BAB I
PENDAHULLUAN
A.
LATAR BELAKANG
Aspek bahasa dan sastra merupakan salah satu
mukjizat al-quran. Aspek bahasa yang dimiliki oleh Al Qur’an merupakan topik
awal dan sentral pembahasan para peminat dan pengkaji Al Qur’an semenjak Al
Qur’an itu pertama kali diturunkan dan akan terus berkelanjutan sampai akhir
zaman, hal ini tidaklah mengherankan dikarenakan dengan pendekatan bahasa lah
makna dan rahasia yang terkandung dalam kalamullah dapat terkuak. Sebagaimana
dalam topik kemu’jizatan Al Qur’an, sesungguhnya aspek bahasa lah yang menjadi
objek perhatian para begawan dan sastrawan arab disaat mereka ditantang dan diminta
untuk mendatangkan semisalnya. Dalam perjalanan sejarahnya, bangsa Arab
sangatlah terkenal dengan kemampuan bahasa mereka yang sangat tinggi, dimana
semakin tinggi kemampuan mereka dalam mengetahui dan menguasai aspek bahasa
mereka, semakin terbuka pula tabir kandungan kemu’jizatan Al Qur’an, sehingga
merekapun tunduk dan mengakui akan kehebatan kandungan bahasa yang dimiliki Al
Qur’an.
Upaya-upaya untuk memahami Al-qur’an khususnya telah
melahirkan berbagai macam teori dan metode. Namun, pemakaian teori dan metode
tersebut cenderung tidak bebas nilai, para pengkaji Al-qur’an seringkali
memahami ayat-ayat Al-qur’an berdasarkan latar belakang ideologi pandangan
politik mereka serta menggunakan ayat-ayat Al-qur’an sebagai dalil pembenaran
atas aktivitas ideologis, ekonomis dan politis yang mereka lakukan. Padahal,
menurut Nasr Hamid Abu Zayd, penafsiran ayat-ayat suci itu haruslah tidak
dibarengi dengan embel-embel karena ayat Al-qur’an tidak bisa diperkosa atas
nama kepentingan apapun sehingga memahami dan menafsirkannya pun harus dengan
objektif dan teliti.[1]
Selain itu, Al-qur’an sebagai kalamullah disampaikan
kepada Nabi SAW dalam bahasa yang bisa dipahami manusia, bahasa yang dipilih
adalah Bahasa Arab. Bangsa Arab sebagai empu dari bahasa ini dikenal sebagai
bangsa yang gemar menciptakan produk sastra yang berupa syair-syair indah
sehingga Al-qur’a-pun turun dengan susunan bahasa yang indah tiada banding
sebagai upaya agar Al-qur’an bisa diterima. Namun, bukan berarti bisa secara
otomatis Kitab tersebut bisa diterima, yang inkar menyatakan bahwa Kitab
tersebut merupakan buatan Muhammad SAW meskipun hal ini dibantah dengan empiris
bahwa ternyata beliau adalah orang ummi alias tidak bisa baca tulis. Ada yang
berpendapat bahwa bahasa indah yang dipakai Al-qur’an tersebut merupakan salah
satu aspek ke-i’jazan-nya.[2]
Menyadari kelemahan ini, dua hal diatas yang
mendasari lahirnya metode penafsiran Al-qur’an
dengan menggunakan metode pendekatan sastra dan linguistik yang dibangkitkan
kembali oleh Amin Al-Khulli pada
abad ke 20 (wafat 1967) yang kemudian metodenya
ini dikembangkan secara sistematis oleh muridnya sekaligus isterinya, yaitu
Bint al-Sya ti'. Dengan mengembangkan metode inilah kemudian ia merumuskan
suatu teori bahwa setiap kata dari ujaran al-Qur'an tak satupun di dalamnya
yang memiliki makna yang sama, sekalipun kamus lain memberikannya dengan sejuta
makna. Dan teori inilah kemudian disebut dengan Asinonimitas, yang telah
berhasil menampakkan segi ke-i'jaz-an bayani al-Qur'an secara utuh.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Siapa ‘Aisyah Adurrahman Bint
Al-Syati’?
2. Bagaimana pendekatan ‘Aisyah Adurrahman
Bint Al-Syati’ dalam tafsir I’jaz
al-Bayani?
3. Apa Keistimewaan dan kelemahan dalam
tafsir I’jaz al-Bayani?
C.
TUJUAN MASALAH
1. Untuk mengetahui biografi ‘Aisyah Adurrahman Bint
Al-Syati’.
2. Untuk mengetahui pendekatan ‘Aisyah
Adurrahman Bint Al-Syati’ dalam I’jaz al-Bayani.
3. Untuk mengetahui Keistimewaan dan
kelemahan dalam tafsir I’jaz al-Bayani.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Biografi ‘Aisyah Adurrahman Bint Al-Syati’
Nama aslinya Bint al-Syathi’ adalah ‘A’isyah ‘Abd
ar-Rahman. Bint al-Syathi’ Lahir di Dumyath, sebelah barat Delta Nil, tanggal 6
November 1913. Bint al-Syathi’ lahir di tengah-tengah keluarga muslim yang
saleh.[3] dari pasangan Muhammad Ali Abdurrahman
dan Farida Abdussalam Muntasyir. Ayahnya,
‘Abd ar-Rahman, adalah tokoh sufi dan guru teologi di Dumyat. Pendidikan Bint
al-Syathi’ dimulai ketika berumur lima tahun, yaitu dengan belajar membaca dan
menulis Arab pada syaikh Mursi di Shubra Bakhum, tempat asal ayahnya.
Selanjutnya, ia masuk sekolah dasar untuk belajar gramatika bahasa Arab dan
dasar-dasar kepercayaan Islam, di Dumyat. Setelah menjalani pendidikan
lanjutan, pada 1939 ia berhasil meraih jenjang Licence (Lc) jurusan
sastra dan bahasa Arab, di Universitas Fuad I, Kairo. Dua tahun kemudian Bint
al-Syathi’ menyelesaikan jenjang Master, dan pada 1950 meraih gelar doktor pada
bidang serta lembaga yang sama pula, dengan disertasi berjudul al-Gufran li
Abu al-A’la al-Ma’ari.[4]
Bint Al-Syati’
harus berjuang keras untuk meraih gelar doktornya itu mengingat ia sulit
sekali mengakses pendidikan luar rumah sebagai seorang gadis Mesir dan berayahkan
seorang konservatif. Akan tetapi, berkat ibu dan kakeknya yang berpandangan
progresif ia berhasil belajar di pendidikan formal. Ia mempublikasikan kitab tafsir bayaninya pertama kali pada tahun
1962 dan telah dicetak ulang dua kali pada 1966 dan 1968.[5]
Minatnya terhadap kajian Tafsir dimulai sejak
pertemuannya dengan Prof. Amin al-Khulli, seorang pakar tafsir yang kemudian
menjadi suaminya, ketika ia bekerja di Universitas Kairo. Dari sini, lalu Bint
al-Syathi’ mendalami tafsirnya yang terkenal, al-Tafsir al-Bayani li
al-Qur’an al-Karim I, yang diterbitkan pada 1962. karya-karya Bint
al-Syathi’ lainnya tentang tafsir antara lain Kitabina al-akbar
(1967); tafsir al-Bayani li al-Qur’an II (1969); Maqal fi al-Insan
Dirasah Qur’aniyyah (1969); al-Qur’an wa al-Tafsir al-’Asyri
(1970); Al-I’jaz al-Bayani li al-Qur’an (1968); asy-Syakhshiyyah
al-Islamiyyah Dirasah al-Qur’aniyyah (1973).[6]
Bint Al-Syati’
mulai
menulis artikel untuk majalah wanita Mesir, Ketika ia memulai penerbitan di
jurnal dan beredar luas dan surat kabar harian pada tahun 1933, dia mengadopsi
nama penanya Binti al-Shat (“putri tepi sungai/pantai”) untuk menyembunyikan
identitasnya dari ayahnya, seorang sarjana terkenal religius pada waktu itu.[7]
Dari sinilah nama besar Bintu Syathi’ mulai mencuat. Konon, nama pena ini
sengaja dipakai karena takut akan kemarahan ayahnya ketika membaca
artikel-artikel yang ditulis. Ayahnya, menebak nama penanya – yang
mengacu pada tempat kelahirannya di Dumyat, di mana air sungai Nil dan
Mediterania bertemu – dan mengakui gayanya, mendorongnya kemudian untuk terus
menulis. Selain menulis dalam jurnal akademik dan ilmiah, ia menulis untuk
surat kabar bergengsi al-Ahram sampai kematiannya.
Pada awal
bulan Desember tahun 1998 di usianya yang mencapai 85, Bintu Syati’
menghembuskan nafas terakhirnya. Tulisan terakhir yang sempat diterbitkan oleh
koran Ahram berjudul “Ali bin Abi Thalib Karramllahu Wajhah”
tanggal 26 Februari 1998. Seluruh karyanya menjadi saksi akan kehebatan beliau.
B.
Pendekatan ‘Aisyah Adurrahman Bint Al-Syati’ dalam
I’jaz al-Bayani
Pendekatan yang
dipakai oleh Bint al-Syathi’ adalah tafsir
tahlily dengan metode tafsir bil-adabi. Tafsir
Adabi
adalah analisa teks dengan mengungkap sisi
sastra yang terkandung didalam Al Qur’an. Metode ini lebih
cenderung kepada metode kritis dalam memahami Al Qur’an.
Bint al-Syathi’ berkeyakinan bahwa: pertama, al-Qur’an
menjelaskan dirinya dengan dirinya sendiri (al-Qur’an yufassiru ba’dhuhu
ba’dh)[8]; kedua,
al-Qur’an harus dipelajari dan dipahami keseluruhannya sebagai suatu kesatuan
dengan karakteristik-karakteristik ungkapan dan gaya bahasa yang khas,
dan ketiga, penerimaan atas tatanan kronologis al-Qur’an dapat
memberikan keterangan sejarah mengenai kandungan al-Qur’an tanpa menghilangkan keabadian
nilainya.[9]
Berdasarkan
tiga diktum atau basis pemikiran di atas, Bint al-Syathi’ mengajukan metode
tafsirnya, sebuah metode untuk memahami al-Qur’an secara obyektif. Bint
Al-Syati’ mengakui mengikuti metode guru sekaligus suaminya, Amin al-Khuly (1895-1966) yang terdiri dari empat
langkah.[10]
1. Mengumpulkan
unsur- unsur tematik secara keseluruhan yang ada di beberapa surat. Untuk
dipelajari secara tematik. Dalam tafsir ini beliau tidak memakai metode kajian
tematik murni seperti itu. Namun dengan pengembangan induktif (istiqra’i).
Mula- mula beliau gambarkan ruh sastra tematik secara umum. Kemudian
merincinya per-ayat. Akan tetapi perincian ini berbeda dengan perincian yang
digunakan dalam kajian tafsir tahlily (analitik) yang cenderung
menggunakan maqtha’ (pemberhentian tematik dalam satu surat). Di sini
beliau membuka dengan kupasan bahasa dalam ayat itu kemudian dibandingkan
dengan berbagai ayat yang memiliki kesamaan gaya bahasa. Kadang menyebut jumlah
kata, adakalanya memberikan kesamaan dan perbedaan dalam penggnaannya, terakhir
beliau simpulkan korelasi antara gaya bahasa tersebut.
2. Memahami
beberapa hal di sekitar nash yang ada. Seperti mengkaji ayat sesuai turunnya. Untuk mengetahui kondisi waktu dan
lingkungan diturunkannya ayat- ayat al-Qur’an pada waktu itu. Dikorelasikan
dengan studi asbab al-Nuzul. Meskipun beliau tetap menegaskan kaidah al-Ibrah
Bi ’Umum al-Lafadz La Bi al-Khusus al-Sabab (kesimpulan yang diambil
menggunakan keumuman lafadz bukan dengan kekhususan sebab- sebab turun ayat).
3. Memahami
dalalah al-Lafadz. Maksudnya, indikasi makna yang terkandung dalam lafadz-lafadz
al-Qur’an, apakah dipahami sebagaimana dhahirnya ataukah mengandung arti majaz
dengan berbagai macam klasifikasinya. Kemudian di tadabburi dengan
hubungan-hubungan kalimat khusus dalam satu surat. Setelah itu mengkorelasikannya
dengan hubungan kalimat secara umum dalam al-Qur’an.
4.
Memahami rahasia ta’bir dalam
al-Qur’an. Hal ini sebagai klimaks kajian sastra, dengan mengungkap
keindahan, pemilihan kata, beberapa pentakwilan yang ada di beberapa buku
tafsir yang mu’tamad tanpa mengkesampingkan kajian gramatikal arab (i’rab)
dan kajian balaghahnya.
Menurut
Bint al-Syathi’, metodenya dimaksudkan untuk mendobrak metode klasik yang
menafsirkan al-Qur’an secara tartil, dari ayat ke ayat secara berurutan,
karena metode klasik ini setidaknya mengandung dua kelemahan: pertama,
memperlakukan ayat secara atomistic, individual yang terlepas dari konteks
umumnya sebagai kesatuan, padahal al-Qur’an adalah satu kesatuan yang utuh, di
mana ayat dan surat yang satu dengan yang lainnya saling terkait, dan; kedua,
kemungkinan masuknya ide mufasir sendiri yang tidak sesuai dengan maksud ayat
yang sebenarnya.[11]
Ketika berbicara
tentang penafsiran sastra (al-tafsir al-adabi), maka tidak boleh menafikan
konsep i’jaz al-Qur’ân, bagaimana relasi antara sastra Arab di satu sisi,
dan i’jaz al-Qur’an di sisi lain. Al-Zamakhsyari misalnya, berkesimpulan bahwa
penguasaan terhadap sastra Arab (balaghah) dengan segala uslubnya tidak
hanya akan membantu memahami aspek-aspek kemukjizatan sastra al-Qur’an, tetapi
juga dapat membantu mengungkapkan makna-makna dan rahasia-rahasia yang
tersembunyi di baliknya.
Istilah yang sering digunakan dalam kajian Al Qur’an untuk penisbatan
aspek kemu’jizatan Al Qur’an dari sisi bahasanya adalah Al I’jaz Al Bayani,
adapun pembahasan Al I’jaz Al Bayani itu sendiri meliputi huruf, kata dan
kalimat yang terkandung dalam Al Qur’an ditilik dari sisi uslub (style/gaya),
bayan (kejelasan) dan balaghah (kefasihan)nya. Inilah hakekat dari Al I’jaz Al
Bayani, sehingga banyak diantara ulama yang mengklasifikasikannya menjadi tiga
(3) aspek:[12]
Pertama, aspek penaruhan huruf dan rahasia yang terkandung
di dalamnya.
Sebagai
contoh adalah pemakaian huruf "
ن "
yang dalam bahasa arab dipakai untuk menunjukkan orang banyak dan mencakup si
pembicara dan juga banyak orang lain, yakni dalam firman-Nya :
(Hanya
Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan)
Kalaulah kita cermati, kenapa redaksi pada ayat diatas tidak
berbunyi Iyyaka A’budu Wa Iyyaka Asta’in (hanya Engkaulah yang saya sembah dan
hanya kepada Engkaulah saya mohon pertolongan), hal ini dikarenakan terdapat
rahasia dan hikmah Ilahiyyah yang melatar-belakangi pemakaian shighat al jam’i
(format orang banyak) pada kata "
نعبد "
diatas, dan diantara beberapa rahasia dan hikmah Ilahiyyah yang terkandung di
dalamnya adalah :
-
Kebaikan dan keutamaan yang terdapat
dalam pelaksanaan shalat berjama’ah, dan atas hikmah itulah kenapa shighat al
jam’i yang menunjukkan orang banyak dipakai pada redaksi ayat diatas.
Disabdakan dalam sebuah hadits rasulullah SAW dari sahabat Ibnu Umar RA seputar
konteks kebaikan dan keutamaan yang terdapat dalam pelaksanaan shalat
berjama’ah :
صلاة
الجماعة أفضل من صلاة الفذ بسبع وعشرين درجة .
(Shalat
jama’ah lebih utama dari shalat sendirian sebanyak dua puluh tujuh (27)
derajat)
-
Manusia merupakan makhluk sosial dan
diantara cara yang dipakai Al Qur’an dalam mendidik manusia pada aspek sosial
yang dimilikinya adalah dengan menanamkan rasa ukhuwah (persaudaraan) dan
kebersamaan diantara mereka, dan pelaksanaan ibadah shalat secara berjama’ah
adalah dalam rangka untuk menumbuh-suburkan rasa persatuan dan kebersamaan
diantara umat.
-
Ketika seseorang melakukan shalat
secara berjama’ah, sesungguhnya kebersamaan itu terjalin bukan sebatas sesama
umat manusia saja, akan tetapi kebersamaan dalam berdoa dan bertasbih kepada
Dzat pencipta yang Esa juga terjalin antar segenap ciptaan-Nya baik yang di
bumi maupun yang di langit, dan pemakaian shighat al jam’i (format orang
banyak) pada kata "
نعبد "
diatas menunjukkan akan hakekat tersebut. Difirmankan dalam Al Qur’an :
(Tidakkah kamu tahu bahwasannya Allah, kepada-Nya bertasbih
apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya.
Masing-masing telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya, dan Allah maha
mengetahui apa yang mereka kerjakan.
Demikianlah,
bagaimana sebuah huruf secara teliti dan detail dipilih, sebagaimana terdapat
rahasia dan hikmah Ilahiyyah dalam setiap peletakannya dalam redaksi Al Qur’an,
ini semuanya menjadi bukti penguat akan kemu’jizatan Al Qur’an pada aspek
bahasanya.
Kedua, aspek konotasi kata dan rahasia yang terkandung di
dalamnya.
Kita
ketahui bahwasannya para ulama berbeda pendapat dalam hal ada tidaknya konsep
At Taraduf (sinonim) kata dalam sebuah bahasa, dalam konteks bahasa arab konsep
tersebut dapat kita temukan walaupun dalam jumlah yang sangat sedikit,
dikarenakan mayoritas kata yang dianggapnya memiliki kesamaan makna,
sesungguhnya memiliki pembeda antara satu dan yang lainnya, seperti penggunaan
kata "
القعود "
dan "
الجلوس "
atau antara kata "
الخوف "
dan "
الخشية "
yang oleh banyak pihak dinyatakan sebagai sebuah bentuk At Taraduf, padahal
tidaklah demikian pada kenyataannya.
Akan
tetapi dalam konteks Al Qur’an, bisa kami katakan tidak terdapat dalam setiap
redaksi yang dipakainya dua kata yang berbentuk At Taraduf secara mutlak,
dikarenakan Al Qur’an dalam setiap uslub yang dipakainya selalu memperhatikan
secara detail akan perbedaan yang terdapat dalam setiap kata, disamping
penaruhan setiap kata dalam Al Qur’an juga disesuaikan dengan konteks dan maknanya.
Sebagai
contoh adalah penggunaan dan pemilihan Al Qur’an kata " حرث " ketika hendak mengumpamakan isteri-isteri
bagi suami mereka, dan tidak menggunakan beberapa kata yang lain, seperti kata " الأرض
"
atau "
الحقـل "
dan yang sejenisnya dari kata-kata yang memiliki kedekatan makna dengannya.
Yakni dalam firman-Nya :
(Isteri-isterimu
adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat
bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki).
Kalaulah
kita perhatikan, penggunaan dan pemakaian Al Qur’an kata " حرث " pada ayat diatas dan bukan yang lainnya dari kata-kata yang
memiliki kedekatan makna dengannya, dikarenakan terdapat sebuah perumpamaan
yang indah, tepat dan halus dalam menggumpamakan antara hubungan seorang petani
dengan ladangnya dan seorang suami dengan isterinya, dan antara buah yang
dihasilkan oleh ladang tersebut dan buah yang dihasilkan oleh seorang isteri,
demikian pula persamaan yang terdapat diantara keduanya berupa proses
perkembang-biakan, pertumbuhan dan pemakmuran.
Rahasia
dan hikmah yang terkandung dalam penggunaan kata " حرث " pada ayat diatas inilah yang tidak kita
dapatkan pada kata-kata selainnya, walaupun secara makna kata-kata tersebut
memiliki kedekatan. Dikarenakan kata "
الأرض "
bisa saja berupa tanah yang tandus yang tidak pas dan efektif untuk dijadikan
sebagai lahan untuk bercocok-tanam. Demikian pula kata " الحقل ", dikarenakan makna kata ini tidaklah
menunjukkan akan sebuah proses dan usaha dari si pemiliknya, melainkan kata
tersebut menunjukkan akan sesuatu yang sudah jadi dan siap, tidak ada di
dalamnya proses penanaman bibit oleh si pemiliknya.
Dengan
demikian, dapat kita simpulkan bahwasannya Al Qur’an dalam memilih kata-kata
yang memiliki kedekatan secara makna, ia memilih mana diantaranya yang paling
pas, akurat dan tepat dalam menggambarkan makna yang dimaksudnya, disamping
juga mana diantara kata-kata tersebut yang terindah dan terenak dalam
pendengaran dan pengucapannya.
Ketiga, aspek uslub kalimat dan rahasia yang terkandung di dalamnya.
Sebagai
contoh adalah firman Allah SWT: (Dan jika mereka ditimpa sedikit saja adzab
tuhanmu)
Kalimat
dalam firman Allah SWT tersebut sejatinya dipaparkan untuk memperlihatkan
adzab-Nya kelak di akherat dan betapa sekecil apapun itu adzab, ternyata
pengaruh dan rasa sakit yang dapat ditimbulkannya sangatlah hebat dan luar
biasa sehingga mereka yang kerap berbuat zhalim pun ketika dihadapkan dengan
semacam adzab tersebut, mengumpat diri mereka sendiri dan mengakui akan
kezhaliman yang kerap mereka lakukan sewaktu di dunianya. Atas dasar itulah
kita dapatkan semua komponen kalimat diatas menunjukkan akan sesuatu yang kecil
dan sedikit, akan tetapi memiliki efek jera yang sangat hebat dan luar biasa,
dan pengungkapan dengan semacam redaksi tersebut membuktikan akan kebenaran
rahasia Illahi yang terkandung dalam kalimat tersebut :
-
Kata " لئن " menunjukkan keragu-raguan, ketika
seseorang melakukan sesuatu dibarengi dengan sikap ragu berarti ia melakukannya
dengan sedikit dan tidak banyak, karena ia masih mencoba-coba antara melakukan
atau tidak melakukan.
-
Kata " مسّ " yang berarti mengenai dengan sedikit, hal
ini tentunya juga menunjukkan akan sesuatu yang sedikit.
-
Kata " نفحة " materinya berupa bau yang sepintas lalu,
dan ini menunjukkan sesuatu yang sedikit, sebagaimana bentuk katanya yang
menunjukkan akan sesuatu yang satu, yakni yang satu dan kecil, apalagi harakat
tanwin pada kata "
نفحة "
yang bersifat nakirah dalam bahasa arab juga menunjukkan akan sesuatu yang
sangat kecil sekali sehingga tidak dapat diidentifikasi dan diketahui.
-
Kata " من " berarti sebagian atau bagian dari sesuatu,
hal ini juga menandakan akan sesuatu yang sedikit.
-
Kata " عذاب " menginspirasikan akan sesuatu yang ringan
dari sebuah hukuman bila dibandingkan dengan makna yang terkandung dalam
semacam kata "
النكال "
atau "
العقاب "
, hal ini
juga menandakan akan sesuatu yang sedikit dan ringan.
-
Kata " ربك " digunakan dalam redaksi ayat diatas dan
tidak digunakan semacam kata "
القهار ",
"
الجبار "
atau "
المنتقم "
juga untuk mengesankan kepada segenap pembaca, bahwasannya adzab yang
diturunkan barulah sebatas adzab yang ringan, dikarenakan kata " ربك " itu sendiri mengandung makna belas
kasih sayang.
Demikianlah
bagaimana sesungguhnya redaksi kalimat pada ayat diatas semuanya menunjukkan :
kalau saja adzab tuhan yang baru sedikit dan ringan sangatlah pedih dan
membekas, maka bagaimana gambaran akan pedih dan dahsyatnya adzab tuhan itu
secara keseluruhan? Demikianlah dapat kita perhatikan bagaimana terjadi sebuah
korelasi yang sangat apik dan rapi dalam sebuah redaksi kalimat Al Qur’an,
dimana terdapat kekompokan dalam semua komponen yang terdapat didalamnya,
sebagaimana setiap komponen yang terkandung di dalamnya juga saling mendukung
dan menyatu dalam mencapai sebuah maksud yang hendak dicapai.
Embrio penafsiran metode susastra tersebut sudah ada
sejak zaman Nabi, contohnya adalah ketika Nabi SAW ditanya tentang surat
Al-Baqarah 187: “Maka makan minumlah engkau hingga terang bagimu benang putih
dari benang hitam, yaitu fajar”. Nabi kemudian ditanya oleh Uday bin Hatim:
“apakah dua benang tersebut seperti benang yang sudah dikenal, yakni benang
hitam dan putih?” Nabi menjawab: “Yang dimaksud benang hitam adalah gelapnya
malam dan benang putih adalah terangya siang. Peralihan makna frasa dari benang
hitam dan benang putih menjadi gelapnya malam dan terangnya siang merupakan
perubahan makna dari yang asasi menjadi makna majaz.
Jika ada
dua lafal untuk satu makna atau untuk satu benda, niscaya lafal yang satu
memiliki kekhususan yang tidak dimiliki lafal lainnya, kalau tidak demikian
niscaya lafal yang lainnya itu sia-sia, lafal yang banyak itu hanya merupakan
sifat. Misalnya, dikatakan makna batu memiliki 70 lafal, makna singa 500 lafal,
makna ular 200 lafal dan makna pedang 50 lafal.[13]
Bintu al
Syati telah berusaha membuktikan bahwa taraduf atau sinomin tidak ada
dalam al Qur’an. Sebagai contoh lafal ru’ya (رؤيا) dan ahlâm(اخلام) yang sering diartikan sama. Lafal ahlâm
ditampilkan dalam al Qur’an tiga dalam bentuk plural, dan didahului lafal adgâs (اضغاث) (membangunkan),
sedangkan lafal ru’ya ditampilkan dalam tujuh kali dalam bentuk tunggal
dan semuanya dalam kontek mimpi yang benar.[14]
Demikian
halnya lafal zauj,
(زوج) lafal
zauj dalam al Qur’an hanya ditampilkan dalam kontek kehidupan suami
istri yang penuh kasih sayang dan memiliki keturunan seperti surah al Rum (30 :
21) dan al Furqân (25 : 74). Sedangkan untuk kehidupan keluarga yang tidak
berjalan kasih sayang karena ada khianat atau perbedaan aqidah, diungkapkan
dengan lafal Imraah seperti dalam surah Yusuf (12 : 30, 52) al Tahrim
(66 : 10-11). [15]
Demikian pula lafal-lafal yang lain seperti, halafa(حلف) dan aqsama(اقسم) , al khusyu’ (الخشوع)dan al khasy (الخشي) , al ins (الإنس)dan al insanالإلنسان),(al ni’mah (التعمة)dan al naim (النعيم)dan lain-lain.[16]
Di dalam
al-Quran terdapat pula homonim yaitu kata yang bunyinya sama tetapi mengandung
arti dan pengertian yang berbeda[17].
Lafal quru
(قروء)
adalah salah satu homonim dalam al-Quran yang terdapat dalam surat al-Baqarah
(2) : 228. Al-Syafi’i mengartikannya suci, sedangkan Abu Hanifah mengartikannya
haid. Kedua pihak mengemukakan argumentasi yang kuat. Menurut al -Syafi’i,
secara etimologis quru’ artinya menahan. Keadaan suci bagi wanita itu
hakekatnya adalah menahan darah, sedangkan haid mengeluarkan darah. Disamping
itu lafal quru’ didahului lafal bilangan salasata (feminim) yang
mengharuskan kata benda yang dihitungnya berbentuk maskulin yang tiada lain
adalah quru’ dalam pengertian tuhrun (طهر) (suci).
C. Keistimewaan Dan Kelemahan Tafsir I’jaz al-Bayani
Keistimewaan:
1. Bintu
Syati’ merupakan intelektual Islam yang banyak memberikan sumbangsih pikirannya
untuk kemajuan ilmu tafsir. Analisa teks yang beliau terapkan dalam tafsirnya,
banyak diikuti oleh penafsir-penafsir saat ini. Metode ini lebih relevan dan
realistis untuk diterapkan, karena disamping lebih tepat dengan kondisi sosial
masyarakat saat ini, juga dapat memahami gagasan dalam Al Qur’an secara utuh
(tidak parsial).
2. Dalam
tafsirnya, beliau kerap kali menyebutkan komentar-komentar beberapa ulama zaman
dahulu seputar analisa teks mereka, kemudian memberikan koreksi dan pembenaran.
Terutama dalam pembahasa diksi dalam Al Qur’an.
3. Ayat-ayat
yang setema disusun berdasarkan kronologi pewahyuannya.
Kelemahan:
1. Pada
langkah ketiga, jika pemahaman lafaz al-Qur’an harus dikaji lewat pemahaman
Bahasa Arab yang merupakan bahasa “induknya”, padahal kenyataannya, tidak
sedikit istilah dalam syair dan prosa Arab masa itu tidak dipakai oleh
al-Qur’an, maka itu berarti membuka peluang dan menggiring masuknya unsur-unsur
tafsiran asing ke dalam pemahaman al-Qur’an; sesuatu yang sangat dihindari oleh
Bint al-Syathi sendiri.
2. Bint
al-Shati’ kurang konsisten dengan metode penafsiran yang ditawarkan, yakni
mengkaji tema tertentu, melainkan lebih pada analisis semantik. Kenyataannya,
ketika Bint al-Syathi menafsirkan ayat-ayat pendek, ia mengumpulkan
lafazh-lafazh yang serupa dengan lafaz yang ditafsirkan, kemudian menganalisis
dari sisi bahasa (semantik). Di sinilah Bint al-Shati’ banyak menuai kritik
karena tidak konsisten dengan metode yang dikemukakannya. Dengan demikian,
meskipun metode tematik yang ditawarkan sangat bagus dan kompleks, ia tidak
dianggap sebagai pencetus metode tematik.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Untuk
memahami Al-Qur’an maka harus dicari arti linguistik aslinya untuk menangkap
pesan moral dan hidayah Al-Qur’an. Pentingnya menata atau menertibkan ayat-ayat
dalam menafsirkannya. Masing-masing surat memuat tema yang berbeda yang dapat
dijumpai dalam surat lain.
Bintusy
Syathi’ adalah mufasir era kontemporer dengan keahliannya dalam bidang sastra,
maka beliau mengangkat penafsiran ayat-ayat al Qur’an dengan menonjolkan segi
semantik. Metode yang digunakan adalah dengan munasabah dan tidak terlalu
berkutat pada asbabun nuzul suatu ayat. Beliau berusaha seobyektif mungkin
membiarkan teks al Qur’an berbicara dengan sendirinya.
Pendekatan yang
dipakai oleh Bint al-Syathi’ adalah tafsir
tahlily dengan metode tafsir bil-adabi. Tafsir
Adabi
adalah analisa teks dengan mengungkap sisi
sastra yang terkandung didalam Al Qur’an.
Setelah
mengetahui teori Asinonimitas yang dibawa Bint al-Syati' di atas, ternyata
penulis dapat menyimpulkan bahwa teori ini pada dasarnya menyatakan bahwa tidak
ada sinonim murni di dalam al-Qur'an, karena setiap element, baik kata,
struktur atau kalimat yang ada di dalam al-Qur'an mengandung i'jaz bayani, yang
kemudian apabila setiap element kata tersebut diganti dengan yang lainnya, maka
al-Qur'an pasti akan kehilangan efektifitasnya, ketepatannya, ke-indahannya dan
esensinya.
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah Abd al Rahman Bint al Syati. 1971. al
I’jaz al Bayan li al Qur’an. Kairo : Dâr al Mâarif.
_____________________________. 1996. Tafsir Bint
al-Syathi, terj. Muzakir. Bandung: Mizan.
Al-Suyuthi.
1313. Dur al-Mansur, Kairo: Dar al-Ma’arif.
Henri
Guntur Tarigan. 1986. Pengajaran Semantik. Bandung : Angkasa.
Ichwan, Moch. Nur. 2003 Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an; Teori
Hermeneutika Nashr Abu Zayd. Jakarta Selatan: Penerbit Teraju.
Muhammad
Amin. 1992. A Study of Binth al-Shati Exegesis. Kanada: Tesis Mcgill.
Muhammad
Yusron. 2006. Studi Kitab Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: Teras.
Supiana dan M. Karman. 2002. Ulumul
Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir. Bandung: Pustaka Islamika.
[1]Moch. Nur Ichwan, Meretas
Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an; Teori Hermeneutika Nashr Abu Zayd. (Jakarta
Selatan: Penerbit Teraju, 2003), 45.
[2] Supiana dan M.
Karman, Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir (Bandung: Pustaka
Islamika 2002), 225.
[3]Muhammad Amin, A
Study of Binth al-Shati Exegesis (Kanada: Tesis Mcgill, 1992), 6.
[4]Issa J. Boullata, Tafsir al-Qur’an Modern Studi atas Metode Bint
al-Syathi, dalam Jurnal Al-Hikmah, (no. 3, oktober 1991), 6.
[5]Ibid., 11.
[6]Ibid., 8
[7]Muhammad Yusron, Studi
Kitab Tafsir Kontemporer,(Yogyakarta: Teras, 2006), 24.
[8]Al-Suyuthi, Dur
al-Mansur, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1313 H), 7.
[9]A’isyah Bint
al-Syathi, Tafsir Bint al-Syathi, terj. Muzakir (Bandung: Mizan,
1996), 35-36.
[10]Muhammad Amin, A
Study of Binth al-Shati, 32.
[11]A’isyah Bint
al-Syathi, Tafsir Bint al-Syathi, terj. 30.
[12]Aisyah Abdurrahman, Al
I’jaz Al Bayani Fi Al Qur’an Wa Masail Nafi’ Bin Al Azraq, Penerbit : Al
Ma’arif, hal.122, cet. 1971 M.
[13]Aisyah Abd al Rahman
Bint al Syati, al I’jaz al Bayan. 213.
[14]Ibid., 215.
[17]Henri Guntur Tarigan ,
Pengajaran Semantik, (Bandung : Angkasa, 1986), 30.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar