BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sayyid Qutub
adalah tokoh agama, ilmuwan, sastrawan, ahli tafsir dan intelektual Islam asal
Mesir, dalam sejarah hidupnya, Sayyid Qutub tidak pernah lelah untuk berdakwah
meskipun beliau dizalimi, disiksa dan dipenjara puluhan tahun, beliau tidak pernah
putus asa, beliau adalah sosok yang luar bisa dengan segala kegigihannya dalam
berdakwah.
Sayid Qutub hidup dalam nuansa iman ketika menulis zhilal,
Beliau hidup bersama Al Qur’anul Karim
dengan surat-surat, ayat-ayat, dan kalimat-kalimatnya. Dari Al Qur’an ini
Beliau menimba makna-makna yang begitu banyak serta merasakan kenikmatan hidup
yang penuh berkah di bawah naungannya, Beliau memperoleh curahan rahmat Allah
di dalam penjara serta diberi anugerah dan pertolongan untuk bisa beradaptasi
di dalamnya serta mengubah kondisi cobaan di dalam penjara menjadi sebuah
anugerah, sehingga ilmu, keimanan dan keyakinan beliau justru semakin
bertambah, dan perkataan beliau dalam Zhilal merupakan buah dari ilmu,
anugerah dan kekayaan tersebut.
Maka tidak perlu di dengar lagi perkataan sebagian
pencela dalam melancarkan tuduhan yang bukan-bukan terhadap Sayid mengenai
kejiwaan dan perasaan-perasaan beliau, ilmu dan anugerah beliau, kesehatan
pemikiran beliau, keseimbangan pandangan-pandangan beliau, serta kebenaran
hukum-hukum dan penjelasan-penjelasan
beliau.[1]
Sayyid Quth dizalimi dan dipenjara rezim yang berkuasa
bukan karena tindakan kriminal yang beliau lakukan tetapi karena tulisan dan
karya-karyanya yang mampu menggugah ribuan pemuda untu bangkit melawan kejahiliahan
dan menegakkan Islam, dan dalam penjara itulah beliau torehkan karya yang
monumental yaitu Tafsir Fi Zilal Al-Qur’an.
1.2. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
Biografi Sayyid Qutub ?
2.
Bagaimana
Metodologi tafsir Sayyid Qutub dalam Fi Zhilalil Qur’an ?
1.3. Tujuan Masalah
1.
Untuk
mengetahui Biografi Sayyid Qutub
2.
Untuk
mengetahui Metode tafsir Qutub dalam Fi Zhilalil Qur’an
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Biografi Sayyid Qutub
Sayyid Qutub Ibrahim Husain Syadzili. dilahirkan pada
tahun 1906 di Kampung Musyah, daerah Asyut, Egypt dalam keluarga yang kuat
mematuhi ajaran agama dan mempunyai kedudukan yang terhormat di kampungnya.
Bapanya bernama Haji Qutub Ibrahim seseorang yang disegani dan peduli terhadap
orang miskin, setiap tahun beliau menghidupkan hari-hari kebesaran Islam dengan
mengadakan majlis-majlis jamuan dan tilawah al-Quran di rumahnya terutama di
bulan Ramadhan. Ibunya adalah seorang yang bertaqwa dan menyintai al-Quran,
ketika majlis tilawah al-Quran diadakan di rumahnya, ia mendengar dengan penuh
khusyu’ dan beliau telah menghafal al-Qur’an sejak usianya belum sampai sepuluh
tahun.
Kakeknya yang keenam, Al-Faqir Abdullah, datang dari
India ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah itu ia meninggalkan Mekah
menuju dataran tinggi Mesir. Ia merasa takjub atas daerah Mausyah dengan
pemandangan-pemandangan, kebun-kebun serta kesuburannya. Maka akhirnya ia pun
tinggal di sana. Di antara anak turunnya itu lahirlah Sayid Qutub
rahimahullah.[2]
Sayyid Qutub bersekolah di daerahnya selama 4 tahun. Usia 13 tahun beliau dikirim
untuk belajar ke Kairo, beliau lulus dari Dar AlUlum dengan gelar S1 dalam
bidang sastra (Lc) sekaligus diploma
pendidikan. Pada tahun 1951 M beliau mendapatkan beasiswa dari
pemerintah Mesir ke Amerika Serikat. Beliau belajar di beberapa kampus favorit,
yaitu: Stanford University di California, Greenly Collage di Colordo, dan
Wilson’s Teacher College di Washington.[3]
Dalam kesehariannya, ia bekerja sebagai tenaga pengajar
di Universitas tersebut. Selain itu, ia juga diangkat sebagai penilik pada
Kementerian Pendidkan dan Pengajaran Mesir, hingga akhirnya ia menjabat sebagai
inspektur. Sayyid Qutb bekerja dalam Kementerian tersebut hanya beberapa tahun
saja. Beliau kemudian mengundurkan diri setelah melihat adanya ketidak cocokan
terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam bidang pendidikan karena
terlalu tunduk oleh pemerintah Inggris. Pada waktu bekerja dalam pendidikan
tersebut, beliau mendapatkan kesempatan belajar ke U.S.A untuk kuliah di
Wilson’s Teacher College dan Stanford University dan berhasil memperoleh gelar
M.A di bidang pendidikann. Beliau tinggal di Amerika selama dua setengah tahun,
dan hilir mudik antara Washington dan California. Melalui pengamatan langsung
terhadap peradaban dan kebudayaan yang berkemabng di Amerika Sayyid Qutb
melihat bahwa sekalipun Barat telah berhasil meraih kemajuan pesat.
Dari pengalaman yang diaperoleh selama belajar di Barat inilah yang kemudian memunculkan paradigma baru dalam pemikiran Sayyid Qutb. Atau, bisa juga dikatakan sebagai titik tolak kerangka berfikir sang pembaharu masa depan. Sepulangnya dari belajar di negeri barat, Sayyid Qutb langsung bergabung dalam keangotaan gerakan Ikhwân al-Muslimîn yang dipelopori oleh Hasan al-Banna. Dan dia juga banyak menulis secara terang-terangan tentang masalahah keislaman. Dari organisasi inilah beliau lantas banyak menyerap pemikiran-pemikiran Hasan al-Banna dan Abu A’la al-Maududi. Sayyid Qutb memandang Ikhwan al-Muslimin sebagai satu gerakan yang bertujuan untuk mewujudkan kembali syarat politik islam dan juga merupakan medan yang luas untuk menjalankan Syariat islam yang menyeluruh.[4]
Dari pengalaman yang diaperoleh selama belajar di Barat inilah yang kemudian memunculkan paradigma baru dalam pemikiran Sayyid Qutb. Atau, bisa juga dikatakan sebagai titik tolak kerangka berfikir sang pembaharu masa depan. Sepulangnya dari belajar di negeri barat, Sayyid Qutb langsung bergabung dalam keangotaan gerakan Ikhwân al-Muslimîn yang dipelopori oleh Hasan al-Banna. Dan dia juga banyak menulis secara terang-terangan tentang masalahah keislaman. Dari organisasi inilah beliau lantas banyak menyerap pemikiran-pemikiran Hasan al-Banna dan Abu A’la al-Maududi. Sayyid Qutb memandang Ikhwan al-Muslimin sebagai satu gerakan yang bertujuan untuk mewujudkan kembali syarat politik islam dan juga merupakan medan yang luas untuk menjalankan Syariat islam yang menyeluruh.[4]
Penyebaran ideologi yang ditegakkan di atas fikrah
perjuangan al-Banna, dikembangkan oleh Qutb dengan pendekatan yang agak radikal
dalam menolak kebejatan politik dan kepincangan sosial, dan mencanangkan
ide-ide pembaharuan yang revolusioner. Qutb merangka khittah perjuangan yang
jelas, bagi meluaskan pengaruh Ikhwan dan menegakkan agenda perubahan yang
besar. Beliau melancarkan gerakan untuk menghukum kezaliman pemerintah, menolak
kebobrokan budaya dan cengkaman politik yang rakus, menyingkirkan faham
jahiliyah, membungkam sistem kapitalis,
nasionalis, dan feudalis dan melantarkan dasar-dasar perjuangan dan
dakwah berteraskan kalimah La-ilaha-illallah.[5]
Beliau wafat di waktu fajar hari senin 13 Jamadil
Awal 1386 atau 29 Agustus 1966 di tiang gantungan setelah didakwai bersalah
oleh “Mahkamah Militer” yang telah dibangun oleh kerajaan revolusi di zaman
itu, mahkamah ini mempunyai sejarah pengadilan yang hitam dan banyak
mengorbankan orang-orang yang tidak berdosa.
Berikut
Curriculum Vitae Sayyid Qutb: [6]
Nama
Lengkap : Sayyid Qutb Ibrahim Husain Syadzili
Tanggal Lahir
: 9 Oktober 1906
Tempat
Lahir
: Asyut, Mesir
Riwayat Pendidikan : Pendidikan Dasar di sekolah Kuttâb (TPA) (1918)
Madrasah Tsanawiyah di Kairo ( 1921)
Diklat Keguruan (1928)
Universitas Dar al-Ulum bidang sastra dan pendidikan (1933)
Wilson’s Teacher’s College, (Washington)
Greeley College (Colorado)
Stanford University (California)
Aktivitas
: Aktivis gerakan Islam Ikhwanul Muslimin
Penulis Sastra
Kritikus Sastra
Tokoh Pendidikan
Karya
: Muhimmat al-Syi’r fi al-Hayah (1933)
Naqd Mustaqbal al-Thaqafah fî Misr (1939)
Al-Tas}wir al-Fanni fi al-Qur’an (1945)
Mashahid al-Qiyamah fi al-Qur`an.
Al-‘Adalah al-Ijtima’iyyah fi al-Islam
Ma’rakah al-Islam wa ar-Ra’s al-Maliyyah.
Hadhaal-Din
Al-Mustaqbal li Hadha al-Din.
Tafsir fi Zilal al-Qur’an, dll.
a.
Kerangka Pemikiran Sayyid Qutub
Dalam
kitabnya yang berjudul Sayyid Qutb: Khulâshatuhu wa Manhâju Harakatihi,
Muhammad Taufiq Barakat membagi fase pemikiran Sayyid Qutb menjadi tiga tahap:[7]
1.
Tahap pemikiran sebelum mempunyai orientasi Islam
2.
Tahap mempunyai orientasi Islam secara umum
3.
Tahap pemikiran berorientasi Islam militan
Pada fase ketiga inilah, Sayyid Qutb sudah mulai
merasakan adanya keenggan dan rasa muak terhadap westernisme, kolonialisme dan
juga terhadap penguasa Mesir. Masa-masa inilah yang kemudian menjadikan beliau
aktif dalam memperjuangnkan islam dan menolak segala bentuk westernisasi yang
kala itu sering digembor-gemborkan oleh para pemikir Islam lainnya yang silau akan kegemilingan
budaya-budaya barat.Dalam pandangannya, Islam adalah way of life yang
komprehansif.Islam adalah ruh kehidupan yang mengatur sekaligus memberikan
solusi atas problem sosial-kemasyarakatan. Al-Qur`an dalam tataran umat islam
dianggap sebagai acuan pertama dalam pengambilan hukum maupun mengatur pola
hidup masyarakat karena telah dianggap sebagai prinsiputama dalam agama islam,
maka sudah menjadi sebuah keharusan jika Al-Qur`an dapat mengatasi
permasalahan-permasalahan yang ada. Berdasar atas asumsi itulah, Sayyid Qutb
mencoba melakukan pendekatan baru dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an agar
dapat menjawab segala macam bentuk permasalahan.Adapun pemikiran beliau yang
sangat mendasar adalah keharusan kembali kepada Allah dan kepada tatanan
kehidupan yang telah digambarkan-Nya dalam Al-Quran, jika manusia menginginkan
sebuah kebahagiaan, kesejahteraan, keharmonisan dan keadilan dalam mengarungi
kehidupan dunia ini.[8]
Meski tidak
dipungkiri bahwa Al-Qur`an telah diturunkan sejak berabad abad tahun lamanya
pada zaman Rasulullah dan mengganggambarkan tentang kejadian masa itu dan
sebelumnya sebagaimana yang terkandung dalam Qashash Al-Qur`an, namun
ajaran-ajaran yang dikandung dalam Al-Qur`an adalah ajaran yang relevan yang
dapat diterapkan di segala tempat dan zaman. Maka, tak salah jika
kejadian-kejadian masa turunnya Al-Qur`an adalah dianggap sebagai cetak biru
perjalanan sejarah umat manusia pada fase berikutnya.Dan tidak heran jika
penafsiran-penafsiran yang telah diusahakan oleh ulama klasik perlu disesuaikan
kembali dalam masa sekarang. Berangkat dari itu, Sayyid Qutb mencoba membuat
terobosan terbaru dalam menafsirkan Al-Qur`an yang berangkat dari realita
masyarakat yang kemudian meluruskan apa yang dianggap tidak benar yang tejadi
dalam realita tersebut.
b.
Sekilas tentang corak penafsiran sayyid Qutub
Bisa dikatakan kitab
Fî Zhlilâl al-Qur`an yang dikarang oleh Sayyid Qutb termasuk salah satu kitab
tafsir yang mempunyai terobosan baru dalam malakukan penafsiran al-Qur`an. Hal ini dikarenakan
tafsir beliau selain mengusung pemikiran-pemikiran kelompok yang berorientasi
untuk kejayaan islam, juga mempunyai metodologi tersendiri dalam menafsirkan
al-Qur`an. Termasuk diantaranya adalah melakukan Pembaruan dalam bidang
penafsiran dan disatu sisi beliau mengesampingkan pembahasan yang diarasa
kurang begitu penting. Salah satu yang menonjol dari corak penafsiran beliau
adalah mengetengahkan segi
sastera untuk melakukan pendekatan dalam menafsirkan Al Qur’an.[9]
Sisi sastera beliau terlihat
jelas ketika kita menjulurkan pandangan kita ke tafsirnya bahkan dapat kita
lihat pada barisan pertama. Akan tetapi, semua pemahaman uslub al-Qur`an,
karakteristik ungkapan al-Qur`an serta dzauq yang diusung semuanya bermuara
untuk menunjukkan sisi hidayah al-Qur`an dan pokok-pokok ajarannya yang dikemukakan
Sayyid Qutb untuk memberikan pendekatan pada jiwa pembacanya pada khususnya dan
orang-orang islam pada umumnya. Melalui pendekatan semacam ini diharapkan Allah
dapat memberikan manfaat serta hidayah-Nya.Karena pada dasanya, hidayah
merupakan hakikat dari al-Qur`an itu sendiri.Hidayah juga merupakan tabiat
serta esensi al-Qur`an. Menurutnya, al-Qur`an adalah kitab dakwah,
undang-undang yang komplit serta ajaran kehidupan.[10]
Menurut Issa Boullata, seperti yang dikutip oleh Antony
H. Johns, pendekatan yang dipakai oleh Sayyid Qutb dalam menghampiri Al-Qur`an
adalah pendekatan tashwîr (penggambaran) yaitu suatu gaya penghampiran yang
berusaha menampilkan pesan Al-Qur`an sebagai gambaran pesan yang hadir, yang
hidup dan konkrit sehingga dapat menimbulkan pemahaman “aktual” bagi pembacanya
dan memberi dorongan yang kuat untuk berbuat. Oleh karena itu, menurut Sayyid
Qutb, qashash yang terdapat dalam Al-Qur`an merupakan penuturan derama
kehidupan yang senantiasa terjadi dalam perjalanan hidup manusia. ajaran-ajaran
yang terkandung dalam cerita tidak akan pernah kering dari relevansi makna
untuk dapat diambil sebagai tuntunan hidup manusia.
Mengaca dari metode tashwir yang dilakukan oleh Sayyid Qutb, bisa dikatakan bahwa tafsir Fî Zhilâl Al-Qur`an dapat digolongkan kedalam tafsir al-Adabi al-Ijtimâ’i (sastera, budaya, dan kemasyarakatan). Hal ini mengingat background beliau yang merupakan seorang sastrawan hingga beliau bisa merasakan keindahan bahasa serta nilai-nilai yang dibawa al-Qur’an yang memang kaya dengan gaya bahasa yang sangat tinggi.[11]
Mengaca dari metode tashwir yang dilakukan oleh Sayyid Qutb, bisa dikatakan bahwa tafsir Fî Zhilâl Al-Qur`an dapat digolongkan kedalam tafsir al-Adabi al-Ijtimâ’i (sastera, budaya, dan kemasyarakatan). Hal ini mengingat background beliau yang merupakan seorang sastrawan hingga beliau bisa merasakan keindahan bahasa serta nilai-nilai yang dibawa al-Qur’an yang memang kaya dengan gaya bahasa yang sangat tinggi.[11]
c.
Pandangan Sayyid Qutub terhadap Naskh dan Mansukh
Fenomena naskh dan mansukh dalam al-Qur`an memang telah
terjadi silang pendapat dalam kalangan ulama islam sendiri. Disatu pihak ada
yang menerimanya dan dipihak lain ada yang menolaknya dengan beberapa
argumentasi mereka masing-masing. Dalam hal ini, Sayyid Qutb termasuk kedalam
kelompok yang menerima adanya naskh dalam al-Qur`an. Ini dapat dilihat ketika
beliau menafsirkan kandungan ayat 106 surat al-Baqarah. Beliau mengemukakan
bahwa pada ayat itu al-Qur`an secara umum menandaskan adannya peralihan
sebagian perintah ataupun hukum seiring dengan perkembangan masayarakat muslim,
dan secara khusus ayat tersebut menggambarkan tentang peralihan qiblat. Adanya
pergantian sebagian ketentuan sebagian hukum adalah untuk kepentingan dan
kemashlahatan manusia, serta untuk merealisasikan kebaikan yang jauh lebih
besar sesuai tuntutan perkmbangan masyarakat. Selain itu, Allah sebagai sang pencipta memang mempunyai hak
prerogratif melakukan hal tersebut. Sayyid Qutb melihat naskh dari perspektif ganda, yaitu
perspektif Tuhan dan manusia.Seakan-akan dia mengatakan, terjadinya naskh
merupakan kemauan Tuhan dan untuk kepentingan manusia.Selain itu, nashk juga sesuai dengan watak ajaran islam
yang evolotif yang lebih mengedepankan kemashlahatan umat. [12]
Memang diakui, naskh terkait dengan dinamika
kemashlahatan manusia.Namun, tidak menjadi persoalan, mengigat kondisi
masyarakat pada risalah Nabi merupakan contoh bagi perkembangan masyarakat manusia
sepanjang masa. Hal ini akan bisa sesuai dengan al-Qur`an sendiri yang selalu
aktual dalam menghadapi perkembangan masa. Dengan demikian gerak sejarah
manusia tidak akan keluar dari dinamika masyarakat Arab pada masa Nabi. Oleh
karena itu, menurut Sayyid Qutb sendiri gambaran seluruh persoalan sejarah umat
manusia telah ditemukan jawabannya dalam teks suci melalu pemahaman baku
masyarakat masa risalah. Atas asumsi itulah, Sayyid Qutb disebut sebagai
pemikir Fundamentalisme Islam; pemikir yang mempunyai romantisme terhadap masa
lalu Islam (klasik), dan secara singkatnya dia ingin mewujudkan gambaran
masyarakat masa lalu kedalam masa
sekarang dan yang akan datang.[13]
d.
Contoh Penafsiran Sayyid Qutub dalam Tafsir Fi Zhilal
al-Qur’an
Ayat surat Al- Anfal Banyak sekali ulama yang
mengtakan bahwa ayat ini mengalami proses naskh. Maka dari itu mereka
berpendapat bahwa dahulu perbandinagn pada saat bertempur dengan kaum kafir
adalah satu banding sepuluh.Artinya, satu kaum muslimin diwajibkan menumpas
sepuluh orang kafir. Lalu datanglah ayat berikutnya yang berisi tentang
keringanan yang diberikan oleh Allah kepada orang islam berupa satu orang islam
melawan dua oang kafir. Inilah model penafsiran ulama-ulama klasik.Sayyid Qutb
mencoba menghadirkannya dalam zaman sekarang. Beliau berpendapat, ayat ini
berbicara mengenai taksiran kekuatan pasukan muslim menghadapi pasukan kafir
dalam pandanagan Tuhan. Namun inti dari semua itu adalah untuk menenteramkan
jiwa kaum muslimin agar tidak cepat gentar dan patah semangat dalam menghadapi
pasukan musuh yang berjumlah besar. Menurut Sayyid Qutb, dari ayat ini dapat
diambil pelajar tentang mentalitas umat islam. Kemenangan bukanlah terletak
pada banyaknya jumlah, melainkan pada mentalitasnya. Meski berjumlah sedikit,
umat islam dapat memperoleh kemenangan,
asalkan mempunyai militan yang mempunyai semangat juang yang gigih.[14]
2.1. Metodologi tafsir Sayyid Qutub dalam Fi Zhilalil
Qur’an
a. Tafsir Fi Zhilalil Quran
Pada awalnya penulisan Tafsir fi Zilal
al-Qur’an. dituangkan di rublik majalah al-Muslimun edisi ke-3, Yang terbit
pada Februari 1952. Sayyid Qutb mulai menulis tafsir secara serial di
majalah itu, dimulai dari surah al-fatihah dan di teruskan dengan surah
al-Baqarah dalam episode-episode berikutnya, hal itu dilakukan atas permintaan
Sa’id Ramadan, pemimpin redaksi majalah tersebut, Sayyid Qutb menjadi penulis
sekaligus direktur dalam rubrik ini, bagi Sayyid Qutb sendiri rubrik ini
merupakan suatu wadah penampung dari gejolak ide dan dakwahnya untuk hidup di
bawah naungan al-Qur’an. Namun kemudian penulisan rubrik ini dihentikan dengan alasan
ia ingin menggantinya dengan rubrik lain, disertai dengan janji untuk menulis
tafsir secara khusus yang akan diterbitkan pada setiap juznya.
Menurut Manna’ al-Qattann Tafsir fi
Zilal al-Qur’an merupakan karya tafsir yang sangat sempurna dalam menjelaskan
kehidupan di bawah bimbingan al-Qur’an. tafsir ini memiliki kedudukan tinggi di
kalangan intelektual Islam lantaran kekayaan kandungan pemikiran dan
gagasannya, terutama menyangkut masalah sosial kemasyarakatan, oleh karena itu
Tafsir fi Zilal al-Qur’an mutlak diperlukan oleh kaum muslim kontemporer. [15]
Sesuai dengan judul karya tafsirnya fi
Zilal al-Qur’an. Sayyid Qutb dalam muqaddimah tafsirnya mengatakan bahwa hidup
dalam nauangan al-Qur’an adalah suatu kenikmatan, Sebuah kenikmatan yang tidak
diketahui kecuali oleh orang yang telah merasakannya, suatu kenikmatan yang
mengangkat umur (hidup), memberkatinya dan menyucikannya. Beliau sendiri merasa
telah mengalami kenikmatan hidup di bawah naungan al-Qur’an itu yaitu sesuatu
yang belum dirasakan sebelummya, semua ini merupakan cermin pemikiran serta
perasaannya akan al-Qur’an ketika beliau merasakan hidup dibawah naungannya,
dan mampu memberikan pesan pada umat manusia bahwa kenikmatan hidup itu dapat
diperoleh dengan berpegang teguh pada al-Qur’an.
Tafsir fi Zilal al-Qur’an ini bernuansa
sastra yang kental selain dari konsep-konsep dan motivasi pererakan, selain itu
berusaha membumikan al-Qur’an melalui analog-analogi yang terjadi di masyarakat
saat itu. Perjuangan
dan pembebasan dari segala tirani merupakan sesuatu yang sudah seharusnya
dilakukan umat Islam.Jadi ada satu pendekatan dilakukan Sayyid Qutb dalam
Tafsirnya yakni bagaimana sastra yang merupakan unsur mukjizat al-Qur’an mampu
mempengaruhi kaum Muslimin dan memotivasinya untuk bangkit dan berjuang.[16] Kemudian
Kitab Tafsir Fi Zilal al-Qur’an yang pertama diterbitkan dalam tulisan jawi
ialah Juz ‘Amma dalam empat jilid. Kitab ini telah diterbitkan pada tahun 1953.
Kitab tafsir edisi jawi ini mengguna pakai tajuk Tafsir Fi Zilal al-Qur’an “Di
dalam Bayangan al-Qur’an” oleh al-Syahid Sayyid Qutb dan telah dialih bahasa
oleh Yusoff Zaky Haji Yacob. Edisi ini telah dicetak dan diterbitkan oleh Dian
Darul Naim Sdn Bhd, kota bharu, kelantan dengan cetakan pertama pada tahun
1986.[17]
b. Metode dan
Sumber Penafsiran Tafsir fi Zilal al-Qur’an
Sayyid
Qutb mengambil metode penafsiran dengan Tahili/tartib mushafy. Sedangkan sumber
penafsiran terdiri dari dua tahapan yakni: mengambil sumber penafsiran bil
ma’tsur, kemudian baru menafsirkan dengan pemikiran, pendapat ataupun kutipan
pendapat sebagai penjelas dari argumentasinya.Tafsirnyaini tidak menggunakan metode tafsir tradisional, yaitu
metode yang selalu merujuk keulasan sebelumnya yang sudah diterima.Sayyid Qutb
seringkali mengemukakan tanggapan pribadi dan spontanitasnya terhadap ayat-ayat
al-Qur’an. Tafsir ini lebih menekankan kepada pendekatan
iman secara intuitif, artinya, secara langsung tanpa perlu dirasionalisasikan
atau dijelaskan dengan merujuk kepada metode filsafat. Iman itu harus
diterapkan langsung dalam tindakan sehari-hari.
Meskipun
secara garis besar Tafsir beliau termasuk bersumber pada bil ra’yi karena
memuat pemikiran social masyarakat dan sastra yang cenderung lebih
banyak.Selain kedua sumber tersebut, beliau juga mengambil referensi dari berbagai
dsiplin ilmu, yakni sejarah, biografi, fiqh, bahkan social, ekonomi, psikologi,
dan filsafat.
c. Motivasi Penulisan Tafsir Fi
Zhilal al Qur’an
Kondisi Mesir
tatkala itu sedang porak poranda ketika Sayyid Qutb telah kembali dari
perhelatannya menempuh ilmu di negeri Barat. Saat itu, Mesir sedang mengalami
krisis politik yang mengakibatkan terjadinya kudeta militer pada bulan juli
1952. Pada saat itulah, Sayyid Qutb memulai mengembangkan pemikirannya yang
lebih mengedepankan terhadap kritik sosial dan politik. Oleh karenanya, tak
heran memang jika kita melihat upaya-upaya yang dilakukan Sayyid Qutb dalam
tafsirnya lebih cenderung mengangkat terma sosial-kemasyarakatan. Salah satu
karya terbesar beliau yang sangat terkenal adalah karya tafsir Al-Qur`an yang
diberi nama Fî Zhilâl Al-Qur`an. Dalam tafsir ini lebih cenderung membahas
tentang logika konsep negara islam sebagai mana yang didengungkan oleh pengikut
ikhwan al-muslimin lainnya seperti halnya Abu A’la al maududi. [18]
Secara
singkatnya, sebenarnya Sayyid Qutb memulai menulis tafsirnya atas permintaan
rekannya yang bernama Dr. Said Ramadhan yang merupakan redaksi majalah
al-Muslimun yang ia terbitkan di Kairo dan Damaskus. Dia meminta Sayyid Qutb
untuk mengisi rubrik khusus mengenai penafsiran al-Quran yang akan diterbitkan
satu kali dalam sebulan. Sayyid Qutb menyambut baik permintaan rekannya
tersebut dan mengisi rubrik tersebut yang kemudian diberi nama Fî Zhilal
Al-Qur`an. Adapun mengenai tulisan yang pertama yang dimuat adalah penafsiran
surat al-Fâtihah lantas dilanjutkan dengan surat al-Baqarah. Namun, hanya
beberapa edisi saja tulisan itu berlangsung yang kemudian Sayyid Qutb
berinisiatif menghentikan kepenulisan itu dengan maksud hendak menyusun satu
kitab tafsir sendiri yang diberi nama Fî Zhilâl Al-Qur`an sama halnya dengan
rubrik yang beliau asuh. Karya beliau lantas diterbitkan oleh penerbit al-Bâbi
al-Halabi. Akan tetapi kepenulisan tafsir tersebut tidak langsung serta merta
dalam bentuk 30 juz. Setiap juz kitab tersebut terbit dalam dua bulan sekali
dan ada yang kurang dalam dua bulan dan sisa-sisa juz itu beliau selesaikan
ketika berada dalam tahanan.[19]
d. Sitematika dan Tujuan
Penulisan Tafsir fi Zilal al-Qur’an
Sayyid Qutb mengambil metode penafsiran dengan Tahili/tartib
mushafy. Sedangkan sumber penafsiran terdiri dari dua tahapan yakni: mengambil
sumber penafsiran bil ma’tsur, kemudian baru menafsirkan dengan pemikiran,
pendapat ataupun kutipan pendapat sebagai penjelas dari argumentasinya.Tafsirnyaini tidak menggunakan
metode tafsir tradisional, yaitu metode yang selalu merujuk ke ulasan
sebelumnya yang sudah diterima.Sayyid Qutb seringkali mengemukakan tanggapan
pribadi dan spontanitasnya terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Tafsir ini
lebih menekankan kepada pendekatan iman secara intuitif, artinya, secara
langsung tanpa perlu dirasionalisasikan atau dijelaskan dengan merujuk kepada
metode filsafat. Iman itu harus diterapkan langsung dalam tindakan sehari-hari.
Meskipun secara garis besar Tafsir beliau termasuk bersumber
pada bil ra’yi karena memuat pemikiran social masyarakat dan sastra yang
cenderung lebih banyak.Selain kedua sumber tersebut, beliau juga mengambil
referensi dari berbagai dsiplin ilmu, yakni sejarah, biografi, fiqh, bahkan
social, ekonomi, psikologi, dan filsafat.
e.
Corak Tafsir Fi Zilal
al-Qur’an
Penafsiran Sayyid Quthb memiliki keistimewaan yang tidak
dimiliki tafsir-tafsir lain, menggunakan gaya prosa lirik dalam penyampaian, karena itu tafsir ini menjadi
enak dibaca dan mudah dipahami. Kitab tafsir ini mengandung unsur
corak adaby ijtima’i yakni sastra dan social kemasyarakatan.
Sifat lain dari tafsir ini adalah
pemaparan yang bersemangat sehingga mudah dicurigai sebagai tafsir
provokatif, bahkan tidak jarang orang menamai tafsirnya dengan corak tafsir
haraki, tafsir ini masuk dalam kategori penafsiran dengan corak baru yang khas
dan unik serta langkah baru yang jauh dalam tafsir serta memuat banyak sekali
tema penting dengan menambahkan hal-hal mendasar yang esensial. Karenanya Tafsir ini dapat dikategorikan
sebagai aliran (faham) khusus dalam Tafsir yang disebut “aliran Tafsir
pergerakan”. Ini disebabkan metode pergerakan –metode realistis serius—tidak
ada selain pada Tafsir fi Zilal al-Qur’an ini.
f.
Pandangan
Ulama terhadap kitab [20]
1.
Dr. Hasan Farhad telah menyatakan
bahawa Tafsir Fi Zilal al-Qur’an telah menjadi begitu terkenal dengan sebab
Sayyid Qutb Rahimahullah telah menulis tafsir ini sebanyak dua kali; kali
pertama ia menulis dengan tinta seorang alim dan kali kedua dia menulis dengan
darah syuhada’.
2.
Yusof al-‘Azym mengatakan bahawa
tafsir Fi Zilal al-Qur’an adalah sebuah tafsir yang unik dan berada di kemuncak tafsir-tafsir yang lama dan yang
baru.
3.
Muhammad Qutb
yaitu adik kepada Sayyid Qutb menyatakan bahawa tafsir ini bukan tafsir dalam
ertikata menghurai pengertian lafaz-lafaz, walaupun aspek ini tidak
ditinggalkan dan bukannya menghuraikan keindahan dan kemukjizatan
ungkapan-ungkapan al-Qur’an walaupun aspek ini ada disebut, tetapi sejak mula lagi ia menitikberatkan tentang cara
keimanan itu tumbuh dalam diri.tetapi sejak mula lagi ia
menitikberatkan tentang cara keimanan itu tumbuh dalam diri.
4.
Dato’ Haji Daud bin Muhammad
(Qadhi Besar Negeri Kelantan) dan Dato’ Haji Mohd. Shukri Mohamad (Timbalan
Mufti Negeri Kelantan) turut menyatakan bahawa tafsir ini adalah lain dari yang
lain.
5.
Brig. Jen (B) Dato’ Abdul hamid bin Zainal abidin menyatakan terjemahan
ini merupakan sebuah terjemahan dinamis yaitu menterjemahkan makna yang ingin
disampaikan oleh sayyid qutub.
g.
Keistimewaan dan Kelemahan
Tafsir fi Zilal al-Qur’an
Beberapa
keistimewaan kitab ini adalah:[21]
1. Sayyid Quthb dalam menafsirkan ayat-ayat dalam suatu
surat memberikan gambaran ringkas tentang kandungan surat yang akan di kaji.
2. Pengelompokan ayat-ayat sesuai dengan pesan yang terkandung pada ayat
tersebut.
3. Memperhatikan munasabah antar ayat
4. Bercorak sastra dan mudah dipahami.
5. Menggunakan hadith-hadith sahih
6. Berusaha menghindari kisah-kisah Isra’iliyat.
7. Merefleksikan keinginan besar untuk kemajuan ummat.
8. Orsinilitas ide dan pemikiran penulis.
9. Dianggap telah menggagas sebuah pemikiran dan corak baru
dalam nuansa penafsiran Alquran.
Sedangkan
beberapa kelemahannya adalah:
1. Keterbatasan referensi Sayyid Qutb kerena beliau menyusun
ini kitab ini dipenjara sehingga banyak banyak memunculkan pendapat-pendapat
pribadi yang sangat kental dengan nuansa pada saat itu.
2. Penjelasannya yang terkadang berbau radikal sehingga
dicurigai sebagai kitab tafsir provokatif.
BAB
III
KESIMPULAN
a.
Sayyid Qutub hidup dalam nuansa iman ketika menulis Zhilal. Beliau
hidup bersama Al quranul Karim dengan surat-surat, ayat-ayat, dan
kalimat-kalimatnya. Dari Al quran ini beliau menimba makna-makna yang begitu
banyak serta merasakan kenikmatan hidup yang penuh berkah di bawah naungannya.
Bel menjkaiau memperoleh curahan rahmat Allah di dalam penjara serta di beri
anugerah dan pertolongan untuk bisa beradaptasi di dalamnya serta mengubah
kondisi cobaan di dalam penjara menjadi sebuah anugerah, sehingga ilmu,
keimanan, dan keyakinan beliau justru semakin bertambah, dan perkataan beliau
dalam Zhilal merupakan buah dari ilmu, anugerah dan kekayaan tersebut.
Maka tidak perlu didengar perkataan sebagian pencela dalam melancarkan tuduhan
yang bukan-bukan terhadap sayyid mengenai kejiwaan dan perasaan-perasaan
beliau, ilmu dan anugerah beliau, kesehatan pemikiran beliau, keseimbangan
pandangan-pandangan beliau, serta kebenaran hukum-hukum dan
penjelasan-penjelasan beliau.
b.
Tafsir Fi Zhilal Qur’an itu tidaklah ditulis dari waktu luang,
atau untuk mengisi waktu luang, akan tetapi pengarangnya menulis Zhilal dari
medan jihad. Penulisnya ikut berkecimpung dalam perang sengit melawan
kejahiliahan. Ia mrnggunakan kitab Allah ini untuk berjihad secara
besar-besaran melawan mereka. Kemudian tafsir fi Zhilal al Qur’an dengan metode
penulisannya memiliki keunggulan tersendiri yang jarang ada dalam karya tafsir
selainnya namun sekaligus terdapat kekurangan didalamnya karena bersifat factor
personal. Selain itu tafsir fi Zhilal al Quran ini bernuansa sastra dan mudah
dipahami.
DAFTAR
RUJUKAN
Al-Khalidi,
Shalah Abdul Fattah. 2001. Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilalil Qur’an
Sayid Qutub, Cetakan pertama Darul-Manarah, Jeddah : Saudi Arabia. Era
Intermedia.
Ayub, Mahmud. 1991.Al Qur’an
dan Para Penafsirnya .Jakarta: Pustaka Firdaus
Bahnasawi,
K. Salim. 2003. Butir-butir Pemikiran Sayyid Quthb. Jakarta: Gema Insani
Press.
Hidayat, Nuim. 2005. Sayyid
Quthb Biografi dan Kejernian Pemikirannya. Jakarta: Gema Insani.
Sayyid Quthb.2009. Ma’alim
Ath-Thariq.Yogyakarta: Uswah media.
www.referensimakalah.com
› Tafsir dan Penafsiran
Html.hasyim-aq.blogspot.com/.../tafsir-fi-zilal-al-quran.
badaigurun.blogspot.com/.../corak-penafsiran-sayyid-quthb
disertasi.blogspot.com/.../disertasi-ilmiah-10-terjemahan 992. Pustaka
Firdaus.
[1]Al-Khalidi,
Shalah Abdul Fattah. 2001. Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilalil Qur’an
Sayid Qutub, Cetakan pertama Darul-Manarah, Jeddah : Saudi Arabia. Era
Intermedia, hlm. 389-390
[2]Ibid. Hal. 23
[3]Html.hasyim-aq.blogspot.com/.../tafsir-fi-zilal-al-quran.
[4]badaigurun.blogspot.com/.../corak-penafsiran-sayyid-
[6]hasyim-aq.blogspot.com/.../tafsir-fi-zilal-al-quran.html
[7]badaigurun.blogspot.com/.../corak-penafsiran-sayyid-
[8]Bahnasawi, K.
Salim, Butir-butir Pemikiran Sayyid Quthb. Jakarta: 2003. Gema Insani
Press. Hal. 15
[11]Ayub, Mahmud, Qur’an
dan Para Penafsirnya .Jakarta: 1992. Pustaka Firdaus. Hal 171
[21]Ibid.