PEMBAHASAN
A.
Identitas Buku
Judul Buku : Membumikan Al-Qur’an Fungsi dan
Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat
Penulis :
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit : Mizan
Tahun Terbit : 1992
Halaman : 421 Halaman
B.
Latar Belakang Penyusunan Buku
Al-Qur’an datang dengan membuka lebar-lebar mata manusia, agar
mereka menyadari jati diri dan hakikat keberadaan mereka di pentas bumi ini,
juga agar mereka tidak terlena dengan kehidupan ini, sehingga mereka tidak
menduga bahwa hidup mereka dimulai dengan kelahiran dan berakhir dengan
kematian. Juga sebagai firman Alloh yang menjadi petunjuk mengenai apa yang
dikehendakiNya. Jadi manusia yang ingin menyesuaikan sikap dan perbuatannya
dengan apa yang dikehendakiNya itu, demi meraih kebahagiaan akhirat, harus
dapat memahami maksud petunjuk-petunjuk tersebut.[1]
Oleh karena itu, penulis disini yang juga sebagai ahli di bidang
Al-Qur’an diminta oleh Penerbit Mizan untuk menerbitkan makalah-makalah dan
ceramah-ceramah tertulis yang pernah disampaikan di berbagai kesempatan dan selanjutnya
dicetak menjadi sebuah buku. Keuletan dan ketekunan Penerbit Mizan dalam penyusunan
buku ini yang hakikatnya merupakan kumpulan makalah dan ceramah patut dihargai.
Akan tetapi muncul lagi kesulitan yang lain, yaitu Penerbit meminta penulis
untuk sekalian menuliskan kata pengantar buku, dalam kata pengantar itu diminta
juga menyajikan sekilas latar belakang Penulis dan motivasi yang mengantarkan
Penulis untuk menekuni Studi Al-Qur’an terutama penafsiran atasnya.[2]
Demikianlah latar belakang penyusunan buku dari seseorang yang
menekuni bidang studi tafsir Al-Qur’an di Universitas Al-Azhar itu, dari buku
ini dapat mengajak kesadaran pembaca tentang betapa besar kebutuhan umat
manusia akan Al-Qur’an dan penafsirannya.
C.
Biografi Penulis
Muhammad
Quraisy Shihab lahir di Rappang, Sulawesi Selatan pada 16 Februari 1944.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Ujung Pandang, dia melanjutkan
pendidikan menengahnya di Malang, sambil nyantri di Pondok Pesantren Darul
Hadits Al-Faqihiyyah. Pada tahun 1958, dia berangkat ke Kairo, Mesir dan
diterima di kelas II Tsanawiyah Al-Azhar. Pada tahun 1967, dia meraih gelar Lc
(S-1) pada Fakultas Ushulludin Jurusan Tafsir dan Hadits Universitas Al-Azhar.
Kemudian melanjutkan pendidikannya di fakultas yang sama dan meraih gelar MA
untuk spesialisasi bidang tafsir Al-Qur’an dengan tesis yang berjudul “Al-I’jaz
Al-Tasyri’iy li Al-Qur’an Al-Karim”.
Pada tahun
1982, Quraisy Shihab menyelesaikan disertasi dengan judul “Nazhm Al-Durrar
li Al-Biqa’iy, Tahqiq wa Dirasah”. Dan berhasil meraih gelar doktor dalam
ilmu-ilmu Al-Qur’an dengan yudisium Summa Cum Laude disertai penghargaan
tingkat I (mumtaz ma’a martabat al-syaraf al-‘ula).[3]
Sekembalinya ke
Indonesia, sejak 1984 Quraisy Shihab ditugaskan di Fakultas Ushulludin dan
Pasca-Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Selain itu, di luar kampus dia
juga dipercayakan untuk menduduki berbagai jabatan. Juga aktif dalam kegiatan
tulis-menulis, di surat kabar Pelita pada rubrik “Pelita Hati”, pengasuh
rubrik “Tafsir Al-Amanah”, tercatat sebagai anggota dewan redaksi majalah Ulumul
Qur’an dan Mimbar Ulama, keduanya terbit di Jakarta. Adapun
buku-bukunya yang diterbitkan diantara lain yaitu Tafsir Al-Manar,
Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung Pandang: IAIN Alaudin, 1984); Filsafat
Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama, 1987); dan Mahkota Tuntunan
Ilahi (Tafsir Surat Al-Fatihah) (Jakarta: Untagma, 1988).[4]
D.
Sistematika Penulisan
Dalam buku ini
pembahasan dibagi menjadi dua bagian sebagai berikut:[5]
BAGIAN PERTAMA: GAGASAN AL-QUR’AN
Terdiri dari
empat bab yaitu:
Bab
I Bukti kebenaran Al-Qur’an,
berisi tentang keontetikan Al-Qur’an, bukti kebenaran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan
ilmu pengetahuan I, sejarah turun dan tujuan pokok Al-Qur’an, Al-Qur’an dan
ilmu pengetahuan II, kebenaran ilmiah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan
III, hikmah ayat ilmiah Al-Qur’an, Al-Qur’an, ilmu, dan filsafat manusia.
Bab
II Sejarah perkembangan tafsir,
berisi tentang sejarah perkembangan tafsir, kebebasan dan pembatasan dalam
tafsir, perkembangan metodologi tafsir, tafsir dan modernisasi, penafsiran
ilmiah Al-Qur’an, metode tafsir tematik.
Bab
III Ilmu tafsir dan problematikanya,
berisi tentang hubungan hadits dan Al-Qur’an, fungsi dan posisi sunnah dalam
tafsir, ayat-ayat kawniyah dalam Al-Qur’an, konsep Qath’iy dan Zhanniy,
soal Nasikh dan Mansukh, pokok-pokok bahasan tafsir, penafsiran
“Khalifah” dengan metode tematik.
Bab
IV Gagasan Al-Qur’an tentang pembudayaannya,
berisi tentang falsafah dasar “Iqra’”, konsep pendidikan dalam Al-Qur’an,
mengajarkan tafsir di Perguruan Tinggi, pengajaran Akidah dan Syari’ah di
Sekolah Umum, soal penilaian dalam Musabaqah Tilawatil Qur’an, metode
dakwah Al-Qur’an, komputerisasi Al-Qur’an.
BAGIAN KEDUA: AMALAN AL-QUR’AN
Terdiri dari empat bab yaitu:[6]
Bab
I Agama dan problematikanya,
berisi tentang mengapa beragama?, universalisme Islam, agama: antara
Absolutisme dan Relativisme, kehidupan menurut Al-Qur’an, kematian dalam
Al-Qur’an.
Bab
II Islam dan kemasyarakatan,
berisi tentang Islam dan cita-cita sosial, Islam dan perubahan masyarakat,
keluarga tiang negara, riba menurut Al-Qur’an, kedudukan perempuan dalam
Al-Qur’an, kualitas pribadi muslimah, Islam, gizi dan kesehatan masyarakat,
Islam, kependudukan dan lingkungan hidup, Islam dan pembangunan.
Bab III
Islam dan tuntutan ibadah, berisi tentang
tujuan puasa menurut Al-Qur’an, Laylat Al-Qadr, makna Halal Bihalal,
soal Zakat dan ‘Amil Zakat, makna Isra’ dan Mi’raj, hikmah Hijrah, wisata
ziarah menurut Al-Qur’an.
Bab
IV Islam dan peran Ulama, berisi tentang
soal ukhuwah Islamiyah, keberagaman dan kerukunan menurut Al-Qur’an, selamat
natal menurut Al-Qur’an, Ulama, Kaum Muda dan Pemerintah, Ulama sebagai pewaris
Nabi, peran dan tanggung jawab Intelektual Muslim, strategi dakwah tahun 2000.
Juga dilengkapi dengan Indeks Ayat
Al-Qur’an dan Indeks Subjek.
E.
Metodologi Penulisan Buku
Banyak cara yang ditempuh para pakar Al-Qur’an untuk menyajikan
kandungan dan pesan-pesan Firman Alloh itu, ada yang menyajikannya sesuai
urutan ayat-ayat sebagaimana termaktub dalam Mushaf, [7]
misalnya dari ayat pertama surat
Al-Fatihah hingga ayat terakhir dan seterusnya. Pesan dan kandungannya
dihidangkan dengan rinci dan luas mencakup aneka persoalan yang muncul dalam
benak sang penafsir, baik yang berhubungan langsung maupun tidak dengan ayat
yang ditafsirkannya. Bagaikan menyajikan hidangan prasmanan, masing-masing
memilih sesuai seleranya serta mengambil kadar yang diinginkan dari meja yang
telah ditata itu.[8]
Ada juga yang memilih topik tertentu kemudian menghimpun ayat-ayat
yang berkaitan dengan topik tersebut, dimanapun ayat itu ditemukan. Selanjutnya
ia menyajikan kandungan dan pesan-pesan yang berkaitan dengan topik yang
dipilihnya itu tanpa terikat dengan urutan ayat dan surat sebagaimana terlihat
dalam Mushaf dan tanpa menjelaskan hal-hal yang tidak berkaitan dengan topik
walaupun hal yang tidak berkaitan itu secara tegas dikemukakan oleh ayat yang
dibahasnya. Disini sang Penafsir bagaikan menyodorkan sebuah kotak berisi
hidangan yang telah dipilih dan disiapkan kadar dan ragamnya, sebelum para
undangan tiba. Yang memilih dan memilah serta menetapkan porsi adalah tuan
rumah, sehingga para tamu tidak lagi direpotkan karena makanan telah siap untuk
disantap.[9]
Jadi metodologi penulisan dalam buku ini adalah menetapkan satu
topik tertentu, dengan jalan menghimpun seluruh atau sebagian ayat-ayat dari
beberapa surat yang berbicara tentang topik tersebut untuk kemudian dikaitkan
satu dengan yang lainnya, sehingga pada akhirnya diambil kesimpulan menyeluruh
tentang masalah tersebut menurut pandangan Al-Qur’an.
Metode semacam ini di Mesir pertama kali dicetuskan oleh Prof. Dr.
Ahmad Sayyid Al-Kumiy, kemudian dalam penerapannya Quraish juga merujuk
langkah-langkah dari Prof. Dr. Abdul Hay Al-Farmawiy sebagai berikut:[10]
1.
Menetapkan
masalah yang akan dibahas (topik)
2.
Menghimpun
ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut
3.
Menyusun
runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya disertai pengetahuan asbab
al-nuzul-nya.
4.
Memahami
kolerasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing.
5.
Menyusun
pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out-line)
6.
Melengkapi
pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan pokok bahasan.
7.
Mempelajari
ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayat yang
mempunyai pengertian sama.[11]
Dalam rangka pengembangan metode penulisan, Quraish menambahkan langkah-langkah
sebagai berikut:[12]
1.
Penetapan
masalah yang dibahas, yang menyentuh masyarakat dan dirasakan langsung oleh
mereka.
2.
Menyusun
runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, terkait nasikh dan mansukh
dalam Al-Qur’an.
3.
Walaupun
tidak mengharuskan uraian tentang pengertian kosakata, namun kesempurnaannya
dapat dicapai apabila Mufasir berusaha memahami arti kosakata ayat dengan
merujuk kepada penggunaan Al-Qur’an sendiri.
4.
Meskipun
tidak mencamtumkan asbab al-nuzul, tetapi perlu memperhatikannya sebagai
pertimbangan dalam memahami ayat.
1.
Contoh tema pembahasan dalam buku
Tema “Selamat Natal Menurut
Al-Qur’an”
Terlaranglah
mengucapkan selamat Natal? Bukanlah Al-Qur’an memberikan contoh? Banyak
salam-salam kepada Nabi lain, termasuk kepada Nabi Isa as. Tidak bolehkah
Muslim merayakan hari Natal (lahir) Isa as?
Dalam Al-Qur’an
surat Maryam ayat 34 disebutkan:
y7Ï9ºs Ó|¤Ïã ßûøó$# zNtötB 4 ^öqs% Èd,ysø9$# Ï%©!$# ÏmÏù tbrçtIôJt ÇÌÍÈ
“Itulah Isa putera Maryam, yang mengatakan Perkataan yang benar,
yang mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya”.[13]
Dalam ayat tersebut disebutkan cerita kisah Natal (kelahiran) Isa
as. Dengan demikian Al-Qur’an mengabadikan dan merestui ucapan selamat
Natalpertama dari dan untuk nabi mulia Isa as. Nabi pernah bersabda “bukanlah
seluruh umat manusia bersaudara” jadi tidak ada salahnya berbahagia terhadap
kebahagiaan saudara yang lain. dalam ayat lain juga dinyatakan:[14]
ö@è%
@÷dr'¯»t
É=»tGÅ3ø9$#
(#öqs9$yès?
4n<Î)
7pyJÎ=2
¥ä!#uqy
$uZoY÷t/
ö/ä3uZ÷t/ur
wr&
yç7÷ètR
wÎ)
©!$#
wur
x8Îô³èS
¾ÏmÎ/
$\«øx©
wur
xÏGt
$uZàÒ÷èt/
$³Ò÷èt/
$\/$t/ör&
`ÏiB
Èbrß
«!$#
4 bÎ*sù
(#öq©9uqs?
(#qä9qà)sù
(#rßygô©$#
$¯Rr'Î/
cqßJÎ=ó¡ãB
ÇÏÍÈ
Katakanlah: "Hai ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada suatu
kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara Kami dan kamu, bahwa tidak
kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan
tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain
Allah". jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka:
"Saksikanlah, bahwa Kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada
Allah)".[15]
Dari ayat itu ada sekian titik temu antara Muhammad dan Al-Masih,
dalam kalimat sawa’ (kata sepakat) yang ditawarkan Al-Qur’an kepada
penganut Kristen dan Yahudi. Kalau demikian tidak ada salah mengucapkan Natal
kepada mereka yang tujuannya kita memberikannya kepada Isa as. Ditegaskan dalam
ayat lain:
* ö@è%
`tB
Nä3è%ãöt
ÆÏiB
ÏNºuq»yJ¡¡9$#
ÄßöF{$#ur
( È@è%
ª!$#
( !$¯RÎ)ur
÷rr&
öNà2$Î)
4n?yès9
´èd
÷rr&
Îû
9@»n=|Ê
&úüÎ7B
ÇËÍÈ
@è%
w
cqè=t«ó¡è?
!$£Jtã
$oYøBtô_r&
wur
ã@t«ó¡çR
$£Jtã
tbqè=yJ÷ès?
ÇËÎÈ
Katakanlah: "Siapakan yang memberi rezeki kepadamu dari langit
dan dari bumi?" Katakanlah: "Allah", dan Sesungguhnya Kami atau
kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan
yang nyata.
Katakanlah: "Kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab)
tentang dosa yang Kami perbuat dan Kami tidak akan ditanya (pula) tentang apa
yang kamu perbuat".
Dari keterangan diatas jelas, dalam rangka interaksi sosial dan
keharmonisan hubungan antar sesama, maka mengucapkan selamat Natal diperbolehkan
selama tidak mengubah akidah dan garis keyakinannya.[16]
F.
Prinsip Quraish dalam menafsirkan Al-Qur’an
berikut adalah beberapa prinsip yang dipegang
oleh Quraish Shihab dalam menafsirkan al-Quran, baik dalam bentuk tahlili
maupun maudhu’i, antara lain:
1.
Memandang al-Quran sebagai satu kesatuan yang
tak terpisahkan
Meskipun al-Quran diturunkan dalam kurun waktu
sekitar 22 tahun, dan dalam kondisi yang berbeda-beda, tetapi ia sebenarnya
saling berkaitan satu dengan lainnya. Bahkan susunannya yang bagi sementara
orang ‘dianggap’ tidak berurutan dan sepintas tidak saling berkaitan memiliki
keserasian makna yang menakjubkan. Tema-tema tertentu yang di dalam al-Quran
berserakan di beberapa tempat sesungguhnya juga memiliki rahasia tersendiri
yang hanya dapat diperoleh melalui tadabbur terhadap al-Quran. Pandangan
ini kemudian melahirkan suatu model bentuk penafsiran yang dikenal dengan maudhu’i.
Cara pandang ini telah dikemukakan sebelumnya oleh Imam Al-Syâthibiy, ulama
abad ke VIII asal Cordova, dalam kitabnya al-Muwafaqat, dan
diperkenalkan kembali di awal abad modern oleh M. Abduh yang selanjutnya
diwujudkan dengan baik oleh murid-muridnya seperti, Rasyid Ridha, M. Musthafa
al-Maraghi, M. Syaltout, Abdullah Diraz, Amin al-Khuli, Bintu Syathi dan
sebagainya. Hemat penulis, Quraish Shihab telah melakukan itu dengan baik dalam
beberapa karya tafsir maudhu’inya.
Metode ini pada dasarnya diperkenalkan untuk
menutupi kekurangan metode tafsir klasik yang disusun berdasarkan urutan dalam
mushaf. Namun, pengembangan metode ini jika tidak didukung dan dibatasi oleh
pagar-pagar metodologis yang kuat, maka kritik yang sering dilontarkan kepada
metode klasik seperti, ‘tingginya subyektifitas penafsir’, ‘penafsiran yang
‘mengikat’ generasi berikut’, ‘sebagai justifikasi pendapat mufasir’ juga akan
dialaminya. Sejauh ini, penerapan metode ini sangat rentan oleh timbulnya
pra-konsepsi mufasir. Sebab, umumnya penetapan dan pemecahan masalah berangkat
dari realitas kehidupan, bukan sebaliknya, dari Al-Qur’an. Dari sini mufasir
maudhu’i akan terjebak pada kesalahan yang pernah dan sering dilakukan mufasir
dengan ittijah ilmiy (saintifik), bedanya, dalam tafsir saintifik mufasir
modern terbius dengan teori-teori ilmiah (eksak), sementara dalam tafsir
maudhu’i digunakan teori-teori ilmu sosial, misalnya tentang gender, masyarakat
madani, demokrasi dan tema-tema lain yang masih bersifat wacana. Selain itu,
jika tafsir maudhu’i diumpamakan oleh Quraish Shihab seperti menghidangkan
makanan kepada tamu dalam bentuk kotak, sedangkan tafsir tahlili seperti
menghidangkan makanan di meja prasmanan,[17] maka sudah
barang tentu kualitas kotak makanan itu berpulang kepada penyajinya. Ini
misalnya akan terlihat jika kita coba membandingkan karya-karya maudhu’i
Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an dan Secercah Cahaya Ilahi, Dawam Raharjo
dalam Ensiklopedi Al-Qur’an, dan Fazlurrahman dalam Tema-tema Pokok Al-Qur’an.
Selanjutnya, keterkaitan bagian-bagian
al-Quran; kata, kalimat, ayat dan surat, satu dengan lainnya melahirkan
pandangan lain dalam tafsir Quraish Shihab, yaitu:
2.
Pentingnya memahami ilmu munasabah
Munasabah adalah korelasi dan
keserasian antarkata, ayat dan surat
dalam al-Quran. Metode munasabah ini pertama
kali diperkenalkan oleh al-Biqa’i, yang kemudian diikuti oleh mufassir
setelahnya. Para ulama menekuni ilmu munasabah al-Qur’an, hubungan
bagian-bagian al-Qur’an dengan mengemukakan bahkan membuktikan keserasian ayat
yakni dengan mengikuti enam langkah sebagai berikut:
a.
Keserasian kata demi kata dalam satu surat.
b.
Keserasian kandungan ayat dengan fashilat,
yakni penutup ayat.
c.
Keserasian hubungan ayat dengan ayat
berikutnya.
d.
Keerasian uraian awal/mukaddimah satu surat
dengan penutupnya.
e.
Keserasian penutup surat dengan uraian
awal/mukaddimah surat sesudahnya.
Ulama tafsir yang paling berhasil menerapkan
pandangan ini adalah Ibrahim bin Umar al-Biqa’iy (809-885 H/1406-1480 M) dalam
karyanya, Nazhm al-Durar Fi Tanasub al-Ayat Wa al-Suwar. Quraish Shihab
dalam banyak hal sangat terpengaruh oleh pemikiran ulama asal Libanon ini.
Perkenalannya yang sangat intensif dengan ulama ini terjadi ketika pada tahun
1980 Quraish Shihab melakukan penelitian terhadap karya al-Biqa’iy dalam
disertasinya untuk meraih gelar Doktor di bidang tafsir dari Universitas
Al-Azhar Kairo. Warna ini sangat kental sekali dalam tafsir Quraish Shihab,
terutama dalam tafsir tahlili-nya.[19]
3.
Menelusuri penggunaan kosa kata Al-Qur’an di
kalangan para pemakainya, bangsa Arab, dan dalam Al-Qur’an sendiri.
Ini karena al-Quran adalah teks kitab
suci yang berbahasa Arab. Bahasa tidak lain adalah simbol yang menyimpan
beragam makna. Karenanya hak-hak kebahasaan itu harus dipenuhi terlebih dahulu
sebelum maksud-maksud lain. Dalam hal ini Quraish Shihab banyak merujuk kepada
kamus-kamus berbahasa Arab seperti Mu’jam Maqayis al-Lughah, karya Ibnu
Faris, Lisan al-‘Arab, karya Ibnu Manzhur dan Al-Mufradat Fi Gharib
al-Qur’an, karya al-Raghib al-Ashfahaniy. Kaidah ini lebih banyak ditemukan
dalam Tafsir Al-Quran al-Karim daripada al-Mishbah yang terbit
belakangan. Ini karena, seperti diakui Quraish Shihab sendiri, cara
seperti itu terlalu akademis sehingga kurang menarik minat orang kebanyakan,
bahkan sementara orang menilainya bertele-tele.[20]
Dari penelusuran penggunaan kosa kata ini
selanjutnya Quraish Shihab menyimpulkan kaidah lain, yaitu:
4.
Tidak ada kosa kata yang sinonim (muradif) di
dalam al-Quran.
Setiap kata dalam al-Qur’an mempunyai
makna tersendiri yang tidak bisa digantikan kedudukannya oleh kata yang lain.
Kata qasam dan hilf yang dalam bahasa Indonesia diartikan sama,
yaitu sumpah, menurut Quraish Shihab berbeda dalam penggunaan al-Qur’an. Kata qasam
dengan berbagai derivasinya, menurutnya tidak digunakan al-Qur’an kecuali
untuk sumpah yang oleh pengucapnya diyakini kebenarannya, dengan kata lain
sumpah yang kukuh dan tidak dilanggar. Sementara kata hilf dan
derivasinya digunakan untuk jenis sumpah palsu, atau sumpah yang boleh jadi
dibatalkan oleh pengucapnya. Karena itu, ketika berbicara tentang sumpah
orang-orang munafik al-Quran menggunakan kata yahlifun. (QS. 9:56).
Demikian juga ketika berbicara tentang tebusan (kaffârat) sumpah yang
dibatalkan digunakan kata hilf (idza halaftum, QS. 5:89).[21] Contoh lain,
kata sabil dan shirath yang keduanya sering diartikan sebagai
jalan. Sabil disebut dalam al-Quran sebanyak 166 kali dalam bentuk
tunggal dan 10 kali dalam bentuk jamak. Sering kali kata ini dirangkaikan
dengan Tuhan atau sesuatu atau sekelompok manusia yang baik dan sering kali
pula sebaliknya. Sementara kata shirath ditemukan sebanyak 45 kali dalam
al-Quran kesemuanya berbentuk tunggal dan tidak digunakan kecuali dalam arti
jalan menuju kebenaran atau sesuatu yang hak adanya. Dari sini Quraish Shihab
menyimpulkan bahwa kata sabil mengisyaratkan keragaman “jalan baik” dan
keragaman “jalan buruk”. Sedangkan shirath —sesuai dengan asal maknanya
yang berarti “menelan”— menggambarkan jalan yang luas dan lebar seakan-akan
menelan pejalannya, serta penempuh jalan-jalan baik yang beraneka ragam itu.
Kepada shirath inilah bermuara semua sabil atau jalan-jalan yang
baik (al-Maidah: 16). Karena itu yang kita panjatkan dalam shalat adalah
petunjuk ke arah as-Shirath al-Mustaqim, bukannya as-Sabil al-Mustaqim.[22]
5.
Perlunya memahami al-Quran berdasarkan urutan
sejarah turunnya untuk mengetahui karakteristik idiom-idiom yang digunakan.
Misalnya, dalam
wahyu-wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad saw. kata yang digunakan
untuk menunjukkan Tuhan Yang Maha Esa adalah Rabb, bukan Allah.
Ini menurut Quraish Shihab disebabkan karena kaum musyrikin percaya juga kepada
Allah, tetapi keyakinan mereka kepada Allah jauh berbeda dengan keyakinan yang
diajarkan dan dihayati oleh Nabi Muhammad saw. Mereka, misalnya, beranggapan bahwa Allah
memiliki anak-anak wanita. (QS. 17:40). Dari sini al-Quran ingin melakukan
perubahan semantik kata tersebut, yaitu meskipun kosa kata yang digunakannya
sama dengan yang digunakan masyarakat jahiliyah, tetapi nilai-nilainya berbeda.
Dan ini perlu waktu lama. Sehingga kalau pada masa awal kata Allah digunakan,
misalnya dalam perintah membaca (iqra’ bismillah, bukan bismi rabbika)
maka akan timbul kerancuan dalam pemahaman.[23]
Agaknya inilah yang mendorong beberapa pakar al-Quran, termasuk Quraish Shihab, untuk menyusun tafsir berdasarkan urutan
turunnya wahyu. Pendekatan ini banyak mendapat kritik dengan alasan usaha itu
akan sangat sulit dilakukan, karena tidak ditemukan bukti-bukti otentik yang
dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Bahkan hampir dapat dikatakan
mustahil, dan kalaupun dapat dilakukan sangat terbatas sekali pada yang
diketahui sebab nuzulnya. al-Quran yang kita warisi urutannya adalah seperti
yang ada dalam mushaf. Selain itu, banyak surat dalam al-Quran diturunkan secara terpisah-pisah, bahkan dalam kurun waktu yang cukup lama
dan diselingi oleh surat-surat lain.
G.
Penjelasan Indek Buku
Untuk mempermudah pembaca dalam mencari ayat dan surat maupun
pembahasan tentang topik tertentu yang ada dalam tema-tema yang dibahas dalam
buku, maka penulis menggunakan dua indek yaitu indek ayat ayat Al-Qur’an dan
indek subjek yang disajikan di halaman akhir-akhir buku. Seperti dicontohkan
sebagai berikut:
1.
Indek
ayat Al-Qur’an
Surat: Ayat
|
Halaman
|
1 : 7
|
76
|
2 : 2
|
62
|
21
|
295
|
23
|
27
|
Keterangan indek:
Dari indek diatas, Pembaca dapat memahami bahwa kolom surat dan
ayat tertulis 1:7 yang berarti juz 1 ayat 7. Kemudian pada kolom halaman
tertulis 76 yang berarti ayat dan surat tersebut terdapat di halaman 76
dalam buku ini, berikut dan seterusnya.
2.
Indek
subjek
‘Abbasiyah,
101
|
‘Abduh, Muhammad, 73, 78, 91, 99, 106, 147, 150, 188, 315, 365,
366; tentang keragaman kelompok dalam Islam, 363; tentang perempuan, 279, 283
|
‘Abdul Baqiy, Muhammad Fuad, 116
|
‘Abdul Wahab Khallaf, 137
|
Keterangan indek:
Dari indek diatas, Pembaca dapat dengan mudah mencari tema-tema
yang terkait dengan masalah tertentu berikut posisi halaman pada buku. Seperti
contoh ‘Abbasiyah, 101 berarti pembahasan terkait Abbasiyah terdapat di
halaman 101 pada buku ini.
H.
Analisis Buku “Membumikan Al-Qur’an” Fungsi dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat
1.
Corak Pemikiran
Tokoh modern
yang dianggap sebagai pelopor melahirkan corak tafsir mawdhu’iy ini adalah
Syeikh Muhammad Abduh dalam tafsir al-Manar meskipun juga umumnya bersifat
Tahliliy tetapi terlihat jelas pembahasan pada tema-tema tertentu. Kemudian
disusul lahirnya tafsir Syeikh Syaltut dan inilah yang pertama membangun
dasar-dasar pokok metode tafsir mawdhu’iy. [24]
Dan juga penulis buku Membumikan Al-Qur’an ini bercorak tematik atau mawdhu’iy.[25]
2.
Kontribusi Penulisan
Dari penulisan
buku yang disusun oleh M. Quraish Shihab ini dapat memberikan manfaat yang
besar bagi kehidupan beragama khususnya di kalangan masyarakat luas, karena
buku ini disajikan dengan sistematis sesuai permasalahan-permasalahan yang
dihadapi oleh masyarakat dengan menggunakan metode tematik, sehingga mereka
dapat terbimbing sesuai dengan maksud diturunkannya Al-Qur’an.
Terjadinya
pemahaman yang terkotak-kotak dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an, sebagai
akibat dari tidak dikajinya ayat-ayat tersebut secara menyeluruh. Hal ini
sangat berbahaya karena dapat menimbulkan kontradiktif atau penyimpangan yang
jauh dalam memahami Al-Qur’an, dan dalam metode tematik hal ini tidak akan
terjadi, dengan bukti tersebut penulisan kitab atau buku dengan metode tematik
sangat penting dalam kajian tafsir Islam.[26]
Dari buku ini dapat dijadikan pelajaran bagi calon mufasir agar mereka dapat
memberikan kontribusi menuntun masyarakat sesuai apa yang diajarkan oleh
Al-Qur’an.
3.
Kelebihan dan Kekurangan Buku
a.
Kelebihan
dari buku ini adalah sebagai berikut:
1)
Menjawab tantangan zaman, semakin modern
kehidupan, permasalahan yang timbul semakin kompleks dan rumit. Untuk
menghadapi masalah yang demikian jika dilihat dari sudut tafsir Al-Qur’an, akan
lebih mudah ditangani dengan metode tematik, karena tujuan dari metode ini
adalah menyelesaikan masalah.
2)
Praktis dan sistematis, karena metode ini disusun
secara praktis dan sistematis, amat cocok dengan kehidupan umat yang semakin
modern dengan mobilitas yang tinggi sehingga seakan-akan kurang waktu untuk
membaca kitab-kitab tafsir yang besar, padahal untuk mendapat petunjuk
Al-Qur’an mereka harus membacanya. Dengan buku ini Al-Qur’an dapat dipahami
dengan menghemat waktu, efektif dan efisien.
3)
Dinamis, dengan petunjuk dari buku ini
Al-Qur’an serasa selalu sesuai dengan tuntutan zaman yang menimbulkan kesan
bahwa Al-Qur’an senantiasa mengayomi dan membimbing kehidupan sepanjang waktu.
4)
Membuat pemahaman menjadi utuh, Al-Qur’an
dengan mudah dapat dipahami secara utuh.[27]
5)
Metode Tematik ini hampir sama dengan tafsir
bil-maksur (yang digunakan oleh mufasir klasik) sebab dalam tafsir Tematik
mengunakan prinsip ayat Al-Qur'an yang satu menafsirkan ayat Al-Qur'an yang
lain. Prinsip ini sering dipakai oleh para sahabat dan tabi'in sehingga produk
yang dihasilkan lebih mendekati kebenaran mengingat metode ini di pakai oleh
generasi terbaik islam .
6)
Metode ini dapat mengungkap munasabah antar
ayat dari berbagi surat yang berbeda, metode ini dapat menangkap makna,
petunjuk, keindahan, dan kefasihan Al-Qur'an.
7)
Dengan metode ini kita bisa menangkap dan dapat
penjelasan yang sempurna tentang ide yang kita angkat dari ayat-ayat
Al-Qur'an.
8)
Metode ini dapat menepis image kontradiksi
antar ayat Al-Qur'an yang sering dilontarkan oleh Orentalis, dan juga sebagai
bukti bahwa agama islam dan Ilmu pengetahuan dapat saling mendukung.
9)
Metode ini sesuai dengan tuntutan zaman modern
yang mengharuskan kita untuk merumuskan hukum-hukum universal yang bersumber
dari Al-Qur'an bagi seluruh umat islam.
10)
Dengan hadirnya metode ini lebih menghemat
waktu dan mempermudah kita dalam mencari keterangan tentang tema yang kita cari
tanpa membuang waktu dengan mencari refrensi dari kitab-kitab tafsir yang
berjilid-jilid.[28]
b.
Kekurangan
dari buku ini adalah sebagai berikut:
1)
Memenggal
ayat Al-Qur’an, dalam arti mengambil satu kasus yang terdapat di dalam satu
ayat atau lebih yang mengandung banyak permasalahan yang berbeda. Misalnya
petunjuk Sholat dan Zakat, biasanya kedua ibadah itu diungkapkan bersamaan
dalam satu ayat, maka salah satunya mau tak mau harus ditinggalkan ketika
menukilnya agar tidak mengganggu analisis.
2)
Membatasi
pemahaman ayat, dengan adanya sebuah judul atau tema tertentu mufasir akan
terikat oleh judul tersebut. Padahal tidak mustahil satu ayat itu dapat
ditinjau dari berbagai aspek.[29]
3)
Seorang
mufasir mawdhu’iy tidak bisa menafsirkan keseluruhan dari Al-Qur’an, karena
Al-Qur’an mengandung tujuan-tujuan yang tidak seluruhnya dapat dicapai oleh
manusia.
4)
Seorang
mufasir mawdhu’iy akan kebingungan dan meragukan validitas metode tafsir
mawdhu’iy yang digunakan jika tidak mampu menerapkan secara konsisten
prinsip-prinsip dan langkah-langkah operasional metode ini.[30]
4.
Saran
Terlalu banyak
ayat-ayat yang tidak ditulis dengan lengkap dengan menggunakan tulisan arab
berikut artinya, kemudian ayat-ayat yang banyak tersebut hanya dirujuk kepada
indek ayat yang ada di halaman akhir buku. Ini sangat memberikan kesulitan bagi
pembaca untuk memahami isi tema dalam Al-Qur’an karena mereka tidak bisa membaca
ayat yang langsung terkait dengan tema tersebut, apalagi kebanyakan pembaca
adalah masyarakat umum.
5.
Kesan Pemakalah
Buku ini adalah karya seorang pakar
tafsir dan ilmu-ilmu Al-Quran dalam upaya kerasnya memancarkan kilau cahaya
sudut-sudut penting "intan" yang dikandung Al-Quran. Berasal dari
enam puluh lebih makalah dan ceramah yang pernah disampaikan oleh penulisnya
pada rentang waktu 1975 hingga 1992, tema dan gaya pembahasan buku ini terpola
menjadi dua bagian. Di bagian pertama, secara efektif dan efisien, penulis
menjabarkan dan membahas pelbagai "aturan main" berkaitan dengan
cara-cara memahami Al-Quran. Di bagian kedua, secara jenial, penulis
mendemonstrasikan keahliannya memahami, sekaligus juga mencarikan jalan keluar
bagi, problem-problem intelektual dan sosial yang muncul dalam masyarakat
dengan berpijak pada "aturan main" Al-Quran. Meskipun belum semua
problematik di seputar studi-studi Al-Quran, keislaman, dan kemasyarakatan
terungkap secara menyeluruh, namun buku ini diharapkan dapat mengantarkan para
peminat studi Al-Quran pada khusunya dan studi keislaman pada umumnya untuk
melangkah lebih jauh dan terarah. Sebuah buku penting dan langka di bidangnya,
serta ditulis oleh seorang pakar yang juga langka di bidangnya.
I.
Kesimpulan
Buku dengan
judul “Membumikan Al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat”
ini disajikan dengan pendekatan tematik atau mawdhu’iy. Buku ini sangat mudah
dan jelas bagi orang yang ingin memahami dan menerapkan isi dari Al-Qur’an,
karena Al-Qur’an ditampilkan dengan tema-tema pembahasan yang menarik, dan
terbukti metode tematik bisa menyentuh masyarakat luas yang tidak perlu
memenuhi persyaratan berat jika ingin memahami kandungan dalam A-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Farmawi, Al-Hayy. Metode Tfsir Mawdhu’iy Suatu Pengantar. Jakarta:Raja
Grafindo Persada, 1994.
Baidan, Nasrudin. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an.
Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2005.
http://ahmadefendy.blogspot.com/2010/08/keistimewaan-tafsir-mauduitematik.html) diakses tanggal 11 Desember Pukul 20.10 WIB
Shihab, M.
Quraish Tafsir al-Misbah: Kesan, Pesan dan Keserasian al-Qur’an, vol.1. Jakarta:
Lentera Hati, 2000.
Shihab, M. Quraish Wawasan al-Qur’an: Tafsir
Ma’udlui atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1996.
Shihab, Quraish. Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 2001.
Shihab, Quraisy. “Membumikan Al-Qur’an” Fungsi dan Peran Wahyu
Dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1992.
Software Qur’an in Word 2007 Lihat QS. Ali-Imron: 64, op.cit
Software Qur’an in Word 2007 Lihat QS. Ali-Imron: 64, op.cit.
Software Qur’an in Word 2007 Lihat QS. Maryam: 34, op.cit.
Suma, M. Amin. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2001.
Tafsir
Al-Qur’an al-Karim.
[1] Quraisy Shihab,
“Membumikan Al-Qur’an” Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung:
Mizan, 1992), hal.15
[3] Quraisy Shihab,
“Membumikan Al-Qur’an” Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung:
Mizan, 1992), hal.6
[4] Ibid, hal.7
[5] Ibid, hal.11
[6] Ibid, hal.12
[7] Quraish
Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat
(Bandung: Mizan, 2001), hal.xi
[10] Quraisy Shihab,
“Membumikan Al-Qur’an” Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung:
Mizan, 1992), hal.114
[13] Software
Qur’an in Word 2007 Lihat QS. Maryam: 34, op.cit.
[16] Ibid, hal.372
[17] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir
Ma’udlui atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996), hal.xii
[18] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Kesan,
Pesan dan Keserasian al-Qur’an, vol.1 (Jakarta: Lentera Hati, 2000), hal.
xii
[19] Lihat misalnya,
penjelasannya tentang munasabah pada mukaddimah setiap surat (a.l. Al-Baqarah dalam al-Mishbah 1/79,
Ali-Imran, dalam al-Mishbah, 2/3) dan perpindahan tafsir dari satu ayat
ke ayat lainnya. Dalam banyak tempat dia juga banyak mengutip pendapat ulama
modern seperti Ibnu Asyur dalam Al-Tahrir Wa al-Tanwir, M. Sya’rawi
dalam Khawathir-nya, Thabathaba’iy dalam al-Mizan, Sayyid Quthub
dalam Zhilal-nya dan ulama lainnya yang juga sukses menerapkan
kaidah ini dengan baik.
[20] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Kesan,
Pesan dan Keserasian al-Qur’an, vol.1 (Jakarta: Lentera Hati, 2000), hlm.
ix
[22] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Kesan,
Pesan dan Keserasian al-Qur’an, vol.1 (Jakarta: Lentera Hati, 2000), hlm.
52
[24] Al-Hayy
Al-Farmawi, Metode Tfsir Mawdhu’iy Suatu Pengantar (Jakarta:Raja
Grafindo Persada, 1994), hal.58
[27] Nasrudin
Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,
2005), hal.167
[28] http://ahmadefendy.blogspot.com/2010/08/keistimewaan-tafsir-mauduitematik.html) diakses
tanggal 11 Desember Pukul 20.10 WIB
[29] Nasrudin
Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,
2005), hal.168
[30] Al-Hayy
Al-Farmawi, Metode Tfsir Mawdhu’iy Suatu Pengantar (Jakarta:Raja
Grafindo Persada, 1994), hal.58
Tidak ada komentar:
Posting Komentar