A. Abbasyiah
1.
Sebab-sebab
Munculnya Dinasti-dinasti Kecil Pada Masa Bani Abbasyiah
Berdirinya dinasti-dinasti kecil pada masa Bani Abbasyiah disebabkan
oleh beberapa faktor, diantaranya :
a.
Kelemahan khalifah-khalifah
yang memerintah akhir pemerintahan
Kelemahan khalifah ini menjadi factor utama, baik lemah dalam bidang
politik pemerintahan maupun lemah dalam kewibawaanya, lebih-lebih terdapat khalifah
yang suka bersenang-senang dan suka menghambur-hamburkan uang rakyat, sehingga
roda perekonomian terganggu dan rakyat semakin miskin.
Daerah kekuasaan yang sangat luas membuat khalifah sangat sulit
memonitoring daerah-daerah yang jauh dari pemerintah pusat. Bahkan dalam
kenyataannya, banyak terdapat daerah yang tidak dikuasai khalifah. Secara riil,
daerah tersebut di bawah kekuasaan para gubernur propinsi yang bersangkutan.
Hubungannya dengan khalifah ditandai dengan membayar upeti [1].
b.
Meningkatnya
faham fanatisme
Dinasti-dinasti yang ada pada saat itu sedikitnya di kuasai oleh 4
bangsa, yaitu bangsa Persia,
Turki, Kurdi dan Arab, serta menganut berbagi faham keagamaan, diantaranya
sunni dan syiah.
Tampak sangat jelas bahwa perbedaan bangsa, faham serta fikiran
mereka menimbulkan suatu reformasi pemerintahan yang berujung pada pembentukan dinasti
baru yang sesuai dengan background keagamaan mereka serta bangsa mereka.
c.
Keinginan
untuk mendirikan kerajaan yang belum tersampai di masa lalu
Berdirinya Bani Abbasyiah merupakan manifestasi dari
persatuan berbagai golongan yang menentang Bani Umayyah. Diantara golongan
tersebut ada yang tidak puas terhadap kebijakan Bani Abbasyiah, sehingga mereka
termarjinalkan dan mengasingkan diri untuk menyusun suatu kekuatan dalam upaya
membentuk suatu kerajaan yang independen. Salah satu contohnya adalah dinasti
Idrisiah (syi’ah). Mereka berpendapat, sejak Rosulullah wafat yang berhak
menggantikan beliau adalah Ali bin Abi Thalib bukan yang lain, akan tetapi yang
mnggntikanya adalah Abu Bakar. Pada masa selanjutnya, pengikut Ali berusaha
agar jabatan khalifah dipegang oleh orang syiah, tetapi tidak berhasil sampai
Bani Umayyah berkuasa[2].
B. Dinasti-dinasti Di Timur Baghdad
1.
Dinasti
Thahiriyah (205 H-259 H / 820 M-872 M
a.
Sejarah Pembentukan
Kerajaan ini didirikan oleh Thahir bin al-Husayn (205 H/821 M)[3],
seorang keturunan Persia yang kemudian diangkat menjadi jendral perang pada
masa pemerintahan khalifah al-Ma’mun. Beliau berhasil memimpin balatentara
untuk melawan Al-Amin secara gemilang, sehingga atas kemenangan dan
kemahirannya dalam berperang al-Ma’mun memberi gelar Zu al-Yaminain dan diangkat menjadi gubernur khurasan serta
diberi wewenang untuk menentukan sendiri siapa penerus setelahnya.
Thohir bin al-Husyain memerintah pada tahun 205 H – 207
H, beliau meninggal karena sakit demam, menurut versi lain menyatakan bahwa ia
keracunan. Sebagai penggantinya al-Ma’mun mengangkat putranya Talhah yang
memerintah hingga tahun 213 H. kekuasaan
berikutnya di pegang Abdullah bin Thohir,usaha yang dilakukan adalah
meningkatkan kerjasama dengan pemerintahan pusat dalam bidang keamanan,
perekonomian serta ilmu pengetahuan dan akhlak.
Penguasa terakhir
dari dinasti Thohiriyah adalah Muhammad bin Thohir, seoarang raja yang lemah
dan suka bersenang-senang. Ia tidak bisa mengendalikan pemerintahan sebagaimana
pendahulunya, bersamaan dengan itu muncullah kekuatan baru dari keluarga saffar
di sijistan (Persia)
yakni ya’kub bin lais as-saffar. Muhammad bin Thohir tidak mampu membendung
kekuatan as-saffar sehingga pada tahun 259 H dinasti Thohiriyah berhasil
dikuasai secara penuh oleh Ya’kub, sehingga terbentuklah dinasti saffariyah.
b.
Kemajuan dan kehancuran dinasti Thahiriyah
Dinasti
Thahiriyah mengalami masa kejayaan pada masa pemerintahan Abd Allah ibn Thahir,
saudara Thalhah. Ia memiliki pengaruh dan kekuasaan yang besar di mata masyarakat
dan pemerintah Bagdad. Oleh karena itu, ia terus menjalin komunikasi dan
kerjasama dengan Bagdad sebagai bagian dari bentuk pengakuannya terhadap peran
dan keberadaan khalifah Abbasiyah. Perjanjian dengan pemerintah Bagdad yang
pernah dirintis ayahnya, Thahir ibn Husein, terus ditingkatkan. Peningkatan
keamanaan di wilayah perbatasan terus dilakukan guna menghalau pemberontak dan
kaum perusuh yang mengacaukan pemerintahan Abbasiyah. Setelah itu, ia berusaha
melakukan perbaikan ekonomi dan keamanan. Selain itu, ia juga memberikan ruang
yang cukup luas bagi upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan perbaikan moral
atau akhlak di lingkungan masyarakatnya di wilayah Timur Bagdad.[4]
Dalam
perjalanan selanjutnya, dinasti ini justeru tidak mengalami perkembangan ketika
pemerintahan dipegang oleh Ahmad ibn Thahir (248-259 H), saudara kandung Abd
Allah ibn Thahir, bahkan mengalami masa kemerosotan. Faktornya antara lain,
adalah pemerintahan ini dianggap sudah tidak loyal terhadap pemerintah Bagdad,
karenanya Bagdad memanfaatkan kelemahan ini sebagai alasan untuk menggusur
dinasti Thahiriyah dan jabatan strategis diserahkan kepada pemerintah baru,
yaitu dinasti Saffariyah. Muhammad ibn Thahir II memiliki kemampuan yang rendah
dibandingkan pendahulu-pendahulunya, pada tahun 259H/873 M dia menyerahkan
Nisyapur kepada Ya’qub ibn Layts. Pada tahun 271H/885 M dia ditunjuk kembali
menjadi gubernur, namun tidak pernah menjalankan jabatan itu dengan baik, dan
dia meninggal pada awal abad kesepuluh.[5]
Faktor lain penyebab kemuduran dan kehancuran
dinasti Thahiriyah adalah pola dan gaya hidup berlebihan yang dilakukan para
penguasa dinasti ini. Gaya hidup seperti itu menimbulkan dampak pada tidak
terurusnya pemerintahan dan kurangnya perhatian terhadap pengembangan ilmu pengetahuan
dan peradaban Islam. Selain itu, persoalan keamanan dan keberlangsungan
pemerintahan juga tidak terpikirkan secara serius, sehingga keadaan ini
benar-benar dimanfaatkan oleh kelompok lain yang memang sejak lama mengincar
posisi strategis di pemerintahan lokal, seperti kelompok Saffariyah. Kelompok
baru ini mendapat kepercayaan dari pemerintah Bagdad untuk menumpas sisa-sisa
tentara dinasti Thahiriyah yang berusaha memisahkan diri dari pemerintahan
Bagdad dan melakukan makar. Dengan demikian, berakhirlah masa jabatan dinasti
Thahiriyah yang pernah menjadi kaki tangan penguasa Abbasiyah di wilayah Timur
kota Bagdad.[6]
2.
Dinasti
Saffariyah (254 H-289 H / 867 M-903 M)
a.
Sejarah Pembentukan
Dinasti Saffariyah, yang bermula di Sijistan dan
berkuasa di Persia, didirikan oleh Yakub bin al Laits al shaffar. Al saffar[7].
Seorang pengrajin tembaga dan perampok. Perilakunya yang sopan dan efesien
sebagai seorang kepala gerombolan perampok telah menarik perhatian gubernur Sijistan,
yang kelak memeberinya kepercayaan menjadi pemimpin tentara pada zaman Salih
bin Nasr. Al Saffar akhirnya menggantikan gubernur dan berhasil memperluas wilayah kekuasaan
hampir ke seluruh Persia dan
kawasan pinggiran India,
bahkan berhasil menumpaskan dinasti Thohiriyah. Namun pemerintah pusat tidak
mengakui kedudukannya, sehingga Ya’kub mengancam kekuasaan Baghdad yang berada di bawah pimpinan
Khalifah al-Mu’tamid, akan tetapi gagal di dair al-aqul dan meninggal di jundai
shabur. Pengganti Ya’kub adalah saudaranya, Amr yang memerintah di Sistan
hingga tahun 558 H.
b.
Kemajuan dan Kemunduran dinasti Saffariyah
Perkembangan
Dinasti Shaffariyah mengalami perkembangan pada masa pemerintahan Amr ibn Lays,
ia berhasil melebarkan wilayah kekuasaannya sampai ke Afganistan Timur.[8]
Dalam masa pemerintahannya,terdapat
perkembangan yang menarik, terutama perkembangan civil society berkaitan dengan
keadilan. Dinasti Saffariyah meletakkan dasar-dasar keadilan dan kesamaan hak
di antara orang-orang miskin di Sijistan. Karena itu, faktor inilah yang
kemungkinan menjadi salah satu sebab lamanya dinasti ini berkuasa di Sijistan,
karena ia begitu peduli dengan keadaan masyarakat yang menjadi pendukung
pemerintahan, terutama komunitas masyarakat miskin. Seorang amir abad
kesepuluh, Khalaf ibn Ahmad, menjadi termasyhur sebagai pelindung ilmu
pengetahuan.[9]
Pada tahun 393 H/1003 M Mahmud dari Ghazna
menguasai provinsi itu dan menjadikannya sebagai wilayah kekuasaannya, namun
Shaffariyah terus bertahan, dan pada pertempuran Ghaznawiyah-Seljuq pada
tahun-tahun pertengahan abad kesebelas memperkuat posisinya, mula-mula berkuasa
sebagai bawahan Seljuq, kemudian sebagai bawahan ghuriyyah. Bahkan setelah invasi Mongol dan
Timur, kejadian-kejadian yang begitu kalut dan menyedihkan bagi sebagian besar
dunia Islam Timur, Dinasti Shaffariyah berhasil bertahan sampai akhir abad
kelima belas.[10]
3.
Dinasti
Samaniyah (261 H-389 H / 874 M-999 M)
a. Sejarah Pembentukan
Dinasti Samaniyah adalah dinasti persi yang didasarkan
pada keterunan Samankhudat (pemimpin daerah saman disekitar Balkh, utara Afganistan)[11].
Pendiri dinasti ini adalah Nashr bin
Ahmad pada tahun 261 H, beliau menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Gubernur
Transoxania dan diangkat menjadi pemimpin yang berkuasa penuh atas Transoxania
oleh Khalifah al-Mu’tamid.
Pada tahun yang sama Nasr melantik saudaranya Isma’il
menjadi wakilnya di Bukhoro. Isma’il telah berjaya menghadapi tantangan dari
kaum khawarizm pimpinan Husain bin Tahir al-Ta’I dan kaum Saffariyah pimpinan
Ya’kub. Hal tersebut membuat kedudukan dinasti Samaniyah menjadi semakin solid,
lebih-lebih isma’il berkonsolidasi
dengan Rafi’ seorang Gubernur Khurasan. Akibat hubungan baik diantara keduanya
tersebut hampir mengancam kedudukan Nasr, akan tetapi hal tersebut tidak
berlangsung maksimal.
Nasr meninggal pada tahun 279 H dan diganti oleh Ismail.
Isma’il mampu melebarkan sayap kekuasaanya sampai ke Qorluq, dengan dikuasainya
Qorluq maka aktifitas perdagangan di Asia Tengah dikuasai Samaniyah. Pada tahun 287 H isma’il mendapat sanjungan
dari khalifah Abbasyiah karena berjaya menewaskan Amru bin Laith (safawi), maka
beliau diangkat menjadi Gubernur Khurasan menggantikan Keluarga Thohiriyah dan
Saffariyah. Beberapa waktu kemudian Dinasti Samaniyah memperoleh masa keemasan
dengan dikuasainya kawasan-kawasan
penting khuwarizm, Sistan , Afganistan serta sebagian India.
Berbagi perlawanan bermunculan terhadap Samaniyah,
khususnya dari keluarga Buwaih, golongan Qarakhaniyah dan Ghoznawiyah, sehingga
pada tahun 395 H amir Isma’il al-Muntasir mati terbunuh dan dinasti Samaniyah
jatuh ke tangan Qarakhaniyah (wilayah Transoxania) dan Ghoznawiyah (wilayah
Khurasan).
b.
Kemajuan dinasti Samaniyah
Pada masa Dinasti Samaniyah muncul Firdausi dengan
karyanya hahnamah, yang menguraikan nasionalisme Parsi. Pada masa ini
pula, ilmuanwan muslim, al-razi mempersembahkan karya utamanya dalam dunia
kedokteran, berjudul al-Mansyur. Pada periode Nuh II diadakan pengembangan ilmu pengetahuan, sehingga Ibn
Sina muda tinggal di Bukhara
dan memperoleh akses buku yang sangat banyak. Darisinilah ilmu pengetahuan
menjadi berkembang pesat, terutama bidang sastra persi.[12]
c.
Kehancuran dan kemunduran dinasti Samaniyah
Sepeninggal Ismai’l, Khalifah al-Muktafi mengangkat Abu
Nashr ibn Ismail, anak dari Ismail. Tidak lama memerintah lalu ia terbunuh, dan
digantikan oleh putranya Nashr II, yang baru berusia delapan tahun. Para tokoh
samani merasa khawatir, sementara waktu itu masih ada paman bapaknya, yaitu
Ishaq ibn Ahmad, penguasa Samarkand yang memihak kepada penduduk Transoxania.
Lalu tokoh samani menyampaikan permohonan kepada khalifah al-Muktadir, agar
didatangkan pemerintahan dari khurasan, tetapi khalifah bersikeras menolaknya.
Hal tersebut diatas menjadikan mulainya muncul
bibit-bibit perpecahan ditubuh Samaniyah, ini memicu pemberontakan para
pemimpin dan panglima militer, bahkan para tokoh militer ada yang bekerja sama
dengan pihak musuh. Inilah salah satu penyebab keruntuha dinasti Samaniyah. [13]
4.
Dinasti
Ghaznawi (977-11186 M)
a.
|
Dinasti Ghaznawiyah (977-11186 M)
merupakan kerajaan berkebangsaan Turki yang menguasai wilayah Afghanistan dan
Punjab di India. Dinasti ini merupakan dinasti pertama yang dipimpin oleh
budak, Ghaznawiyah juga terkenal sebagai benteng terkuat Sunni.[14]
Ghaznawiyah memprakarsai sebuah rezim yang di dalamnya prajurit budak
mendominasi Negara; para penguasanya sendiri berasal dari kalangan budak.[15]
Setelah pemerintahan al-Mu’tashim
(833-842 M), kerajaan Abbasiyah mulai melemah. Wilayah-wilayah yang jauh dari
pemerintahan pusat mulai memisahkan diri. Dengan begitu terbentuklah beberapa
kerajaan kecil di timur dan di barat Baghdad.
Di timur, ada 3 (tiga) kerajaan yang didirikan oleh orang-orang
keturunan Persi bermadzhab Syi’ah. Kerajaan itu adalah Tahiriyah, Saffariyah
dan Samaniyah. Kerajaan-kerajaan ini memerintah silih berganti di beberapa
kawasan bagian tengah Asia di sekitar sungai Oxus.
Pada masa pemerintahan Sultan Mansur
dari dinasti Samaniyah, telah muncul pemberontakan di wilayah Khurasan. Sultan
Mansur mengirimkan salah seorang jenderalnya (yang juga bekas hamba
ayahandanya) berkebangsaan Turki bernama Alptigin untuk membendung
pemberontakan tersebut. Karena jasanya menumpas pemberontakan itu, Alptigin
dilantik menjadi Gubernur Khurasan. Akan tetapi tidak berapa lama terjadi
perselisihan antara Sultan Mansur dengan Alptigin, yang akhirnya Alptigin
dipecat.
Alptigin kemudian memberontak dan
mengikrarkan seluruh wilayah Khurasan bebas dari kekuasaan kerajaan Samaniyah.
Pada tahun 926 M, beliau menyerang kota Ghaznah (Ghazni) di kawasan pegunungan
Afghanistan dan menjadikannya pusat kerajaannya yang baru. Kerajaan ini dikenal
sebagai dinasti Ghaznawiyah.
Setelah Alptigin meninggal dan
digantikan menantunya, Sabuktigin, pada tahun 977 M. Sabuktigin memperluas
kekuasaan kerajaan Ghaznawi ke timur dan ke barat. Sabuktigin menyerang
kawasan-kawasan kerajaan Samaniyah yang lain dan sekitar tahun 986 M mulai
mengarahkan perhatian ke arah India.
Tindakan pertamanya adalah menyerang
kerajaan Shahiya, sebuah kerajaan Hindu berpusat di Waihand. Sabuktigin dapat
mengalahkan raja Shahiya yang bernama Jaipal. Setelah itu Sabuktigin juga
menguasai wilayah Lamghan. Tindakan Sabuktigin ini telah menuimbulkan kemarahan
Jaipal.[16]
Sabuktigin merupakan pemerintah Islam
yang pertama mencoba masuk ke India melalui arah barat laut. Walau demikian,
keberhasilan yang dicapai tidaklah seberapa. Sabuktigin hanya berhasil
mengauasai Peshawar dan mengalahkan Jaipal. Namun begitu, Sabuktigin telah
membuka jalan bagi penaklukan Hindustan oleh penakluk-penakluk yang lain.
b.
Kemajuan
Sabuktigin meninggal pada tahun 997,
dan terjadi perebutan kekuasaan diantara anak-anaknya, Mahmud dan adiknya,
Ismail. Mahmud berhasil berkuasa dan menawan adiknya. Dua tahun pemerintahannya
ditumpukan pada pengukuhan kekuasaannya di Ghaznah. Mahmud menyerang Bukhara
karena keengganan kerajaan Samaniyah mengakui kedudukannya sebagai Gubernur
Khurasan. Mahmud berhasil mengalahkan tentara Samaniyah dan menguasai seluruh
Khurasan. Keberhasilannya menguasai Khurasan ini telah menyebabkan Khalifah
Abbasiyah di Baghdad terpaksa mengakuinya sebagai pemerintah yang sah berkuasa
di Khurasan dan kawasan di timurnya. Mahmud juga telah dianugerahi gelar
Sultan.[17]
Di samping mengakui kekuasaan
Ghaznawi di Khurasan, Khalifah al-Qadir (991-1031 M), Khalifah Abbasiyah ketika
itu telah meminta Sultan Mahmud supaya tidak memperluas kekuasaannya ke sebelah
barat, ke kawasan pemerintahan Bani Buwaihiyah. Akan tetapi permintaan ini
tidak diperdulikan oleh Sultan Mahmud. Beliau telah mengirim tentaranya ke
barat dan menguasai wilayah-wilayah di Persi hingga ke daerah Iraq.
Setelah itu, Sultan Mahmud menumpukan
perhatiannya ke India. Mahmud masuk ke Sind, kemudian menyerbu ke India. Dari
tahun 1000-1026 M, Sultan Mahmud melakukan tidak kurang dari 16 kali serangan
dan penyerbuan atas India. Setiap serangan yang dilakukannya, Sultan Mahmud
tidak pernah kalah. Oleh sebab keberhasilan-keberhasilannya ini, al-Qadir
menganugerahkan gelar Yamin ad-Daulah (Tangan Kanan Negara) dan Amin
al-Millah (Orang Kepercayaan Agama) kepadanya.[18]
Beliau berhasil menduduki kawasan Punjab, dan pusat kotanya, Lahore. Disana
beliau juga berhasil menancapkan pengaruh Islam. Dala sejaran Islam Sultan
Mahmud adalah orang pertama yang menerima gelar al-ghazi (prajurit garis
depan). Gelar ini dianugerahkan padanya karena keistimewaannya dalam melawan
orang kafir.[19]
Wilayah kekuasaan Ghaznawiyah pada
masa kepemimpinan Sultan Mahmud merupakan wilayah terluas. Antara tahun 1001 M
hingga 1024 M, Sultan Mahmud melakukan perluasan wilayah dengan menaklukkan
Lahore, Multan, dan sebagian daerah Sind; setelah itu, ia pun menaklukkan
Gujarat (1025 M), Khawarizmi, Georgia, dan Rayy (1026 M). akhirnya kekuasaan
kerajaan Ghaznawi meliputi India Utara, Irak, Persia, Khurasan, Turkistan,
sebagai Transoxiana, Sijistan, tepi sungai Gangga, dan Punjab (sekarang
Pakistan).[20]
Walaupun Sultan Mahmud seorang
penakluk yang terkemuka, beliau masih meminati seni dan mencintai golongan
terpelajar. Beliau sering mengadakan perbincangan-perbincangan tentang agama
dan duduk menikmati nyanyian dan syair. Beliau juga mendirikan sekolah, masjid,
perpustakaan dan sebuah universitas di Ghaznah. Sultan Mahmud memberikan
sejumlah uang setahun kepada para cendekiawan. Universitas yang didirikannya
dibekali dengan perpustakaan yang besar, sebuah museum dan professor-profesor yang
digaji oleh kerajaan.
Di istananya silih berganti
berdatangan para cendekiawan muslim dari berbagai disiplin ilmu; sains, sastra,
astronomi, sejarah, dan ilmu-ilmu yang lain. Diantara mereka adalah:
a.
al-Biruni
(973-1048 M), ahli astronomi dan sejarah. Akbar S. Ahmed menjulukinya dengan
gelar Ahli Antropologi pertama (Bapak Antropologi).[21]
b.
al-Farabi,
ahli filsafat.
c.
al-Utbi,
ahli sejarah.
d.
al-Baihaki,
ahli cerita.
e.
Unsuri,
Farruki, Asjudi dan Firdausi, pujangga-pujangga dan ahli syair yang besar,
Fidausi terkenal dengan karyanya Syah Nameh (Kitab Raja-raja)[22]
yang terdiri atas 60.000 bait.[23]
c.
Kemunduran dan Kehancuran
Setelah Sultan Mahmud meninggal (1030
M), dinasti Ghaznawiyah mulai lemah. Pemerintah-pemerintah setelahnya agak
kurang kuat. Disamping itu perebutan kekuasaan sering terjadi di istana.
Tekanan-tekanan dari luar terutama dari orang-orang Saljuk telah melemahkan
kerajaan Ghaznawiyah.
Anak-anak Sultan Mahmud, Muhammad dan
Mas’ud telah bermusuhan diantara satu dengan lain karena memperebutkan tahta. Perseteruan
ini dimenangkan oleh Mas’ud. Sungguhpun Mas’ud seorang pemerintah yang kuat dan
berminat terhadap ilmu tetapi juga dikatakan terlalu mencintai duniawi dan
kehidupan mewah.
Untuk menghadang pengaruh orang-orang
Saljuk, Mas’ud menyerang Tughril Beg yang telah mengikrarkan dirinya sebagai
raja Khurasan. Serangan ini telah membawa kekalahan tentaranya. Mas’ud terpaksa
mundur ke India. Di sini Mas’ud melantik adiknya Muhammad sebagai sultan.
Muhammad yang telah dibutakan matanya oleh Mas’ud sebelum ini telah pula
menyerahkan urusan Negara kepada anaknya Ahmad yang kemudian telah menjatuhkan
hukuman bunuh pada saudara ayahnya. Kemudian Ahmad dikalahkan dan dibunuh pula
oleh Maudad, anak Mas’ud.
Maudad naik tahta pada tahun 1040 M.
beliau berusaha menjalin hubungan baik dengan pihak Saljuk. Beberapa perkawinan
politik telah diadakan di antara keduanya. Walaupun demikian peperangan masih
terus berlangsung anatara kedua golongan ini. Orang-orang Hindu di Punjab telah
mengambil kesempatan atas kekacauan yang terjadi di dalam istana Ghaznawiyah
untuk memberontak. Mereka telah menguasai Nagarcot tapi gagal menguasai Lahore.
Maudad meninggal dunia pada tahun 1049 M dan meninggalkan negaranya dalam
keadaan yang kacau balau.[24]
Runtuhnya kerajaan Ghaznawiyah sedikit
banyak dipengaruhi oleh beberapa sebab yaitu tidak ditopangnya kekuasaan
Ghaznawiyah dengan angkatan bersenjata yang kuat, serta adanya perebutan
kekuasaan diantara para pewaris pemerintahan sehingga wilayah kekuasaanya di
bagian timur berangsur-angsur memisahkan diri dari ibukotanya di dataran
tinggi, dan muncullah sejumlah dinasti independen di India. Di bagian utara dan
barat dinasti Khan dari Turkistan dan dinasti Saljuk dari Persia. Di bagian
tengah, dinasti Ghuriyah yang tangguh dari Afghanistan.[25]
Kehancuran kerajaan Ghaznawi terjadi
pada tahun 1150 M. satu angkatan perang orang-orang Ghur yang dipimpin oleh
Alaudin Husain telah menyerang Ghaznah karena membalas dendam terhadap Sultan
Bahram yang telah membunuh dua orang kakaknya, Qutbuddin dan Saifuddin. Ghaznah
dihancurleburkan oleh Aludin. Semua bangunan yang indah-indah yang telah
didirikan sejak masa Sultan Mahmud dibakar oleh tentara Alaudin. Tidak sebuah
pun bangunan sekolah, perpustakaan, universitas, istana dan masjid yang indah
itu selamat, makam raja-raja Ghaznawi juga dibongkar dan tulang-tulangnya
dilemparkan pada anjing.[26]
Apa yang tinggal untuk mengenang
wujud sebuah kerajaan yang agung di pegunungan Afghanistan itu hanyalah dua
buah menara dan makam Sultan Mahmud. Walaupun orang-orang Ghuri sangat membenci
pemerintah Ghaznawiyah tetapi mereka masih menghormati Sultan Mahmud. Makam
beliau tidak dirusak.
Ghaznah terbakar selama tujuh hari
tujuh malam. Walaupun kemudian ada usaha yang dilakukan oleh Khusru anak Bahram
untuk mengembalikan kejayaan kerajaan Ghaznawi tetapi usaha ini gagal. Khusru
hanya berhasil menguasai Punjab dan menjadikan Lahore sebagai ibukota
pemerintahannya. Kerajaan Ghaznawiyah ini langsung lenyap ketika Muhammad Ghori
menyerang Lahore pada tahun 1186 M dan menggulingkan pemerintah terakhir
kerajaan Ghaznawi, Khusru Malik.[27]
[2] Armando Nina M.Enslikopedi Islam (Jakarta; PT Ichtiar Baru Van Hove, 2005), 292
[3] Mahayudin Hj. Yahya, Sejarah…, 316,
[4]Imam Fu’adi, Sejarah Peradaban Islam,
(Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 173.
[5]Bosworth, hal 127.
[7] Ibid, 317
[8]Syamsul Munir, 275.
[9]Ibid, hal 132.
[10] Imam Fu’adi, Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta:
Teras, 2011), hlm.176
[11] Ibid, 317
[12] Imam Fu’adi, Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: Teras, 2011),
hlm. 179.
[13] Ibid., 183
[14] Syafiq A. Mughni, Perpecahan Kekuasaan Islam, Ensiklopedi
Tematis 2, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002,), 129.
[15] Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, (Cambridge:
Cambridge University Press, 1988), terj. Ghufron A. Mas’adi, Sejarah Sosial
Umat Islam, Bagian Kesatu & Dua, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1999), 215.
[16] Mahayudin Hj Yahaya, Sejarah Islam, (Selangor: Fajar Bakti
Sdn, Bhd, 1995), 451.
[17] Ibid., 452.
[18] Ibid., 452.
[19] Phillip K. Hitti, History of the Arabs, (Jakarta: Serambi
Ilmu Semesta, cet. II, 2006), 589.
[20] Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Islamika,
cet. I, 2008), 167.
[21] Akbar S. Ahmed, Citra Muslim: Tinjauan Sejarah dan Sosiologi,
(Jakarta: Erlangga, 1992), 108.
[22] Mahayudin Hj Yahaya, Sejarah …, 452.
[23] Jaih Mubarok, Sejarah …, 167.
[24] Mahayudin Hj Yahaya, Sejarah …, 456.
[25] Istianah Abu Bakar, Sejarah Peradaban Islam, (Malang: UIN
Malang Press, 2008), 103-104.
[26] Mahayudin Hj Yahaya, Sejarah …, 456.
[27] Ibid., 456. lihat juga, C.E. Bosworth, The Islamic Dinasties,
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1980), terjem. Ilyas Hasan, Dinasti-Dinasti
Islam, (Bandung: Mizan, 1993), 206-207.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar