BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hadits sebagai
sumber hukum Islam kedua setelah al Quran, sebelum diberlakukan terlebih dahulu
harus mengalami proses transmisi dan verifikasi otensitas-legalitas yang
selektif, sulit dan rumit. Dalam setiap fase perkembangannya, para generasi
periwayatan (tabaqat) dapat dipastikan memiliki kriteria dan kualifikasi
tertentu untuk sampai kepada keputusan bahwa suatu hadits benar-benar otentik
berasal dari nabi dan dapat dijadikan dasar dan rujukan dalam pengambilan hukum
suatu perkara.
Bagi
seseorang yang hendak mengkaji dalil-dalil syara’ dan metode istinbath hukumnya
maka wajib baginya untuk mengetahui ilmu dan hukum yang berkaitan dengan obyek pembahasan
serta kaidah-kaidahnya. Seorang peneliti, misalnya, memandang dan menemukan
adanya dua dalil yang dia anggap saling bertentangan (semisal, satu dalil
menetapkan adanya hukum atas sesuatu, sementara dalil yang lain meniadakannya),
maka diperlukan cara/ilmu untuk mengetahui cara-cara menolak pertentangan yang
tampak secara lahiriah tersebut serta mengetahui metode tarjih antara
dalil-dalil yang saling bertentangan tersebut. Karena pada hakekatnya
dalil-dalil syara’ (al-Qur’an dan hadits) tersebut selaras dan tidak ada
pertentangan diantaranya. Karena dalil-dalil tersebut datangnya dari Allah SWT.
Untuk pembahasan kali ini agar tidak melebar, maka penulis hanya akan
memfokuskan pada bagaimana hakikat dari metode tarjih dan bagaimana metode
tarjih itu diberlakukan.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian Tarjih?
2. Bagaimanametode
dan contoh Tarjih hadis?
C.
Tujuan
Rumusan
1. Untuk
mengetahui pengertian Tarjih.
2. Untuk
memahmi macam-macam metode dan contoh Tarjih hadis.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Tarjih
Metode tarjih ini
adalah salah satu metode untuk menyelesaikan hadîtsmukhtalif, setelah melalui
metode kompromi dan nasikh mansukh tidak menemukan jalan keluarnya, maka metode
tarjih ini berlaku.
Secara bahasa,
tarjih ترجح
berarti mengeluarkan. Konsep ini muncul ketika terjadinya pertentangan secara
lahir antara satu dalil dengan dalil yang lainnya yang sederajat dan tidak bisa
diselesaikan dengan cara al-jam’u wa al-taufiq. dalil yang dikuatkan disebut
dengan rajih, sedangkan dalil yang dilemahkan disebut marjuh[1].
Secara terminologi,
ada dua definisi yang dikemukakan oleh ahli ushul, yaitu yang pertama
adalah menurut Ulama’ Hanafiyah, yaitu[2]:
إظهار زيادة لأحد المتمائلين على الأخر بما لايستقل
“Membuktikan
adanya tambahan bobot pada salah satu dari dua dalil yang bersamaan
(sederajat), yang dalil tambahan itu tidak berdiri sendiri”
Menurut mereka,
dalil yang bertentangan itu harus dalam kualitas yang sama, seperti
pertentangan ayat dengan ayat. Kemudian, dalil tambahan pendukung salah satu
dalil yang bertentangan itu tidak berdiri sendiri. Artinya, disini dalil
pendukung itu tidak terpisah dari dalil yang saling bertentangan, karena
apabila ada dalil lain yang berdiri sendiri, berarti dalil itu dapat dipakai
untuk menetapkan hukum, bukan dalil yang bertentangan tersebut.
Kedua, Jumhur Ulama mendefinisikan:
تقوية إحدى الأمارتين (أى الدليلين الظنتين) على الأخرى ليعمل بها
“Menguatkan salah satu indikator dalil yang zhanni atas yang
lainnya untuk diamalkan (diterapkan).
Metode tarjih
(mengunggulkan salah satu hadis dari hadis yang berlawanan maksudnya), dalam
metode ini harus disertai dengan pengetahuan faktor-faktor pengunggul (wujuh
al-tarjih). Dan jika metode ini tidak dapat ditempuh maka sebagai alternatif
adalah al-tawaquf (ditangguhkan) dan lebih dahulu terus dilakukan pengkajian
terhadap hadis-hadis yang kontroversial sehingga statusnya dapat meningkat
apakah dapat ditarjih atau dinasakh[3].
Metode ini dilakukan
setelah upaya kompromi tidak memungkinkan lagi. Maka seorang peneliti perlu
memilih dan mengunggulkan mana diantara hadits-hadits yang tampak bertentangan
yang kualitasnya lebih baik. Sehingga hadits yang lebih berkualitas itulah yang
dijadikan dalil.
Harus diakui bahwa
ada beberapa matan hadits yang saling bertentangan. Bahkan ada juga yang
benar-benar bertentangan dengan Al-Quran. Antara lain adalah hadits tentang
nasib bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup akan berada di Neraka. Sebagai
contoh adalah hadits berkut ini:
الوائدة والموؤودة في النار
“Perempuan
yang mengubur bayi hidup-hidup dan bayinya akan masuk neraka. (HR. Abu Dawud
Hadits tersebut
diriwayatkan oleh imam Abu Dawud dari Ibnu Mas’ud dan Ibn Abi Hatim. Konteks
munculnya hadits tersebut (asbabul wurudnya) adalah bahwa Salamah Ibn Yazid
al-Ju’fi pergi bersama saudaranya menghadap Rasulullah SAW. Seraya bertanya : “
Wahai Rasul sesungguhnya saya percaya Malikah itu dulu orang yang suka
menyambung silaturrahmi, memuliakan tamu, tapi ia meninggal dalam keadaan
Jahiliyah. Apakah amal kebaikannya itu bermanfaat baginya? Nabi menjawab:
tidak. Kami berkata: dulu ia pernah mengubur saudara perempuanku hidup-hidup di
zaman Jahiliyah. Apakah amal akan kebaikannya bermanfaat baginya? Nabi
menjawab: orang yang mengubur anak perempuannya hidup-hidup dan anak yang
dikuburnya berada di Neraka, kecuali jika perempuan yang menguburnya itu masuk
Islam, lalu Allah memaafkannya. Demikian hadits yang diriwayatkan oleh imam
Ahmad dan Nasa’i, dan dinilai sebagai hadits hasan secara sanad oleh imam Ibnu
Katsir[4].
Jumhur ulama’
membatasi tarjih dalam dalil yang bersifat zhanni saja, karena masalah ini
tidak termasuk dalam persoalan-persoalan yang qath’i(pasti) dan tidak juga
antara zhanni dengan yang qath’i. Jumhur Ulama ushul sepakat bahwasanya apabila
sudah terjadi pentarjihan dalil, maka dalil yang rajih atau yang dikuatkan
wajib diamalkan. Alasannya karena, kesepakatan dan amalan yang telah ditempuh
para sahabat dalam menguatkan suatu dalil dari dalil lainnya dalam berbagai
kasus[5].
Contohnya, dalam
kasus perbuatan yang mawajibkan mandi. Para sahabat menguatkan hadits dari
Aisyah tentang Iltiqa’ al-khitanain(bertemunya alat vital laki-laki dengan
perempuan H.R Muslim dan Tirmidzi)[6].
dari hadits riwayat Abu Hurairah RA yang mengatakan المأ من المأ إنما (air itu berasal dari air). Maksudnya,
apabila keluar air mani, baru wajib mandi. Oleh karena itu, para ulama’ ushul
fiqh menyatakan bahwa apabila seorang mujtahid telah melakukan tarjih terhadap
salah satu dalil yang menurutnya bertentangan, maka dalil yang rajih itu wajib
diamalkan.
Para ulama’ Ushul
fiqh mengemukakan cukup banyak cara pentarjihan yang bisa dilakukan, apabila
antara dua dalil, secara zhahir terdapat pertentangan dan tidak mungkin
dilakukan nasakh. Cara pentarjihan dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar
yaitu[7]:
1.
النصوص بين الترجحyaitu menguatkan salah satu nash (ayat ataupun
hadits) yang saling bertentangan,
2.
الأقيسة بين الترجح yaitu menguatkan salah satu qiyas (analogi)
yang saling bertentangan.
Al-Qasimi dengan
mengutip pendapat Imam Syafi`i dalam Risalahnya mengatakan bahwa dalam
hadis-hadis yang dianggap kontradiksi, maka kami tidak mengambil pendapat salah
satunya kecuali ada sebab yang menunjukkan kepada yang lebih kuat dari hadis
yang akan ditinggalkan[8]
Ketelitian Imam
al-Syafi`i dalam menyeleksi hadis-hadis yang dianggap kontradikasi antara keduanya,
memberikan dua rumusan[9]
1) Jika
keadaan salah satu dari dua hadis menyerupai kitabullah (dari segi makna), maka
yang dijadikan hujjah adalah hadis yang menyerupai kitabullah.
2) Jika
dalam hadis tidak ada yang menyerupai (dari segi makna) dengan teks kitabullah,
maka kami menetapkan salah satunya dengan cara diantaranya;
a.
Keadaan rawi lebih dikenal
dari segi sanad dan lebih masyhur keilmuan, hafalan dan imla`.
b.
Keadaan rawi hadis yang kami
pilih adalah yang sanad periwayatan dari dua jalur atau lebih banyak dan kami
meninggalkan yang satu jalur periwayatan.
c.
Hadis yang kami pilih adalah
hadis yang menyerupai makna kitabullah atau menyerupai sunnah Rasulullah SAW
yang lain, dan yang diunggulkan adalah hadis yang diketahui oleh pakar ilmu
hadis dan menggunakan qiyas dalam penjelasannya.
Sementara al-Suyuthi
membagi tiga bagian dalam merumuskan hadis-hadis yang mukhtalaf yaitu[10];
a.
Keduanya dikompromikan
(al-jam`u), jika bisa dikompromikan, dan dengan cara ini tidak akan terjadi
kontradiktif dan nasakh, dan tentu wajib untuk mengamalkan antara keduanya.
b.
Jika tidak mungkin
dikompromikan, maka mengamalkan salah satunya, yaitu mendahulukan yang nasikh.
c.
Jika tidak terjadi nasikh
mansukh, maka mengamalkan dengan cara mentarjih (mengunggulkan) salah satunya.
B.
Macam-Macam
Metode dan Contoh Tarjih Hadis
Ada
beberapa macam metode tarjih, yaitu :
1. Tarjih bain al-Nushush (النصوص بين الترجح)
Untuk mengetahui
kuatnya salah satu dari nash yang saling bertentangan, ada beberapa cara yang
dikemukakan para ulama’ ushul fiqh, yaitu dari sisi sanadnya, matannya, dari
segi hukum yang dikandung dalam nash, dan pentarjihan dengan menggunakan faktor
dalil lain di luar nash. tarjih ini juga terbagi atas 3 cara yakni [11]:
a. Tarjih dari segi Sanad
Tarjih dari segi Sanad oleh imam asy-Syaukani (ahli usul fikih)
dikatakan dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, tarjih dilihat
dari segi rawi. Misalnya, sanad yang mempunyai banyak rawi lebih dikuatkan
daripada sanad yang rawinya sedikit, tarjih dilakukan terhadap sanad yang salah
satu rawinya lebih adil, lebih taqwa, dan lebih kuat ingatannya atau lebih
dipercayai daripada sanad yang rawinya tidak demikian. Kedua, tarjih
dari segi yang diriwayatkan itu sendiri. Misalnya lebih menguatkan hadis
mutawattir (yang diriwayatkan oleh orang banyak yang menurut akal mustahil
mereka akan berdusta; *Mutawattir) daripada hadis yang tingkatannya hanya
masyhur (yang diriwayatkan oleh beberapa orang saja). Demikian juga hadis yang
masyhur lebih dikuatkan daripada hadis yang sifatnya ahad (yang diriwayatkan
oleh satu orang). Ketiga, mentarjih dari sisi cara menerima hadis,
Misalnya, lebih menguatkan hadis yang diterima langsung dari Nabi SAW daripada
hadis yang hanya didapati dalam tulisan.[12]Adapun
contoh tarjih jika ditinjau dari segi rawi sebagai berikut[13]
:
Pertama, Perawi
salah satu dari dua hadits yang bertentangan jumlahnya lebih banyak dalam
tingkatan-tingkatannya dibandingkan hadits yang lain. Maka, hadits yang
dibawakan perawi yang lebih banyak lebih kuat dibandingkan hadits yang
dibawakan perawi yang lebih sedikit jumlahnya. Contoh :
حدثنا حفص
بن عمر ثنا شعبة عن أبي إسحاق عن عاصم بن ضمرة عن علي رضي الله عنه
أن النبي
صلى الله عليه وسلم كان يصلي قبل العصر ركعتين
”Telah
menceritakan kepada kami Hafsh bin ’Umar : Telah menceritakan kepada kami
Syu’bah, dari Abi Ishaq, dari ’Ashim bin Dlamrah, dari ’Ali bin Abi
Thalibradliyallaahu ’anhu : ”Bahwasannya Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam
shalat (sunnah) sebelum ’asar sebanyak dua raka’at”. (Diriwayatkan oleh Abu
Dawud no. 1272).
Syu’bah dalam sanad hadits ini telah
menyelisihi beberapa perawi lain yang meriwayatkan dari Abu Ishaq (As-Sabi’y),
dari ’Ashim bin Dlamrah, dari ’Ali radliyallaahu ’anhu tentang shalat sunnah
sebelum ‘Asar Nabi SAW; dimana mereka semua menyebutkan empat raka’at
[Diriwayatkan oleh Ahmad no. 650, Ibnu Majah no. 1161, dan At-Tirmidzi no. 429;
shahih]. Para perawi tersebut antara lain : Sufyan Ats-Tsauri, Israil bin Yunus
bin Abi Ishaq (cucu dari Abu Ishaq), dan Yunus bin Abi Ishaq (anak dari Abu
Ishaq)[14].
Jika kita mengambil metode tarjih
dalam pembahasan ini, kedudukan shalat sunnah sebelum ‘Asar empat raka’at lebih
kuat dibandingkan dua raka’at.
Kedua, Perawi salah satu dari
dua hadits lebih tsiqah, lebih dlabth, lebih hati-hati dalam periwayatan, dan
lebih sedikit salahnya daripada perawi yang lain. Maka, riwayat pertama lebih
kuat dibandingkan riwayat yang kedua. Contoh :
Ketiga, Perawi salah satu
dari dua hadits merupakan pihak yang mempunyai kisah (shahibul-qishshah). Maka,
riwayat perawi ini lebih kuat daripada yang lainnya. Contoh :
عن ميمونة قالت : تزوجني رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم ونحن حلالان
Dari
Maimunah, ia berkata : “Rasulullah SAW menikahiku, dan kami berdua dalam
keadaan halal (setelah selesai ihram)” (HR. Abu Dawud no. 1843; shahih).
Riwayat
di atas bertentangan dengan riwayat Ibnu ‘Abbas ra.:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَ
مَيْمُوْنَةَ وَهُوَ مُحْرِمٌ
”Bahwasannya
Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam menikahi Maimunah dalam keadaan ihram” (HR.
Al-Bukhari no. 1837 dan Muslim no. 1410).
Jika kita melakukan tarjih atas dua
riwayat di atas, maka riwayat Maimunah ra. dimenangkan atas riwayat Ibnu ‘Abbas
ra.ma. Hal ini dikarenakan ia berstatus sebagai si empunya kisah yang
menceritakan pengalamannya[15].
Ibnul-Musayyib
rahimahullah berkata :
وهم أ بن عباس في تزويج ميمونة وهو محرم
“Ibnu ’Abbas telah keliru dalam
(meriwayatkan) pernikahan Nabi dengan Maimunah dalam keadaan ihram” (HR. Abu
Dawud no. 1845; shahih).
Keempat, Perawi salah satu
dari dua hadits merupakan pihak yang mengetahui secara langsung apa yang
diriwayatkannya, sedangkan perawi yang lain tidak. Maka, riwayat pertama lebih
kuat dibandingkan riwayat yang kedua. Contoh :
عن أبي رافع قال : تزوج رسول
الله صلى الله عليه وسلم ميمونة وهو حلال
وبنى
بها وهو حلال وكنت أنا الرسول بينهما
Dari Abu
Raafi’, ia berkata : “Rasulullah SAW menikahi Maimunah dalam keadaan halal
(telah selesai ihram) serta membina rumah tangga dengannya dalam keadaan halal.
Adapun aku waktu itu sebagai utusan antara keduanya” (HR. At-Tirmidzi no. 841).
Jika hadits ini sah maka riwayat Abu
Raafi’ ini dimenangkan atas riwayat Ibnu ‘Abbas (sebagaimana contoh dalam no. 3
di atas), karena Abu Raafi’ merupakan perantara (safiir) antara Rasulullah SAW
dan Maimunah, dan yang menerima pernikahan Maimunah dari beliau SAW[16].
Kelima, Perawi salah satu
dari dua hadits termasuk istri-istri Rasulullah SAW. Maka ia
didahulukan/dikuatkan dari yang lain dalam perkara-perkara yang berkaitan
dengan kehidupan/hubungan suami istri. Contoh
:
عن عائشة وأم سلمة – رضي الله عنهما- : أن رسول الله صلى الله عليه
وسلم
كان
يدركه الفجروهو جنب من أهله ثم يغتسل ويصوم
Dari
Aisyah dan Ummu Salamah ra.ma bahwasannya Rasulullah SAWpernah mendapati fajar
telah terbit dan ketika itu beliau dalam keadaan junub setelah bercampur dengan
istrinya. Kemudian beliau mandi dan berpuasa” (HR. Al-Bukhari no. 1926 dan Muslim no.
1109).
أن أبا هريرة يقول من أصبح جنبا أفطر ذلك اليوم
Bahwasannya
Abu Hurairah pernah berkata : “Barangsiapa yang pada waktu subuh dalam keadaan
junub, maka ia telah berbuka pada hari itu” (HR. Malik no. 299, Ibnu Hibban no.
3486, dan yang lainnya; shahih).
Hadits pertama lebih dimenangkan
atas hadits kedua, sebab ‘Aisyah dan Ummu Salamah lebih mengetahui perihal
junub Nabi SAWdibanding dengan Abu Hurairah ra.
b. Tarjihdari segi Matan
Yang dimaksud matan disini adalah
isi atau kandungan dari hadits, Al Qur’an atau Ijma’, baik yang berupa amr
(perintah), larangan, ‘am dan khosh serta yang lainnya. Larangan lebih
didahulukan daripada perintah, karena menolak mafsadah lebih diutamakan
daripada mendatangkan mashlahah, berdasarkan kaidah : “Menolak mafsadah lebih
diutamakan daripada menarik mashlahah.” Jika dalil satunya memerintahkan dan
yang lain memubahkan maka didahulukan yang dalil yang memerintahkan untuk bisa
lebih berhati-hati. Dan jika dalil satunya mengandung lafadh hakiki, dan yang
lain mengandung lafadh majazy (arti kiasan), maka didahulukan dalil yang
mengandung lafadh hakiki, karena lafadh hakiki tidak memerlukanqorinah
(indikasi) nash yang lain[17].
Bila ada dalil yang mengandung lafadh larangan dan yang lain mengandung
pembolehan, maka didahulukan dalil yang mengandung larangan supaya bisa lebih
berhati-hati. Ucapan lebih didahulukan dari pekerjaan. “Ucapan lebih
didahulukan atas aktivitas.”
Contohnya adalah tentang buang hajat
dengan posisi menghadap atau membelakangi kiblat (ka`bah), hadis tersebut
adalah:
عن ابى هريرة رضى الله عنه عن النبى صلى الله عليه وسلم قال اذا جلس
احدكم
على حاجته فلا يستقبل القبلة ولا يستدبرها (رواه مسلم(
Diriwayatkan
dari Abu Hirairah ra dari Rasulullah SAW bersabda; apabila seseorang diantara
kamu duduk untuk buang hajat maka hendaklah jangan menghadap dan membelakangi
arah qiblat. (HR. Muslim).[18]
عن ابن عمر رضى الله عنه قال رقيت على بيت اختى حفصة فرايت رسول الله
صلى
الله عليه وسلم قاعدا لحجته مستقبل الشام مستدبر القبلة (رواه مسلم(
Diriwayatkan
dari Ibnu Umar ra berkata; Aku datang ke rumah saudari perempuanku Hafshah dan
aku melihat Rasulullah SAW dalam keadaan duduk untuk buang hajat menghadap
kearah Syam dan membelakangi qiblat. (HR. Muslim).[19]
Kalau diteliti kedua hadis ini
tampak adanya perbedaan antara qaul (ucapan) Nabi SAW dengan af`alnya
(perbuatannya). Dalam hal ini al-Syaukani mengutip pendapat Ibnu Rusyd; “bahwa
hukum dalam perbuatan Rasulullah SAW seperti hukum dalam qaul-qaulnya”.[20]
Dan menurut pendapatnya jika terjadi
kontradiksi antara qaulNabi SAW dan af`alnya maka diambil beberapa sikap
sebagai berikut; pertama, mendahulukan qaul daripada af`al, kedua,
mendahulukanaf`al daripada qaul, ketiga, mendahulukan yang diketahui
sejarahnya.
Imam al-Qurthubi sebagaimana dikutip
oleh al-Syaukani berpendapat bahwa perbuatan Nabi SAW menunjukkan pada wajib
(ketetapan) dan jika diketahui faktor sejarah maka yang datang terakhir
dinasakh dan jika yang datang terakhir juga diketahui sejarahnya maka keduanya
ditarjih dan tetap diantara keduanya tidak terjadi kontradiksi, boleh jadi
menunjukkan pada nadab atau ibadah diantara perbedaan qaul dan af`al. [21]
c. Tarjih dari segi hukum atau kandungan teks
Dan dari segi hukum atau kandungan
teks menurut al-Syaukani adalah[22]
:
1)
Apabila salah satu hukum teks
itu mengandung bahaya, sedagkan teks lain menyatakan kebolehan saja, menurut
jumhur yang mengandung bahaya itulah yang harus di dahulukan.
2)
Apabila hukum yang dikandung suatu teks
bersifat menetapkan, sedangkan yang lain bersifat meniadakan, maka dalam
seperti ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama’. Menurut Syafi’iyah
teks yang bersifat meniadakan lebih didahulukan dari teks yang bersifat
menetapkan. Sedangkan menurut jumhur teks yang sifatnya menetapkan lebih di
dahulukan.
3)
Apabila teks yang bertentangan itu salah
satunya mengandung hukum menghindarkan terpidana dari hukum, sedangkan teks
yang lain mengandung hukum mewajibkan pelaksanaan hukuman terhadap terpidana
tersebut, maka teks yang mengandung hukum menghindarkan itu lebih didahulukan,
karena dengan adanya dua kemungkinan ini hukuman tidak dapat dilaksanakan[23],
sesuai dengan sabda Rosulullah SAW:
إدرؤوا الحدود بالشبهاة
Tolaklah hukuman dalam jarimah hudud apabila terdapat keraguan (HR
al-Baihaqi)
Teks yang mengandung hukuman yang
lebih ringan didahulukan dari pada teks yang mengandung hukuman yang berat.
Seperti yang tertulis dalam QS al-Baqarah: 185:
ãökytb$ÒtBuüÏ%©!$#tAÌRé&ÏmÏùãb#uäöà)ø9$#WèdĨ$¨Y=Ïj9;M»oYÉit/urz`ÏiB3yßgø9$#È
b$s%öàÿø9$#ur4`yJsùyÍkyãNä3YÏBtök¤¶9$#çmôJÝÁuù=sù(`tBurtb$2$³ÒÍsD÷rr&4n?tã9
xÿy×o£Ïèsùô`ÏiBBQ$r&tyzé&3ßÌãª!$#ãNà6Î/tó¡ãø9$#wurßÌããNà6Î/u
ô£ãèø9$#(#qè=ÏJò6çGÏ9urno£Ïèø9$#(#rçÉi9x6çGÏ9ur©!$#4n?tã$tBöNä31yydö
Nà6¯=yès9urcrãä3ô±n@ÇÊÑÎÈ
185. (beberapa hari yang ditentukan itu ialah)
bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara
kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,
supaya kamu bersyukur.
“Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan
hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah
atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”.
Pentarjihan dengan menggunakan
faktor (dalil) lain di luar nash Al-Amidi mengemukakan lima belas cara
pentarjihan dengan menggunakan metode ini, dan Imam al-Syaukani meringkasnya
menjadi[24]:
a)
Mendahulukan salah satu dalil
yang mendapatkan dukungan dari dalil lain, baik itu al-Qur’an, Sunnah, Ijma’,
Qiyas, maupun logika.
b)
Mendahulukan salah satu dalil
yang sesuai dengan amalan penduduk Madinah atau yang diamalkan al-Khulafa
al-Rasyidun hal ini dikarenakan penduduk Madinah lebih banyak mengetahui
persoalan Turunnya al-Qur’an dan penafsiran ayat-ayat al-Qur’annya.
c)
Dikuatkan nash yang
menyebutkan illat hukumnya dari nash yang todak menyebutkan illatnya.
d)
Menguatkan dalil yang
kandungannya menurut sikap waspada(Ihkstiyat) daripada dalil lainnya yang tidak
demikian.
e)
Mendahulukan nash yang
dibarengi dengan perkataan atau perbuatan dari perawinya dari nash yang tidak
demikian halnya.
2. Tarjih bain al-Aqyisah (الأقيسة بين الترجح )
Imam al-Syaukani mengemukakan tujuh
belas macam pentarjihan dalam persoalan qiyas yang saling bertentangan, namun
Wahbah Zuhaily meringkasnya menjadi [25]:
a)
Dari segi hukum asal, yaitu
dengan menguatkan qiyas yang hukum asalnya qath’i dari qiyas yang hukum asalnya
bersifat zhanni, karena yang qath’i lebih kuat dari pada yang zhanni. Lalu yang
selanjutnya menguatkan landasan dalilnya adalah ijma’ dari qiyas yang landasan
dalilnya nash, karena nash bisa di takhsis, di ta’wil dan di nasakh.Sedanglan
ijma’ tidak bisa di khususkan, dita’wilkan dan dibatasi.
b)
Dari segi hukum furu’ (cabang), yaitu dengan menguatkan hukum
furu’ yang kemudian dari asalnya (qiyas) yang hukum furu’nya lebih dahulu dari
hukum asalnya, kemudian juga dikuatkan hukum furu’ yang illat nya diketahui
secara qath’i dari hukum furu’ yang illat nya bersifatzhanni.
c)
Dari segi illat, yaitu salah satunya dengan
menguatkan illat yang disebutkan dalam nash atau illat yang disepakati dari
illat yang tidak disebutkan dalam nash atau tidak disepakati keberadaannya
sebagai illat, dan lain-lain.
d)
Pentarjihan qiyas melalui
faktor luar, yaitu dengan menguatkan qiyasyang didukung oleh sejumlah illat
dari qiyas yang hanya didukung satu illat. Lalu yang selanjutnya harus
dikuatkan qiyas yang didukung oleh fatwa sahabat.
Para ahli ushul berselisih pendapat
mengenai pengamalan dalil yang lebih unggul (tarjih). Dalam hal ini ada
beberapa pendapat[26]:
Mayoritas ulama berpendapat bahwa
mengamalkan dalil yang lebih unggul adalah wajib bila dihubungkan dengan adanya
dalil yang tidak unggul (unggul) karena dalil yang lemah tidak boleh diamalkan,
baik pengunggulan (tarjih) tersebut secara qath’i maupun dzani. Adapun
dasar-dasar pendapat mereka[27]
:
Para sahabat sepakat untuk
mengamalkan dalil yang lebih unggul. Mereka telah mengunggulkan hadits yang
diriwayatkan oleh Aisyah ra tentang wajibnya mandi jinabah. “Kewajiban mandi
itu karena keluarnya air (sperma)”. Alasan ditarjihnya hadits ini adalah karena
isteri-isteri nabi, termasuk Aisyah lebih tahu terhadap perbuatan beliau
daripada orang lain.
Hal tersebut menunjukkan bahwa para
sahabat tidak menggunakan pendapat-pendapatnya dan qiyas-qiyas sebagai dasar
beramal, kecuali setelah menkaji nash-nash.
Apabila dalil yang lebih unggul
tidak diamalkan, maka sudah pasti dalil yang lemah diamalkan. Mengamalkan dalil
yang lemah dan meninggalkan dalil yang lebih unggul adalah hal yang dilarang
menurut akal.
Apabila salah satu dari dua dalil
yang saling bertentangan lebih unggul, maka berdasarkan orang-orang yang
berakal sehat, dalil yang lebih unggullah yang wajib diamalkan. Karena akal
akan mendahulukan untuk mengamalkan dalil yang lebih unggul daripada dalil yang
lemah. Adapun dasar hukumnya adalah karena pemberlakuan hukum-hukum syara’ itu
juga dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di masyarakat.
Sebagian ulama ushul berpendapat
bahwa tidak diperbolehkan mengamalkan dalil yang lebih unggul. Apabila terdapat
pertentangan antara beberapa dalil, maka kita diperbolehkan untuk memilih salah
satunya sebagai dasar beramal atau tidak mengamalkan dalil-dalil yang saling
bertentangan tersebut sama sekali. Adapun dasar-dasar argumentasi mereka adalah[28]:
Firman Allah SWT:
فاعتبروايااولىالابصار
“Maka
ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran hai orang-orang yang mempunyai
pandangan“
Ayat ini memerintahkan kita untuk
mengambil suatu kejadian sebagai peringatan secara mutlak tanpa harus ada
penjelasan atau penelitian terlebih dahulu. Berdasarkan ayat ini, maka tidak
ada alasan untuk mewajibkan mengamalkan dalil yang tidak unggul. Karena
mengamalkan dalil yang tidak unggul termasuk mengambil pelajaran atau
peringatan.
Sabda
Rasulullah SAW
امرت ان احكم بالظواهر والله يتولى با السرائر
“Saya
diperintahkan untuk menghukumi lahiriyah, dan Allah yang menghukumi hal-hal non
lahiriyah (bathiniyah)”
Tidak diragukan lagi bahwa dalil
unggul adalah termasuk hal-hal yang bersifat lahiriyah. Oleh karena itu ia
dapat diamalkan.
BAB III
PENUTUP
Metode tarjih
adalah salah satu metode untuk mencari salah satu hadits yang sah untuk
dipergunakkan dengan cara mengunggulkan salah satu hadis dari hadis yang
berlawanan maksudnya, dalam metode ini harus disertai dengan pengetahuan dan
alas an-alasan yang jelas. Dan jika metode ini tidak dapat ditempuh maka
sebagai alternatif adalah al-tawaquf (ditangguhkan) dan lebih dahulu terus
dilakukan pengkajian terhadap hadis-hadis yang kontroversial sehingga statusnya
dapat meningkat apakah dapat ditarjih atau dinasakh.
Konsep ini muncul
ketika terjadinya pertentangan secara lahir antara satu dalil dengan dalil yang
lainnya yang sederajat dan tidak bisa diselesaikan dengan cara al-jam’u wa
al-taufiq. Para ulama’ Ushul fiqh mengemukakan cukup banyak cara pentarjihan
yang bisa dilakukan, apabila antara dua dalil, secara zhahir terdapat
pertentangan dan tidak mungkin dilakukan nasakh.
DAFTAR PUSTAKA
Al Adhlabi, Shalahuddin Ibn Ahmad. 1983. Manhaj Naqd al Matan ‘inda Ulama al Hadits
al Nabawi. Beirut : Dar al-fikr al-Jadidah.
Al Naisaburi, Abi al-Husain Muslim bin
al-Hajjaj al-Qusyairy. 1988. Shahih Muslim
Cet. I, Jilid 1. Beirut : Dar
al-Fikr.
Al Qasimi, Jamal al-Din. t.th. Qawaid al-Tahdis min Funun Mushthalah
al-Hadis. t.tp : Dar al-Nukhasy.
Al Suyuthi, Jalaluddin. t.th . Tadrib al-Rawi
fi Syarh Taqrib al-Nawawi, Jilid II. Beirut
: Dar al-Kutub.
Al Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad. t.th.
Irsyad al-Fuhul Ila Tahqiq al-Haq
min Ulum al-Ushul. Beirut : Dar al-Fikr.
Dewan Redaksi. 1994. Ensiklopedi Islam. Jakarta
: PT Ichtiar Baru van Hoeve.
Haroen, Nasroen. 1997. Ushul Fiqh I. Jakarta :
PT. Logos Wacana Ilmu.
Ismail, Syuhdi. 1995. Hadis Nabi menurut Pembela Pengingkar dan
Pemalsunya. Jakarta: Gema Insani
Press.
Mulkhan, Abdul Munir. 2007. Manusia Al-Qur’an
jalan ketiga religiositas di Indonesia.
Yogyakarta: Kanisius.
Nahrawi Abdus-Salam al-Indunisi, Ahmad. 2008.
Ensiklopedia imam Syafi’i. Jakarta: PT Mizan Publika.
Qordhowi, Yusuf. 2010. Fiqh Jihad. Bandung: PT
Mizan Pustaka.
Wafa, Muhammad. 2001. Metode Tarjih Atas
Kontradiksi Dalil-dalil Syarah. Bangil:
al-Izzah.
Ya`qub, Ali Mushtafa. 1999. Peran Ilmu Hadis
dalam Pembinaan Hukum Islam, Cet.
I. Jakarta : Pustaka Firdaus.
Zuhaili, Wahbah. 1987. Ushul Fiqh al-Islamy
Jilid 2. Beirut: Darul Fikr.