BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Adanya
pandangan akan adanya kebutuhan akan alternatif-alternatif baru dalam
menghadapi problema kemanusiaan yang terjadi pada masyarakat, telah memberikan
dampak yang sangat besaar dalam perkembangab tafsir Al-Quran. Akibatnya
munculah keaneka ragaman metode, corak, dan hasil penafsiran Al-Quran, yang
salah satunya adalah corak dan kecenderungan tafsir dengan melihat pola sosial
kemasyarakatan (al ijtima’iyah). Muhammad abduh misalnya, ketika berhadapan
denngan masyarakat islam yang pada umumnya “tertidur” dan bersimpuh pada
kekuasaan asing yang menjajah tanah airnnya, jelas-jelas banyak mempersoalkan
gaya berfikir dan gaya hidup masyaarakat, dalam tafasirnya. Sikap ijtihad dan kembali pada
sumber ajaran islam ( Al-Quran dan As-Sunah ), merupakan bagian dari
pandangannya yang banyak ditemukan dalam tafsirnya. Namun begitu, Muhammad
Abduh tidak memberikan label secara resmi pada tafsirnya ( Al-manar ) bercorak
sosial kemasyarakatan. Akan tetapi ( Al-manar ) mencerminkan ke
arah sana dalam misi penafsirannya.
Tafsir
al-Manar merupakan salah satu kitab tafsir popular di kalangan para peminat studi al-Quran.
Majalah al-Manar, yang memulai tafsir ini secara berkala padaawal abad ke-20
tersebar luas ke seluruh penjuru dunia Islam dam memiliki peranan yang tidak
kecil dalam pencerahan pemikiran serta penyuluhan agama.Tokoh utama dalam
penafsiran ini serta yang berjasa meletakan dasar-dasarnyaadalah Syaikh
Muhammad Abduh, yang kemudian dikembangkan oleh murid sekaligus sahabatnya,
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha.
B.
Rummusan Masalah
1.
Siapa yang menulis tafsir Al-Manar?
2.
Apa yang melatar belakangi penulisan tafsir
Al-Manar?
3.
Bagaimana karakteristik dari tafsir Al-Manar?
C.
Tujuan Masalah
1.
Untuk mengetahui Siapa yang menulis tafsir Al-Manar.
2.
Untuk mengetahui yang melatar belakangi penulisan
tafsir Al-Manar.
3.
Untuk mengetahui karakteristik dari tafsir Al-Manar.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Pengarang kitab Al-Manar
Sayyid Muhammad Rasyid
Ridha memiliki nama lengkap Sayyid Muhammad Rasyid Ridha ibn ‘Ali Rida ibn
Muhammad Syamsuddin ibn al-Sayyid Baha’uddin ibn al-Sayyid Manlan ‘Ali Khalifah
al-Bagdadi, dilahirkan di Qalmun, suatu kampung sekitar 4km dari Tripoli,
Lebanon, pada tanggal 27 Jumadil Ula 1282 H. dia adalah seorang bangsawan arab yang
mempunyai garis keturunan langsung dari Sayyidina Husain, putra Ali bin Abi Thalib dan
Fatimah putra Rasullulah SAW. Gelar
“Sayyid” pada permulaan namanya adalah gelar yang biasa diberikan kepada semua yang mempunyai
garis keturunan tersebut. Keluarga beliau dikenal oleh lingkungannya sebagai
keluarga yang sangat taat beragama serta menguasai ilmu-ilmu agama, sehingga mereka
juga dikenal dengan sebutan Syaikh´.Salah seorang kakek beliau, yaitu Sayyid
Syaikh Ahmad, sedemikian patuh dan wara-nya sehingga seluruh waktunya hanya
digunakan untuk membaca dan beribadah,serta tidak menerima tamu kecuali
sahabat-sahabat dekat dan ulama, itu pun pada waktu-waktu tertentu, yaitu
antara Ashar dan Magrib. Ketika Ridha mencapai umur remaja, ayahnya telah mewarisi
kedudukan, wibawa serta ilmu sang nenek moyang,sehingga banyak terpengaruh oleh
ajaran-ajaran tersebut.
Disamping
belajar kepada ayahnya sendiri, beliau belajar juga kepada sekian banyak guru. Dimasa
kecil beliau belajar di taman-taman pendidikan dikampungnya yang ketika itu dinamai
Al-Kuttab, di sana diajarkan membaca al-Quran, menulis dan dasar-dasar
berhitung. Setelah tamat, beliau dikirim oleh orang tuanya ke
Tripoli (Lebanon) untuk belajar di Madrasah Ibtidaiyah yang mengajarkan Nahwu,
Sharaf, Aqidah, Fiqh, Berhitung danIlmu Bumi. Bahasa pengantar yang digunakan
di sekolah adalah bahasa Turki, mengingat Lebanon pada waktu itu
dibawah kekuasaan kerajaan Usmaniyah. Mereka yang
belajar disana di persiapkan untuk menjadi pegawai-pegawai pemerintah. Karena itu, beliau
tidak tertarik untuk terus belajar disana. Setahun kemudian, yaitupada tahun
1299 H/ 1822 M, beliau pindah ke Sekolah Islam Negeri yang merupakan sekolah
terbaik pada saat itu dengan bahasa Arab sebagai kata pengantar, disamping itu diajarkan
pula bahasa Turki dan Peracis. Sekolah ini didirikan
dan dipimpin oleh ulamabesar Syam ketika itu, yakni Syaik Husain al-Jisr.
Syaik inilah yang kelak mempunyai andil
sangat besar terhadap perkembangan pemikiran beliau, karena hubungan antara keduanya tidak terputus
walaupun kemudian sekolah itu ditutup oleh pemerintah turki. Syaikh Husain
al-Jisr juga lah yang memberi kesempatan kepada beliau untuk menulis dibeberapa
surat kabar di Tripoli.Pada tahun 1314 H/ 1897 M, Syaikh Muhammad al-Jisr
memberikan ijasah kepada beliau dalam bidang ilmu-ilmu agama, bahasa, dan
filsafat. Disamping guru tersebut,beliau juga belajar pada guru-guru yang lain
seperti, Syaikh Muhammad Nasyabah (ahli dalam bidang hadist), Syaikh Muhammad
al-Qawijiy (ahli dalam bidang hadist), SyaikhAbdul Gani ar-Rafi (pengajar kitab
hadist Nail al-Authar), al-Ustadz Muhammad al-Husaini, Syaikh Muhammad Kamil
ar-Rafi, dan Syaikh Muhammad Abduh.
Beliau
wafat dalam perjalanan pulang dari kota Suez di mesir, setelah
mengantar Pangeran Saud al-Faisal (yang kemudian menjadi raja Saudi
Arabia), dikarenakan mobilyang dikendarainya mengalami kecelakaan dan beliau
mengalami gegar otak. Selama dalam perjalanan beliau hanya membaca al-Quran,
Walaupun beliau telah sekian kalimuntah. Setelah memperbaiki posisinya, tanpa
disadari oleh orang-orang yangmenyertainya beliau wafat dengan wajah yang
sangat cerah dengan disertai senyuma,beliau wafat pada tanggal 23 Jumadil
Ula 1345/ 22 Agustus 1935 M.[1]
B.
Latar Belakang Penulisan Tafsir Al-manar
Latar
belakang penulisan tafsir al manar ini adalah karena Rasyid Ridha ini karena
beliu menyadari adanya bidah dan khufarat yang terdapat dalam ajaran tasawuf
dan tarekat. Karena itu ajaran-ajaran tersebut ditinggalkannya. Ia juga
berupaya membimbing masyarakat agar meninggalkan ajaran-ajaran yang telah
bercampur dengan bidah dan khufarrat tersebut. Upaya yng dilakukannya antara
lain membuka pengajian, menebang pohon yang dianggap keramat dan membawa
berkah, dan melarang masyarakat mencari berkah dari kuburan para
wali dann bertawasul dengan para wali yang telah wafat.
Setelah
pertemuanya yang kedua dengan Muhammad Abduh 1885, pengaruh ide pembaharuan
Al-Afghani dan Abduh semakin mendalam pada diri Ridha. Ide-ide pembaharuan yang
selaras dengan visinya itu iterapkan pada tempat kelahirannya, namun karena
mendapat tantangan dari penguasa, Ridha berhijrah ke Mesir dan bergabung dengan
Abduh dalam memperjuangkan pembaharuan pada 1352 H/1885 M. Dimesir Ridha
menjadi murid sekaligus mitra, penrjemah, pengulas pemikiran-pemikiran Abduh.
Pada
awalnya Tafsir almanar ini berangkat dari majalah almanar yang terbit dalam
bentuk tabloid yang terbit seminggu sekali, kemudian setengah bukan
sekali, kemudian sebulan sekali, dan kadang-kadang setahun hanya sembilan
nomor. Majalah itu ditrebitkan Ridha seorang diri hingga akhir hayatnya. Apa
yang dilakukan Rasyid ridaha adalah prestasi besar yang sulit ditandingi orang
lain, Selama al-Manar terbit, sebanya 34 jilid bear setiap jilidnya berisi 1000
halaman telah terkumpul seluruhnya. Setelah Rasyid ridha wafat, masih ada
inisiatif dari keluarga dan sahabatnya untuk terus menerbitkan
majalah tersebut, namun mereka hanya mampu menerbitkan sebanyak dua nomor yang
kemudian dihimpun menjadi ke-35.[2]
C.
Metode dan corak penafsiran
Metodologi
tafsir dapat diartikan sebagai pengetahuan cara yang ditempuh dalam menelaah,
membahas dan merefleksikan kandungan al-Qur’an secara apresiatif berdasarkan
kerangka konseptual tertentu sehingga menghasilkan suatu karya tafsir yang
representif. Metodologi tafsir merupakan alat dalam upaya menggali pesan-pesan
yang terkandung dalam kitab suci umat Islam tersebut.
Selanjutnya
dalam ilmu tafsir setidaknya diketahui ada empat metode yang ditempuh para
mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, yaitu:
1. Metode Tahlili, yaitu salah satu
metode tafsir dengan menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai
aspeknya. Mufassir yang menggunakan metode ini umumnya menafsirkan ayat secara
tertib dari al-Fatihah sampai An-Naas sesuai dengan urutan mushaf Ustmani.
Melalui
metode ini seorang mufassir juga dituntut menjelaskan kandungan ayat secara
luas dan terperinci. Sehingga ia harus mampu menguraikan kosakata dan lafadz,
ijaz dan balaghahnya, munasabah dan asbabul nuzul, juga aspek-aspek tafsir lainnya.
Oleh karena itu penafsiran dengan metode ini akan menghasilkan penafsiran yang
luas dan mendalam.
2. Metode Ijmali, yaitu metode
menafsirkan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dengan meyampaikan makna globalnya
saja. Dengan metode ini mufassir hanya menyampaikan makna pokok dari ayat yang
ditafsirkan dan menghindari hal-hal yang dianggap diluar makna pokok tersebut.
Sehingga penafsiran dengan metode ini umumnya sangat singkat dalam
penjelasannya.
3. Metode Muqaran, sesuai dengan
namanya, metode tafsir ini menekankan kajian pada aspek perbandingan (komparasi)
tafsir al-Quran. Perbandingan dimaksud dapat berupa ayat dengan
ayat, surat dengan surat, al-Qur’an dengan hadits, atau
perbandingan antar mufassir sebelumnya.
4. Metode Maudhu’i, metode tafsir yang
pembahasannya didasarkan tema-tema tertentu dalam al-Qur’an. Sehingga metode
ini sering disebut metode tematis.[3]
Setelah
menjelaskan macam-macam metode dan corak tafsir dan membandingkan dengan tafsir
al-Manar karya Rasyid Ridha, maka setelah dianalisis dengan seksama dapat
disimpulkan bahwa metode penafsiran yang beliau gunakan dalam tafsirnya
merupakan metode muqaran. Dikatakan muqaran karena beliau membandingkan ayat
dengan ayat, surat dengan surat, al-Qur’an dengan hadits, dan juga
beliau memasukkan pendapat sahabat. Contoh:[4]
Adapun
orak yang digunakan Rasyid Ridah menggunakan corak adabi Ijtima’i, sesuai
dengan pandangan gurunya Muhammad Abduh. Corak ini bercirikan antarlain
sebagaimana rumusan yang diberikan oleh Quraish Shihab, yaitu:
1. Memperhatikan ketelitian redaksi
ayat-ayatnya adab dalam al-Quran.
2. Menguraikan makna dan kandungan
ayat-ayat dengan susunan kalimat yang indah (menekankan pada keindahan bahasa
al-Quran dan susunan redaksinya).
3. Aksentuasi yang menonjolpada tujuan
utama diturunkannya al-Quran.
4. Penafssiran ayat dikaitkan dengan
hukukm-humum alam (sunatullah) yang berlaku dalam masyarakat.
Unsur
pertama dan kedua menujukkan corak adabi, sedangkan unsur ketiga dan keempat
menunjukkan pada corak ijtima’i. Selanjutnya, dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud
dengan tafsir yang bercorak ijtima’i adalah tafsir yang berorientasi pada
masalah–masalah tersebut kemudian dikaitkan dengan penafsirn suatau ayat
al-Quran untuk mengetahui bagaimana pandangan al-Quran terhadap masalah-masalah
tersebut dan bagaimana menanggulangi problema kemasyarakatan menurut al-Quran.
Dikatakan adabi karena menitik beratkan orientasinya pada bahasa atau
analisisnya pada masalah-masalah yang berkaitan dengan sstra dalam pengetiannya
yang paling umum dan luas.[5]
D.
Pemikiran Pembaruan Muhammad
Rasyid Ridha
Untuk membicarakan pemikiran pembeharu yang di cetuskan oleh Rasyid Rida
perlu di bahas tentang beberapa kajian meliputiaspek-aspek teologi, syariat dan
pendidikan.
1.
Kemurnian aqidah
Muhammad Rasyid Rida
hidup dalam kurung waktu 1282 H/1863M-1354H/1935M dalam suasana politik
pemerintahan kerajaan usmani. Pemikiranya yang berkaitan dengan teologi
terutama mengajak umat Islam kembali ke zaman awal di saat umat Islam masih
memiliki akidah yang
murni.[6]
Zaman ini disebut
dengan zaman salaf yang meliputi masa rasul dan sahabat.keutamaan generasi awal
ini telah diisyaratkan dalam al-Qur’an surat 9 (al-Taubah) ayat 100, sebagai
berikut:
šcqà)Î6»¡¡9$#ur tbqä9¨rF{$# z`ÏB tûïÌÉf»ygßJø9$# Í‘$|ÁRF{$#ur tûïÏ%©!$#ur Nèdqãèt7¨?$# 9`»|¡ômÎ*Î š†Å̧‘ ª!$# öNåk÷]tã (#qàÊu‘ur çm÷Ztã £‰tãr&ur öNçlm; ;M»¨Zy_ “Ìôfs? $ygtFøtrB ã»yg÷RF{$# tûïÏ$Î#»yz !$pkŽÏù #Y‰tr& 4 y7Ï9ºsŒ ã—öqxÿø9$# ãLìÏàyèø9$# ÇÊÉÉÈ
Artinya:
orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari
golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya
selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.
Akida Islam pada saat
itu masih belum tercemar oleh unsur-unsur tradisri dan pemikiran filosofis.
Pemahaman terhadap agama mereka masih bersandar pada sumber yang utentik yaitu
al-Qur’an dan hadis.[7]
2.
Akal dan wahyu
Kajian teologis berkenaan dengan akal dan wahyu di kalangan mutakallimin
mempermasalahkan kesanggupan akal dan fungsi wahyu terhadap persoalan pokok
Islam dalam agama yaitu Tuhan serta kebaikan dan kejahatan. Pertanyaan yang
dimajukan adalah sebagai berikut:
a.
Dapatkah akal mengetahui adanya Tuhan?
b.
Kalau ya, dapatkah akal mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan?
c.
Dapatkah akal
mengetahui apa yang baik dan apa yang jahat?
d.
Kalau ya,dapatkah akal
mengetahui bahwa wajib bagi manusia berbuat baik dan wajib baginya menjauhi
perbuatan jahat?
Dalam menjawab keempat pertanyaan tersebut kaum
teolog terbagi dua aliran yaitu aliran rasioanal dan aliran
tradisional.kalangan aliran rasional seperti Mu’tazilah dan Maturidiah
Samarkand menempatkan akal sebagai mempunyai daya yang kuat. Sedangkan bagi kalangan aliran tradisional seperti Asy’ariah dan maturidia
Bukhara menempatkan akal daya yang lemah.
Intensitas kekuatan akal dalam mengkaji
masalah-masalah ketuhanan terutama untuk menjawab empat macam pertanyaan
sebaimana dinyatakan Harun Nasution sebagai berikut:
Kalau kita selidiki buku-buku klasik tentang ilmu
kalam akan kita jumpai bahwa persoalan kekuasaan dan fungsi wahyu ini
dihubungkan dengan dua masalah pokonya masing-masing bercabang dua. Maslah pertama di hubungakan dengan dua masalah yang masing-masing
bercabang dua. Masalah pertama ialah soal pnegetahuan Tuhan dan masalah kedua
soal baik dan jahat. Masalah pertama bercabang dua menjadi mengetahui Tuhan dan
kewajiban mengetahui Tuhan, yang dalam istilah Arab disebut husnul ma’rifat
Allah dan wujud ma’rifat Allah. Kedua cabang dari masalah ialah mengetahui baik
dan jahat dan kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan jahat
atau ma’rifat husn wa al qubh dan wujud ub I’tin’aq al hasan wa ijtin’ab al
qabih yang juga disebut al-tahs in wa al taqb’in.
Polemik yang terjadi di kalangan Islam rasional dan
tradisional terhadap empat persoalan ketuhanan tersebut terutama mencakup
manakah yang dapat diperoleh dengan akal dan mana yang diperoleh melalui wahyu.
Pemikiran Rasyid Rida dalam aspek ketuhanan
menghendaki agar urusan keyakinan mengakui petunjuk dari wahyu. Sungguhpun
demikian akal tetap diperlukan untuk memberikan penjelasan dan argumentasi
terutama kapada mereka yang masih ragu-ragu. Dengan kat lain Rasid Rida melihat
wahyu mempunyai fungsi yang sangat penting untuk memahami persoalan-persoalan
pokok dalam agama. Pada sisi lain akalpun memeiliki kesanggupan untuk
memperoleh pemahaman terhadap persoalan-persoalan pokok keagamaan karena pada dasarnya wahyu member motivasi
agar manusia menggunakan akalnya serta mencelah mereka yang memiliki keyakinan
terhadap Tuhan tampa dibarengi dengan argumen-argumen rasional yang kuat.
3.
Sifat Tuhan
Bagi Rasyid Rida, dengan memahami teks
al-Qur’an yang berkenaan dengan soal
Tuhan dipahami bahwa Tuhan itu mempunyai sifat, sebagaimana halnya dengan
pandangan golongan salafiah Ahmad Ibnuhambal dan Ibnu Taimiah.[8]
Oleh karean itu, dalam memahami sifat Tuhan, Rasyid Rida memiliki corak
teologi Asy’ariyah. Namun demikian terdapat perbedaan dalam memberikan
interpretasi tentang sifat-sifat Tuhan Asy’ariah menyikapi sifat Tuhan dengan
pandangan bili kaifa (tampa perlu memberikan takwil) dan demikian pula
Ahmad Ibn Hambal.
Pemahaman Rasyid Rida terhadap sifat-sifat Tuhan pada dasarnya mengaku dan
menetapkan adanya sifat(isba’at al-sifat). Ia menyebut bahwa sifat-sifat
Tuhan itu tergambar dalam al-asma’
al-husn’a.
4.
Perbuatan Manusia
Perbuatan Manusia, menurut Rasyid Rida sudah dipolakan oleh suatu hukum yang telah
ditetapakan Tuhan yang disebut sunnatullah, yang tidak mengalami perubahan.
Tuhan berfirman dalam surat Al-Fath ayat 23 sebagai berikut:
sp¨Zß™ «!$# ÓÉL©9$# ô‰s% ôMn=yz `ÏB ã@ö6s% (
`s9ur y‰ÅgrB Ïp¨ZÝ¡Ï9 «!$# WxƒÏ‰ö7s? ÇËÌÈ
Sebagai suatu sunnatullah yang telah Berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali
tiada akan menemukan peubahan bagi sunnatullah itu.
Berkenaan dengan sunnatullah,
Rasyid Rida menjelaskan sebaimana berikut:“bahwa Allah SWT membuat
aturan-aturan tentang penciptaan-penciptaan atau kejadian- kejadian yang
memberikan petunjuk kepada manusia sebagai hukum umum yang menjelaskan tentang
sebab-sebab dan musabab-musabab. Hal itu tidak
terjadi perbedaan antara seseorang
dengan lainya.[9]
E.
Contoh Penafsiran Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar
Contoh yang dikemukakan di sini adalah penafsiran
Rasyid Ridha terhadap surat Al-an’am 32,
$tBur äo4quysø9$# !$u÷R$!$# wÎ) Ò=Ïès9 ×qôgs9ur ( â#¤$#s9ur äotÅzFy$# ×öyz tûïÏ%©#Ïj9 tbqà)Gt 3 xsùr& tbqè=É)÷ès? ÇÌËÈ
yang artinya:“dan Tiadalah kehidupan dunia
ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka” Rasyid Ridha memulai
uraiannya dengan menerangkan bahwa Al-La’ibu (permainan) adalah:
“Suatu perbuatan yang dilakukan oleh pelakunya bukan
untuk suatu tujuan yang wajar, yakni mengakibatkan manfaat atau mencegan
madharat”31 sedang Al-Lahwu “adalah suatu perbuatan yang mengakibatkan
lengahnya seseorang dari pekerjaannya yang lebih bermanfaat dan penting”,
sehingga dengan demikian segala sesuatu yang mengakibatkan kesenangan adalah
Lahwun.32
Selanjutnya, dukutipnya pendapat Ar-Raghib Al-Asfahani
serta pengarang kitab Lisan Al-Arab (Ibnu Manzur) kemudian disusul dengan
kesimpulan sementara bahwa Al-Lahwu jika disebutkan tanpa dibarengi oleh suatu
kata, maka ia berarti segala sesuatu yang menyibukkan seseorang dari
kesulitan-kesulitan yang dihadapinya atau kesedihan-kesedihannya; kesibukan
tersebut dapat berupa permainan, nyanyian, atau apa saja yang mendatangkan kegembiraan.
Pengertian ini menurut Rasyid Ridha selanjutnya dapat
lebih luas lagi sehingga ia terkadang berarti segala sesuatu yang menyenangkan
dan menggembirakan walaupun bukan dengan tujuan menyibukkan diri dari sesuatu
yang lebih penting dan berguna. Untuk pengertian yang luas ini
Rasyid Ridha mengutip sajak Umru’ul Qais: Ala
Za’imat bisabasati al-yaumi annani Kaburtu wa an la yuhsinna al-lahwa amtsali Kata
Al-Lahwu dapat pula diartikan dengan menyibukkan diri dari suatu persoalan
penting ke persoalan lainnya walaupun untuk maksud ini biasanya digunakan kata
kerja bukan mashdar (kata jadian) seperti firman Allah dalam surah ‘Abasa: 10:
Setelah Rasyid Ridha menjelaskan arti kata tersebut,
dia beralih untuk menafsirkan ayat Al-An’am 29 yang menggunakan kata-kata jadi,
penjelasan yang cukup panjang dibarengi dengan mengutip sajak-sajak Abu Thayyib
Al-Mutanabby dan Abul ‘Ala’ Al Ma’ary, kemudian disusul dengan membandingkannya
dengan ayat-ayat surah Muhammad 36, Al-Hadid 20 dan Al-Ankabut 63, dengan
menyatakan bahwa dalam ayat Al-’Ankabut, Tuhan mendahulukan Al-Lahwu daripada
Al-La’ibu sedang dalam ayat yang lain sebaliknya.
Menurut Rasyid Ridha, sebagian besar mufassir tidak
memberikan perhatian menyangkut perbedaan redaksi tersebut karena mereka
beranggapan bahwa huruf wa (dan) hanya sekedar “menghimpun antara apa yang
disebut pertama dengan yang disebut sesudahnya” tanpa mengandung suatu rahasia mengapa
kata ini didahulukan atau dikemudiankan.
Menyangkut hal ini dikutipnya pendapat-pendapat
Al-Alusy, Al-Khatib Al-Iskafy, kemudian dikemukakan pandangannya. Menurut
Rasyid Ridha, mencari rahasia didahulukannnya Al-La’ibu atau Al-Lahwu tidaklah
merupakan hal yang sulit, bahkan tidak perlu dipertanyakan karena hal tersebut
merupakan urutan-urutan kronologis yang wajar bagi kehidupan manusia seperti
yang dijelaskan dalam ayat 20 surah Al-Hadid:
(#þqßJn=ôã$# $yJ¯Rr& äo4quysø9$# $u÷R9$# Ò=Ïès9 ×qølm;ur ×puZÎur 7äz$xÿs?ur öNä3oY÷t/ ÖèO%s3s?ur Îû ÉAºuqøBF{$# Ï»s9÷rF{$#ur ( È@sVyJx. B]øxî |=yfôãr& u$¤ÿä3ø9$# ¼çmè?$t7tR §NèO ßkÍku çm1utIsù #vxÿóÁãB §NèO ãbqä3t $VJ»sÜãm ( Îûur ÍotÅzFy$# Ò>#xtã ÓÏx© ×otÏÿøótBur z`ÏiB «!$# ×bºuqôÊÍur 4 $tBur äo4quysø9$# !$u÷R$!$# wÎ) ßì»tFtB Írãäóø9$# ÇËÉÈ
(#þqßJn=ôã$# $yJ¯Rr& äo4quysø9$# $u÷R9$# Ò=Ïès9 ×qølm;ur ×puZÎur 7äz$xÿs?ur öNä3oY÷t/ ÖèO%s3s?ur Îû ÉAºuqøBF{$# Ï»s9÷rF{$#ur ( È@sVyJx. B]øxî |=yfôãr& u$¤ÿä3ø9$# ¼çmè?$t7tR §NèO ßkÍku çm1utIsù #vxÿóÁãB §NèO ãbqä3t $VJ»sÜãm ( Îûur ÍotÅzFy$# Ò>#xtã ÓÏx© ×otÏÿøótBur z`ÏiB «!$# ×bºuqôÊÍur 4 $tBur äo4quysø9$# !$u÷R$!$# wÎ) ßì»tFtB Írãäóø9$# ÇËÉÈ
ketahuilah, bahwa
Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan,
perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang
banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan Para
petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu Lihat warnanya kuning
kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan
dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah
kesenangan yang menipu.
Ayat ini bermula dengan Al-La’ibu karena hal itulah
gambaran dari karena hal itulah gambaran dari permulaan perkembangan dan
pertumbuhan manusia sebagai bayi, yang merasakan lezatnya permainan walaupun ia
sendiri melakukannya tanpa tujuan apa-apa kecuali bermain. Setelah itu
disebutkan Al-Lahwu karena hal itu tidak dapat dilakukan kecuali oleh orang
yang telah memiliki sedikit pikiran, bukan oleh seorang bayi.
Setelah
itu disusul dengan al-zinatu (perhiasan) karena yang demikian itulah sifat
remaja, setelah itu Tafakhoru (berbangga-bangga) karena itulah sifat pemuda dna
diakhiri dengan Takatsuru di al-amwal wa al-awlad (memperbanyak harta/anak)
karena itulah sifat orang dewasa.[10]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Manar adalah salah
satu kita tafsir yang berorientasi pada sastra budaya dan kemasyarakatan yaitu
suatu corak penafsiran yang menitikberatkan penjelasanayat Al-Qur’an pada
segi-segi ketelitian redaksionalnya, kemudian menyusunkandungan ayat-ayatnya
dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya
Al-Qur’an yakni membawa petunjuk dalam kehidupan kemudian merangkaikan
pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat
dan pembangunan dunia.22 Dua tokoh Tafsir Al-Manar yaitu Muhammad Abduh, dan
Muhammad Rasyid Ridha, karena dariMuhammad Abduh bahwa gagasan dari gurunya
yaitu Jamaluddin al-Afghani itudicerna, diterima dan diolah yang disampaikan
melalui penafsiran ayat-ayat al-Qur'an.
Dan dari Muhammad Rasyid Ridha
inilah kemudian menulis semua yang disampaikan sahabat dan gurunya itu dalam
bentuk ringkasan dan penjelasan. Dalam penulisan makalah tentang kajian kitab
Tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha, pada metode,
corak/aliran, keistimewaan dan kelemahan tafsirnya disajikan pada ciri-ciri
penafsirannya yang kami bahas di bagian sebelumnya. Pada dasarnya tafsir ini
ingin memfungsikan tujuan utama dari kehadiran Al-Qur’an, yakni sebagai petunjuk
serta pemberi jalan keluar bagi problema-problema umat manusia. Karena itu ia
tidak merinci hal-hal yang tidak dapat terjangkau oleh akal, khususnya dalam
bidang metafisika, sebagaimana juga tidak merinci hal-hal yang tidak dibutuhkan
oleh kaum Muslimin dalam kaitannya dengan kebahagiaan hidup mereka di di dunia
danAkhirat. Setiap manusia yang memiliki kelebihan dan kekurangandan di setiap
hasil renungan dan pemikiran dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti tingkat
intelegensi, kecenderungan pribadi, latar belakang pendidikan, bahkan
perkembangan ilmu pengetahuan dan kondisi sosial masyarakatnya.
B.
Refrensi
Athaillah, Rasyid
Ridha, Konsep Teologi Rasionl dalam
Tafsir al-Manar, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2006.
Abu Muhammad Al-Mahdi
Ibn Abd Al-Qodir Al-Hadi. Darul Ikhtisam: Thariqu Takhrij Hadist Rosululloh
Al-’Adawy, Ibrahim
Ahmad Rasyid Ridha: Al-Imam Al-Mujahid,
Kairo: Mathba’ah Mishr, 1964.
Al-Faramawy, Abd. Al-Hay Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Mawdu’iy,
Kairo: Al-Hadharah Al-’Arabiyah, 1977.
Amin, Utsman, Muhammad Abduh, (D.C. American Council of Learned
Societies, 1953)
Badri khaeruman, Sejarah prkembangan tafsir al-quran,
cet. Pertama, CV Pustaka Setia,Bandung, 2004
Haddad, Yvonne
Yazbeck. dalam Ali Rahnema (ed), Para
Perintis Zaman Baru Islam, Bandung: Penerbit Mizan
Hujair A.H Sanaky,
Metode tafsir ( Perkembangan Tafsir
menurut corak Mufassirin ). Pdf
Insiklopedia Islam jilid 4, Ikrar mandiri
abadi, Jakarta, 2001
Prof.Dr.H.
Muhaimin, M.A,Pembaharuan Islam:Refleksi pemikiran
Rasyid Rida dan Tokoh-Tokoh Muammadiah,(Cet.1,Yogyakarta:Pustaka
Dinamika,2000),
[1]
Insiklopedia Islam jilid 4, ( Ikrar mandiri abadi, Jakarta, 2001 ),
hlm.161
[2] A. Athaillah, Rasyid Ridha, Konsep Teologi
Rasionl dalam Tafsir al-Manar, Penerbit Erlangga,Jakarta, 2006 ),
hlm. 31 & 34
[3]
Hujair A.H Sanaky, Metode tafsir ( Perkembangan Tafsir menurut corak
Mufassirin ). Pdf
[4]
Contoh dibawah ini diambil dari pdf tafsir al-manar
[5] Badri khaeruman, ( Sejarah prkembangan tafsir al-quran, cet.
Pertama, CV Pustaka Setia,Bandung, 2004 ), hlm.178-179
[6]Muhaimin, M.A, Pembaharuan Islam:Refleksi pemikiran
Rasyid Rida dan Tokoh-Tokoh Muammadiah,(Cet.1,Yogyakarta:Pustaka
Dinamika,2000),Hlm.17
[7] Ibid,.Hlm.18
[8] Ibid,Hlm.32
[10] http://ummuslimah.wordpress.com/2009/10/17/metodologi-penafsiran-muhammad-abduh-dan-muhammad-rasyid-ridha-dalam-tafsir-al-manar/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar