pendekatan tematik atau mawdhu’iy. Buku ini sangat mudah dan jelas bagi orang yang ingin memahami dan menerapkan isi dari Al-Qur’an, karena Al-Qur’an ditampilkan dengan tema-tema pembahasan yang menarik, dan terbukti metode tematik bisa menyentuh masyarakat luas yang tidak perlu memenuhi persyaratan berat jika ingin memahami kandungan dalam A-Qur’an.




























DAFTAR PUSTAKA


Al-Farmawi, Al-Hayy. Metode Tfsir Mawdhu’iy Suatu Pengantar. Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1994.
Baidan, Nasrudin. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2005.
Shihab, M. Quraish Tafsir al-Misbah: Kesan, Pesan dan Keserasian al-Qur’an, vol.1. Jakarta: Lentera Hati, 2000.
Shihab, M. Quraish Wawasan al-Qur’an: Tafsir Ma’udlui atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1996.
Shihab, Quraish. Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 2001.
Shihab, Quraisy. “Membumikan Al-Qur’an” Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1992.
Software Qur’an in Word 2007 Lihat QS. Ali-Imron: 64, op.cit
Software Qur’an in Word 2007 Lihat QS. Ali-Imron: 64, op.cit.
Software Qur’an in Word 2007 Lihat QS. Maryam: 34, op.cit.
Suma, M. Amin. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.
Tafsir Al-Qur’an al-Karim.




[1] Quraisy Shihab, “Membumikan Al-Qur’an” Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1992), hal.15
[2] Ibid, hal.14
[3] Quraisy Shihab, “Membumikan Al-Qur’an” Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1992), hal.6
[4] Ibid, hal.7
[5] Ibid, hal.11
[6] Ibid, hal.12
[7] Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2001), hal.xi
[8] Ibid, hal.xi
[9] Ibid, hal.xii
[10] Quraisy Shihab, “Membumikan Al-Qur’an” Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1992), hal.114
[11] Ibid, hal.115
[12] Ibid, hal.116
[13] Software Qur’an in Word 2007 Lihat QS. Maryam: 34, op.cit.
[14] Ibid, hal.370
[15] Software Qur’an in Word 2007 Lihat QS. Ali-Imron: 64, op.cit.
[16] Ibid, hal.372
[17] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Ma’udlui atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996), hal.xii

[18] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Kesan, Pesan dan Keserasian al-Qur’an, vol.1 (Jakarta: Lentera Hati, 2000), hal. xii
[19] Lihat misalnya, penjelasannya tentang munasabah pada mukaddimah setiap surat (a.l. Al-Baqarah dalam al-Mishbah 1/79, Ali-Imran, dalam al-Mishbah, 2/3) dan perpindahan tafsir dari satu ayat ke ayat lainnya. Dalam banyak tempat dia juga banyak mengutip pendapat ulama modern seperti Ibnu Asyur dalam Al-Tahrir Wa al-Tanwir, M. Sya’rawi dalam Khawathir-nya, Thabathaba’iy dalam al-Mizan, Sayyid Quthub dalam Zhilal-nya dan ulama lainnya yang juga sukses menerapkan kaidah ini dengan baik.
[20] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Kesan, Pesan dan Keserasian al-Qur’an, vol.1 (Jakarta: Lentera Hati, 2000), hlm. ix
[21] Lihat, Tafsir Al-Qur’an al-Karim, 786
[22] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Kesan, Pesan dan Keserasian al-Qur’an, vol.1 (Jakarta: Lentera Hati, 2000), hlm. 52
[23] Ibid, hal.83
[24] Al-Hayy Al-Farmawi, Metode Tfsir Mawdhu’iy Suatu Pengantar (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1994), hal.58
[25] Ibid, hal.VIII
[26] Nasrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2005), hal.169
[27] Nasrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2005), hal.167
[29] Nasrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2005), hal.168
[30] Al-Hayy Al-Farmawi, Metode Tfsir Mawdhu’iy Suatu Pengantar (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1994), hal.58

Tidak ada komentar:

Posting Komentar