Rabu, 11 Maret 2015

METODOLOGI TAFSIR AL-MANNAR KARYA MUHAMMAD RASYID RIDHA



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Adanya pandangan akan adanya kebutuhan akan alternatif-alternatif baru dalam menghadapi problema kemanusiaan yang terjadi pada masyarakat, telah memberikan dampak yang sangat besaar dalam perkembangab tafsir Al-Quran. Akibatnya munculah keaneka ragaman metode, corak, dan hasil penafsiran Al-Quran, yang salah satunya adalah corak dan kecenderungan tafsir dengan melihat pola sosial kemasyarakatan (al ijtima’iyah). Muhammad abduh misalnya, ketika berhadapan denngan masyarakat islam yang pada umumnya “tertidur” dan bersimpuh pada kekuasaan asing yang menjajah tanah airnnya, jelas-jelas banyak mempersoalkan gaya berfikir dan gaya hidup masyaarakat, dalam tafasirnya. Sikap ijtihad dan kembali pada sumber ajaran islam ( Al-Quran dan As-Sunah ), merupakan bagian dari pandangannya yang banyak ditemukan dalam tafsirnya. Namun begitu, Muhammad Abduh tidak memberikan label secara resmi pada tafsirnya ( Al-manar ) bercorak sosial kemasyarakatan. Akan tetapi ( Al-manar ) mencerminkan ke arah sana dalam misi penafsirannya.
Tafsir al-Manar merupakan salah satu kitab tafsir popular di kalangan para peminat studi al-Quran. Majalah al-Manar, yang memulai tafsir ini secara berkala padaawal abad ke-20 tersebar luas ke seluruh penjuru dunia Islam dam memiliki peranan yang tidak kecil dalam pencerahan pemikiran serta penyuluhan agama.Tokoh utama dalam penafsiran ini serta yang berjasa meletakan dasar-dasarnyaadalah Syaikh Muhammad Abduh, yang kemudian dikembangkan oleh murid sekaligus sahabatnya, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha.




B.     Rummusan Masalah
1.      Siapa yang menulis tafsir Al-Manar?
2.       Apa yang melatar belakangi penulisan tafsir Al-Manar?
3.      Bagaimana karakteristik dari tafsir Al-Manar?
C.    Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui Siapa yang menulis tafsir Al-Manar.
2.      Untuk mengetahui yang melatar belakangi penulisan tafsir Al-Manar.
3.      Untuk mengetahui karakteristik dari tafsir Al-Manar.





























BAB II
PEMBAHASAN


                                                                                
A.    Biografi Pengarang kitab Al-Manar
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha memiliki nama lengkap Sayyid Muhammad Rasyid Ridha ibn ‘Ali Rida ibn Muhammad Syamsuddin ibn al-Sayyid Baha’uddin ibn al-Sayyid Manlan ‘Ali Khalifah al-Bagdadi, dilahirkan di Qalmun, suatu kampung sekitar 4km dari Tripoli, Lebanon, pada tanggal 27 Jumadil Ula 1282 H. dia adalah seorang bangsawan arab yang mempunyai garis keturunan langsung dari Sayyidina Husain, putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah putra Rasullulah SAW. Gelar “Sayyid” pada permulaan namanya adalah gelar yang biasa diberikan kepada semua yang mempunyai garis keturunan tersebut. Keluarga beliau dikenal oleh lingkungannya sebagai keluarga yang sangat taat beragama serta menguasai ilmu-ilmu agama, sehingga mereka juga dikenal dengan sebutan Syaikh´.Salah seorang kakek beliau, yaitu Sayyid Syaikh Ahmad, sedemikian patuh dan wara-nya sehingga seluruh waktunya hanya digunakan untuk membaca dan beribadah,serta tidak menerima tamu kecuali sahabat-sahabat dekat dan ulama, itu pun pada waktu-waktu tertentu, yaitu antara Ashar dan Magrib. Ketika Ridha mencapai umur remaja, ayahnya telah mewarisi kedudukan, wibawa serta ilmu sang nenek moyang,sehingga banyak terpengaruh oleh ajaran-ajaran tersebut.
Disamping belajar kepada ayahnya sendiri, beliau belajar juga kepada sekian banyak guru. Dimasa kecil beliau belajar di taman-taman pendidikan dikampungnya yang ketika itu dinamai Al-Kuttab, di sana diajarkan membaca al-Quran, menulis dan dasar-dasar berhitung. Setelah tamat, beliau dikirim oleh orang tuanya ke Tripoli (Lebanon) untuk belajar di Madrasah Ibtidaiyah yang mengajarkan Nahwu, Sharaf, Aqidah, Fiqh, Berhitung danIlmu Bumi. Bahasa pengantar yang digunakan di sekolah adalah bahasa Turki, mengingat Lebanon pada waktu itu dibawah kekuasaan kerajaan Usmaniyah. Mereka yang belajar disana di persiapkan untuk menjadi pegawai-pegawai pemerintah. Karena itu, beliau tidak tertarik untuk terus belajar disana. Setahun kemudian, yaitupada tahun 1299 H/ 1822 M, beliau pindah ke Sekolah Islam Negeri yang merupakan sekolah terbaik pada saat itu dengan bahasa Arab sebagai kata pengantar, disamping itu diajarkan pula bahasa Turki dan Peracis. Sekolah ini didirikan  dan dipimpin oleh ulamabesar Syam ketika itu, yakni Syaik Husain al-Jisr. Syaik inilah yang kelak mempunyai andil sangat besar terhadap perkembangan pemikiran beliau, karena hubungan antara keduanya tidak terputus walaupun kemudian sekolah itu ditutup oleh pemerintah turki. Syaikh Husain al-Jisr juga lah yang memberi kesempatan kepada beliau untuk menulis dibeberapa surat kabar di Tripoli.Pada tahun 1314 H/ 1897 M, Syaikh Muhammad al-Jisr memberikan ijasah kepada beliau dalam bidang ilmu-ilmu agama, bahasa, dan filsafat. Disamping guru tersebut,beliau juga belajar pada guru-guru yang lain seperti, Syaikh Muhammad Nasyabah (ahli dalam bidang hadist), Syaikh Muhammad al-Qawijiy (ahli dalam bidang hadist), SyaikhAbdul Gani ar-Rafi (pengajar kitab hadist Nail al-Authar), al-Ustadz Muhammad al-Husaini, Syaikh Muhammad Kamil ar-Rafi, dan Syaikh Muhammad Abduh.
Beliau wafat dalam perjalanan pulang dari kota Suez di mesir, setelah mengantar Pangeran Saud al-Faisal (yang kemudian menjadi raja Saudi Arabia), dikarenakan mobilyang dikendarainya mengalami kecelakaan dan beliau mengalami gegar otak. Selama dalam perjalanan beliau hanya membaca al-Quran, Walaupun beliau telah sekian kalimuntah. Setelah memperbaiki posisinya, tanpa disadari oleh orang-orang yangmenyertainya beliau wafat dengan wajah yang sangat cerah dengan disertai senyuma,beliau wafat  pada tanggal 23 Jumadil Ula 1345/ 22 Agustus 1935 M.[1]
B.     Latar Belakang Penulisan Tafsir Al-manar
Latar belakang penulisan tafsir al manar ini adalah karena Rasyid Ridha ini karena beliu menyadari adanya bidah dan khufarat yang terdapat dalam ajaran tasawuf dan tarekat. Karena itu ajaran-ajaran tersebut ditinggalkannya. Ia juga berupaya membimbing masyarakat agar meninggalkan ajaran-ajaran yang telah bercampur dengan bidah dan khufarrat tersebut. Upaya yng dilakukannya antara lain membuka pengajian, menebang pohon yang dianggap keramat dan membawa berkah, dan melarang masyarakat mencari berkah dari kuburan  para wali dann bertawasul dengan para wali yang telah wafat.
Setelah pertemuanya yang kedua dengan Muhammad Abduh 1885, pengaruh ide pembaharuan Al-Afghani dan Abduh semakin mendalam pada diri Ridha. Ide-ide pembaharuan yang selaras dengan visinya itu iterapkan pada tempat kelahirannya, namun karena mendapat tantangan dari penguasa, Ridha berhijrah ke Mesir dan bergabung dengan Abduh dalam memperjuangkan pembaharuan pada 1352 H/1885 M. Dimesir Ridha menjadi murid sekaligus mitra, penrjemah, pengulas pemikiran-pemikiran Abduh.
Pada awalnya Tafsir almanar ini berangkat dari majalah almanar yang terbit dalam bentuk tabloid  yang terbit seminggu sekali, kemudian setengah bukan sekali, kemudian sebulan sekali, dan kadang-kadang setahun hanya sembilan nomor. Majalah itu ditrebitkan Ridha seorang diri hingga akhir hayatnya. Apa yang dilakukan Rasyid ridaha adalah prestasi besar yang sulit ditandingi orang lain, Selama al-Manar terbit, sebanya 34 jilid bear setiap jilidnya berisi 1000 halaman telah terkumpul seluruhnya. Setelah Rasyid ridha wafat, masih ada inisiatif  dari keluarga dan sahabatnya untuk terus menerbitkan majalah tersebut, namun mereka hanya mampu menerbitkan sebanyak dua nomor yang kemudian dihimpun menjadi ke-35.[2]
C.    Metode dan corak penafsiran
Metodologi tafsir dapat diartikan sebagai pengetahuan cara yang ditempuh dalam menelaah, membahas dan merefleksikan kandungan al-Qur’an secara apresiatif berdasarkan kerangka konseptual tertentu sehingga menghasilkan suatu karya tafsir yang representif. Metodologi tafsir merupakan alat dalam upaya menggali pesan-pesan yang terkandung dalam kitab suci umat Islam tersebut.
Selanjutnya dalam ilmu tafsir setidaknya diketahui ada empat metode yang ditempuh para mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, yaitu:
1.      Metode Tahlili, yaitu salah satu metode tafsir dengan menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai aspeknya. Mufassir yang menggunakan metode ini umumnya menafsirkan ayat secara tertib dari al-Fatihah sampai An-Naas sesuai dengan urutan mushaf Ustmani.
Melalui metode ini seorang mufassir juga dituntut menjelaskan kandungan ayat secara luas dan terperinci. Sehingga ia harus mampu menguraikan kosakata dan lafadz, ijaz dan balaghahnya, munasabah dan asbabul nuzul, juga aspek-aspek tafsir lainnya. Oleh karena itu penafsiran dengan metode ini akan menghasilkan penafsiran yang luas dan mendalam.
2.      Metode Ijmali, yaitu metode menafsirkan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dengan meyampaikan makna globalnya saja. Dengan metode ini mufassir hanya menyampaikan makna pokok dari ayat yang ditafsirkan dan menghindari hal-hal yang dianggap diluar makna pokok tersebut. Sehingga penafsiran dengan metode ini umumnya sangat singkat dalam penjelasannya.
3.      Metode Muqaran, sesuai dengan namanya, metode tafsir ini menekankan kajian pada aspek perbandingan (komparasi) tafsir al-Quran. Perbandingan dimaksud dapat berupa ayat dengan ayat, surat dengan surat, al-Qur’an dengan hadits, atau perbandingan antar mufassir sebelumnya.
4.      Metode Maudhu’i, metode tafsir yang pembahasannya didasarkan tema-tema tertentu dalam al-Qur’an. Sehingga metode ini sering disebut metode tematis.[3]
Setelah menjelaskan macam-macam metode dan corak tafsir dan membandingkan dengan tafsir al-Manar karya Rasyid Ridha, maka setelah dianalisis dengan seksama dapat disimpulkan bahwa metode penafsiran yang beliau gunakan dalam tafsirnya merupakan metode muqaran. Dikatakan muqaran karena beliau membandingkan ayat dengan ayat, surat dengan surat, al-Qur’an dengan hadits, dan juga beliau memasukkan pendapat sahabat. Contoh:[4]
Adapun orak yang digunakan Rasyid Ridah menggunakan corak adabi Ijtima’i, sesuai dengan pandangan gurunya Muhammad Abduh. Corak ini bercirikan antarlain sebagaimana rumusan yang diberikan oleh Quraish Shihab, yaitu:
1.      Memperhatikan ketelitian redaksi ayat-ayatnya adab dalam al-Quran.
2.      Menguraikan makna dan kandungan ayat-ayat dengan susunan kalimat yang indah (menekankan pada keindahan bahasa al-Quran dan susunan redaksinya).
3.      Aksentuasi yang menonjolpada tujuan utama diturunkannya al-Quran.
4.      Penafssiran ayat dikaitkan dengan hukukm-humum alam (sunatullah) yang berlaku dalam masyarakat.
Unsur pertama dan kedua menujukkan corak adabi, sedangkan unsur ketiga dan keempat menunjukkan pada corak ijtima’i. Selanjutnya, dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan tafsir yang bercorak ijtima’i adalah tafsir yang berorientasi pada masalah–masalah tersebut kemudian dikaitkan dengan penafsirn suatau ayat al-Quran untuk mengetahui bagaimana pandangan al-Quran terhadap masalah-masalah tersebut dan bagaimana menanggulangi problema kemasyarakatan menurut al-Quran. Dikatakan adabi karena menitik beratkan orientasinya pada bahasa atau analisisnya pada masalah-masalah yang berkaitan dengan sstra dalam pengetiannya yang paling umum dan luas.[5]
D.    Pemikiran Pembaruan Muhammad Rasyid Ridha
Untuk membicarakan pemikiran pembeharu yang di cetuskan oleh Rasyid Rida perlu di bahas tentang beberapa kajian meliputiaspek-aspek teologi, syariat dan pendidikan.
1.      Kemurnian aqidah
Muhammad Rasyid Rida hidup dalam kurung waktu 1282 H/1863M-1354H/1935M dalam suasana politik pemerintahan kerajaan usmani. Pemikiranya yang berkaitan dengan teologi terutama mengajak umat Islam kembali ke zaman awal di saat umat Islam masih memiliki akidah yang murni.[6]
Zaman ini disebut dengan zaman salaf yang meliputi masa rasul dan sahabat.keutamaan generasi awal ini telah diisyaratkan dalam al-Qur’an surat 9 (al-Taubah) ayat 100, sebagai berikut:
šcqà)Î6»¡¡9$#ur tbqä9¨rF{$# z`ÏB tûï̍Éf»ygßJø9$# Í$|ÁRF{$#ur tûïÏ%©!$#ur Nèdqãèt7¨?$# 9`»|¡ômÎ*Î šÅ̧ ª!$# öNåk÷]tã (#qàÊuur çm÷Ztã £tãr&ur öNçlm; ;M»¨Zy_ ̍ôfs? $ygtFøtrB ㍻yg÷RF{$# tûïÏ$Î#»yz !$pkŽÏù #Ytr& 4 y7Ï9ºsŒ ãöqxÿø9$# ãLìÏàyèø9$# ÇÊÉÉÈ  
Artinya:
orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.
Akida Islam pada saat itu masih belum tercemar oleh unsur-unsur tradisri dan pemikiran filosofis. Pemahaman terhadap agama mereka masih bersandar pada sumber yang utentik yaitu al-Qur’an dan hadis.[7]
2.      Akal dan wahyu
Kajian teologis berkenaan dengan akal dan wahyu di kalangan mutakallimin mempermasalahkan kesanggupan akal dan fungsi wahyu terhadap persoalan pokok Islam dalam agama yaitu Tuhan serta kebaikan dan kejahatan. Pertanyaan yang dimajukan adalah sebagai berikut:
a.       Dapatkah akal mengetahui adanya Tuhan?
b.      Kalau ya, dapatkah akal mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan?
c.        Dapatkah akal mengetahui apa yang baik dan apa yang jahat? 
d.       Kalau ya,dapatkah akal mengetahui bahwa wajib bagi manusia berbuat baik dan wajib baginya menjauhi perbuatan jahat?
Dalam menjawab keempat pertanyaan tersebut kaum teolog terbagi dua aliran yaitu aliran rasioanal dan aliran tradisional.kalangan aliran rasional seperti Mu’tazilah dan Maturidiah Samarkand menempatkan akal sebagai mempunyai daya yang kuat. Sedangkan bagi kalangan aliran tradisional seperti Asy’ariah dan maturidia Bukhara menempatkan akal daya yang lemah.
Intensitas kekuatan akal dalam mengkaji masalah-masalah ketuhanan terutama untuk menjawab empat macam pertanyaan sebaimana dinyatakan Harun Nasution sebagai berikut:
Kalau kita selidiki buku-buku klasik tentang ilmu kalam akan kita jumpai bahwa persoalan kekuasaan dan fungsi wahyu ini dihubungkan dengan dua masalah pokonya masing-masing bercabang dua. Maslah pertama di hubungakan dengan dua masalah yang masing-masing bercabang dua. Masalah pertama ialah soal pnegetahuan Tuhan dan masalah kedua soal baik dan jahat. Masalah pertama bercabang dua menjadi mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan, yang dalam istilah Arab disebut husnul ma’rifat Allah dan wujud ma’rifat Allah. Kedua cabang dari masalah ialah mengetahui baik dan jahat dan kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan jahat atau ma’rifat husn wa al qubh dan wujud ub I’tin’aq al hasan wa ijtin’ab al qabih yang juga disebut al-tahs in wa al taqb’in.
Polemik yang terjadi di kalangan Islam rasional dan tradisional terhadap empat persoalan ketuhanan tersebut terutama mencakup manakah yang dapat diperoleh dengan akal dan mana yang diperoleh melalui wahyu.
Pemikiran Rasyid Rida dalam aspek ketuhanan menghendaki agar urusan keyakinan mengakui petunjuk dari wahyu. Sungguhpun demikian akal tetap diperlukan untuk memberikan penjelasan dan argumentasi terutama kapada mereka yang masih ragu-ragu. Dengan kat lain Rasid Rida melihat wahyu mempunyai fungsi yang sangat penting untuk memahami persoalan-persoalan pokok dalam agama. Pada sisi lain akalpun memeiliki kesanggupan untuk memperoleh pemahaman terhadap persoalan-persoalan pokok keagamaan  karena pada dasarnya wahyu member motivasi agar manusia menggunakan akalnya serta mencelah mereka yang memiliki keyakinan terhadap Tuhan tampa dibarengi dengan argumen-argumen rasional yang kuat.
3.       Sifat Tuhan
Bagi Rasyid Rida, dengan memahami teks al-Qur’an  yang berkenaan dengan soal Tuhan dipahami bahwa Tuhan itu mempunyai sifat, sebagaimana halnya dengan pandangan golongan salafiah Ahmad Ibnuhambal dan Ibnu Taimiah.[8]
Oleh karean itu, dalam memahami sifat Tuhan, Rasyid Rida memiliki corak teologi Asy’ariyah. Namun demikian terdapat perbedaan dalam memberikan interpretasi tentang sifat-sifat Tuhan Asy’ariah menyikapi sifat Tuhan dengan pandangan bili kaifa (tampa perlu memberikan takwil) dan demikian pula Ahmad Ibn Hambal.
Pemahaman Rasyid Rida terhadap sifat-sifat Tuhan pada dasarnya mengaku dan menetapkan adanya sifat(isba’at al-sifat). Ia menyebut bahwa sifat-sifat Tuhan itu tergambar dalam  al-asma’ al-husn’a.
4.      Perbuatan Manusia
Perbuatan Manusia, menurut Rasyid Rida sudah  dipolakan oleh suatu hukum yang telah ditetapakan Tuhan yang disebut sunnatullah, yang tidak mengalami perubahan. Tuhan berfirman dalam surat Al-Fath ayat 23 sebagai berikut:
sp¨Zß «!$# ÓÉL©9$# ôs% ôMn=yz `ÏB ã@ö6s% ( `s9ur yÅgrB Ïp¨ZÝ¡Ï9 «!$# WxƒÏö7s? ÇËÌÈ  
Sebagai suatu sunnatullah yang telah Berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan peubahan bagi sunnatullah itu.
Berkenaan dengan sunnatullah, Rasyid Rida menjelaskan sebaimana berikut:“bahwa Allah SWT membuat aturan-aturan tentang penciptaan-penciptaan atau kejadian- kejadian yang memberikan petunjuk kepada manusia sebagai hukum umum yang menjelaskan tentang sebab-sebab dan musabab-musabab. Hal itu tidak terjadi  perbedaan antara seseorang dengan lainya.[9]
E.     Contoh Penafsiran Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar
Contoh yang dikemukakan di sini adalah penafsiran Rasyid Ridha terhadap surat Al-an’am 32,
$tBur äo4quysø9$# !$uŠ÷R$!$# žwÎ) Ò=Ïès9 ×qôgs9ur ( â#¤$#s9ur äotÅzFy$# ׎öyz tûïÏ%©#Ïj9 tbqà)­Gtƒ 3 Ÿxsùr& tbqè=É)÷ès? ÇÌËÈ  
 yang artinya:“dan Tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka” Rasyid Ridha memulai uraiannya dengan menerangkan bahwa Al-La’ibu (permainan) adalah:
“Suatu perbuatan yang dilakukan oleh pelakunya bukan untuk suatu tujuan yang wajar, yakni mengakibatkan manfaat atau mencegan madharat”31 sedang Al-Lahwu “adalah suatu perbuatan yang mengakibatkan lengahnya seseorang dari pekerjaannya yang lebih bermanfaat dan penting”, sehingga dengan demikian segala sesuatu yang mengakibatkan kesenangan adalah Lahwun.32
Selanjutnya, dukutipnya pendapat Ar-Raghib Al-Asfahani serta pengarang kitab Lisan Al-Arab (Ibnu Manzur) kemudian disusul dengan kesimpulan sementara bahwa Al-Lahwu jika disebutkan tanpa dibarengi oleh suatu kata, maka ia berarti segala sesuatu yang menyibukkan seseorang dari kesulitan-kesulitan yang dihadapinya atau kesedihan-kesedihannya; kesibukan tersebut dapat berupa permainan, nyanyian, atau apa saja yang mendatangkan kegembiraan.
Pengertian ini menurut Rasyid Ridha selanjutnya dapat lebih luas lagi sehingga ia terkadang berarti segala sesuatu yang menyenangkan dan menggembirakan walaupun bukan dengan tujuan menyibukkan diri dari sesuatu yang lebih penting dan berguna. Untuk pengertian yang luas ini
Rasyid Ridha mengutip sajak Umru’ul Qais: Ala Za’imat bisabasati al-yaumi annani Kaburtu wa an la yuhsinna al-lahwa amtsali Kata Al-Lahwu dapat pula diartikan dengan menyibukkan diri dari suatu persoalan penting ke persoalan lainnya walaupun untuk maksud ini biasanya digunakan kata kerja bukan mashdar (kata jadian) seperti firman Allah dalam surah ‘Abasa: 10:
Setelah Rasyid Ridha menjelaskan arti kata tersebut, dia beralih untuk menafsirkan ayat Al-An’am 29 yang menggunakan kata-kata jadi, penjelasan yang cukup panjang dibarengi dengan mengutip sajak-sajak Abu Thayyib Al-Mutanabby dan Abul ‘Ala’ Al Ma’ary, kemudian disusul dengan membandingkannya dengan ayat-ayat surah Muhammad 36, Al-Hadid 20 dan Al-Ankabut 63, dengan menyatakan bahwa dalam ayat Al-’Ankabut, Tuhan mendahulukan Al-Lahwu daripada Al-La’ibu sedang dalam ayat yang lain sebaliknya.
Menurut Rasyid Ridha, sebagian besar mufassir tidak memberikan perhatian menyangkut perbedaan redaksi tersebut karena mereka beranggapan bahwa huruf wa (dan) hanya sekedar “menghimpun antara apa yang disebut pertama dengan yang disebut sesudahnya” tanpa mengandung suatu rahasia mengapa kata ini didahulukan atau dikemudiankan.
Menyangkut hal ini dikutipnya pendapat-pendapat Al-Alusy, Al-Khatib Al-Iskafy, kemudian dikemukakan pandangannya. Menurut Rasyid Ridha, mencari rahasia didahulukannnya Al-La’ibu atau Al-Lahwu tidaklah merupakan hal yang sulit, bahkan tidak perlu dipertanyakan karena hal tersebut merupakan urutan-urutan kronologis yang wajar bagi kehidupan manusia seperti yang dijelaskan dalam ayat 20 surah Al-Hadid:
(#þqßJn=ôã$# $yJ¯Rr& äo4quysø9$# $u÷R9$# Ò=Ïès9 ×qølm;ur ×puZƒÎur 7äz$xÿs?ur öNä3oY÷t/ ֍èO%s3s?ur Îû ÉAºuqøBF{$# Ï»s9÷rF{$#ur ( È@sVyJx. B]øxî |=yfôãr& u$¤ÿä3ø9$# ¼çmè?$t7tR §NèO ßkÍku çm1uŽtIsù #vxÿóÁãB §NèO ãbqä3tƒ $VJ»sÜãm ( Îûur ÍotÅzFy$# Ò>#xtã ÓƒÏx© ×otÏÿøótBur z`ÏiB «!$# ×bºuqôÊÍur 4 $tBur äo4quysø9$# !$u÷R$!$# žwÎ) ßì»tFtB Írãäóø9$# ÇËÉÈ  
ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan Para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu Lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.
Ayat ini bermula dengan Al-La’ibu karena hal itulah gambaran dari karena hal itulah gambaran dari permulaan perkembangan dan pertumbuhan manusia sebagai bayi, yang merasakan lezatnya permainan walaupun ia sendiri melakukannya tanpa tujuan apa-apa kecuali bermain. Setelah itu disebutkan Al-Lahwu karena hal itu tidak dapat dilakukan kecuali oleh orang yang telah memiliki sedikit pikiran, bukan oleh seorang bayi.
Setelah itu disusul dengan al-zinatu (perhiasan) karena yang demikian itulah sifat remaja, setelah itu Tafakhoru (berbangga-bangga) karena itulah sifat pemuda dna diakhiri dengan Takatsuru di al-amwal wa al-awlad (memperbanyak harta/anak) karena itulah sifat orang dewasa.[10]
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Manar adalah salah satu kita tafsir yang berorientasi pada sastra budaya dan kemasyarakatan yaitu suatu corak penafsiran yang menitikberatkan penjelasanayat Al-Qur’an pada segi-segi ketelitian redaksionalnya, kemudian menyusunkandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya Al-Qur’an yakni membawa petunjuk dalam kehidupan kemudian merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.22 Dua tokoh Tafsir Al-Manar yaitu Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha, karena dariMuhammad Abduh bahwa gagasan dari gurunya yaitu Jamaluddin al-Afghani itudicerna, diterima dan diolah yang disampaikan melalui penafsiran ayat-ayat al-Qur'an.
Dan dari Muhammad Rasyid Ridha inilah kemudian menulis semua yang disampaikan sahabat dan gurunya itu dalam bentuk ringkasan dan penjelasan. Dalam penulisan makalah tentang kajian kitab Tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha, pada metode, corak/aliran, keistimewaan dan kelemahan tafsirnya disajikan pada ciri-ciri penafsirannya yang kami bahas di bagian sebelumnya. Pada dasarnya tafsir ini ingin memfungsikan tujuan utama dari kehadiran Al-Qur’an, yakni sebagai petunjuk serta pemberi jalan keluar bagi problema-problema umat manusia. Karena itu ia tidak merinci hal-hal yang tidak dapat terjangkau oleh akal, khususnya dalam bidang metafisika, sebagaimana juga tidak merinci hal-hal yang tidak dibutuhkan oleh kaum Muslimin dalam kaitannya dengan kebahagiaan hidup mereka di di dunia danAkhirat. Setiap manusia yang memiliki kelebihan dan kekurangandan di setiap hasil renungan dan pemikiran dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti tingkat intelegensi, kecenderungan pribadi, latar belakang pendidikan, bahkan perkembangan ilmu pengetahuan dan kondisi sosial masyarakatnya.
B.     Refrensi
Athaillah, Rasyid Ridha, Konsep Teologi Rasionl dalam Tafsir al-Manar,  Penerbit Erlangga, Jakarta, 2006.

Abu Muhammad Al-Mahdi Ibn Abd Al-Qodir Al-Hadi. Darul Ikhtisam: Thariqu Takhrij Hadist Rosululloh

Al-’Adawy, Ibrahim Ahmad Rasyid Ridha: Al-Imam Al-Mujahid, Kairo: Mathba’ah Mishr, 1964.

Al-Faramawy, Abd. Al-Hay Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Mawdu’iy, Kairo: Al-Hadharah Al-’Arabiyah, 1977.

Amin, Utsman, Muhammad Abduh, (D.C. American Council of Learned Societies, 1953)

Badri khaeruman, Sejarah prkembangan tafsir al-quran, cet. Pertama, CV Pustaka Setia,Bandung, 2004

Haddad, Yvonne Yazbeck. dalam Ali Rahnema (ed), Para Perintis Zaman Baru Islam, Bandung: Penerbit Mizan


Hujair A.H Sanaky, Metode tafsir ( Perkembangan Tafsir menurut corak Mufassirin ). Pdf

Insiklopedia Islam jilid 4, Ikrar mandiri abadi, Jakarta, 2001

Prof.Dr.H. Muhaimin, M.A,Pembaharuan Islam:Refleksi pemikiran Rasyid Rida dan Tokoh-Tokoh Muammadiah,(Cet.1,Yogyakarta:Pustaka Dinamika,2000),
















[1] Insiklopedia Islam jilid 4, ( Ikrar mandiri abadi, Jakarta, 2001 ), hlm.161
[2] A. Athaillah, Rasyid Ridha, Konsep Teologi Rasionl dalam Tafsir al-Manar,  Penerbit Erlangga,Jakarta, 2006 ), hlm. 31 & 34

[3] Hujair A.H Sanaky, Metode tafsir ( Perkembangan Tafsir menurut corak Mufassirin ). Pdf
[4] Contoh dibawah ini diambil dari pdf tafsir al-manar
[5] Badri khaeruman, ( Sejarah prkembangan tafsir al-quran, cet. Pertama, CV Pustaka Setia,Bandung, 2004 ), hlm.178-179
[6]Muhaimin, M.A, Pembaharuan Islam:Refleksi pemikiran Rasyid Rida dan Tokoh-Tokoh Muammadiah,(Cet.1,Yogyakarta:Pustaka Dinamika,2000),Hlm.17

[7] Ibid,.Hlm.18
[8] Ibid,Hlm.32
[9]Ibid, Hlm.40

[10] http://ummuslimah.wordpress.com/2009/10/17/metodologi-penafsiran-muhammad-abduh-dan-muhammad-rasyid-ridha-dalam-tafsir-al-manar/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar