1.
Pondok Pesantren Darul Qur’an Wal Hadits.
Pondok Pesantren Darul Qur’an Wal Hadits, salah satu
pondok tempat menimba dan mendalami
ilmua agama islam. Bertempat di sebuah desa yang masih aman dari keramaian
kota, telaga lebur, loang balok yang didirikan oleh Al-Ustadz Muna’am alumni Ar-Roisiyah
Sekarbela ampenan, Mataram. Beliau asli
putra telage lebur yang ikatan keluarga dekat dengan ayahku. Pondok pesantren
Darul Qur’an Wal Hadits dibangun pada tahun 1998 dengan sumabangan suwadaya
masyarakat sekecamatan sekotong. Bangunan didirikan ditengah-tengah masyarakat
yang masih awam, penuh mistis, temapat itu terkenal dengan kampung tukang
sihir. Seiring dengan di bangunannya pesantren ini berangsur-angsur pula ilmu
dan tukang sihir itu lenyap menghilan, bangunan pesantren ini berangsur-angsur
bertambah mulai satu lokal, dua, tiga, empat sampai sekarang bangunannya ada
yang sudah lantai dua. Berkat kegigihan jerih payah dan keikhlasan sang ustadz
dalam membangun pondok pesantren sebagi tempat menimba ilmu-ilmu agama yang
sekaligus sebagai ciri khas sekolah bernuansa islami.
Pada awal pembangunannya sebagaian masyarakat mencemooh,
mengejek ada yang secara terang-terangan melempar bangunan dengan batu karena
tidak senang, segala cobaan selalu datang, kadang-kadang siswa dilarang sekolah
kepesantren, sewaktu-waktu jembatan yang menghubungi satu kampung dengan
kampung telaga tempat pesantren dirusak oleh oknum yang tidak suka dengan
pembangunan pesantren jembatan sengaja dirusak denagan tujuan agar anak-anak
yang mengaji dan sekolah tidak dapat lewat sekaligus tidak senang denagan
ustadz.
Sejalan dengan waktu masyarakat mulai sadar tidak
mengejek walaupun sebagian masih tidak suka denagan sang ustadz. Sang ustadz
tidak patah semangat, beliau mencari murid diluar sambil mengisi pengajian tak
lupa mempromosikan pondok pesantren. Alhasil murid dari luar semakin banyak
pesantrenpun makin dikenal. Dimasa awal-awal sumber murid yang datang dari luar
diantaranya: dari dusun Temeran, Tembowong, Batu Kumbu, Kambeng dan Langko (Lombok
Tengah). Santri-santri dari kampung inilah yang paling awal ikut memperjuangkan
pondok pesantren. Sejalan denagn kepercayaan masyarakat luar pondok pesantren
Darul Qur’an Wal Hadits resmi mendirikan sekolah formal Madrasah Tsanawiyah
yang muridnya tidak kurang dari dua belas orang, dengan aktivitas ngaji dan
sekolah sampai-sampai bangunan tidak lagi menampung tempat. Ahirnya sang
Ustadz meminta izin agar kegiatan
sekolah di musholla kampung saat itu,
tidak lama berjalan masyarakat setempat melarang sekolah dimusholla dengan
alasan ribut dan mengotori musholla, ustadz lalu minta izin ke sekolah SD (SDN
4 telage lebur dulu), untuk kegiatan belajar mengajar. Tidak lama lagi santri
yang sedang belajar di suruh keluar dan tidak menggunakan bangunan SD. Ke esokan
harinya pintu ruangan SD dikonci. Semua santri akhirnya belajar dirumah sang
ustadz dengan serba kurang. Namun semangat santri-santri ini membuat sang
ustadz tidak putus asa dan berkecil hati untuk terus membangun walau seribu
rintangan membentang depan mata. Tetap berjuang hingga semua rintangan hilang
berahir dengan kebosanan.
Semakin tahun santri berdatangan dari berbagai penjuru
desa, pada tahun kedua pondok pesantren darul Qur’an resmi dapat izin
pemerintah untuk dirikan sekolah Tsanawiyah. Tiga tahun berikutnya sang ustadz
mendidrikan Madrasah Aliyah. Sampai genap Pondok Pesantren Darul Qur’an Wal
Hadits mendirikan lembaga pendidikan formal mulai dari MI (Madrasah
Ibtidakiyah), MTs (Madrasah Tsanawiyah) dan MA (Madrasah Aliyah) Sedangkan yang
nonformal yaitu TPQ, Diniyah, Panti Asuhan
dan Majlis Tak’lim.
a.
Bumbu-Bumbu Pondok
Pesantren
Sejak tahun ke dua dan baru kelas 2 Tsanawiyah, saya dan
teman-teman menjalani hidup di asrama yang jauh beda dengan suasana di rumah
mulai dari makan, tidur, mandi, ngaji dan sekolah semua serba atuaran, suatu
saat pernah makan tanpa sayur, kadang-kadang pakai garam dan sambal, maklum
waktu itu belum ada kos-kosan yang jualan nasi. masak sendiri-sendiri, sudah
tak asing dan tak jarang masak pakai kayu, sandal dan lain sebaginya, waktu
musim hujan santri sebagian besar tidur dimusholla, karena diasrama bocor, tak
menampung dan tak nyaman, waktu itu asrama laki-laki dengan perempuan
berdekatan, lalu lalang saling lihat dan saling sapa. mandi di satu jeding
saling gantian. Sewaktu-waktu yang laki mandi di sungai.
Aktivitas ngaji selalu aktif yang terlambat di hukum (tahkim),
sekolah juga demikian tak luput dari incaran guru dan ustadz bagi yang malas
dan tidur di pagi hari, yang terlambat bangun subuh disiram, kemudian dihukum.
Semua berjalan dengan apa adanya, selama 6 tahun, pernah suatu malam kakak
kelas kethuan nonton TV kebetulan aku tidak ikut nonton waktu itu karena tak
seneng keluar, langsung malam itu ustadz mengetahuinya dan langsung mengamuk,
pondok-pondok di lempar batu, ada satu kakak kelas namanya suparman dari
temeran dilempar batubata dan kena kakinya, hingga luka parah karena berusaha
lari, semua santri yang keluar pondok pust up di depan kamar asrama,
yang tidak nonton ikut juga karena tidak memperingati yang lain Satu Makan
Nangka Semua Kena getahnya itulah pepatah yang populer saat itu. Ada santri
yang ditemukan merokok dikumpulkan kemudian dihukum didepan santriwati, yang
ditemukan pacaran di sidang, yang ketahuan bolos pulang didenda, yang tidak tepati
janji di botak, setiap pagi nyapu bersih-bersih pungut sampah sebelum masuk
sekolah. Semua ini tujuannya agar semua santri mentaati aturan, tidak
manja dan disiplin waktu.
b.
Kitab Hijau Pondok Pesantren
Setelah empat tahun dipondok pesantren semakin dikenal
dan disayang ustadz. Suatu saat diajak knaik ke gunung punyanya ustadz, represing
menyegarkan pikiran bersama ustadz dan keluarganya dan lima temanku lainya
(Ramdhan, Mansyur, Fauzi, Isa dan Edi).
Di atas gunung ternyata udaranya segar, pemandangan indah
bebas lepas rasa jenuh, letih pun hilang seketika. seminggu kemudian Saya dan
Muhadits (kakak kelas) dipanggil untuk mengasah parang yang baru saja dibeliin
dari pasar. Pada hari minggu aku, Muhadits, Ramdhan, dan Fauzi dipanggil diajak
kegunung naik babat semak belukar (ngawas) digunung untuk rencana tanam pohon jati, suasana lain dipondok santri diajak bertani.
Ahirnya setiap hari Minggu naik kegunung kadang-kadang pulang sekolah langsung
dipanggil disuruh naik kegunung. Saking seringnya naik gunung aku makin
disayang ustadz karena pandai dan sangat rapi bekasnya membabat semak-semak
belukar, pada ahirnya aku dan teman ( Ramdhan, Mansur, Zainudin dan Fauzi )
dipercayakan jadi ketua didalam mengontrol teman-teman yang lain saat jadwal
naik gunung.
Disini aku dan teman-teman sangat saling menghormati dan
saling menghargai bagai satu keluarga besar sampai nanti ahirnya kami harus
berpisah. Waktu membuktikan kami punya ide dan tak gengsi Kayu kosta yang
besar-besar yang ditebang di bawa pulang untuk di jual hasil jualannya dibagi bagi. Singkat waktu
setelah selesai membabat disusul dengan di tanami pohon jati. Yayasan dapat sumbangan dari Pondok Pesantren Nurul
Hakim kediri. Sesekali kami dipercaya membawa santriawan/santriwati untuk bantu
membawa bibit dari pondok ke gunung dua kali sehari. Selama tiga bulan
berturut-turut kami setiap hari selesai sekolah langsung naik gunung menanam
sampai-sampai membuat rumah digunung (lelanjong), dengan ahlinya
Ramdahan dan Mansyur sebagai tempat berteduh dan istirahat, waktu membuat
lelanjong aku hamir jatuh karena salah injak kayu yang dipasang jadi usuk belum
diikat. Teman-temanku tertawa dengan girang, pembuatan lelanjong berlanjut
hujan-hujanan tak lama sehari tiang dan rangka lelanjong jadi tinggal atapnya.
Keesokan harinya atapnya kita bawakan dari pondok Alhamdulillah
ahirnya lelanjong pun jadi. Saking seringnya bolak balik Selama memanam pohon
jati lima orang ini sangat dikenal warga sekeliling sampai sampai dikatakan
agak diejek sekolah untuk menjadi petani tapi kita tidak hiraukan, bahkan suatu
saat sempat tidak dikasih lewati tanah salah satu warga karena saking banyaknya
santri yang lewat dan ribut. Orang itu masih ada ikatan keluarga sama kakekku,
karena tanah itu milik kakekku yang di sandak (gadaian).
Ada duka ada tawa silih berganti waktu terus
berjalan kami berlima orang setiap musim
hujan naik kegunung untuk mengontrol tanaman mulai dari merambat, bertanam,
membersihkan, memberi pupuk kandang dan pupuk daun. Bisa di bilang inilah kitab
hijauku dan teman-temanku saat itu. Sekarang terkenal dengan Hutan Jati yang
tercatat sepuluh ribu batang dalam tiga hektar. Dujung perjalan satu persatu
temanku selesai dan pulang. Kak Muhadits dari kambeng, kak Ramdhan, Mansur,
Isya dari bun beleng Mareje, Zainuddin dari sesauh. Fauzi dari gawah pudak
Tembowong. Teman-temanku ini pahit manis pondok sudah dirasakan, disamping ada
temen-teman yang lain yang ikut mengambil peran yang tidak bisa ku sebutkan.
Sampai kapanpun mereka adalah saudaraku, semoga kita ketemu suatu saat nanti
dalam silaturrohmi ke pondok pesantren
Darul Qur’an Wal Hadits, Saat ini bukit itu sudah tertutup oleh hijaunya
tanaman jati yang kerap terkenal dengan gunung jati.
c.
Batu Jaran
Selain akivitas sekolah ngaji waktu istirahat aku,
Ramdhan, Isya, dan Mansyur sering mandi dikali (Batu Jaran) dan membuat
sumur di kali batu jaran kebetulan pondok pesantren kala itu selama enam
tahun belum punya WC, BAB para santri
sering membawa konflik dengan masyarakat sekitar, karena buang kotoran dikebun
milik masyarakat, BAB santriwati di kali batu jaran mudi (hilir), yang
santriawan dikebun, kadang-kadang kesungai batu jaran julu (hulu) maklum pondok
pesantren masih dipedesaan. Hampir setiap hari mandi ke batu jaran, bahkan ada
yang jadikan batu jaran sebagi tempat menghafal kitab selesai sekolah makan
langsung kebatu jaran yang rindang aman untuk tempat menghafal. Sedangkan aku,
Ramdhan dan mansur sering masak disana buat bubur/ beor (jajan paporit santri)
disamping membuat tempat mandi disalah satu sudut sungai yang airnya jernih dan
bersih, Sewaktu-waktu sepulang sekolah mencari ikan sama Ramdhan Dan Mansur
sebagai lauk, mencari udang malem-malem setelah mengaji isya’, dihari libur tak
jarang menangkap ikan dan udang bersama ustadz pakai jaring pencar (mencar),
kadang-kadang pakai racun udang di atas sungai batu jaran.
Batu jaran adalah nama sebuatan batu besar yang berbentuk
kuda putih ditengah-tengah sungai, konon ceritanya sangat mistis di tempat itu
sering muncul jin yang disebut dewi anjani, (Salah satu jin perempuan yang
menunggu batu itu dari gunung rinjani), diatas batu itu tempat para tokoh tabib
membuat pupus obat-obatan, orang sering sakit kalau mengolok-olok bati itu
dengan menunggangnya.
d.
Berkah Secangkir Kopi
“Gagasan Syabuni sebagai ketua pondok setiap hari semakin
berkembang, ide-idenya sangat tajam walau terbilang anak kampung yang sangat
sederhana, tetapi ia sangat kreatif,” itulah kata ustadz tohri salah satu pembina
santriawan.
Suatu hari aku ditawari sama salah seorang warga (Tuak
Bahri) untuk dibangunkan sumur tempat mandi, karena kasian sekali lihat semua
santri yang keluyuran mandi dan nyuci ke jeding-jeding warga, sebagian santri
mandi di jeding masjid, batu jaran dan dikali samping pondok dengan membuat
penutup seadanya.
Mendengar tawaran itu saya langsung menerimanya namun
sebelum kerja minta izin kepada ustadz pimpinan pondok, namun jawabannya masih
ragu-ragu. Disatu sisi aku tidak berani menyampaikannya kepada tuak bahri, pada
pagi hari senin tuak bahri datang kepondok dan siap menggali... aku agak panik
karena belum dapatkan izin ustadz, tapi aku tidak ngomong tentang tidak
diizinkan.
Pada pagi itu juga langsung gali sumur posisinya dekat
bak penampung air PDAM pinggir jalan raya. Setelah diketahui, ustadz langsung
memanggil ketua pengajian yang waktu itu
kakak kelas ku yang jadi ketua pengajian (M Tohri) yang jauh lebih senior,
beliau ditanya tentang galian sumur itu.
ahirnya aku dimarahi, tidak direspon dicuekiin beliau menyuruh ketua pengajian
mengontrol semua santri agar tidak ikut bantu, selama sehari ustadz tidak
keluar mengintrol santri diam dalam rumah, sementara aku dan tiga teman
sejatiku sekaligus teman pembiana (Zainudin, Mansur dan Ahmad Fauzi) ikut kerja
membantu sebagaian pembina lainya diam tidak membantu, ternyata tuak bahri tau
kalau ustadz marah, namun tidak mengurungkan niatnya karena sudah terlanjur,
akupun memintakan tuak bahri secangkir kopi kepada puk/nenekku Rame, nenekku
yang kebetulan rumahnya tidak jauh dengan Madrasah. Setengah hari belangsung
tuak bahri pulang makan dan segera kembali dengan membawa ember besar dan pipa
ukuran besar. Galian sumurpun berair dengan kedalaman sekitar tujuh meter. Tuak bahri memintaku mencari
batu sebanyak-banyaknya, kamipun turuti setelah shalat asyar kami minta waktu
untuk libur ngaji dan pergi ambil batu semua santri yang setuju untuk ikut
kerja cari batu yang tidak setuju diam. Semua santri ikut mengambil batu dari
kali batu jaran sementara ustadz tidak keluar rumah. Batu-batu itu dipakai
untuk menimbun sumur itu kembali, kami bingung namun setelah dijelasiin
ternyata sumur timbun yang dalamnya dikasih ember dan pipa yang besar. kamipun
puas dengan ide itu karena tidak butuh dana besar seperti gumbleng dan lain
sebagainya. Menjelang magrib sumurpun sudah ditimbun rata seperti semuala hanya
ada pipa aja. Kami bertiga berterima kasih banyak ke pada tuak bahri yang tidak
mau diupah malah beliau menawarkan kami bertiga untuk makan malam dirumahnya.
Setelah magrib ustadz baru keluar bersama para santriwati langsung kumpul di musholla,
beliau sedikit kecewa dengan menyindir kami sambil bertanya kenapa sumur itu
ditimbun kembali. Seketika itu ruangan terasa sunyi sedikitpun tidak ada santri
yang menjawab sementara kami bersembunyi dibelakang adek-adek santri.
Teman-teman pembina yang lain menjawab
“sumur pipa pak..! sedot pakai mesin” baru suasana sedikit sejuk
langsung suasan sedikit cair beliau pun siap menyumbangkan mesin air ke esokan
harinya dan menyuruh Mansur memasang mesin itu. Beberapa bulan pam itu
beroprasi sebagai tempat ambil air minum, wudhu dan nyuci.
e.
Awal ada WC di Pondok
Setelah satu tahun setelah lulus dari Madrasah Aliyah,
semakin dipercaya mengurus santriawan, diangkat jadi guru bantu di Madrasah
Ibtidakiyah dan Madrasah Aliyah, saat itu
ku berperinsif belajar sambil mengajar sambil mengabdikan diri kepada
pesantren (khidmat), sebagai bentuk kepedulian kepada pondok bersama Mansyur
yang kebetulan tinggal kami berdua pembina yang senior dan betah dipondok waktu
itu pembina yang lain begitu selesai Aliyah langsung pulang dan ada sebagian
pembina yang keluar dari pondok dengan kesan yang kurang baik, kami bermusyawarah untuk membuat sumur dan
WC. Dengan dana iyuran sama-sama 25.000 per santri. Setelah para santri sepakat
hatiku lega laksana berada ditaman surga setelah itu kami bentuk kepanitiaan
penanggung jawab sekaligus ketua (Aku dan Mansyur), bendahara L. Mahyadi, sekertaris Hamdhan, setelah semua rampung,
kami menghadap ke Ustadz untuk minta restu dan izin, namun darimana beliau tau
ide itu, sebelum kami mengutarakan maksud, Beliau mendahului pembicaraan dengan
menyuruh buat sumur dan jeding dan nanti akan di bantu. Maklum waktu itu
saatnya pemilihan kepala desa sekotong tengah.
Semua santri mengeluarkan iyuran dana sebanyak yang
disepakati sehingga terkumpul uang sebanyak 300.000 sebagai dana awal disamping
itu melihat dana yang masih kurang kami membuat lis donatur untuk minta
sumbangan kepada orang-orang yang punya perhatian kepada pondok, tak berselang
lama dana ahirnya terserap dari kepala camat sebanyak 1.000.000, Mamiq H. Darliadi sebanyak 300.000, dari pak guru
Muhsin 50.000 dan H. Miin taun 50.000,
sementara calon kepala desa yang sekaligus guruku waktu di MTs dulu
menyumbang Closet 2 set dan pipa 2 biji. Setelah dana terkumpul dengan peroses
yang panjang segala cara agar dapat bantuan dan jeding bisa jadi. kami mulai
mencari batu bata ke lembar, kebon talo, tetapi harganya sangat mahal. Ahirnya
kami membeli batu bata sebanyak seribu di telaga lebur desa dekat dengan
pondok, dengan alat seadanya penggalian
sumurpun dimulai, yang gali sumur bukan ahlinya atau orang lain, tetapi aku,
mansyur dan semua santri aliyah yang besar-besar terjun saling ganti. Tempatnya
dibelakang pondok sebelah timur, pinggir sungai samping jembatan, hampir siang malam menggali tak kenal berhenti. Setelah
kedalaman delapan meter mulai menemukan air setelah itu galian pun selesai
dengan kedalaman sembilan meter. Kemudian kami buat beli gesik disekotong, beli
semen sebanyak sepuluh sak diawal, peroses pembuatan gumbleng dimulai saudara
mansyur tampil namun dari satu sak semen yang jadi gumblengnya hanya satu,
akhirnya kami putuskan untuk beli saja, setelah itu kami membeli gumbleng ke
tawun sekotong barat sebanyak 8 set dalam jangka satu minggu lebih sumurpun
jadi dengan kedalaman sembilan meter.
Setelah sumur jadi mulai
merancang bentuk jeding dan pada ahirnya disepakati dengan ukuran dua kali
delapan meter berbentuk L, setelah itu penggalian pondasi dimulai sampai
penembokan berjalan dengan apa adanya yang menembok teman-teman yang merasa mau
dan bisa, disisni aku belajar menembok, plester dan lain sebagainya, setelah
melalui waktu dan peroses yang panjang hampir tiga bulan jeding pun jadi dengan
kekompakaan dan keahlian saudara Mansur dan teman-teman lainnya yang tidak pernah
mengenal upah dan putus asa walau kadang-kadang dimarah oleh ustadz karena
kerja siang malam, pengajian jadi terbengkalai bahkan pernah tidak disuruh
melanjutkannya karena dianggap melalaikan, tidak bisa dan tidak mampu, awalnya
saat itu bendahara menagih ustadz yang meminjam uang jeding, setelah diminta
sang ustadz marah-marah dan menyuruh membatalkan buat jeding.
Diposisi yang serba
keterbatasan dan berbagai rintangan tekanan Jeding pun bisa terpakai dengan
keadaan yang belum pinis, dana habis, semangat kritis. Diputusiin jeding tidak
dikerjakan lagi dan mulai dipakai mandi, nyuci Semua santiawan tidak keluar
mandi lagi ke jeding masyarakat sekitar, kebatu jaran pun jarang, peraturanpun
mulai lancar Pondok sudah punya jeding dan WC dan itu awal ada jeding dan WC
sampai sekarang masih menyimpan kenangan.
f.
Mansyur
dengan Fit X
Setelah sembilan tahun menikmati suasana pesantren,
memiliki banyak teman dari mana-mana salah satunya yang masih setia mengabdi
siapa lagi kalau bukan yang bernama Mansyur dari bunbeleng, Mareje, kecamatan
Lembar, beliau kakak tingkat ku tubuhnya kecil tetapi otaknya penuh i’rob matan
jurumiyah, ahli bangunan, bahkan pernah dipercaya mengerjakan bangunan Madrasah
dan asrama mulai dari menembok, sampai buat jendela. Beliau salah satu pembina
yang terahir keluar dari pondok setelah diriku. Sebelumnya beliau sempat pulang
untuk berhenti namun aku mengajaknya balek kepondok. Sebelum ahirnya aku yang
berhenti udurkan diri. Sosok Mansyur yang sabar dan ulet ini menjadi suatu yang
khas membuat persahabatan terasa saudara. Setelah sama-sama diangkat mengajar
di Madrasah formal, kami mencoba keridit sepeda motor fit X dengan dana
patungan yang diperuntukkan untuk keluar mengajar kerambut petung dan batu
kumbu sekotong barat waktu itu aku belum bisa pakai sepeda motor, maklum anak
kampung yang sederhana dan jalan belum dibangun dan baru bisa memakai sepeda
motor setelah diajarin teman di pantai sesauh (buwun mass), dengan sedikit bisa ternyata banyak mendatangkan
musibah mulai pertama kali jatuh tabrak tiang bendera depan sekolah saat
mencoba keliling lapangan, kedua di tikungan batu leong sekotong baret saat
boncengan sama teman pulang ngajar dari rambut petung akibatnya celana sobek
lutut sedikit luka, disenggol L 300, ketiga di tikungan karang kerem saat pergi
mengajar kebatu kumbu hari sabtu, baju celana kotor sepanger motor belakang
rusak untung tidak luka perjalanan pun diteruskan untuk pergi ngajar, keempat
saat turun di jurang gerepek lembar, saat mau ke rumah sakit gerung menyusul salah
satu siswa yang di serepet truk disaat menyebrang kesekolah di batu kumbu, jari
tangannya terluka hamir putus ia langsung dirujuk ke rumah sakit gerung. Saat
itu aku percayakan diri jadi depan, boncengan sama Mansyur dari batu kumbu,
saat naympe jurang gerepek mau naik tanjakan sempat terpeleset dan hampir
tabrak torotoar pinggir gunung namun bisa ku kendalikan, akupun mekin PD saat
turun jurang gerepek... motor ku gas kencang karena tegang udah ketakutan,,,
sseeet motor meluncur kebawah tanpa direem mau lolos kejurang saat genting ku
panik motor dan mobil banyak saat pengkolan langsung putar setang kekanan dan
jedaaaaarrrrrrr... sssssstt... tak sadar, Mansyur dibelakang terpental beberapa
meter kedepan sementara aku masih diatas motor dada ku terpelandas kemotor kaki
terjepit aku menabrak seseorang yang mengendari sepeda motor fit S yang datang
dari bawah, namun aneh sekali motor ku tidak rusak hanya segi tiga obah
sedikit, sementara orang tua yang tertabrak itu pelex depan motornya rusak parah hancur sama sekali dan
istrinya pingsan, suasana sempat macet. aku takut dikiraiin mau dipukul. Orang
itu merengek marah-marah, mulutku hanyabisa bilang maaf pak,,, ampurayan pak,,,
sambil kesakitan kakiku bengak memar,Untung selang beberapa waktu saat itu
salah seorang guruku (Muharror) yang melintas dari bawah berhenti dan segera
mengakuiku beliau langsung menelpon memberitau ustadz pimpinan pondok, sang
ustadz pun segera datang bersama istri dan beberapa santriwati lainnya
dikiraiin kami luka parah setelah datang beliau langsung menegurku dan minta
maaf kepada bapak itu dan mau menanggung kerusakan. Langsung motor dibawa ke
bengkel Nyurlembang Gerung. aku naik L 300 sama mansur. Sementara ustadz
pengasuh pondok langsung kerumah sakit menjenguk murid yang terserepet tadi.
Aku dan Mansyur dibengkel setengah hari kakiku makin
membengkak dan mulai terasa sakit, Sementara menunggu motor diperbaiki aku
sempat canda tawa sama Mansyur untung tidak parah, Total kerugian 900.000
(sembilan ratus ribu) dibantu sama ustadz 500.000 (lima ratus ribu).
g.
Jatuh Sakit
Setelah beberapa bulan kemudian aku jatuh sakit, yakni
sakit perut (mencret) yang sangat parah,
hampir mati karena penyebab awalnya makan jajan tarek yang terbuat dari tepung,
yang baru matang digoreng dibawakan oleh salah satu pembina santriwati keruang
kantor kebetulan sedang kerjakan tugas setelah itu disuruh ustadz pergi naik gunung selesaiin
masalah santriwati yang pulang bolos gara-gara ustadz memarahinya, keluarga
santriwati ini tidak terima mereka keberatan dan melaporkan kasus ini ke polsek
sekotong tengah, sang ustadz dikasih tau sama pak Yasiin salah satu guru yang
ngajar di Madrasah Aliyah kalau beliau (ustadzku) akan dipanggil oleh kapolsek
sekotong untuk dimintai keterangan gara-gara memarahi santrinya, sang ustadzpun
meminta maaf lewat pak yasiin dan mengakui kesalahannya, sanggup dikenakan
denda kalau dimintai asal jangan dipanggil kepolsek, pak yasiinpun menyampaikan
salam ustadz kekeluarga santriwati ini, namun mereka tidak mau terima, dengan
berbgai macam lobian pak yasiin ahirnya mereka menerimanya dengan satu syarat
sang ustadz datang kerumahnya dan minta maaf baru damai. Sementara ustadz tidak mau kerumahnya beliau
masih takut dan ragu ahirnya aku dipanggil dan diutus kerumahnya, akupun
menurut dengan keadaan suasana hening selesai shalt asyar akupun berangkat
pakai motor Jupiter Z merah dengan teman, kamipun jalan dibonceng
melintasi jalan yang rusak dan
bebatuaan. Sesampainya di rumah santriwati ini kami beri salam dan
dipersilahkan duduk, ibunya memanggil anaknya yang laki-laki dan saudara-saudaraa nya spontan salah satu
saudaranya yang laki-laki ngomong dengan nada keras memaki-maki lagi emosi kami
jadi sedikit kecut dikiraiin mau dipukul kami
mulai memberanikan diri bicara, kami memulai dengan minta maaf dan
menceritakan kejadiaan sebenarnya dengan sedikit saling sambut suasana tegang sedikit redup setelah beberapa
lama disuguhkan kopi, kami dipersilahkan minum seleai minum kopi akhirnya
mereka mau memaafkan ustadz dan menarik kembali laporannya, spontan kamipun
berterimakasih dan pamitan jalan pulang. Sepulang dari rumah santriwati ini
pada malamnya aku sakit perut saat itu sekitar jam duabelas (12) malam, santri
yang lain sudah pada tidur, teman pembina pun terlelap, waktu itu aku tidur
bertiga dengan Mansur dan Hamdan dikantor, malam itu pun aku tak bisa tidur
karena mencret (sakit perut), selalu buang air besar terus, keluar masuk buang
air besar semalaman tak bisa tidur pas waktu mau wuduk untuk shalat subuh aku
lemas tenaga tidak ada mau jatuh, tapi disanggah sama santri yang wuduk
lainnya, aku tak sadar diri pingsan kehabisan tenaga, perut kosong, aku segera
dilarikan oleh pak dika ke rumah sakit sekotong, dengan dibonceng motor setiba
di rumah sakit langsung di kasih impus, waktu itu aku pasrah tak ada harapan
untuk hidup kembali, suara teman-teman yang menangis makin meyakinkan aku,
kalau umurku bakal sampai disitu, kondisi tubuhku drop, pucat, kurus, dirumah
sakit sekotong menghabiskan 2 infus, tak lama kemudian orang tua ku datang dari
gunung mula-mula ibu, ibu langsung menangis tak tahan melihatku yang drop kurus
yang hampir tulang saja saat itu, ibu mencium keningku sambil menangis, ibu
menyapa menanyakan apa penyebab sakitnya, tiba-tiba karena sebelumnya tak
pernah sakit separah itu, namun aku tak bisa berbicara, hanya kedipan mata yang
menjawab. tak lama kemudian datang ayah, ayah ku bilang “ wah ndak bakal
selamat anak ini” semua keluarga dan adik-adik santri pun pada menangis,
ayah menyapa ku “ sabar anakku mule nasif jak selamet” terdengar di
telinga ku, hampir setengah hari tak ada perubahan sembuh, ayahpun meminta
supaya dibawa pulang, aku pun dalam keadaan lemas dibawa pulang, dengan dibawa
mobil hartop milik paman, jalan besar ke
rumah sudah didoser berkat perjuangan ayah warga yang memenangkan PKK sekotong
tengah pada tahun duaribu delapan kebetulan waktu itu ayah masih jadi kadus, sesampi dirumah aku diletakkan di
sekenem (berugak) begitu dilihat sama kakek dan nenek, langsung kakek menangis
dengan hanya berkata “ ee nenek kaji sik kuase makat sak mene belek cobe nee
eehh..ehh, kayee gamak baingku” lagi-lagi nenek bilang “arooh gamak
tatik kembe gamak sakit penyakit nee, apee salakmm gamak sak mene lalok cobe
terimakmm” aku sudah tak berdaya lagi ketika sakitnya makin parah, sudah
dibacakan surat yasiin beberapa kali,, semua keluarga menangis rumahku penuh
dengan warga yang datang melihat keadaanku, sementara aku hanya berbaring lemas
sambil merasakan sakitnya perut dan anggota tubuh, berbagai obat tradisional
dicoba, selang beberapa lama paman ku yakni H. Zul datang langsung marah-marah
sambil menangis ” sabar sanak embe/mana mobil orang sakit kok ditonton, mana
konci mobil amak bur,,, amak bur bawa kegerung cepat,,! Langsung ku
dipopong dirujuk kerumah sakit gerung, sesmpai digerung langsung di infus tak
lama kemudian langsung agak sadar, namun belum bisa ngomong, ayah dan ibu
menemani malam pertama di rumah sakit, langsung semua keluarga, sahabat yang
dari gerung, gapuk, mesulik dan egok datang jenguk dan bawa makanan setelah mengetahui
kami ada dirumah sakit, ahirnya karunia taqdir Allah masih memberikan umur yang
panjang aku sembuh dan genap satu minggu di rumh sakit gerung, setelah pulih
aku pun dibawa pulang, kakek nenek bersykur, dirumah aku istirahat beberapa
minggu dimanjakan disemblihkan ayam dibelikan jajan dan lain sebagainya aku
tidak dikasih cepat-cepat kepondok oleh kakek dan paman bahkan menyuruh untuk
berhenti, namun aku masih kangen pondok waktu itu masih semester pertama baru
masuk kuliah cabang STIT Nurul Hakim kediri, akupun diizinin kembali kepondok,
sesampainya dipondok aku disambut oleh teman-temanku dan adek-adek santri, aku
sakit baru kali itu yang sebelumnya belum pernah sakit keras kayak begitu.
2.
Detik Terahir di Pondok.
Setelah selesai
Tsanawiyah tahun 2005 dengan nilai yang sangat memuaskan, kemudian lanjut ke
Madrasah Aliyah di tempat yang sama dengan biaya geratis, dapat beasiswa dari
pmerintah, ditahun itu pula aku memasukkan dua adikku dan satu misan. Tak
terasa tahun demi tahun berganti hidup ku penuh perhara yang tak mungkin
terkupas habis, setelah kelas satu aliyah mulai dipercaya menjadi ketua
pengajian Diniah sekaligus membimbing adik-adik kelas Tsanawiyah, dari sini aku
memulai mengukir karir ingin bermanfaat bagi diri dan orang lain, sambil ngaji
sekolah juga mengamalkan ilmu yang didpat, selang setengah semester dijadikan
ketua pondok putra dan dipercaya bimbing adik-adek putra putri Diniah di setiap
sore hari dengan kitab aqidah dan ta’lim sampai tamat aliyah. waktu kelas 3
aliyah diberi kepercayaan mengajar di Madrasah Ibtidakiyah dengan diberi mata
pelajaran agama, setelah selesai Aliyah tahun 2008 ujian di Nurul Hakim kediri,
Lombok Barat. Inget itu baru kali pertama keluar dari pondok melihat dunia
luar, hampir selama tiga tahun tak pernah melihat alam luar, setelah lulus
dengan setandar nilai kelulusan 5,00% waktu itu temanku ujian sebanyak 12
orang. Dari duabelas yang lulus hanya dua orang aku dan syahwan dari telaga
lebur bangket.
Setelah selesai
Aliyah langsung disuruh mengajar di Tsanawiyah ditempat nyantrinya sekaligus
mulai dipercaya keluar mengajar di madrasah cabang di desa rambut petung
sekotong barat dan batu kumbu. Sambil lanjut kuliah di tempat yang sama waktu
itu baru diadakan kuliah cabang dari STIT Nurul Hakim kediri lombok barat.
Selang beberapa bulan diberi amanat ngajar di aliyah dengan memegang mata
kuliah fiqih dan di waktu yang sama diamanahi memegang sekolah cabang batu
kumbu, selama setahun kemudian menekuni guru dibatu kumbu. tak jarang ujian pun
kian datang, suatu waktu diserahkan memegang uang tabungan siwa dari kelas 1
sampai IV selama satu tahun, terhitung
hampir berjumlah tiga belas juta, seminggu lagi akan kenaikan kelas uang
itu akan dikembalikan kemasing-masing siswa yang menabung kemudian di hitung
ulang jumlah tabungan masing-masing siswa sebelum memasukkannya ke dalam
amplop, ternyata kurang tiga juta setengah, setelah dicek ulang uang dipinjem
oleh yayasan dua juta dan para guru satu juta setengah, mau nagih para guru
dibilang uang belum ada, hari itu aku bingung minjem sana sisni tidak dapat
terpaksa pulang minta uang di orang tua alhamdulillah dapat tujuh ratus ribu
belum cukup minjem lagi dikepala sekolah madrasah ibtidakiyah induk dapat dua
ratus, belum cukup minjem lagi di mansyur dapat enam ratus ahirnya sampai cukup, sekolah tempat mengabdikan diri
ini bernama Madrasah Ibtidaiyah Darul Aitam. Yang
sekarang sudah berdiri sendiri, bangunannya sudah cukup, yang dulunya hanya
tiga lokal. Sekarang setelah dibantu oleh lembaga PNPM bangunannya bagus dan
maju. Namun tak lama kemudian ditarik mengajar ke induk MI Darul Qur’an. Tak
lama ujian
datang lagi, aku
dituduh memakai uang listrik untuk beli binsin motor dan minyak jenset
aduuh pusing... masih teringat dalam lubuk hati yang paling dalam, aku menjelaskannya
pada ustadz, ahirnya ustadz tau
seperti apa pengurusan uang listrik di santriawan yang waktu itu pengurus iyuran bagian listrik ngambek, karena dimarahi
oleh ustadz juga, langsung aku yang
diserahkan untuk mengurusnya, karena tanggung jawab ketua pondok, tetapi begitu
mau disetor, jadi sasaran kemarahan sang Ustadz,
aku dipanggil menghadap dikumpulkan diaula
asrama santri putri bersama pengurus santriwati lainnya,
aku didampingi mansur teman akrab sekaligus
menjadi ketua pengajian waktu itu, langsung setelah lama diskusi masalah uang
listrik dan jenset, tiba-tiba ustadz keluar menghampiri
langsung marah-marah dituduh sudah habiskan uang dan menggosip
mengungkit-ungkit hutang ustadz wahhh,, kacau
malam itu, aku terdiam tak tahan mendengar cercaan ustadz,
air mata pun menetes
karena malu dimarahi didepan sanriwati dituduh mengungkit-ungkit hutang, memakan uang listrik (korupsi),
tak becus mengurus, dibilang syetan,
tak tau terimakasih, ahirnya dengan tuduhan itu aku
mulai tidak tenang dan kerasan dipondok, paginya selesai shalat subuh aku mengumpulkan
santri-santri bimbingan dan menjelaskan program selanjutnya agar
tetap disiplin menjalankan aturan-aturan pondok, dipenghujung
saran didepan santri-santri bimbingan aku tarik nafas dalam-dalam diam memancing perhatian santri aku ketok
jendela agar para
santri fokus
mendengarkan.
Aku mulai sambung pembicaraan, “Adek-adeku semua malam ini aku mengundurkan
diri jadi pengurus, aku mengundurkan diri jadi ketua pondok, berhenti membina,
mundur dari guru di MI, MTs dan MA karena sudah cukup rasanya mengabdi khidmat,
menerima terpaan ujian yang tak berujung ditempat ini, saya minta maaf bila ada
yang telah kusakiti selama ini dan terimakasih yang sebesar-besarnya atas semua
ini akhirul kalam Assalamualikum wr wb ”,
suasana jadi hening semua santri kesimak sedih bisik-bisik pun terdengar
jelas mereka merasakan apa yang sedang ku alami ada yang berkta “ siapa yang
membimbing kita sekarang, siapa yang menggantikan kak syabuni”, para santripun kemudian bubar keluar siap
bersih-bersih dan sekolah, inilah detik-detik berada di pondok pesantren yang
sebelumnya banyak sekali cerita yang tak bisa tertuang dalam kisah ini, baik
yang bersifat individu maupun secara bersama, dengan tuduhan yang tak berdasar
ini aku mengambil keputusan untuk berhenti mengabdi dipondok yang selama ini
telah menjadikanku seorang yang lebih baik dari sebelumnya. Ujian ini yang
terbesar selama nyntri di pondok, walau sifatnya tak merusak pisik tapi batin
terasa tak dihargai lagi, cobaan mulai dari yang dimalukan didepan adek-adek
bimbingan sampai dilempar batubata karena tak membimbing, memutuskan untuk
pulang kampung sebelumnya aku minta izin pada ustadz, untuk berhenti tapi
ustadz tak mengizinkan, beliau minta maaf, namun tetap tekad harus pulang,
cukup mengabdi, sudah tak nyaman lagi rasanya tinggal dipondok, walau tak
diizinin barang-barang sudah siap dibawa
pulang, siang hari rabo aku pamitan sama
santri dan ustadz, genap sudah tinggal dipondok selama delapan tahun
(2002-2009).
Dengan meninggalkan
dua (2) adik zaenaf dan zaenal dan misan, namun zaenal tak betah ia pun
berhenti, sedang adik zaenab waktu itu kelas tiga. aku pulang dengan berjalan
kaki dari pondok lewat jalan belakang agar tidak dilihat sama warga sampai
rumah. Aku menyusuri jalan setapak yang biasa ku lewati kalau pulang kampung,
jalan pintas menyusuri sungai dengan ditemani bisikan hati cita-cita ingin
bantu ibu kerja tak ada gambaran untuk sekolah lagi, namun hati kecil ingin
lanjutkan kuliah di induknya yaitu di Nurul Hakim kediri. Sambil membawa dus
yang berisi buku dan kitab dipunggung ada tas pakaian aku terus berjalan
mendaki jurang sekopang. Sesampainya dirumah aku disambut adek kecil dan
kakakku, sedang ibu belum pulang kerja dari sawah, ayah waktu itu lagi dirumah
ibu yang kedua sedang sakit, aktivitasku
dirumah membantu ibu kerja, malam hari bimbing adek-adek kerja, aku tidak
ceritakan pada ayah dan ibu kalau aku berhenti mondok dengan alasan tak ingin
mereka tau masalahnya, keseharianku membantu ibu disawah sambil mengembala, cari
dedauanan untuk makanan sapi, waktu itu musim kemarau, kadang-kadang ikut kakak
pergi cari batu emas, menunggu ayah yang sedang sakit, makin hari penyakit ayah
semakin parah, akhirnya pada suatu hari ayah dibawa kerumah sakit untuk
dironsen (diperiksa penyakitnya) diawal bulan puasa, itulah aktivitasku dirumah
yang dianggap liburan sama orang tua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar