Rabu, 04 Maret 2015

PENDEKATAN AISYAH ABDURRAHMAN BIN AS-SYAATI' DALAM TAFSIR I'JAZ AL-BAYANI



BAB I
PENDAHULLUAN
A.    LATAR BELAKANG
Aspek bahasa dan sastra merupakan salah satu mukjizat al-quran. Aspek bahasa yang dimiliki oleh Al Qur’an merupakan topik awal dan sentral pembahasan para peminat dan pengkaji Al Qur’an semenjak Al Qur’an itu pertama kali diturunkan dan akan terus berkelanjutan sampai akhir zaman, hal ini tidaklah mengherankan dikarenakan dengan pendekatan bahasa lah makna dan rahasia yang terkandung dalam kalamullah dapat terkuak. Sebagaimana dalam topik kemu’jizatan Al Qur’an, sesungguhnya aspek bahasa lah yang menjadi objek perhatian para begawan dan sastrawan arab disaat mereka ditantang dan diminta untuk mendatangkan semisalnya. Dalam perjalanan sejarahnya, bangsa Arab sangatlah terkenal dengan kemampuan bahasa mereka yang sangat tinggi, dimana semakin tinggi kemampuan mereka dalam mengetahui dan menguasai aspek bahasa mereka, semakin terbuka pula tabir kandungan kemu’jizatan Al Qur’an, sehingga merekapun tunduk dan mengakui akan kehebatan kandungan bahasa yang dimiliki Al Qur’an.
Upaya-upaya untuk memahami Al-qur’an khususnya telah melahirkan berbagai macam teori dan metode. Namun, pemakaian teori dan metode tersebut cenderung tidak bebas nilai, para pengkaji Al-qur’an seringkali memahami ayat-ayat Al-qur’an berdasarkan latar belakang ideologi pandangan politik mereka serta menggunakan ayat-ayat Al-qur’an sebagai dalil pembenaran atas aktivitas ideologis, ekonomis dan politis yang mereka lakukan. Padahal, menurut Nasr Hamid Abu Zayd, penafsiran ayat-ayat suci itu haruslah tidak dibarengi dengan embel-embel karena ayat Al-qur’an tidak bisa diperkosa atas nama kepentingan apapun sehingga memahami dan menafsirkannya pun harus dengan objektif dan teliti.[1]
Selain itu, Al-qur’an sebagai kalamullah disampaikan kepada Nabi SAW dalam bahasa yang bisa dipahami manusia, bahasa yang dipilih adalah Bahasa Arab. Bangsa Arab sebagai empu dari bahasa ini dikenal sebagai bangsa yang gemar menciptakan produk sastra yang berupa syair-syair indah sehingga Al-qur’a-pun turun dengan susunan bahasa yang indah tiada banding sebagai upaya agar Al-qur’an bisa diterima. Namun, bukan berarti bisa secara otomatis Kitab tersebut bisa diterima, yang inkar menyatakan bahwa Kitab tersebut merupakan buatan Muhammad SAW meskipun hal ini dibantah dengan empiris bahwa ternyata beliau adalah orang ummi alias tidak bisa baca tulis. Ada yang berpendapat bahwa bahasa indah yang dipakai Al-qur’an tersebut merupakan salah satu aspek ke-i’jazan-nya.[2]
Menyadari kelemahan ini, dua hal diatas yang mendasari lahirnya metode penafsiran Al-qur’an dengan menggunakan metode pendekatan sastra dan linguistik yang dibangkitkan kembali oleh Amin Al-Khulli pada abad ke 20  (wafat 1967) yang kemudian metodenya ini dikembangkan secara sistematis oleh muridnya sekaligus isterinya, yaitu Bint al-Sya ti'. Dengan mengembangkan metode inilah kemudian ia merumuskan suatu teori bahwa setiap kata dari ujaran al-Qur'an tak satupun di dalamnya yang memiliki makna yang sama, sekalipun kamus lain memberikannya dengan sejuta makna. Dan teori inilah kemudian disebut dengan Asinonimitas, yang telah berhasil menampakkan segi ke-i'jaz-an bayani al-Qur'an secara utuh.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Siapa ‘Aisyah Adurrahman Bint Al-Syati’?
2.      Bagaimana pendekatan ‘Aisyah Adurrahman Bint Al-Syati’ dalam tafsir I’jaz al-Bayani?
3.      Apa Keistimewaan dan kelemahan dalam tafsir I’jaz al-Bayani?
C.    TUJUAN MASALAH
1.      Untuk mengetahui biografi ‘Aisyah Adurrahman Bint Al-Syati’.
2.      Untuk mengetahui pendekatan ‘Aisyah Adurrahman Bint Al-Syati’ dalam I’jaz al-Bayani.
3.      Untuk mengetahui Keistimewaan dan kelemahan dalam tafsir I’jaz al-Bayani.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi ‘Aisyah Adurrahman Bint Al-Syati’
Nama aslinya Bint al-Syathi’ adalah ‘A’isyah ‘Abd ar-Rahman. Bint al-Syathi’ Lahir di Dumyath, sebelah barat Delta Nil, tanggal 6 November 1913. Bint al-Syathi’ lahir di tengah-tengah keluarga muslim yang saleh.[3] dari pasangan Muhammad Ali Abdurrahman dan Farida Abdussalam Muntasyir. Ayahnya, ‘Abd ar-Rahman, adalah tokoh sufi dan guru teologi di Dumyat. Pendidikan Bint al-Syathi’ dimulai ketika berumur lima tahun, yaitu dengan belajar membaca dan menulis Arab pada syaikh Mursi di Shubra Bakhum, tempat asal ayahnya. Selanjutnya, ia masuk sekolah dasar untuk belajar gramatika bahasa Arab dan dasar-dasar kepercayaan Islam, di Dumyat. Setelah menjalani pendidikan lanjutan, pada 1939 ia berhasil meraih jenjang Licence (Lc) jurusan sastra dan bahasa Arab, di Universitas Fuad I, Kairo. Dua tahun kemudian Bint al-Syathi’ menyelesaikan jenjang Master, dan pada 1950 meraih gelar doktor pada bidang serta lembaga yang sama pula, dengan disertasi berjudul al-Gufran li Abu al-A’la al-Ma’ari.[4]
Bint Al-Syati’  harus berjuang keras untuk meraih gelar doktornya itu mengingat ia sulit sekali mengakses pendidikan luar rumah sebagai seorang gadis Mesir dan berayahkan seorang konservatif. Akan tetapi, berkat ibu dan kakeknya yang berpandangan progresif ia berhasil belajar di pendidikan formal. Ia mempublikasikan kitab tafsir bayaninya pertama kali pada tahun 1962 dan telah dicetak ulang dua kali pada 1966 dan 1968.[5]
Minatnya terhadap kajian Tafsir dimulai sejak pertemuannya dengan Prof. Amin al-Khulli, seorang pakar tafsir yang kemudian menjadi suaminya, ketika ia bekerja di Universitas Kairo. Dari sini, lalu Bint al-Syathi’ mendalami tafsirnya yang terkenal, al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim I, yang diterbitkan pada 1962. karya-karya Bint al-Syathi’ lainnya tentang tafsir antara lain Kitabina al-akbar (1967); tafsir al-Bayani li al-Qur’an II (1969); Maqal fi al-Insan Dirasah Qur’aniyyah (1969); al-Qur’an wa al-Tafsir al-’Asyri (1970); Al-I’jaz al-Bayani li al-Qur’an (1968); asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Dirasah al-Qur’aniyyah (1973).[6]
Bint Al-Syati’  mulai menulis artikel untuk majalah wanita Mesir, Ketika ia memulai penerbitan di jurnal dan beredar luas dan surat kabar harian pada tahun 1933, dia mengadopsi nama penanya Binti al-Shat (“putri tepi sungai/pantai”) untuk menyembunyikan identitasnya dari ayahnya, seorang sarjana terkenal religius pada waktu itu.[7] Dari sinilah nama besar Bintu Syathi’ mulai mencuat. Konon, nama pena ini sengaja dipakai karena takut akan kemarahan ayahnya ketika membaca artikel-artikel yang ditulis. Ayahnya, menebak nama penanya – yang mengacu pada tempat kelahirannya di Dumyat, di mana air sungai Nil dan Mediterania bertemu – dan mengakui gayanya, mendorongnya kemudian untuk terus menulis. Selain menulis dalam jurnal akademik dan ilmiah, ia menulis untuk surat kabar bergengsi al-Ahram sampai kematiannya.
Pada awal bulan Desember tahun 1998 di usianya yang mencapai 85, Bintu Syati’ menghembuskan nafas terakhirnya. Tulisan terakhir yang sempat diterbitkan oleh koran Ahram berjudul “Ali bin Abi Thalib Karramllahu Wajhah” tanggal 26 Februari 1998. Seluruh karyanya menjadi saksi akan kehebatan beliau.
B.     Pendekatan ‘Aisyah Adurrahman Bint Al-Syati’ dalam I’jaz al-Bayani
Pendekatan yang dipakai oleh Bint al-Syathi’ adalah tafsir tahlily dengan metode tafsir bil-adabi. Tafsir Adabi adalah analisa teks dengan mengungkap sisi sastra yang terkandung didalam Al Qur’an. Metode ini lebih cenderung kepada metode kritis dalam memahami Al Qur’an.
Bint al-Syathi’ berkeyakinan bahwa: pertama, al-Qur’an menjelaskan dirinya dengan dirinya sendiri (al-Qur’an yufassiru ba’dhuhu ba’dh)[8]; kedua, al-Qur’an harus dipelajari dan dipahami keseluruhannya sebagai suatu kesatuan dengan karakteristik-karakteristik ungkapan dan gaya bahasa yang khas, dan  ketiga, penerimaan atas tatanan kronologis al-Qur’an dapat memberikan keterangan sejarah mengenai kandungan al-Qur’an tanpa menghilangkan keabadian nilainya.[9]
Berdasarkan tiga diktum atau basis pemikiran di atas, Bint al-Syathi’ mengajukan metode tafsirnya, sebuah metode untuk memahami al-Qur’an secara obyektif. Bint Al-Syati’ mengakui mengikuti metode guru sekaligus suaminya, Amin al-Khuly (1895-1966) yang terdiri dari empat langkah.[10]
1.      Mengumpulkan unsur- unsur tematik secara keseluruhan yang ada di beberapa surat. Untuk dipelajari secara tematik. Dalam tafsir ini beliau tidak memakai metode kajian tematik murni seperti itu. Namun dengan pengembangan induktif (istiqra’i). Mula- mula beliau gambarkan  ruh sastra tematik secara umum. Kemudian merincinya per-ayat. Akan tetapi perincian ini berbeda dengan perincian yang digunakan dalam kajian tafsir tahlily (analitik) yang cenderung menggunakan maqtha’ (pemberhentian tematik dalam satu surat). Di sini beliau membuka dengan kupasan bahasa dalam ayat itu kemudian dibandingkan dengan berbagai ayat yang memiliki kesamaan gaya bahasa. Kadang menyebut jumlah kata, adakalanya memberikan kesamaan dan perbedaan dalam penggnaannya, terakhir beliau simpulkan korelasi antara gaya bahasa tersebut.
2.      Memahami beberapa hal di sekitar nash yang ada. Seperti mengkaji ayat sesuai turunnya. Untuk mengetahui kondisi waktu dan lingkungan diturunkannya ayat- ayat al-Qur’an pada waktu itu. Dikorelasikan dengan studi asbab al-Nuzul. Meskipun beliau tetap menegaskan kaidah al-Ibrah Bi ’Umum al-Lafadz La Bi al-Khusus al-Sabab (kesimpulan yang diambil menggunakan keumuman lafadz bukan dengan kekhususan sebab- sebab turun ayat).
3.      Memahami dalalah al-Lafadz. Maksudnya, indikasi makna yang terkandung dalam lafadz-lafadz al-Qur’an, apakah dipahami sebagaimana dhahirnya ataukah mengandung arti majaz dengan berbagai macam klasifikasinya. Kemudian di tadabburi dengan hubungan-hubungan kalimat khusus dalam satu surat. Setelah itu mengkorelasikannya dengan hubungan kalimat secara umum dalam al-Qur’an.
4.       Memahami rahasia ta’bir dalam al-Qur’an. Hal ini sebagai klimaks  kajian sastra, dengan mengungkap keindahan, pemilihan kata, beberapa pentakwilan yang ada di beberapa buku tafsir yang mu’tamad tanpa mengkesampingkan kajian gramatikal arab (i’rab) dan kajian balaghahnya.
Menurut Bint al-Syathi’, metodenya dimaksudkan untuk mendobrak metode klasik yang menafsirkan al-Qur’an secara tartil, dari ayat ke ayat secara berurutan, karena metode klasik ini setidaknya mengandung dua kelemahan: pertama, memperlakukan ayat secara atomistic, individual yang terlepas dari konteks umumnya sebagai kesatuan, padahal al-Qur’an adalah satu kesatuan yang utuh, di mana ayat dan surat yang satu dengan yang lainnya saling terkait, dan; kedua, kemungkinan masuknya ide mufasir sendiri yang tidak sesuai dengan maksud ayat yang sebenarnya.[11]
Ketika berbicara tentang penafsiran sastra (al-tafsir al-adabi), maka tidak boleh menafikan konsep  i’jaz al-Qur’ân, bagaimana relasi antara sastra Arab di satu sisi, dan i’jaz al-Qur’an di sisi lain. Al-Zamakhsyari misalnya, berkesimpulan bahwa penguasaan terhadap sastra Arab (balaghah) dengan segala  uslubnya tidak hanya akan membantu memahami aspek-aspek kemukjizatan sastra al-Qur’an, tetapi juga dapat membantu mengungkapkan makna-makna dan rahasia-rahasia yang tersembunyi di baliknya.
    Istilah yang sering digunakan dalam kajian Al Qur’an untuk penisbatan aspek kemu’jizatan Al Qur’an dari sisi bahasanya adalah Al I’jaz Al Bayani, adapun pembahasan Al I’jaz Al Bayani itu sendiri meliputi huruf, kata dan kalimat yang terkandung dalam Al Qur’an ditilik dari sisi uslub (style/gaya), bayan (kejelasan) dan balaghah (kefasihan)nya. Inilah hakekat dari Al I’jaz Al Bayani, sehingga banyak diantara ulama yang mengklasifikasikannya menjadi tiga (3) aspek:[12]
Pertama, aspek penaruhan huruf dan rahasia yang terkandung di dalamnya.
Sebagai contoh adalah pemakaian huruf " ن " yang dalam bahasa arab dipakai untuk menunjukkan orang banyak dan mencakup si pembicara dan juga banyak orang lain, yakni dalam firman-Nya :
(Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan)
Kalaulah kita cermati, kenapa redaksi pada ayat diatas tidak berbunyi Iyyaka A’budu Wa Iyyaka Asta’in (hanya Engkaulah yang saya sembah dan hanya kepada Engkaulah saya mohon pertolongan), hal ini dikarenakan terdapat rahasia dan hikmah Ilahiyyah yang melatar-belakangi pemakaian shighat al jam’i (format orang banyak) pada kata " نعبد " diatas, dan diantara beberapa rahasia dan hikmah Ilahiyyah yang terkandung di dalamnya adalah :
-          Kebaikan dan keutamaan yang terdapat dalam pelaksanaan shalat berjama’ah, dan atas hikmah itulah kenapa shighat al jam’i yang menunjukkan orang banyak dipakai pada redaksi ayat diatas. Disabdakan dalam sebuah hadits rasulullah SAW dari sahabat Ibnu Umar RA seputar konteks kebaikan dan keutamaan yang terdapat dalam pelaksanaan shalat berjama’ah :
صلاة الجماعة أفضل من صلاة الفذ بسبع وعشرين درجة .
(Shalat jama’ah lebih utama dari shalat sendirian sebanyak dua puluh tujuh (27) derajat)
-          Manusia merupakan makhluk sosial dan diantara cara yang dipakai Al Qur’an dalam mendidik manusia pada aspek sosial yang dimilikinya adalah dengan menanamkan rasa ukhuwah (persaudaraan) dan kebersamaan diantara mereka, dan pelaksanaan ibadah shalat secara berjama’ah adalah dalam rangka untuk menumbuh-suburkan rasa persatuan dan kebersamaan diantara umat.
-          Ketika seseorang melakukan shalat secara berjama’ah, sesungguhnya kebersamaan itu terjalin bukan sebatas sesama umat manusia saja, akan tetapi kebersamaan dalam berdoa dan bertasbih kepada Dzat pencipta yang Esa juga terjalin antar segenap ciptaan-Nya baik yang di bumi maupun yang di langit, dan  pemakaian shighat al jam’i (format orang banyak) pada kata " نعبد " diatas menunjukkan akan hakekat tersebut. Difirmankan dalam Al Qur’an :
(Tidakkah kamu tahu bahwasannya Allah, kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya, dan Allah maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.
Demikianlah, bagaimana sebuah huruf secara teliti dan detail dipilih, sebagaimana terdapat rahasia dan hikmah Ilahiyyah dalam setiap peletakannya dalam redaksi Al Qur’an, ini semuanya menjadi bukti penguat akan kemu’jizatan Al Qur’an pada aspek bahasanya. 
Kedua, aspek konotasi kata dan rahasia yang terkandung di dalamnya.
Kita ketahui bahwasannya para ulama berbeda pendapat dalam hal ada tidaknya konsep At Taraduf (sinonim) kata dalam sebuah bahasa, dalam konteks bahasa arab konsep tersebut dapat kita temukan walaupun dalam jumlah yang sangat sedikit, dikarenakan mayoritas kata yang dianggapnya memiliki kesamaan makna, sesungguhnya memiliki pembeda antara satu dan yang lainnya, seperti penggunaan kata " القعود " dan " الجلوس " atau antara kata " الخوف " dan " الخشية " yang oleh banyak pihak dinyatakan sebagai sebuah bentuk At Taraduf, padahal tidaklah demikian pada kenyataannya.
Akan tetapi dalam konteks Al Qur’an, bisa kami katakan tidak terdapat dalam setiap redaksi yang dipakainya dua kata yang berbentuk At Taraduf secara mutlak, dikarenakan Al Qur’an dalam setiap uslub yang dipakainya selalu memperhatikan secara detail akan perbedaan yang terdapat dalam setiap kata, disamping penaruhan setiap kata dalam Al Qur’an juga disesuaikan dengan konteks dan maknanya.   
 Sebagai contoh adalah penggunaan dan pemilihan Al Qur’an kata " حرث " ketika hendak mengumpamakan isteri-isteri bagi suami mereka, dan tidak menggunakan beberapa kata yang lain, seperti kata " الأرض " atau " الحقـل " dan yang sejenisnya dari kata-kata yang memiliki kedekatan makna dengannya. Yakni dalam firman-Nya :
 (Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki).
Kalaulah kita perhatikan, penggunaan dan pemakaian Al Qur’an kata " حرث " pada ayat diatas dan bukan yang lainnya dari kata-kata yang memiliki kedekatan makna dengannya, dikarenakan terdapat sebuah perumpamaan yang indah, tepat dan halus dalam menggumpamakan antara hubungan seorang petani dengan ladangnya dan seorang suami dengan isterinya, dan antara buah yang dihasilkan oleh ladang tersebut dan buah yang dihasilkan oleh seorang isteri, demikian pula persamaan yang terdapat diantara keduanya berupa proses perkembang-biakan, pertumbuhan dan pemakmuran.
 Rahasia dan hikmah yang terkandung dalam penggunaan kata " حرث " pada ayat diatas inilah yang tidak kita dapatkan pada kata-kata selainnya, walaupun secara makna kata-kata tersebut memiliki kedekatan. Dikarenakan kata " الأرض " bisa saja berupa tanah yang tandus yang tidak pas dan efektif untuk dijadikan sebagai lahan untuk bercocok-tanam. Demikian pula kata " الحقل ", dikarenakan makna kata ini tidaklah menunjukkan akan sebuah proses dan usaha dari si pemiliknya, melainkan kata tersebut menunjukkan akan sesuatu yang sudah jadi dan siap, tidak ada di dalamnya proses penanaman bibit oleh si pemiliknya.
Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwasannya Al Qur’an dalam memilih kata-kata yang memiliki kedekatan secara makna, ia memilih mana diantaranya yang paling pas, akurat dan tepat dalam menggambarkan makna yang dimaksudnya, disamping juga mana diantara kata-kata tersebut yang terindah dan terenak dalam pendengaran dan pengucapannya.
Ketiga, aspek uslub kalimat dan rahasia yang terkandung di dalamnya.
Sebagai contoh adalah firman Allah SWT: (Dan jika mereka ditimpa sedikit saja adzab tuhanmu)
Kalimat dalam firman Allah SWT tersebut sejatinya dipaparkan untuk memperlihatkan adzab-Nya kelak di akherat dan betapa sekecil apapun itu adzab, ternyata pengaruh dan rasa sakit yang dapat ditimbulkannya sangatlah hebat dan luar biasa sehingga mereka yang kerap berbuat zhalim pun ketika dihadapkan dengan semacam adzab tersebut, mengumpat diri mereka sendiri dan mengakui akan kezhaliman yang kerap mereka lakukan sewaktu di dunianya. Atas dasar itulah kita dapatkan semua komponen kalimat diatas menunjukkan akan sesuatu yang kecil dan sedikit, akan tetapi memiliki efek jera yang sangat hebat dan luar biasa, dan pengungkapan dengan semacam redaksi tersebut membuktikan akan kebenaran rahasia Illahi yang terkandung dalam kalimat tersebut :
-          Kata " لئن " menunjukkan keragu-raguan, ketika seseorang melakukan sesuatu dibarengi dengan sikap ragu berarti ia melakukannya dengan sedikit dan tidak banyak, karena ia masih mencoba-coba antara melakukan atau tidak melakukan.
-          Kata " مسّ " yang berarti mengenai dengan sedikit, hal ini tentunya juga menunjukkan akan sesuatu yang sedikit.
-          Kata " نفحة " materinya berupa bau yang sepintas lalu, dan ini menunjukkan sesuatu yang sedikit, sebagaimana bentuk katanya yang menunjukkan akan sesuatu yang satu, yakni yang satu dan kecil, apalagi harakat tanwin pada kata " نفحة " yang bersifat nakirah dalam bahasa arab juga menunjukkan akan sesuatu yang sangat kecil sekali sehingga tidak dapat diidentifikasi dan diketahui.
-          Kata " من " berarti sebagian atau bagian dari sesuatu, hal ini juga menandakan akan sesuatu yang sedikit.
-          Kata " عذاب " menginspirasikan akan sesuatu yang ringan dari sebuah hukuman bila dibandingkan dengan makna yang terkandung dalam semacam kata " النكال " atau " العقاب " , hal ini juga menandakan akan sesuatu yang sedikit dan ringan.
-          Kata " ربك " digunakan dalam redaksi ayat diatas dan tidak digunakan semacam kata  " القهار "" الجبار " atau " المنتقم " juga untuk mengesankan kepada segenap pembaca, bahwasannya adzab yang diturunkan barulah sebatas adzab yang ringan, dikarenakan kata " ربك " itu sendiri mengandung makna belas kasih sayang.
Demikianlah bagaimana sesungguhnya redaksi kalimat pada ayat diatas semuanya menunjukkan : kalau saja adzab tuhan yang baru sedikit dan ringan sangatlah pedih dan membekas, maka bagaimana gambaran akan pedih dan dahsyatnya adzab tuhan itu secara keseluruhan? Demikianlah dapat kita perhatikan bagaimana terjadi sebuah korelasi yang sangat apik dan rapi dalam sebuah redaksi kalimat Al Qur’an, dimana terdapat kekompokan dalam semua komponen yang terdapat didalamnya, sebagaimana setiap komponen yang terkandung di dalamnya juga saling mendukung dan menyatu dalam mencapai sebuah maksud yang hendak dicapai.
Embrio penafsiran metode susastra tersebut sudah ada sejak zaman Nabi, contohnya adalah ketika Nabi SAW ditanya tentang surat Al-Baqarah 187: “Maka makan minumlah engkau hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar”. Nabi kemudian ditanya oleh Uday bin Hatim: “apakah dua benang tersebut seperti benang yang sudah dikenal, yakni benang hitam dan putih?” Nabi menjawab: “Yang dimaksud benang hitam adalah gelapnya malam dan benang putih adalah terangya siang. Peralihan makna frasa dari benang hitam dan benang putih menjadi gelapnya malam dan terangnya siang merupakan perubahan makna dari yang asasi menjadi makna majaz.
Jika ada dua lafal untuk satu makna atau untuk satu benda, niscaya lafal yang satu memiliki kekhususan yang tidak dimiliki lafal lainnya, kalau tidak demikian niscaya lafal yang lainnya itu sia-sia, lafal yang banyak itu hanya merupakan sifat. Misalnya, dikatakan makna batu memiliki 70 lafal, makna singa 500 lafal, makna ular 200 lafal dan makna pedang 50 lafal.[13]
Bintu al Syati telah berusaha membuktikan bahwa taraduf atau sinomin tidak ada dalam al Qur’an. Sebagai contoh lafal ru’ya (رؤيا) dan ahlâm(اخلام) yang sering diartikan sama. Lafal ahlâm ditampilkan dalam al Qur’an tiga dalam bentuk plural, dan didahului lafal adgâs (اضغاث) (membangunkan), sedangkan lafal ru’ya ditampilkan dalam tujuh kali dalam bentuk tunggal dan semuanya dalam kontek mimpi yang benar.[14]
Demikian halnya lafal zauj, (زوج) lafal zauj dalam al Qur’an hanya ditampilkan dalam kontek kehidupan suami istri yang penuh kasih sayang dan memiliki keturunan seperti surah al Rum (30 : 21) dan al Furqân (25 : 74). Sedangkan untuk kehidupan keluarga yang tidak berjalan kasih sayang karena ada khianat atau perbedaan aqidah, diungkapkan dengan lafal Imraah seperti dalam surah Yusuf (12 : 30, 52) al Tahrim (66 : 10-11). [15] Demikian pula lafal-lafal yang lain seperti, halafa(حلف) dan aqsama(اقسم) , al khusyu’ (الخشوع)dan al khasy (الخشي) , al ins (الإنس)dan al insanالإلنسان),(al ni’mah (التعمة)dan al naim (النعيم)dan lain-lain.[16]
Di dalam al-Quran terdapat pula homonim yaitu kata yang bunyinya sama tetapi mengandung arti dan pengertian yang berbeda[17]. Lafal quru (قروء) adalah salah satu homonim dalam al-Quran yang terdapat dalam surat al-Baqarah (2) : 228. Al-Syafi’i mengartikannya suci, sedangkan Abu Hanifah mengartikannya haid. Kedua pihak mengemukakan argumentasi yang kuat. Menurut al -Syafi’i, secara etimologis quru’ artinya menahan. Keadaan suci bagi wanita itu hakekatnya adalah menahan darah, sedangkan haid mengeluarkan darah. Disamping itu lafal quru’ didahului lafal bilangan salasata (feminim) yang mengharuskan kata benda yang dihitungnya berbentuk maskulin yang tiada lain adalah quru’ dalam pengertian tuhrun (طهر) (suci).

C.    Keistimewaan Dan Kelemahan Tafsir  I’jaz al-Bayani
Keistimewaan:
1.      Bintu Syati’ merupakan intelektual Islam yang banyak memberikan sumbangsih pikirannya untuk kemajuan ilmu tafsir. Analisa teks yang beliau terapkan dalam tafsirnya, banyak diikuti oleh penafsir-penafsir saat ini. Metode ini lebih relevan dan realistis untuk diterapkan, karena disamping lebih tepat dengan kondisi sosial masyarakat saat ini, juga dapat memahami gagasan dalam Al Qur’an secara utuh (tidak parsial).
2.      Dalam tafsirnya, beliau kerap kali menyebutkan komentar-komentar beberapa ulama zaman dahulu seputar analisa teks mereka, kemudian memberikan koreksi dan pembenaran. Terutama dalam pembahasa diksi dalam Al Qur’an.
3.      Ayat-ayat yang setema disusun berdasarkan kronologi pewahyuannya.
Kelemahan:
1.      Pada langkah ketiga, jika pemahaman lafaz al-Qur’an harus dikaji lewat pemahaman Bahasa Arab yang merupakan bahasa “induknya”, padahal kenyataannya, tidak sedikit istilah dalam syair dan prosa Arab masa itu tidak dipakai oleh al-Qur’an, maka itu berarti membuka peluang dan menggiring masuknya unsur-unsur tafsiran asing ke dalam pemahaman al-Qur’an; sesuatu yang sangat dihindari oleh Bint al-Syathi sendiri.
2.      Bint al-Shati’ kurang konsisten dengan metode penafsiran yang ditawarkan, yakni mengkaji tema tertentu, melainkan lebih pada analisis semantik. Kenyataannya, ketika Bint al-Syathi menafsirkan ayat-ayat pendek, ia mengumpulkan lafazh-lafazh yang serupa dengan lafaz yang ditafsirkan, kemudian menganalisis dari sisi bahasa (semantik). Di sinilah Bint al-Shati’ banyak menuai kritik karena tidak konsisten dengan metode yang dikemukakannya. Dengan demikian, meskipun metode tematik yang ditawarkan sangat bagus dan kompleks, ia tidak dianggap sebagai pencetus metode tematik.



BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Untuk memahami Al-Qur’an maka harus dicari arti linguistik aslinya untuk menangkap pesan moral dan hidayah Al-Qur’an. Pentingnya menata atau menertibkan ayat-ayat dalam menafsirkannya. Masing-masing surat memuat tema yang berbeda yang dapat dijumpai dalam surat lain.
Bintusy Syathi’ adalah mufasir era kontemporer dengan keahliannya dalam bidang sastra, maka beliau mengangkat penafsiran ayat-ayat al Qur’an dengan menonjolkan segi semantik. Metode yang digunakan adalah dengan munasabah dan tidak terlalu berkutat pada asbabun nuzul suatu ayat. Beliau berusaha seobyektif mungkin membiarkan teks al Qur’an berbicara dengan sendirinya.
Pendekatan yang dipakai oleh Bint al-Syathi’ adalah tafsir tahlily dengan metode tafsir bil-adabi. Tafsir Adabi adalah analisa teks dengan mengungkap sisi sastra yang terkandung didalam Al Qur’an.
Setelah mengetahui teori Asinonimitas yang dibawa Bint al-Syati' di atas, ternyata penulis dapat menyimpulkan bahwa teori ini pada dasarnya menyatakan bahwa tidak ada sinonim murni di dalam al-Qur'an, karena setiap element, baik kata, struktur atau kalimat yang ada di dalam al-Qur'an mengandung i'jaz bayani, yang kemudian apabila setiap element kata tersebut diganti dengan yang lainnya, maka al-Qur'an pasti akan kehilangan efektifitasnya, ketepatannya, ke-indahannya dan esensinya.


DAFTAR PUSTAKA

Aisyah Abd al Rahman Bint al Syati. 1971. al I’jaz al Bayan li al Qur’an. Kairo : Dâr al Mâarif.
__________________________­­­­___. 1996. Tafsir Bint al-Syathi, terj. Muzakir. Bandung: Mizan.
Al-Suyuthi. 1313. Dur al-Mansur, Kairo: Dar al-Ma’arif.
Henri Guntur Tarigan. 1986. Pengajaran Semantik. Bandung : Angkasa.
Ichwan, Moch. Nur. 2003  Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an; Teori Hermeneutika Nashr Abu Zayd. Jakarta Selatan: Penerbit Teraju.

Muhammad Amin. 1992. A Study of Binth al-Shati Exegesis. Kanada: Tesis Mcgill.
Muhammad Yusron. 2006. Studi Kitab Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: Teras.
Supiana dan M. Karman. 2002. Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir. Bandung: Pustaka Islamika.





[1]Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an; Teori Hermeneutika Nashr Abu Zayd. (Jakarta Selatan: Penerbit Teraju, 2003), 45.
[2] Supiana dan M. Karman, Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir (Bandung: Pustaka Islamika 2002), 225.
[3]Muhammad Amin, A Study of Binth al-Shati Exegesis (Kanada: Tesis Mcgill, 1992), 6.
[4]Issa J. Boullata, Tafsir al-Qur’an Modern Studi atas Metode Bint al-Syathi, dalam Jurnal Al-Hikmah, (no. 3, oktober 1991), 6.
[5]Ibid., 11.
[6]Ibid., 8
[7]Muhammad Yusron, Studi Kitab Tafsir Kontemporer,(Yogyakarta: Teras, 2006), 24.
[8]Al-Suyuthi, Dur al-Mansur, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1313 H), 7.
[9]A’isyah Bint al-Syathi, Tafsir Bint al-Syathi, terj. Muzakir (Bandung: Mizan, 1996), 35-36.
[10]Muhammad Amin, A Study of Binth al-Shati, 32.
[11]A’isyah Bint al-Syathi, Tafsir Bint al-Syathi, terj. 30.
[12]Aisyah Abdurrahman, Al I’jaz Al Bayani Fi Al Qur’an Wa Masail Nafi’ Bin Al Azraq, Penerbit : Al Ma’arif, hal.122, cet. 1971 M.
[13]Aisyah Abd al Rahman Bint al Syati, al I’jaz al Bayan. 213.
[14]Ibid., 215.
[15]Ibid., 229.
[16]Ibid., 221, 226, 233, 235.
[17]Henri Guntur Tarigan , Pengajaran Semantik, (Bandung : Angkasa, 1986), 30.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar