A.
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Perkembangan
ilmu npengetahuan sangat ditentukan oleh perkembangan dunia pendidikan, dimana
dunia pendidikan mempunyai peran yang sangat strategis dalam menentyukan arah
maju mundurnya kualitas pendidikan. Hal ini bisa dirasakan ketika sebuah
lembaga pendidikan dalam menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar bagus,
maka dapat dilihat kualitasnya, berbeda dengan lembaga melaksanakan pendidikan
hanya sekedarnya saja.
Upaya
peningkatan mutu beralih menjadi tanggung jawab setiap sekolah dengan
diberlakukanya manajemen berbasis sekolah (MBS), sejalan dengan era otonomi
pendidikan.
Upaya
peningkatan mutu pendidikan melalui pendekatan pemberdayaan sekolah dalam
mengelola institusinya, telah dilakukan kementerian pendidikan nasional. Baik
sebelum otonomi daerah maupun sesudah otonomi daerah. Pada era otonomi daerah
muncul program pemberdayaan sekolah melalui Manajemen Berbasis Sekolah ( M B S
).
MBS
akan terlaksana apabila didukung oleh sumber daya manusia ( SDM ) yang memiliki
kemampuan, integritas dan kemauan yang tinggi. Salah satu unsur SDM dimaksud
adalah guru, di mana guru merupakan faktor kunci keberhasilan peningkatan mutu
pendidikan karena sebagai pengelola proses belajar mengajar bagi siswa.
Disamping
itu peran humas juga berperan penting dalam terselenggaranya pendidikan yang
lebih baik. Sebagai contoh publikasi terhadap masyarakat terkait tentang
sekolah, pencarian dana atau sponsor untuk kemajuan suatu lembaga atau sekolah.
Peran
sentral humas atau public relation
dalam kepemimpinan pendidikan pada era otonomi pendidikan sendiri tidak lepas
dari sosok seoreang kepala sekolah yang menjadi leader dalam setiap kegiatan. Kepala
sekolah juga merupakan seorang public
relation yang mempunyai peran penting terhadap perkembangan maupun kemajuan
dari sekolah. Maka makalah ini akan membahas mengenai prinsip humas dalam
kepemimpinan pendidikan di era otonomi pendidikan.
2.
Rumusan
Masalah
a) Bagaimana
konsep dan prinsip otonomi pendidikan ?
b) Bagaimana
konsep manajemen berbasis sekolah ?
c) Bagaimana
prinsip humas dalam kepemimpinan pendidikan Islam ?
3.
Tujuan
a) Memperdalam
pemahaman tentang konsep dan prinsip otonomi pendidikan.
b) Mengetahui
konsep manajemen berbasis sekolah.
c) Mengetahui
prinsip humas dalam kepemimpinan pendidikan Islam.
B.
PEMBAHASAN
1.
Konsep
Otonomi Pendidikan
Otonomi
atau autonomy berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri, dan nomos
yang berarti Hokum atau aturan[1]. Dalam
konteks etimologis ini, beberapa penulis memberikan pengertian tentang otonomi.
Koesoemahatmadja , lebih lanjut mengemukakan bahwa menurut perkembangan
sejarahnya di Indonesia, otonomi selain mengandung arti ‘perundangan’, juga
mengandung pengertian `pemerintahan’.[2]
Secara
konseptual banyak konsep tentang otonomi yang diberikan oleh para pakar dan
penulis, di antaranya Syarif Saleh (1963) mengartikan otonomi sebagai hak
mengatur dan memerintah daerah sendiri, hak mana diperoleh dari pemerintah
pusat. Wayong , mengemukakan bahwa otonomi daerah adalah kebebasan untuk
memelihara dan memajukan kepentingan khusus daerah, dengan keuangan sendiri,
menentukan hukum sendiri, dan pemerintahan sendiri. Sugeng Istanto menyatakan
bahwa otonomi diartikan sebagai hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus
rumah tangga daerah.[3]
S.H.
Sarundajang (2001) menulis bahwa pada hakikatnya otonomi daerah adalah (1) hak
mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom; (2) dalam kebebasan
menjalankan hak mengurus dan mengatur rumah tangga sendiri, daerah tidak dapat
menjalankan hak dan wewenang otonominya itu di luar batas-batas wilayah
daerahnya; (3) daerah tidak boleh mencampuri hak mengatur dan mengurus rumah
tangga daerah lain sesuai dengan wewenang pangkal dan urusan yang diserahkan
kepadanya; dan (4) otonomi tidak membawahi otonomi daerah lain, hak mengatur
dan mengurus rumah tangga sendiri tidak merupakan subordinasi hak mengatur dan
mengurus rumah tangga daerah lain[4]
Menurut
UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 1 ayat (5)
dikemukakan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan clan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Daerah Otonom
di sini dimaksudkan adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas - batas
wilayah yang berwenang mengatur clan, mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Konsep
otonomi pendidikan adalah memberikan ruang kreatifitas dan inovasi yang
proporsional sebagai upaya memberdayakan pendidikan.[5] Dalam
otonomi pendidikan diperlukan demokratisasi pendidikan, yaitu dimana pemberian
ruang publik yang cukup luas, sehingga masyarakat dapat mengambil peranan aktif
dalam penyelenggaraan pendidikan.
Dalam
hal ini pemerintah sebagai pelayan kebutuhan sekolah, bukan sebagai pihak yang
mengintimidasi sekolah. Otonomi pendidikan juga mengatur standar kualitas yang
diperisyaratkan pemerintah dan melakukan akreditasi untuk mengukur kualitas
semua jenis dan jenjang pendidikan. Partisipasi masyarakat untuk memberdayakan
potensi yang ada dalam masyarakat melalui wadah dewan sekolah atau komite
sekolah.[6]
Jadi,
dapat dikatakan bahwa otonomi pendidikan merupakan sebuah konsep penerapan
manajemen kemandirian, dimana seluruh kegiatan didalam penyelanggaraan
pendidikan serta pengembangan pendidikan dilakukan secara mandiri, tanpa ada
intimidasi dari pihak manapun, baik pemerintah maupun lembaga lain. Pemberian
keleluasaan dan pengaturan yang silakukan oleh lembaga pendidikan itu sendiri
akan membuka peluang yang besar untuk menjadikan lembaga tersebut berkembang
lebih baik, tentunya dengan mengacu dari arahan pemerintah pusat.
Otonomi
pendidikan atau dapat dikatakan desentralisasi pendidikan merupakan
pengendalian yang diberikan oleh pemerintah, dalam hal ini yaitu kementerian
pendidikan dan kebudayaan terhadap satuan lembaga pendidikan didaerah masing-masing.
Diberlakukanya desentraslisasi pendidikan juga tidak terlepas dari peran
pemerintah daerah, yang memberikan kesempatan sebesar-besarnya lembaga
pendidikan untuk berkembang. Pemerintah pusat memberikan mandat untuk mengatur
kepemerintahan daerahnya masing-masing, dari mulai administrasi, sosial,
kesehatan hingga pendidikan dengan didasarkan bahwa setiap daerah di Indonesia
ini berbeda-beda tuntutan dan kebutuhannya sehingga perlunya otonomi daeran
akan menjadikan pemenuhan tuntutan dan kebutuhan disetiap daerah terpenuhi.
Sehingga dalam hal ini pemerintah pusat hanya sebagai patokan dan pemberian
pelayan kepada setiap daerah.
Berdasarkan
PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi
sebagai daerah Otonom, pada kelompok bidang pendidikan dan kebudayaan
disebutkan bahwa kewenangan pemerintah meliputi hal-hal sebagai berikut:[7]
1.
Penetapan
standar kompetensi siswa dan warga belajar, serta pengaturan kurikulum nasional
dan penilaian hasil belajar secara nasional, serta pedoman pelaksanaannya;
2.
Penetapan
standar materi pelajaran pokok;
3.
Penetapan
persyaratan perolehan dan penggunaan gelar akademik;
4.
Penciptaan
pedoman pembiayaan penyelenggaraan pendidikan;
5.
Penetapan
persyaratan penerimaan, perpindahan, sertifikasi siswa, warga belajar dan
mahasiswa;
6.
Penetapan
persyaratan peningkatan/zoning, pencarian, pemanfataan, pemindahan,
penggandaan, sistem pengamanan dan kepemilikan benda cagar budaya, serta
persyaratan penelitian arkeologi;
7.
Pemanfaatan
hasil penelitian arkeologi nasional serta pengelolaan museum nasional, galeri
nasional, pemanfaatan naskah sumber arsip, clan monumen yang diakui secara
internasional;
8.
Penetapan
kalender pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi pendidikan
dasar, menengah, dan luar sekolah;
9.
Pengaturan dan
pengembangan pendidikap tinggi, pendidikan jarak jauh, serta pengaturan sekolah
internasional;
10. Pembinaan
dan pengembangan bahasa clan sastra Indonesia.
Sementara
itu, kewenangan pemerintah provinsi meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Penetapan
kebijakan tentang penerimaan siswa clan mahasiswa dari masyarakat minoritas,
terbelakang, dan/ atau tidak mampu;
2. Penyediaan
bantuan pengadaan buku pelajaran pokok/ modul pendidikan untuk taman
kanak-kanak, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan luar sekolah;
3. mendukung/membantu
penyelenggaraan pendidikan tinggi selain pengaturan kurikulum, akreditasi, dan
pengangkatan tenaga akademis;
4. Pertimbangan
pembukaan dan penutupan perguruan tinggi;
5. Penyelenggaraan
sekolah luar biasa dan balai pelatihan clan/ atau penataran guru;
6. Penyelenggaraan
museum provinsi, suaka peninggalan sejarah, kepurbakalaan, kajian sejarah clan
nilai tradisional, serta pengembangan bahasa dan budaya daerah.
2.
Prinsip
Otonomi Pendidikan
Otonomi
(desentralisasi) pendidikan memiliki prinsip‑prinsip penyelenggaraan
otonomi sebagai berikut[8]:
Pertama,
pola dan pelaksanaan manajemen yang diterapkan dalam otonomi pendidikan mulai
dari proses perencanaan, pelaksanaan, supervisi dan monitoring serta
evaluasinya harus demokratis.
Jelas
dikatakan oleh zulkarnain nasution bahwa konsep demikratis pendidikan ini
memberikan ruang publik yang cukup luas, sehingga masyarakat dapat peranan
aktif dalam penyelenggaraan pendidikan.[9]
Kedua,
pemberdayaan masyarakat harus menjadi tujuan utama; peran serta masyarakat
harus menjadi bagian mutlak dari sistem pengelolaan pendidikan; sehingga
masyarakat diberi keleluasaan berpartisipasi, terlibat dan melibatkan diri
secara aktif, difasilitasi, diberi ruang aktualisasi dan akhirnya diberi
kepercayaan dan pengharhgaaan atas partisipasinya.
Di
sini masyarakat menjadi subjek yang aktif dalam keseluruhan sistem pendidikan
dengan menetukan arah kebijakan, merumuskan strategi, sasaran dan tujuan
pendidikan serta ikut terlibat aktif dalam implementasi.[10]
Ketiga,
pelayanan
harus lebih cepat, efisien dan efektif demi kepentingan peserta didik dan
rakyat banyak; serta keanekaragaman aspirasi serta nilai dan norma lokal harus
dihargai dalam kerangka dan untuk penguatan sistem pendidikan nasional.
Kepuasan
pelanggan dalam hal ini masyarakat merupakan landasan dalam otonomi pendidikan
karena pelayanan yang lebih baik menjadikan kualitas lembaga pendidikan dari
sisi pelayanan maupun akademik akan lebih bermutu.
Prinsip
otonomi pendidikan merupakan asas atau pedoman yang menjadi dasar pemikiran
dari otonomi itu sendiri. Prinsip ini menjadikan otonomi pendidikan dapat
dijadikan sebuah teori yang dapat dijalankan dengan mendasarkan para prinsip
demokratis, pemberdayaan masyarakat dan pelayanan yang lebih baik.
3.
Konsep
Manajemen Berbasis Sekolah
Perubahan
dalam manajemen pendidikan disebabkan oleh lemahnya pola lama manajemen
pendidikan nasional yang selama ini bersifat sentralistik. Otonomi daerah telah
mendorong dilakukannya penyesuaian diri dari pola lama menuju pola baru
manajemen pendidikan masa depan yang lebih bernuansa otonomi dan yang lebih
demokratis. Kebijakan ini diterapkan pemerintah dalam kerangka meningkatkan
mutu pendidikan di Indonesia. Salah satu bentuk kebijakan itu adalah perubahan
dalam manajemen pendidikan.
Konsep
Manajemen berbasis sekolah telah dikembangkan sebagai wacana reformasi
manajemen sekolah dengan tujuan meningkatkan mutu yang kompetitif. Hal ini
merupakan suatu model manajemen sekolah memberdayakan potensi sumberdaya
sekolah dengan memberikan fungsi optimal dan proporsional bagi seluruh elemen
sekolah, baik tingkat pimpinan maupun operasional, dengan menjadikan semua
unsur di sekolah menjadi menajer terhadap tugas dan tanggung jawabnya.[11]
Menurut
E. Mulyasa (2004) MBS merupakan salah satu wujud dari reformasi pendidikan yang
menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan
memadai bagi para peserta didik. Otonomi dalam manajemen merupakan potensi badi
sekolah untuk meningkatkan kinerja staff, menawarkan partisipasi langsung
kelompok-kelompok yang terkait, dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap
pendidikan.[12]
Menurut
Nanang Fatah (2006) MBS merupakan pendekatan politik yang bertujuan mendesain
ulang pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan kepala sekolah dan
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang
mencangkup guru, siswa, komite sekolah, orang tua siswa dan masyarakat.
Manajemen berbasis sekolah mengtubah sistem pengambilan keputusan dengan
memindahkan otoritas dalam pengambilan keputusan dan manajemen ke tiap yang
berkepentingan ditingkat local stake
holder.[13]
Terdapat pola perubahan dari manajemen berbasis sentralistik dengan manajemen berbasis sekolah, seperti pada tabel 1.[14]
dari
tabel diatas dapat kita ketahui perubahan pola yang siknifikan, hal ini
menjadikan sangat pentingnya manajemen berbasis sekolah segera dilaksanankan
secara utuh. Penerapan manajemen berbasis sekolah dengan support atau dukungan dari seluruh elemen akan menjadikan penerapan
manajemen berbasis sekolah akan berjalan dengan baik.
Manajemen
berbasis sekolah merupakan sebuah ajakan dari seluruh elemen masyarakat, baik
masyarakat internal dari kepala sekolah, guru sampai petugas kebersihan dan
masyarakat ekternal yaitu orangtua wali, tokoh masyarakat untuk ikut berperan
dalam kegiatan sekolah.
Penerapan
konsep MBS juga berkaitan erat dengan elemen-elemen sistem pendidikan lainnya,
seperti standar nasional, kurikulum berbasis kompetensi, evaluasi yang independen,
akreditasi, sertifikasi, profesionalisme ketenagaan, serta pengalokasian dana
dan sumber daya pendidikan lainnya, terutama partisipasi masyarakat melalui
Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Semuanya itu bertujuan untuk mencapai
efektivitas, efisiensi, dan relevansi sistem pendidikan.[15]
Dalam
manajemen berbasis sekolah unsur partisipati masyarakat sebagai publik
eksternal sekolah merupakan hal yang penting. Salah satu keberhasilah MBS
adalah kemampuan sekolah mengajak masyarakat berpartisipasi dalam mendukung
penyelenggaraan pendidikan. Diantara peran anktif masyarakat dalam dunia
pendidikan yaitu.[16]
1. Berpartisipasi
dalam menggunakan jasa pelayanan pendidikan untuk menyekolahkan fungsi pemimpin
adalah memudahkan pencapaian tujuan secara komperatif diantara pada pengikut da
paanaknya.
2. Berpartisipasi
dalam memberikan kontribusi dana, bahan dan tenaga.
3. Peran
serta dalam bentuk keikut sertaan, yang berarti menerima secara pasif apa yang
telah diputuskan oleh sekolah.
4. Peran
serta melalui adanya konsultasi mengenai hal-hal tertentu.
5. Keterlibatan
dalam memberikan pelayanan tertentu.
6. Keterlibatan
sebagai pelaksana kegiatan yang telah didelegasikan.
7. Peran
serta sebenarnya dalam pengambilan keputusan pada berbagai jenjang.
4.
Prinsip
Humas dalam kepemimpinan Sekolah di Lembaga Pendidikan
Fungsi
pemimpin adalah memudahkan pencapaian tujuan secara komperatif di antara para
pengikut dan pada saat yang sama menyediakan kesempatan bagi pertumbuhan an
perkembangan pribadi mereka. Menurut Assumpta (2001), kepemimpinan adalah suatu
konsep manajemen dalam kehidupan organisasi, mempunyai kedudukan strategis dan
merupakan gejala sosial yang selalu diperlukan dalam kehidupan kelompok.[17]
Kepemimpinan
dalam sebuah lembaga juga merupakan sentral dari semua kegiatan. Seorang
pemimpin merupankan pengendali utama dan pengarah untuk mencapai suatu tujuan
yang telah direncanakan.
Ada
4 (empat) jenjang prinsip-prinsip kepemimpinan yang efektif dalam melakukan
hubungan dengan manusia menurut Covey (1997)[18],
yakni :
a. Pribadi,
yaitu hubungan pribadi sesorang itu sendiri.
b. Hubungan
antar pribadi yakni hubungan interaksi antara seseorang dengan orang lain.
c. Manajerial,
merupakan tanggung jawab dalam menyelesaikan pekerjaan bersama dengan orang
lain.
d. Organisasional,
yaitu kebutuhan seseorang dalam mengorganisir lembaga pendidikan.
Dalam
hal ini Covey mencoba memaparkan mengenai jenjang atau tingkatan dasar
kepemimpinan yang efektif dalam melakukan hubungan dengan manusia. Yang pertama
yaitu pribadi, yang dimaksud adalah bahwa seorang pemimpin itu mampu
berkomunikasi dengan dirinya sendiri, menggerakan dirinya sendiri, mempengaruhi
dirinya sendiri dan memotivasi dirinya sendiri. Dalam ranah ini individu
tersebut sebelum mampu menggerakan orang lain dia harus bisa menggerakan
dirinya sendiri untuk maju. Kedua, hubungan antara pribadi satu dengan pribadi
yang lain merupakan tahapan yang lebih rumit. Hubungan dengan orang lain
merupakan sebuah pembentukan jalinan komunikasi dengan individu yang baru.
Keharusan untuk berkomunikasi dengan pribadi/individu yang lain juga salah satu
dasar dari sebuah kepemimpinan, karena selain terjalinya sebuah komunikasi
pemimpin juga harus mengetahui kepribadian dari orang lain. Ketiga, manajerial
yaitu mempunyai makna merencanakan, mengatur, mengontrol dan mengevaluasi. Dalam
ranah ini seorang pemimpin haruslah mempunyai kemampuan dalam bidan manajerial.
Kemampuan manajerial ini bukanlah hanya memerintahkan orang lain untuk
meyelesaikan tanggung jawabnya, akan tetapi bersama sama dengan orang lain
untuk menyelesaikan tanggung jawab, maupun pekerjaannya. Keempat,
organisasional merupakan tahapan tertinggi dalam sebuah kepemimpinan. Tahapan
ini merupakan implementasi dari ketiga jenjeng prinsip kepempinan, karena
seorang individu apabila berhasil melampau ketiga jenjang tersebut dia
mempunyai kepribadian yang matang dan mempunyai kemampuan dalam berkomunikasi
dan manajerial. Hal ini merupakan calon seorang pemimpin yang ideal dan
merupakan sebuah kebutuhan dari sebuah organisasi pendidikan.
Dengan
demikian kepemimpinan dilembaga pendidikan tidak terlepas dari prinsip-prinsip
komunikasi yang efektif dan hubungan masyarakat, sehingga pemimpin harus
memahami kedua prinsip tersebut antar lain[19] :
1. Prinsip
human releations dlam komunikasi
dengan sesama manusia. Manusia dalam kehidupan sehari-harinya tidak terlepas
dari interaksi dengan manusia lainya melalui kegiatan berkomunikasi. Khususnya
dalam organisasi lembaga pendidikan, prinsip- prinsip hubungan sesama manusia
mengandung nilai pendidikan.
2. Prinsip
komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal yang diciptakan bersifat dua
arah dan dialogis. Komunikasi tersebut merupakan salah satu prinsip humas dalam
membentuk pribadi manusia sebagai makhluk sosial dari perkembangan kehidupan
sehari-hari terutama dalam menjalankan peran kepemimpinan di lembaga
pendidikan.
3. Prinsip
gaya partisipatif dilakukan untuk menggali aspirasi, berdasarkan saran dari
guru, karyawan, siswa, orang tua siswa, dan masyarakat. Khususnya dalam
mengambil dan menentukan kebijakan dibutuhkan masukan aspirasi dan saran
sehingga kebijakan dapat dijalankan dsengan lancar dan efektif.
4. Prinsip
persuasif. Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan pempengaruhi orang lain.
Untuk mempersuasif orang lain pemimpin harus bisa dipercayai, karena kejujuran,
objektivitas, lebih memikirkan pihak lain, lebih memberi dan memperhatikan
pelayanan, menunjukan profesionalitas, luas pandangan dan supel, sehingga
menyebabkan pemimpin tersebut berpengaruh terhadap bawahan maupun teman kerja.
5. Prinsip
informatif. Seorang pemimpin dilembaga pendidikan harus mempunyai kemampuan
mengelola dan menyampaikan informasi yang strategis kepada public internal dan
publik eksternal.
6. Prinsip
membina hubungan. Dalam hal ini pemimpin harus memiliki kreatifitas dan
inovatif membina hubungan dengan guru, karyawan, siswa dalam memberikan
dorongan dan motivasi. Sedangkan kepada orang tua dan institusi luar dengan
membina kerjasama yang saling menguntungkan, seperti menggalang beasiswa,
bantuan bangunan, dan pemberian sarana, fasilitas, dan alat – alat untuk proses
kegiatan belajar mengajar.
C.
KESIMPULAN
1.
Dapat diketahui
bahwa konsep otonomi pendidikan merupakan konsep penerapan manajemen
kemandirian, dimana seluruh kegiatan didalam penyelanggaraan pendidikan serta
pengembangan pendidikan dilakukan secara mandiri, tanpa ada intimidasi dari
pihak manapun, baik pemerintah maupun lembaga lain. Pemberian keleluasaan dan
pengaturan yang silakukan oleh lembaga pendidikan itu sendiri akan membuka
peluang yang besar untuk menjadikan lembaga tersebut berkembang lebih baik,
tentunya dengan mengacu dari arahan pemerintah pusat.
2.
Manajemen
berbasis sekolah merupakan strategi untuk memajukan pendidikan dengan
mengalihkan pemberian kewenangan pengambilan keputusan dari negara dan
pemerintah daerah kepada individu pelaksana disekolah.
3.
Prinsip humas
dalam kepemimpinan dilembaga pendidikan adalah terletak dari komunikasi yang
dilakukan oleh seorang pemimpun kepasa publik, baik publik internal maupun
eksternal.
D.
DAFTAR
RUJUKAN
Abdurrahman,
1987, Beberapa Pemikiran Tentang Otonomi
Daerah, Cetakan pertama, Media Sarana Press, Jakarta.
Harsojo
, Ali. Artikel, OTONOMI PENDIDIKAN: sebagai jawaban
dalam menghadapi Tantangan Dunia
Pendidikan Dan Peningkatan Mutu Pendidikan Sekolah.
http.www.
watcher.blogspot.com201306prinsip-otonomi-daerah.html di akses pada tanggal 24
10 14.
Koesoemahatmadja,
Mochtar, 1979, Pengantar Ke Sistem
Pemerintah Daerah Di Indonesia, Bina Cipta, Bandung.
Mohammad Syaifuddin, Siti Fatimah Soenarjo, Artikel,
Konsep Dasar Manajemen Pendidikan.
Mulyasa,
E. 2004. Manajemen Berbasis Sekolah
(Konsep, Strategi, dan Implementasi), Bandung:PT. Remaja Rosdakarya.
Zulkarnain
Nasution, 2010, Mnajemen Humas Di Lembaga
Pendidikan, UMM Press, Malang.
[1] Abdurrahman, 1987, Beberapa Pemikiran Tentang Otonomi Daerah,
Cetakan pertama, Media Sarana Press, Jakarta. hal 9.
[2] Koesoemahatmadja, Mochtar, 1979,
Pengantar Ke Sistem Pemerintah Daerah Di
Indonesia, Bina Cipta, Bandung. hal 12.
[3]
http://mediaedukasiku.blogspot.com/p/konsep-otonomi-pendidikan-dan.html
[4] Ibid.
[5] Zulkarnain Nasution, 2010, Mnajemen Humas Di Lembaga Pendidikan,
UMM Press, Malang. hal 45.
[6] Ibid.
[7] http.www. watcher.blogspot.com201306prinsip-otonomi-daerah.html di
akses pada tanggal 24 10 14.
[10] Ibid.
[12] Mulyasa, E. 2004. Manajemen Berbasis Sekolah (Konsep,
Strategi, dan Implementasi), Bandung:PT. Remaja Rosdakarya, Hal. 24.
[13] Fatah, Nanang, 2000. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan,
Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Hal. 32.
[14] Mohammad
Syaifuddin, Siti Fatimah Soenarjo, Artikel, Konsep
Dasar Manajemen Pendidikan. Hal 5.
[15]
Mohammad Syaifuddin, Siti Fatimah Soenarjo, Artikel, Konsep Dasar Manajemen Pendidikan. Hal 2.
[16] Op. Cit. Zulkarnain Nasution. Hal 49.
[17] Ibid. Hal 52.
[19] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar