BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebagai sumber hukum Islam yang
kedua setelah al-Qur’an, hadits Nabi memiliki fungsi strategis dalam
kajian-kajian keislaman. Namun karena pembukuan hadits baru dilakukan dalam
rentan waktu yang cukup lama sejak meninggalnya Nabi, ditambah kenyataan sejarah
bahwa hadis pernah dipalsukan dengan berbagai motif, maka orisinalitas hadits
yang beredar di kalangan umat Islam patut diteliti. Pada sisi lain, kenyataan
sejarah tersebut juga sering dijadikan celah dan starting point oleh musuh-musuh Islam untuk merongrong
akidah umat supaya mau berpaling dari hadits Nabi. Lebih-lebih diketahui bahwa
lingkungan Nabi hidup ketika itu kurang akrab dengan budaya tulis-menulis.
Karena itu keabsahan dan orisinalitas hadits yang ada memang harus diteliti.
Para ulama, sejak masa-masa awal
Islam telah menunjukkan dedikasi untuk melakukan penelitian dan seleksi ketat
terhadap hadits-hadits Nabi. Hal itu dimaksudkan untuk melestarikan hadits Nabi
sebagai sumber ajaran agama yang orisinal. Untuk tujuan mulia itu, mereka
kemudian menciptakan seperangkat kaidah, istilah, norma dan metode.
Kaidah-kaidah itu, kemudian karena pertimbangan kebutuhan, lantas dibakukan
oleh ulama belakangan, baik yang berhubungan dengan sanad maupun matan hadits.
Tanpa pemahaman yang paripurna terhadap kaidah, norma dan metode tersebut,
sulit bagi seseorang untuk mengetahui orisinalitas dan keabsahan hadits Nabi.
Sekalipun demikian, pemahaman
terhadap berbagai istilah dan kaidah itu tampaknya juga belum menjamin para
pengkaji hadits akan mampu meneliti dan memahami hadits secara benar.
Dinyatakan demikian, karena kompleksitas permasalahannya memang sangat beragam.
Untuk menghindari kesalahan dalam meneliti dan memahami hadits, maka ulama
hadits, sesuai dengan keahlian
masing-masing, kemudian juga menciptakan seperangkat ilmu. [1]
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah munculnya Ilmu Hadits?
2. Bagaimana perkembangan dan penulisan
Ilmu Hadits?
C.
Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui sejarah munculnya Ilmu
Hadits.
2. Untuk mengetahui perkembangan dan
penulisan Ilmu Hadits.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Munculnya Ilmu Hadits
Hadis atau
yang disebut juga dengan sunnah,[2] sebagai sumber ajaran Islam yang berisi
pernyataan, pengamalan, pengakuan, dan hal ihwal Nabi Muhammad SAW yang
beredar pada masa Nabi Muhammad hingga wafatnya, disepakati sebagai sumber
ajaran Islam setelah al Qur’an. Dan isinya pun menjadi hujah (sumber
otoritas) keagamaan.[3]
Pada awalnya,
kata hadits dipergunakan untuk menunjuk kepada cerita-cerita dan berita-berita
secara umum. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, istilah hadits mengalami
pergeseran, dimana hadits dimaksudkan sebagai kabar-kabar yang
berkembang dalam masyarakat keagamaan tanpa memindahkan maknanya dari
konteksnya yang umum, hingga pada akhirnya istilah hadits secara
eksklusif digunakan untuk menunjuk cerita-cerita tentang Rasulullah.
Hal demikian
dibenarkan oleh Mustafa A’zami yang menceritakan bahwa pada masa-masa awal
Islam, cerita-cerita dan perkataan Nabi mendominasi atas segala macam
komunikasi dan cerita-cerita yang lain di kalangan masyarakat. Pada waktu itu.
Kata hadits yang awalnya bersifat umum, semakin lama semakin eksklusif
dan sering digunakan di kalangan bangsa Arab untuk memaksudkan hal-hal yang
bersumber pada Nabi.[4]
Dari keterangan
tersebut kiranya dapat dipahami bahwa tradisi “tutur” dan “tinular”
mengenai perilaku Nabi sudah hidup pada masa-masa awal Islam. Begitu juga
tradisi “periwayatan”, dalam bentuknya yang sederhana dan mungkin tak pernah
dimaksudkan untuk meriwayatkan, sudah dimulai sejak masa awal, sehingga ketika
generasi selanjutnya melakukan kodifikasi terhadap hadits dapat dilacak
apakah benar berasal dari Nabi atau tidak.
Pada era Nabi
SAW, kaitannya dengan penulisan hadits, Nabi pernah menyampaikan
sejumlah larangan sekaligus perintah. Kongritnya, suatu saat Nabi pernah
melarang sahabat untuk menulis hadits karena dikhawatirkan akan
bercampur dengan al Qur’an yang pada saat itu masih turun (proses pewahyuan
belum final), namun pada saat yang lain, justru Nabi memerintahkan agar hadits
itu ditulis.
Dalam hadits
yang melarang sahabat menulis sesuatu selain al Qur’an, ternyata setelah
dilakukan penyelidikan lebih lanjut, terdapat illat khusus bagi
pelarangannya yaitu karena adanya naskah yang ditulis dalam selembar kertas
yang didalamnya bercampur antara al Qur’an dengan naskah lain. Namun, dalam
pernyataan Nabi SAW di hadits yang lain, Nabi SAW justru menyuruh untuk
menuliskan hadits. Contohnya adalah hadits yang menyuruh sahabat menulis
hadits kepada Abu Syah.
Menurut
perspektif hukum, ketika ada sesuatu yang awalnya dilarang, namun kemudian
justru ada perintah yang menunjukkan kebalikannya, maka itu menunjukkan
kebolehan melakukan hal itu, yakni penulisan dan pelestarian sumber keagamaan
tersebut (hadits).[5]
Berangkat dari
sini dapat dipahami, diakui atau pun tidak, bahwa apa yang diucapkan,
dilakukan, serta ditetapkan oleh Nabi banyak sekali yang tidak ditulis oleh
para sahabat, meskipun juga tidak menafikan bahwa penulisan hadits telah
ada sejak zaman Nabi SAW. Paling tidak ini dapat dibuktikan oleh Musthafa al
Siba’i dengan memberikan beberapa bukti, antara lain:
a. Rasulullah
menulis surat kepada raja-raja zamannya dan amir-amir jazirah Arabia untuk
menyeru mereka kepada Islam,
b. Sebagian
sahabat memiliki shuhuf, “lembaran-lembaran bertulis” yang didalamnya
berisi catatan tentang apa yang mereka dengar dari Rasulullah, seperti lembaran
‘Abdullah ibn ‘Amr ibn “ash yang dinamainya al shadiqah.
c. Rasulullah
menulis surat kepada sebagian petugas Beliau yang berisi ketentuan-ketentuan
zakat unta dan domba.[6]
Melihat
keterangan diatas, berarti anggapan yang berkembang selama ini bahwa Ibn Syihab
al Zuhri adalah orang pertama yang menulis hadits telah terbantahkan.
Dengan demikian, mungkin istilah yang lebih tepat, Ibn Syihab al Zuhri adalah
orang pertama yang disponsori secara resmi oleh pemerintah, khalifah Umar Ibn
Abd al Aziz, untuk mengumpulkan hadits. Dengan kata lain, pengumpulan hadits
tertulis oleh pribadi telah umum dilakukan, tetapi tidak seperti al Qur’an,
sampai kemudian pada masa Ibn Syihab al Zuhri, hadits menjadi fokus
upaya resmi regulasi atau sistematisasi.[7]
Seperti kita
lihat, sebagian hadits hampir pasti ditulis pada tahap awal, tetapi
tidak secara formal dan tidak sistematis. Kumpulan hadits secara sistematis
baru didapati pada karya Imam Malik, al Muwatha’, yang dijuluki mushannaf
karena mengklasifikasikan hadits sesuai dengan subyeknya.
Walaupun
demikian, Imam Malik belum menggunakan standar formal kritisisme dalam
menyeleksi hadits. Baru pada masa generasi setelahnya dikembangkan
metode kritis keaslian hadits dengan merujuk kepada isnad
hadits-hadits tersebut. Jelasnya, isnad baru digunakan secara luas
pada abad kedua hijriah,[8] dimana para
penyusun koleksi shahih mulai memaparkan aturan formal untuk menilai
keotentikan hadits atas dasar isnad-nya. Mereka harus
menyaring semua hadits yang dapat mereka temukan, dan memilih hadits
yang isnad-nya memenuhi standard yang ketat.[9]
Seperti
disebutkan di muka bahwa “periwayatan” sudah dimulai sejak masa-masa awal
Islam, namun baru pada pertengahan abad ke-3 H / 9 M, hadits mempunyai
“bentuk” yang tertentu. Hampir semua isinya secara mendetail telah
terkukuhkan, dan perlawanan terhadapnya juga telah terpatahkan.
Untuk mencapai
“bentuk” ini para ahli telah mengumpulkan, menyaring dan mensistematisir produk
hadits yang sangat melimpah. Para ahli, atau yang biasa disebut sebagai muhadditsun,
telah melakukan perjalanan menjelajah ke seluruh penjuru dunia Islam pada waktu
itu. Mereka pergi dari satu tempat ke tempat yang lain dan bertanya dari
satu orang ke orang lainnya. Akhirnya, pada akhir abad ke-3 H / permulaan 10 M
beberapa koleksi hadits telah dihasilkan, bahkan enam diantaranya mulai
saat itu sudah dipandang otoritatif secara khusus dan dikenal dengan "enam
yang asli".
Adapun yang
paling terdepan dari keenam kitab hadits itu adalah Shahih Bukhari
yang kemudian dinyatakan oleh kaum muslimin hanya berada di bawah al Qur’an
dalam otoritasnya, Shahih Muslim menempati urutan selanjutnya, dan
kemudian disusul berturut-turut oleh karya-karya Abu Daud, al Tirmidzi, al
Nasa’i dan Ibn Majah.[10]
Dari keterangan
tersebut dapat dipahami bahwa rentang waktu antara masa hidup Nabi dengan
kodifikasi hadits begitu jauhnya, sehingga hal ini dimanfaatkan oleh para
orientalis untuk menyerang Islam, melalui salah satu sumber hukumnya, yaitu hadits.
Mereka menganggap bahwa sunnah adalah tradisi yang diciptakan oleh para
sahabat, sebagai hasil interpretasi terhadap ajaran Nabi.
Seorang
orientalis bernama Ignas Goldziher sangat meragukan materi hadits yang
sedemikian banyak dapat disaring dan kemudian diperoleh suatu bagian yang dapat
dinyatakan sebagai "asli" berasal dari Nabi atau generasi sahabat
yang awal. Ia berpendapat, seharusnya hadits dianggap sebagai catatan
pandangan-pandangan dan sikap-sikap generasi muslim yang awal dari pada sebagai
catatan tentang kehidupan dan ajaran-ajaran Nabi atau bahkan sahabat-sahabat
Beliau.[11]
Lain lagi
dengan Margoliouth yang menganggap bahwa Nabi Muhammad sama sekali tidak
meninggalkan sunnah ataupun hadits. Sunnah yang
dipraktekkan kaum muslim awal sama sekali bukan sunnah Nabi, melainkan
kebiasaan-kebiasaan bangsa Arab pra-Islam yang telah dimodifikasi al Qur’an.[12]
Dalam karyanya The
Origins of Muhammadans Jurisprudence, Joseph Schacht mengatakan bahwa
"tradisi yang hidup" (living tradition) telah ada mendahului
"tradisi Nabi". Schacht berargumen bahwa ketika hadits pertama
kali beredar pada sekitar abad kedua hijriyah, ia tidak dirujukkan kepada Nabi,
melainkan kepada tabi’in, kemudian sahabat dan setelah beberapa waktu akhirnya hadits
disandarkan kepada Nabi.[13]
Mereka juga
menemukan kitab al Muwatha’, kitab tertua sesudah al Qur’an yang dapat
ditemukan, mempunyai sanad yang kurang tertib. Dan sistem isnad
itu tertib setelah memasuki generasi al Bukhari, yang jangka waktunya dari Imam
Malik (penyusun al Muwatha’) cukup jauh (Imam Malik : 93-179
H ; al Bukhari : 194-296 H). Di sini para orientalis mengungkapkan
bahwa isnad yang awalnya tidak ada itu kemudian ada tetapi tidak
tertib, dan akhirnya menjadi sangat rapi. Dengan demikian mereka berkesimpulan
bahwa ahli hadits generasi al Bukhari, dengan kelihaiannya, telah
merekayasa isnad. Hadits yang tadinya tidak jelas siapa pembawanya,
disulap sedemikian rupa sehingga menjadi shahih sanad-nya.[14]
Beberapa
pendapat kaum orientalis tersebut, jelas sangat memancing kontroversi dan tidak
dapat diterima oleh umat Islam. Namun begitu, kita tidak boleh hanya
mempertahankan diri hanya dengan mengedepankan emosi belaka, tetapi harus meng-counter-nya
dengan dalil-dalil yang ilmiah.
B.
Sejarah Perkembangan dan Penulisan Ilmu Hadits
Ulama
dalam menjelaskan periodesasi ‘Ulmul
Hadits tidak memisahkan dari kegiatan yang langsung berkaitan dengan
pembinaan hadits. Hal itu dapat dimaklumi sebab tujuan utama kelahiran ‘Ulumul Hadits adalah dalam rangka
meneliti riwayat dan memahami kandungan hadits.
Periode
pertama berlangsung mulai Sejarah periodesasi perkembangan dan penulisan Ulumul
Hadits, menurut Dr. Nurud-Din ‘Atr dalam bukunya Manhaj al-Naqdi fi ‘Ulum al-Haditsi terbagi menjadi tujuh
tingkatan, yaitu;[15]
1)
Periode Pembentukan (دور النشوء)\
Periode ini
berlangsung mulai dari masa sahabat sampai akhir abad ke 1 hijriyah. Sebagian
dari sahabat melakukan penulisan hadits dan sebagian yang lain melalui hafalan
terhadap apa yang mereka dapatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam.
a.
Mulai dilakukan standardisasi metode periwayatan hadits
b.
Perkembangan terhadap penelitian sanad hadits dan Rijalul Hadits.
c.
Munculnya hadits-hadits palsu
d.
Bermunculan istilah-istilah pembagian Hadits, seperti marfu’,
maqthu’ maqbul, dan sebagainya.
Adapun
Pembukuan hadits (كتابة
الحديث) terbagi menjadi dua tahap
;
1)
مرحلة الاولى : tahap pengumpulan
hadits dalam lembaran khusus oleh sebagian sahabat yang diawali sejak masa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup dan beliau
mengizinkan.
2)
مرحلة الثانية : menjadikan tulisan
pada tahap pertama sebagai rujukan (مراجعا) untuk penulisan tahap
kedua ini, yaitu pada abad ke II Hijriyah sampai abad ke III Hijriyah (masa
pembukuan). Pada masa ini kitab/lembaran hadits beserta penulisnya, yaitu; Lembaran
sempurna/kitab (الصحيفة
الصديقة) yang ditulis Abdullah
bin ‘Amr bin ‘Ash, Lembaran ‘Ali bin Abi Thalib, lembaran Sa’ad bin ‘Ubadah Ash
Shohaby Al Jalil, kitab-kitab yang didalamnya terdapat bab-bab tentang hukum
Islam, Aqidah Islam dan lain-lain, dan sebagainya.[16]
2) Periode
Penyempurnaan (دور التكامل)
Periode ini berlangsung
dari awal abad ke II sampai abad ke III H, yang mana terjadi beberapa peristiwa
penting, yaitu;
a.
Telah berlangsung kegiatan pengimpunan hadits.
b.
‘Ulumul Hadits tumbuh
dengan berbagai cabangnya yang telah tumbuh dan mengalami penyempurnaan.
c.
Perkembangan terhadap penelitian Hadits dan berbagai
istilah-istilah Hadits.
d.
Penulisan kaidah-kaidah ‘Ulumul
Hadits telah dilakukanoleh para ulama’ tetapi belum ada pengkhususan.
3) Periode
Penghimpunan ‘Ulumul Hadits Secara Terpisah
(دور التدوين لعلوم الحديث مفرقة)
Adapun periode
ketiga ini dimulai sejak abad ke III sampai pertengahan abad ke IV H. Di antara
catatan penting yang terjadi pada periode ini adalah;
a.
Pengelompokkan Hadits-hadits yang tergolong shahih
b.
Cabang-cabang ‘Ulumul Hadits
sudah menjadi disiplin ilmu
c.
Penghimpunan cabang-cabang ‘Ulumul
Hadits juga dilakukan secara terpisah-pisah, misalnya ‘Ilalul Hadits dan Tarikh
Rijalil Hadits telah dilakukan oleh ulama.
4) Periode
Penyusunan dan Penghimpunan Secara Menyeluruh
(عصر التأليف الجامعة وانبثاق فن علوم الحديث مدونا)
Sedangkan periode
keempat dilakukan sejak awal abad IV H sampai pertengahan abad VII H dengan
melakukan beberapa peristiwa penting, yakni;
a.
Penghimpunan terhadap bahasan ‘Ulumul
Hadits dalam kitab-kitab yang disertai susunan sanad dan penjelasannya
b.
Muncul ulama’-ulama’ hadits yang terkenal seperti Al Qadhi Abu
Muhammad Al Hasan bin Abdir Rahman bin Khalad Arramahhurmuzi, Abu Bakar Ahmed
bin ‘Ali Al Khatib Al Baghdadi, Al Hakim Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Abdillah
An Naisaburi.
5) Periode
Pematangan dan Penyempurnaan dalam Penghimpunan ‘Ulumul Hadits
(دور انضج والاكتمال في تدوين فن "علوم الحديث")
Periode ini
berlangsung sejak pertengahan abad VII sampai abad X H dengan catatan penting
sebagai berikut;
a.
Pembinaan dan pengembangan berbagai cabang ‘Ulumul Hadits
b.
Mensistematisasikan bahasan ‘Ulumul
Hadits yang telah dibahas oleh ulama’sebelumnya
c.
Bermunculan ulama’ulama’ hadits yang terkenal seperti Abu ‘Amr
Usman bin ‘Abdir Rahman Asy Syahrazuri Ibnus Shalah dengan kitabnya Muqaddimah
Ibnish Shalah, Muhyid Din Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An Nawawi, dan lain
sebagainya.[17]
6) Periode Statis
dan Pembekuan (عصر الركود والجمود)
Periode keenam
berlangsung mulai dari abad X H sampai dengan sekitar pertengahan abad XIV H.
adapun peristiwa penting yang terjadi pada masa ini adalah;
a.
Ijtihadul Hadits terhenti
b.
Merubah kandungan kitab-kitab sebelumnya ke dalam bentuk syair dan
pantun tanpa ada pengembangan atau penjelasan.
7) Periode
Kembangkitan Kembali Pada Zaman Modern(دور اليقظة والتنبه في العصر الحديث)
Periode ini
berlangsung dari abad XIV H sampai sekarang dengan beberapa peristiwa mengenai
‘Ulumul Hadits, yaitu ;
a.
Campur tangan kaum orientalis dengan sudut pandang modern
b.
Kebangkitan ulama’ dalam mengembangkan ‘Ulumul Hadits terhadap
perkembangan zaman modern yang terjadi
c.
Berbagai bentuk penelitian-penelitian ilmiah pun bermunculan
seperti tesis dan disertasi.
C.
Kitab-kitab ‘Ulumul
Hadits saling melengkapi
Cabang
dan masalah yang dibahas dalam ‘Ulumul
Hadits sangat banyak. Pembahasannya tidak sunyi dari diskusi ulama menurut
bidang keahlian dan zaman mereka. Karena banyaknya masalah yang dibahas dalam ‘Ulumul Hadits, maka tidak ada sebuah
kitab yang mampu merangkumnya. Jadi, untuk dapat memahami secara komprehensif
semua masalah ‘Ulumul Hadits, diperlukan
kajian terhadap barbagai kitab ‘Ulumul
Hadits. Kitab-kitab itu saling melengkapi dan diperlukan.[18]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Sejarah munculnya hadits
Hadis atau
yang disebut juga dengan sunnah, sebagai sumber ajaran Islam yang berisi pernyataan,
pengamalan, pengakuan, dan hal ihwal Nabi Muhammad SAW yang
beredar pada masa Nabi Muhammad hingga wafatnya, disepakati sebagai sumber
ajaran Islam setelah al Qur’an. Dan isinya pun menjadi hujah (sumber otoritas)
keagamaan.
Pada awalnya,
kata hadits dipergunakan untuk menunjuk kepada cerita-cerita dan
berita-berita secara umum. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, istilah hadits
mengalami pergeseran, dimana hadits dimaksudkan sebagai kabar-kabar
yang berkembang dalam masyarakat keagamaan tanpa memindahkan maknanya dari
konteksnya yang umum, hingga pada akhirnya istilah hadits secara
eksklusif digunakan untuk menunjuk cerita-cerita tentang Rasulullah.
2.
Sejarah perkembangan hadits
Menurut Dr. Nurud-Din
‘Atr dalam bukunya Manhaj al-Naqdi fi
‘Ulum al-Haditsi terbagi menjadi tujuh tingkatan, yaitu:
a. Periode Pembentukan (دور النشوء)\
b. Periode Penyempurnaan (دور التكامل)
c. Periode Penghimpunan ‘Ulumul Hadits Secara Terpisah (دور التدوين لعلوم الحديث مفرقة)
d. Periode Penyusunan dan Penghimpunan Secara Menyeluruh
(عصر التأليف الجامعة وانبثاق فن علوم الحديث مدونا)
e. Periode Pematangan dan Penyempurnaan dalam Penghimpunan ‘Ulumul Hadits (دور انضج والاكتمال في تدوين فن "علوم الحديث")
f.
Periode Statis dan Pembekuan (عصر الركود والجمود)
g. Periode Kembangkitan Kembali Pada Zaman Modern(دور اليقظة والتنبه في العصر الحديث)
DAFTAR
PUSTAKA
Aglayanah, Al-Makki, Metode
Pengajaran Hadits: Pada Tiga Abad Pertama, terj. Amir Hamzah Fachruddin. Jakarta : Granada Nadia. 1995
Ahmad, Muhammad, dkk. Ulumul
Hadits. Bandung: Pustaka Setia. 2005
Al-Baghdadi, Abd. Al- Qahir. Al-Farq
baina Al-Firaq. Editor M.S. Kailani.
Beirut : Dar Al-Ma’arifah. 1983
Al-Hadi, Abu Muhammad Al-Mahdi Ibn
Abd Al-Qadir. tt. Thariqu Takhriq Hadits
Rasulullah ‘Alaihi Wasallam. Darul Ikhtisam.
Brown, Daniel W., Menyoal
Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, terj. Jaziar Radianti, Bandung: Mizan, 2000
IsmaiI,Syuhudi. Kaidah Kesahihan
sanad hadis.Jakarta: Bulan Bintang.1995
, Metodologi Penelitian Hadits
Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992
Muh. Zuhri, Hukum Islam dalam
Lintasan Sejarah, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
Cet. II, 1997
Musahadi, Evolusi Konsep Sunnah;
Implikasinya pada Perkembangan Hukum Islam,
Semarang: Aneka Ilmu, 2000
Rahman, Fazlur , Islam, terj.
Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, Cet. III, 1997
Schacht, Joseph , The Origins of
Muhammadans Jurisprudence, Oxford: The Clarendon
Press, 1979
Soebahar, HM. Erfan , Respon Muhadditsun
Menghadapi Tantangan Kehidupan Umat;
Studi tentang hadits Sebagai Sumber Ajaran Keagamaan Era Nabi, Kodifikasi, dan Informasi, IAIN
Walisongo Semarang, 2005
, Menguak Fakta Keabsahan al
Sunnah; Kritik Musthafa al Siba’i terhadap
Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadits dalam Fajr al Islam, Jakarta: Prenada Media, 2003
Soetari, Endang , Ilmu Hadits, Bandung:
Amal Bhakti Press, Cet. II, 1997
Shiddiqiey,TM.Hasbi. Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadis.Semarang: Pustaka Rizki
Putra.2001
Sulaiman,Hasan. Abbas, Alwi, Terjemah
lbanatul Ahkam Syarh Bulughuf Maram Jilid
I.Surabaya: Mutiara iimu.1995
Zuhri, Muhammad. Hadis Nabi,
Tela'ah Historisdan Metodologi.Yogyakarta:
Tiara Wacana.2003
[2] Musahadi, Evolusi Konsep Sunnah; Implikasinya pada
Perkembangan Hukum Islam, Semarang: Aneka Ilmu, 2000, hlm. 20-35
[5] Pidato
pengukuhan guru besar Prof. DR. HM. Erfan Soebahar, Respon Muhadditsun
Menghadapi Tantangan Kehidupan Umat; Studi tentang hadits Sebagai Sumber Ajaran
Keagamaan Era Nabi, Kodifikasi, dan Informasi, IAIN Walisongo Semarang,
2005, hlm. 25 et.seq.
[6] H.M.
Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al Sunnah; Kritik Musthafa al Siba’i
terhadap Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadits dalam Fajr al Islam, Jakarta:
Prenada Media, 2003, hlm. 164 et.seq.
[7] Daniel
W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, terj. Jaziar
Radianti, Bandung: Mizan, 2000, hlm. 120. bandingkan dengan Muh. Zuhri, Hukum
Islam dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. II, 1997, hlm. 87
[9] Hal inilah yang dilakukan oleh Imam Bukhari yang telah
menyeleksi tidak kurang 600.000 hadits, kemudian disaringnya menjadi sekitar
4.000 hadits yang dianggap shahih. Erfan Soebahar, Menguak
Fakta….Op. Cit., hlm. 146 et.seq.
[13] Joseph
Schacht, The Origins of Muhammadans Jurisprudence, Oxford: The Clarendon
Press, 1979, hlm. 138
Tidak ada komentar:
Posting Komentar