Senin, 06 Juli 2015

PENDEKATAN FILOSOFIS DALAM KAJIAN ISLAM



BAB I
PENDAHULUAN

A.  PENDAHULUAN
Islam yang kita kenal dan yakini selama ini sebagai agama yang akan membawa kita kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Namun apakah Islam yang kita kenal dan yakini itu memang begitu adanya atau banyak hal yang pada hakikatnya tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya diajarkan Nabi Muhammad SAW, sebagai penyampai wahyu dari Allah SWT. Berbagai pertanyaan menelisik tentang Islam masih sering bergelayut di pikiran kita.
Islam bagaikan sebuah bola yang mengapung di atas air, permukaannya yang menyentuh air hanya sepersepuluh, kita tidak bisa mengetahui bola itu secara utuh hanya dari sepersepuluh yang mengapung di atas air tersebut. Begitu pula dengan Islam, Islam bukan monodimensi tapi multidimensi, jika ingin memahaminya secara menyeluruh walau kelak tidak akan pernah mencapai finalitas keimanan kita, tetapi usaha untuk memahaminya itu lebih penting, kita perlu memahami Islam melalui berbagai dimensi dan dengan berbagai pendekatan. Salah satunya dengan pendekatan filosofis.
Pendekatan filosofis dalam kajian Islam, berusaha untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang universal dengan meneliti akar permasalahannya. Metode ini bersifat mendasar dengan cara radikal dan integral, karena memperbincangkan sesuatu dari segi esensi (hakikat sesuatu). Harun Nasution mengemukakan, bahwa berfilsafat intinya adalah berfikir secara mendalam, seluas-luasnya dan sebebasbebasnya, tidak terikat kepada apapun, sehingga sampai kepada dasar segala dasar.[1]
Menggunakan pendekatan filosofis atau filsafat dalam mengkaji Islam, ibarat menjadikan filsafat sebagai pisau analisis untuk membedah Islam secara mendalam, integral dan komprehensif untuk melahirkan pemahaman dan pemikiran tentang Islam yang senantiasa shalih fi kulli zaman wal makan (relevan pada setiap waktu dan ruang), karena dengan pendekatan filosofis, sumber-sumber otentik ajaran Islam digali dengan menggunakan akal, yang menjadi alat tak terpisahkan dalam proses penggunaan metode ijtihad, tanpa lelah tak kunjung henti.
Dan pendekatan filosofis berperan membuka wawasan berpikir umat untuk menyadari fenomena perkembangan wacana keagamaan kontemporer yang menyuarakan nilai-nilai keterbukaan, pluralitas dan inklusivitas. Studi filosofis atau filsafat sebagai pilar utama rekonstruksi pemikiran dapat membongkar formalisme agama dan kekakuan pemahaman agama atau dalam istilah M. Arkoun sebagai taqdis al-afkar at-diniyyah, sebagai salah satu sumber ekslusivisme agama dan kejumudan umat. Salah satu problem krusial pemikiran dan pemahaman keagamaan sekarang ini, misalnya, adalah perumusan pemahaman agama yang dapat mengintegrasikan secara utuh visi Ilahi dan visi manusiawi tanpa dikotomi sedikitpun.[2]
Mengacu pada pendahuluan diatas, maka makalah ini akan membahas pengertian pendekatan filosofis, pola dan metode pendekatan filosofis dalam kajian Islam, model pendekatan filosofis dalam kajian Islam dan pendekatan filosofis dalam kajian Islam.
B.  RUMUSAN MASALAH
1.         Apakah pengertian dari pendekatan filosofis?
2.         Bagaimana pola dan metode pendekatan filosofis dalam kajian Islam?
3.         Bagaimana model pendekatan filosofis dalam kajian Islam?
4.         Bagaimana pendekatan filosofis dalam kajian Islam?
C.  TUJUAN PEMBAHASAN
1.    Mengetahui pengertian dari pendekatan filosofis.
2.    Menjelaskan pola dan metode pendekatan filosofis dalam kajian Islam.
3.    Menjelaskan model pendekatan filosofis dalam kajian Islam.
4.    Menjelaskan pendekatan filosofis dalam kajian Islam.


BAB II
PEMBAHASAN

A.      PENGERTIAN PENDEKATAN FILOSOFIS
Kata filosof berasal dari kata filsafat dari bahasa Yunani, philosophia, yang terdiri atas dua kata: philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan shopia (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi). Jadi secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran. Plato menyebut Socrates sebagai philosophos (filosof) dalam pengertian pencinta kebijaksanaan. Kata falsafah berasal dari bahasa Arab yang berarti pencarian yang dilakukan oleh para filosof.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata filsafat menunjukkan pengertian yang dimaksud, yaitu pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab asal dan hukumnya. Manusia filosofis adalah manusia yang memiliki kesadaran diri dan akal sebagaimana ia juga memiliki jiwa yang independen dan bersifat spiritual.[3]
Dan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, Poerwadarminta mengartikan filsafat sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum dan sebagainya terhadap segala yang ada di alam semesta ataupun mengenai kebenaran arti "adanya" sesuatu.[4]
Pengertian filsafat yang umumnya digunakan adalah pendapat yang dikemukakan oleh Sidi Gazalba. Menurutnya, filsafat adalah berpikir secara mendalam, sistematik, radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau hakikat  mengenai segala sesuatu yang ada.[5] Dan menurut Rene Descartes, yang dikenal sebagai "Bapak Filsafat Modern", filsafat baginya adalah merupakan kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan.[6]
Dari berbagai definisi di atas, dapat diketahui bahwa filsafat pada dasarnya adalah pertanyaan atas segala hal yang "ada". Pertanyaan akan muncul tentu dengan berpikir, berpikir pasti menggunakan akal. Dan filsafat juga bisa dikatakan sebagai upaya menjelaskan inti, hakikat atau hikmah mengenai segala sesuatu yang ada dengan memanfaatkan atau memberdayakan secara penuh akal budi manusia yang telah dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Berpikir secara filosofis tersebut selanjutnya dapat digunakan dalam memahami ajaran agama, dengan maksud agar hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara seksama. Pendekatan filosofis yang demikian sebenarnya sudah banyak digunakan oleh para ahli. Misalnya dalam hikmah al-tasyri’ wa falsafatuhu oleh Muhammad Al-Jurjawi, di dalam buku tersebut ia berusaha mengungkapkan hikmah yang terdapat di balik ajaran-ajaran agama Islam.[7]
Ajaran agama dalam mengajarkan agar shalat berjamaah. Tujuannya antara lain agar seseorang merasakan hikmahnya hidup secara berdampingan dengan orang lain. Dengan mengerjakan puasa misalnya agar seseorang dapat merasakan lapar dan menimbulkan rasa iba kepada sesamanya yang hidup serba kekurangan, dan berbagai contoh lainnya.
Dalam Islam ada dua inti dari segala sesuatu yakni sesuatu yang bersifat Ke-Tuhanan (Ilahi), yang bersumber dari Al-Qur'an, As-Sunnah dan berbagai Kitab Allah SWT. Ia bersifat muthlak. Dan yang kedua adalah yang bersifat kemanusiaan (insani), berbentuk fiqh atau pemahaman manusia, kesan di otak manusia yang muncul dari berbagai teks yang dia baca dan alami (pengalaman) atau latar belakang pendidikan, ekonomi, sosial, psikologi dan lain sebagainya. Bahkan Ibnu Khaldun menambahkan satu aspek yakni iklim, kemudian inilah yang dinamakan Historisitas Keagamaan. Ia lalu menjadi tafsir atau perspektif (setiap individu beragama).
Filsafat sebagai salah satu bentuk metodologi pendekatan keilmuan, sama halnya dengan cabang keilmuan yang lain.[8] Sering kali dikaburkan dan dirancukan dengan paham atau aliran-aliran filsafat tertentu seperti rasionalisme, eksistensialisme, pragmatisme, dan lain-lain. Ada perbedaan antara kedua wilayah tersebut, bahwasanya wilayah pertama bersifat keilmuan, open-ended, terbuka dan dinamis. Sedangkan wilayah kedua bersifat ideologis, tertutup dan statis. Yang pertama bersifat inklusif (seperti sifat pure sciences), tidak bersekat-sekat dan tidak terkotak-kotak, sedang yang kedua bersifat ekslusif (seperti halnya applied sciences), seolah-olah terkotak-kotak dan tersekat-sekat oleh perbedaan tradisi, kultur, latar belakang pergumulan sosial dan bahasa.[9]
Siapa pun yang bergerak pada wilayah ''applied sciences'' pada dasarnya harus dibekali persoalan-persoalan dasar yang digeluti oleh ''pure sciences'', sedang yang bergerak pada wilayah ''pure sciences'', tidak harus tahu dan menjadi expert pada setiap wilayah ''applied sciences''.[10] Cara berpikir dan pendekatan kefilsafatan yang pertama, yakni yang bersifat keilmuan, open-ended, terbuka, dinamis dan inklusif yang tepat dan cocok untuk diapreasiasi dan diangkat kembali ke permukaan kajian keilmuan.
Filsafat sebagai pendekatan keilmuan setidaknya ditandai antara lain dengan tiga ciri, yaitu sebagai berikut:[11]

1.      Kajian
Telaah dan penelitian filsafat selalu terarah kepada pencarian atau perumusan ide-ide dasar atau gagasan yang bersifat mendasar-fundamental (fundamental ideas) terhadap objek persoalan yang dikaji. Ide atau pemikiran fundamental biasanya diterjemahkan dengan istilah teknis kefilsafatan sebagai al-falsafatu al-ula, substansi, hakekat atau esensi. Pemikiran fundamental biasanya bersifat umum (general), mendasar dan abstrak.
2.      Pengenalan
Pendalaman persoalan-persoalan dan isu-isu fundamental dapat membentuk cara berpikir kritis (critical thought).
3.      Kajian dan pendekatan falsafati
Kajian dan pendekatan falsafati yang bersifat seperti dua hal diatas, akan dapat membentuk mentalitas, cara berpikir dan kepribadian yang mengutamakan kebebasan intelektual (intellectual freedom), sekaligus mempunyai sikap toleran terhadap berbagai pandangan dan kepercayaan yang berbeda serta terbebas dari dogmatisme dan fanatisme.
Mengkaji Islam secara filosofis, akan menjadikan segala sesuatu disandarkan kepada konteks baik itu berupa kebaiksan sosial, local wisdom, social impact, rasionalitas dan lain-lain (تكيف). Ia juga akan bersandar pada analisa rasio manusia, yang akan bersifat relatif. Kegiatan berfilsafat menurut Louis O. Kattsoff adalah kegiatan berpikir secara:[12]
1.      Mendalam: dilakukan sedemikian rupa hingga dicari sampai ke batas akal tidak sanggup lagi.
2.      Radikal: sampai ke akar-akar nya sehingga tidak ada lagi yang tersisa.
3.      Sistematik: dilakukan secara teratur dengan menggunakan metode berpikir tertentu.
4.      Universal: tidak dibatasi hanya pada satu kepentingan kelompok tertentu, tetapi menyeluruh.
Filsafat dalam segala usaha nya untuk mengetahui berbagai hakikat dari segala sesuatu, begitu pula ketika ia dipakai dalam mengkaji Islam, tidak selalu mencapai hasil yang maksimal, yang terpenting adalah upaya (memanfaatkan hasil usaha), yang akan membuat suatu perubahan ke arah yang lebih baik lagi atau kemajuan. Manfaat yang bisa didapat ketika seseorang menggunakan pendekatan filosofis dalam kajian nya adalah sebagai berikut:[13]
1.      Agar hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara seksama.
2.      Setiap individu dapat memberi makna terhadap segala sesuatu yang dijumpainya dan mengambil hikmah sehingga ketika melakukan ibadah atau apa pun, ia tidak mengalami degradasi spriritualitas yang menimbulkan kebosanan.
3.      Membentuk pribadi yang selalu berpikir kritis (critical thought).
4.      Adanya kebebasan intelektual (intellectual freedom).
5.      Membentuk pribadi yang selalu toleran.
B.       POLA PENDEKATAN FILOSOFIS DALAM KAJIAN ISLAM
Menggunakan pendekatan filosofis dalam kajian Islam dapat dideskripsikan dalam dua pola:[14]
1.      Upaya ilmiah yang dilakukan secara sistematis untuk mengetahui dan memahami serta membahas secara mendalam seluk beluk atau hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam, baik ajaran, sejarah maupun praktek-praktek pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, sepanjang sejarahnya dengan menggunakan paradigma dan metodologi disiplin filsafat.
2.      Upaya ilmiah yang dilakukan secara sistematis untuk mengetahui dan memahami serta membahas nilai-nilai filosofis (hikmah) yang terkandung dalam doktrin-doktrin ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur'an dan As-Sunnah yang selanjutnya dilaksanakan dalam praktek-praktek keagamaan.
Untuk menjelaskan pola yang pertama, ada baiknya jika dijelaskan terlebih dahulu metode yang dapat ditempuh dalam kajian Islam melalui pendekatan filosofis. Sebagai suatu metode, pengembangan suatu ilmu, dalam hal ini kajian Islam, memerlukan empat hal sebagai berikut:[15]
1.      Bahan
Bahan-bahan yang akan digunakan untuk pengembangan didiplin ilmu. Dalam hal ini dapat berupa bahan tertulis yaitu, Al-Qur'an dan As-Sunnahserta pendapat para ulama atau filosof. Dan bahan yang diambil dari pengalaman empirik dalam praktek keberagamaan.
2.      Metode pencarian bahan
Metode pencarian bahan, untuk mencari bahan-bahan yang bersifat tertulis dapat dilakukan melalui studi kepustakaan dan studi lapangan yang masing-masing prosedurnya telah diatur sedemikian rupa.
3.      Metode pembahasan,
Metode pembahasan, untuk ini Muzayyin Arifin mengajukan alternatif metode analitis-sintetis, yaitu metode yang berdasarkan pendekatan rasional dan logis terhadap sasaran pemikiran secara induktif, deduktif, dan analisa ilmiah.
4.      Pendekatan.
Pendekatan biasanya diperlukan dalam analisa, dan berhubungan dengan teori-teori keilmuan tertentu yang akan dipilih untuk menjelaskan fenomena tertentu pula. Dalam hubungan ini pendekatan lebih merupakan pisau yang akan digunakan dalam analisa. Ia semacam paradigma (cara pandang) yang digunakan untuk menjelaskan suatu fenomena. Hal ini selanjutnya erat hubungannya dengan disiplin keilmuan.
Sedangkan dalam pola kedua, pendekatan filosofis dilakukan untuk mengurai nilai-nilai filosofis atau hikmah yang terkandung dalam doktrin-doktrin ajaran Islam yang terdapat dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, seperti hikmah dalam penerapan syariat Islam atau hikmah dalam perintah tentang shalat, puasa, haji, dan sebagainya. Pola ini banyak ditempuh oleh beberapa ulama, antara lain Imam As-Syatibi melalui karyanya: Al-Muwafaqatu fi Ushul Al-Syariati.
Pola pendekatan tersebut diharapkan agar seseorang tidak akan terjebak pada pengamalan agama yang bersifat formalistik, yakni mengamalkan agama dengan susah payah tapi tidak memiliki makna apa-apa, kosong tanpa arti. Yang mereka dapatkan dari pengamalan agama tersebut hanyalah pengakuan formalistik, misalnya sudah haji, sudah menunaikan rukun Islam yang kelima, dan berhenti sampai di situ. Mereka tidak dapat merasakan nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya. Namun demikian, pendekatan filosofis ini tidak berarti menafikan atau menyepelekan bentuk pengamalan agama yang bersifat formal. Filsafat mempelajari segi batin yang bersifat esoterik, sedangkan bentuk (forma) memfokuskan segi lahiriah yang bersifat eksoterik.[16]
C.      MODEL PENDEKATAN FILOSOFIS DALAM KAJIAN ISLAM
Jamali Sahrodi menyebutkan setidaknya ada tiga jenis atau model yang termasuk pendekatan filsafat modern (kontemporer) yang digunakan dalam kajian Islam, yaitu: pendekatan hermeneutika, pendekatan teologi-filosofis, dan pendekatan tafsir falsafi.
1.      Pendekatan Hermeneutik
Kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan, dan dari kata hermeneuein ini dapat ditarik kata benda hermenia yang berarti penafisran atau interprestasi dan hermeneutes yang berarti interpreter (penafsir). Kata ini sering diasosiasikan dengan nama salah seorang dewa Yunani, Hermes yang dianggap sebagai utusan para dewa bagi manusia. Hermes adalah utusan para dewa di langit untuk membawa pesan kepada manusia.[17]
Hermeneutika secara terminologis dapat didefinisikan sebagai tiga hal:[18]
a.       Mengungkapkan pikiran seseorang dalam kata-kata, menerjemahkan dan bertindak sebagai penafsir.
b.      Usaha mengalihkan dari suatu bahasa asing yang maknanya gelap tidak diketahui ke dalam bahasa lain yang bisa dimengerti oleh si pembaca.
c.       Pemindahan ungkapan pikiran yang kurang jelas, diubah menjadi bentuk ungkapan yang lebih jelas.
Fungsi hermeneutika adalah untuk mengetahui makna dalam kata, kalimat dan teks. Hermeneutika juga berfungsi menemukan instruksi dari simbol. Menurut Josef Bleicherr, hermeneutika dapat dipetakan menjadi tiga bagian, yaitu:[19]
a.       Hermeneutika sebagai metodologi.
b.      Hermeneutika sebagai filsafat/filosofis.
c.       Hermeneutika sebagai kritik.
Salah satu kajian penting hermeneutik adalah bagaimana merumuskan relasi yang pas antara nash (text), penulis atau pengarang (author), dan pembaca (reader) dalam dinamika pergumulan penafsiran/pemikiran nash termasuk dalam nash-nash keagamaan dalam Islam. Perlu disadari, semestinya kekuasaan (otoritas) atas nash adalah hanya mutlak menjadi hak Tuhan. Hanya Tuhan sajalah yang (author) yang tahu persis apa yang sebenarnya Dia kehendaki dan maui dalam firman-firman-Nya sebagaimana tertuang dalam nash. Manusia sebagai penafsir (reader), hanya mampu memosisikan dirinya sebagai penafsir atas nash yang diungkapkan Tuhan dengan segala kekurangan dan keterbatasannya. Dengan demikian, penafsiran yang paling relevan dan paling benar mestinya hanyalah keinginan dan kehendak si pengarang, dan bukan terletak di tangan penafsir.[20]
Istilah hermeneutika dalam pengertian teori penafsiran kitab suci ini pertama kali dimunculkan oleh J.C. Dannhauer dalam bukunya Hermeneutica Sacra Siva Methodus Expondarum Sacrarum Litterarum. Istilah hermeneutika dalam hal ini dimaksudkan sebagai kegiatan memahami kitab-kitab suci yang dilakukan para agamawan. Kata hermeneutika dalam pengertian ini muncul pada abad 17-an, meskipun sebenarnya kegiatan penafsiran dan pembicaraan tentang teori-teori penafsiran, baik itu terhadap kitab suci, sastra maupun dalam bidang hukum, sudah berlangsung sejak lama. Dalam agama Yahudi misalnya, tafsir terhadap teks-teks Taurat dilakukan oleh para ahli kitab, yaitu mereka yang membaktikan hidupnya untuk mempelajari dan menafsirkan hukum-hukum agama yang dibawa oleh para Nabi. Berbeda dengan kaum Yahudi, awal tradisi Kristen dengan pengalaman akan Yesus yang dianggap wafat dan bangkit lagi, juga menerapkan tafsir pada teks-teks Perjanjian Lama, dimana tafsir tersebut bisa dikategorikan hermeneutika, karena Perjanjian Lama dipahami secara Kristiani dan hasilnya kemudian disebut Perjanjian Baru.[21]
Pada perkembangan selanjutnya ketika memasuki zaman modern, munculah Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher, seorang pendeta yang nantinya dianggap sebagai bapak hermeutika modern karena ''melahirkan kembali'' hermeneutika melalui konsep hermeneutikanya yang disebut sebagai Hermeneutika Romantik.[22]
Istilah hermeneutika sendiri dalam sejarah keilmuan Islam, khususnya tafsir Al-Qur'an klasik, memang tidak ditemukan. Istilah tersebut popular justru dalam masa kemunduran. Meski demikian, menurut Farid Esack, sebagaimana dikutip Fakhruddin Faiz, dalam bukunya Qur`an: Liberation and Pluralism, praktik hermeneutika sebenarnya telah dilakukan oleh umat Islam sejak lama, khususnya ketika menghadapi Al-Qur'an. Bukti dari hal itu adalah:[23]
a.       Problematika Hermeneutik senantiasa dialami dan dikaji, meski tidak ditampilkan secara definitif. Hal ini terbukti dari kajian-kajian mengenai asbabun nuzul dan nasakh-mansukh.
b.      Perbedaan antara komentar komentar yang aktual terhadap Al-Qur'an (tafsir) dengan aturan, teori atau metode penafsiran telah ada sejak mulai munculnya literatur-literatur tafsir yang disusun dalam bentuk ilmu tafsir.
c.       Tafsir tradisional itu selalu dimasukkan dalam kategori-kategori, misalnya tafsir syiah, tafsir mu'tazilah, tafsir hukum, tafsir filsafat, dan lain sebagainya. Hal itu menunjukan adanya kelompok-kelompok tertentu, ideologi-ideologi tertentu, periode-periode tertentu, maupun horisonhorison tertentu dari tafsir.
Dalam dunia pemikiran Islam, Hassan Hanafi yang pertama kali memperkenalkan Hermeneutika dalam bukunya berjudul: Les Methods d'Exeges, Essai sur La Science de Fordements de la Comprehension, ilm Ushul Al-Fiqh.[24] Selain Hassan Hanafi, di Mesir ada Muhammad Abduh dan Nasr Hamid Abu Zayd tokoh islam yang menggeluti kajian hermeneutika, di India, Ahmad Khan, Amir Ali dan Ghulam Ahmad Parves, yang berusaha melakukan demitologisasi konsep-konsep dalam Al- Qur'an yang dianggap bersifat mitologis, di Aljazair, muncul Mohammed Arkoun yang menggagas ide cara baca semiotik terhadap Al-Qur'an, kemudian Fazlurrahman yang merumuskan hermeneutika semantik terhadap Al-Qur'an, dan kemudian dikenal sebagai double movement.[25]
2.      Pendekatan Teologis Filosofis
Kajian keislaman dengan menggunakan pendekatan teologi-filosofis bermula dari kemunculan pemahaman rasional di kalangan mutakallimin (ahli kalam) di kalangan umat Islam yaitu Mazhab Mu'tazilah.
Mu'tazilah menyodorkan konsep-konsep teologi (ilmu kalam) dengan berbasiskan metodologi dan epistemologi disiplin filsafat Yunani yang pada saat itu tengah berpenetrasi dalam perkembangan intelektual dunia Islam (masa pemerintahan Bani Abbas) akibat proyek penterjemahan ilteraturliteratur Yunani yang dilakukan para sarjana muslim pada kurun waktu tersebut. Kehadiran mazhab teologi rasional ini berupaya memberikan jawaban-jawaban dengan pendekatan filosofis atas doktrin-doktrin pokok Tauhid yang pada saat itu tengah menjadi materi-materi perdebatan dalam blantika pemikiran Islam.
Kemunculan gerakan Mu'tazilah merupakan tahap yang amat terpenting dalam sejarah perkembangan intelektual Islam. Meskipun bukan golongan rasionalis murni, namun jelas mereka adalah pelopor yang amat bersungguhsungguh untuk digiatkannya pemikiran tentang tentang ajaran-ajaran pokok Islam secara lebih sistematis. Sikap mereka yang rasionalistik dimulai dengan titik tolak bahwa akal mempunyai kedudukan yang sama dengan wahyu dalam memahami agama. Sikap ini adalah konsekwensi logis dari dambaan mereka kepada pemikiran sistematis. Kebetulan pula pada masa-masa akhir kekuasaan Umayyah itu sudah terasa adanya gelombang pengaruh Hellenisme di kalangan umat Islam. Karena pembawa rasional mereka, kaum Mu'tazilah merupakan kelompok pemikir muslim yang dengan cukup antusias menyambut invasi filsafat itu. Meskipun terdapat berbagai kesenjangan untuk memberi sistem kepada faham Mu'tazilah tingkat awal itu, namun tesis-tesis mereka jelas merupakan sekumpulan dogma yang ditegakkan di atas prinsip-prinsip rasional tertentu. Karena berpikir rasional dan sistematis itu sesungguhnya tuntutan alami agama Islam, maka penalarannya, di bidang lain, juga menghasilkan pemikiran yang rasional dan sistematis pula, seperti di bidang hukum syari'ah yang dirintis oleh Imam Syafi'i, perumus pertama prinsip-prinsip jurisprudensi (Ushul Al-Fiqh).[26]
Pada era pemikiran Islam kontemporer, kajian Islam dengan pendekatan teologi-filosofis banyak dilakukan oleh beberapa tokoh orientalis (outsider) seperti dilakukan oleh W. Montgomery Watt melalui karyanya, Free Will and Predestination in Early Islam (1948), Islamic Theology and Theology (1960), dan The Formative Period of Islamic Thought (1973). Sumber-sumber kajian kalam (teologi oleh para sarjana barat banyak memanfaatkan literatur teologi Islam klasik seperti karya-karya Al-Syahrastani seperti Al-Milal wa Al-Nihal, Al-Baghdadi, Al-Farq Bayn Al-Firaq dan Al-Asy'ari, Maqalat Al-Islamiyyin.[27]
3.      Pendekatan Tafsir Falsafi
Al-Dzahabi, sebagaimana dikutip Jamali Sahrodi, menjelaskan bahwa tafsir falsafi adalah penafsiran ayat-ayat Al-Qur'an berdasarkan pendekatan-pendekatan filosofis, baik yang berusaha untuk mengadakan sintesis dan sinkretisasi antara teori-teori filsafat dengan ayat-ayat Al-Qur'an maupun yang berusaha menolak teori-teori filsafat yang dianggap bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur'an. Timbulnya tafsir jenis ini tidak terlepas dari perkenalan umat Islam dengan filsafat Hellenisme yang kemudian merangsang mereka untuk menggelutinya kemudian menjadikannya sebagai alat untuk menganalisis ajaran-ajaran Islam, khususnya Al-Qur'an.[28]
Tafsir falsafi juga diartikan sebagai suatu tafsir yang bercorak filsafat. Dalam menjelaskan makna suatu ayat, mufassir mengutip atau merujuk pendapat para filsuf. Persoalan yang diperbincangkan dalam suatu ayat dimaknai atau didefinisikan berdasarkan pandangan para ahli filsafat. Makna suatu ayat ditakwilkan sehingga sesuai dengan pandangan mereka.[29]
Ibnu Sina adalah salah satu contoh tokoh yang berkecenderungan tafsir jenis ini ketika menjelaskan ayat-ayat Al-Qur'an. Salah satu karyanya dalam bidang ini adalah al-isyarat wal tanbihat: al-qismu tsani al-taii'ah, salah satu contoh dari tafsir falsafi Ibnu Sina, dalam hal penafsiran filosofis, sebagai berikut:[30]
* ª!$# âqçR ÅVºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur 4 ã@sWtB ¾ÍnÍqçR ;o4qs3ô±ÏJx. $pkŽÏù îy$t6óÁÏB ( ßy$t6óÁÏJø9$# Îû >py_%y`ã ( èpy_%y`9$# $pk¨Xr(x. Ò=x.öqx. AÍhߊ ßs%qム`ÏB ;otyfx© 7pŸ2t»t6B 7ptRqçG÷ƒy žw 7p§Ï%÷ŽŸ° Ÿwur 7p¨ŠÎ/óxî ߊ%s3tƒ $pkçJ÷ƒy âäûÓÅÓムöqs9ur óOs9 çmó¡|¡ôJs? Ö$tR 4 îqœR 4n?tã 9qçR 3 Ïöku ª!$# ¾ÍnÍqãZÏ9 `tB âä!$t±o 4 ÛUÎŽôØour ª!$# Ÿ@»sWøBF{$# Ĩ$¨Y=Ï9 3 ª!$#ur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ÒOŠÎ=tæ ÇÌÎÈ  

Artinya:
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Ibnu Sina mengatakan bahwa Nur mempunyai makna ganda, denotatif dan konotatif. Makna denotatifnya adalah penerangan yang sempurna, sedangkan makna konotatfnya adalah kebaikan dan faktor penyampai kepada kebaikan. Makna yang dimaksudkan disini adalah kedua-duanya, yakni bahwa Allah SWT adalah dzat yang maha baik dan penyebab dari semua kebaikan. Ungkapan as-samawati wal-ardhi merupakan ungkapan dari universalitas. Kata misykat (lentera) merupakan ungkapan dari akal material (al-aqlul-huyuli) dan jiwa yang berakal. Karena misykat itu dekat dengan dinding, maka daya pantulnya lebih kuat dan cahayanya lebih banyak. Demikian juga dengan akal, sebenarnya menyerupai cahaya (nur). Yang dilambangkan dengan misykat (lentera) adalah akal material yang kaitannya dengan akal mustafad (acquired intelect) adalah bagaikan kaitan misykat dengan cahaya. Sementara mishbah (lampu) sebenarnya merupakan ungkapan dari akal mustafad itu sendiri. Hubungan akal mustafad dengan akal material adalah seperti hubungan mishbah dengan misykat. Adapun kata fi zujajah (kaca), ditafsirkan bahwa hubungan antara akal material dan akal mustafad pada sisi lain adalah seperti hubungan yang terjadi antara penerang dan mishbah. Hubungan ini tidak dapat dicapai kecuali dengan perantara sumbu. Dari sumbu itu muncul az-zujajah karena dia adalah penerang yang menerima cahaya.[31]
Selain tiga model pendekatan filsafat dalam kajian Islam yang telah disebut di atas, Tasawuf Falsafi juga bisa disebut sebagai disiplin kajian berpendekatan filsafat. Tasawuf falsafi, atau biasa juga disebut tasawuf nazhari, merupakan tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional sebagai pengasasannya. Tasawuf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi filosofis tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya.[32]
D.      PENDEKATAN FILOSOFIS DALAM KAJIAN ISLAM
Untuk memahami pendekatan filosofis dalam kajian Islam, maka akan diuraikan menjadi dua yaitu: filsafat dalam islam dan aplikasi pendekatan filosofis dalam kajian Islam.
1.      Filsafat dalam Islam
Dalam bahasa Arab "hikmah dan hakim", bisa diterjemahkan dengan arti "filsafat dan filsofol". Kata "hukamul islam" bisa berarti "falasifatul islam". Hikmah adalah perkara tertinggi yang bisa dicapai oleh manusia dengan melalui alat-alat tertentu, yaitu akal dan metode berpikirnya, sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah SWT:[33]
÷rr& É©9$%x. §tB 4n?tã 7ptƒös% }Édur îptƒÍr%s{ 4n?tã $ygÏ©ráãã tA$s% 4¯Tr& ¾ÇósムÍnÉ»yd ª!$# y÷èt/ $ygÏ?öqtB ( çms?$tBr'sù ª!$# sps($ÏB 5Q$tã §NèO ¼çmsVyèt/ ( tA$s% öNŸ2 |M÷VÎ7s9 ( tA$s% àM÷VÎ7s9 $·Böqtƒ ÷rr& uÙ÷èt/ 5Qöqtƒ ( tA$s% @t/ |M÷VÎ7©9 sps($ÏB 5Q$tã öÝàR$$sù 4n<Î) šÏB$yèsÛ šÎ/#uŽŸ°ur öNs9 ÷m¨Z|¡tFtƒ ( öÝàR$#ur 4n<Î) šÍ$yJÏm šn=yèôfuZÏ9ur Zptƒ#uä ÂZ$¨Y=Ïj9 ( öÝàR$#ur n<Î) ÏQ$sàÏèø9$# y#øŸ2 $ydãų^çR §NèO $ydqÝ¡õ3tR $VJóss9 4 $£Jn=sù šú¨üt7s? ¼çms9 tA$s% ãNn=ôãr& ¨br& ©!$# 4n?tã Èe@à2 &äóÓx« ֍ƒÏs% ÇËÎÒÈ  
Artinya:
Atau (tidakkah engkau pelik memikirkan wahai Muhammad) tentang orang yang melalui sebuah negeri yang telah runtuh segala bangunannya, orang itu berkata: "Bagaimana Allah akan menghidupkan (membina semula) negeri ini sesudah matinya (rosak binasanya)?" Lalu ia dimatikan oleh Allah (dan dibiarkan tidak berubah) selama seratus tahun, kemudian Allah hidupkan dia semula lalu bertanya kepadanya: "Berapa lama engkau tinggal (di sini)?" Ia menjawab: "Aku telah tinggal (di sini) sehari atau setengah hari". Allah berfirman: "(Tidak benar), bahkan engkau telah tinggal (berkeadaan demikian) selama seratus tahun. Oleh itu, perhatikanlah kepada makanan dan minumanmu, masih tidak berubah keadaannya, dan perhatikanlah pula kepada keldaimu (hanya tinggal tulang-tulangnya bersepah), dan Kami (lakukan ini ialah untuk) menjadikan engkau sebagai tanda (kekuasaan Kami) bagi umat manusia; dan lihatlah kepada tulang-tulang (keldai) itu, bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami menyalutnya dengan daging". Maka apabila telah jelas kepadanya (apa yang berlaku itu), berkatalah dia: Sekarang aku mengetahuinya (dengan yakin), sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu".
Ayat diatas, memiliki pengertian bahwa Allah SWT menganugerahkan Al-Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al-Qur'an dan As-Sunnah) kepada siapa yang dikehendakin-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-beanr telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang–orang yang berakal yang dapat mengambil pelajaran (dari fiman Allah SWT).
Datangnya hikmah itu bukan dari penglihatan saja, tetapi juga dari penglihatan dan dan hati, atau dengan mata hati dan pikiran yang tertuju kepada alam yang ada disekitarnya. Karena itu kadangkala ada orang yang melihat tetapi tidak memperhatikan (melihat dengan mata hati dan berpikir), sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah SWT:[34]
óOn=sùr& (#r玍šo Îû ÇÚöF{$# tbqä3tGsù öNçlm; Ò>qè=è% tbqè=É)÷ètƒ !$pkÍ5 ÷rr& ×b#sŒ#uä tbqãèyJó¡o $pkÍ5 ( $pk¨XÎ*sù Ÿw yJ÷ès? ㍻|Áö/F{$# `Å3»s9ur yJ÷ès? Ü>qè=à)ø9$# ÓÉL©9$# Îû ÍrߐÁ9$# ÇÍÏÈ  
Artinya:
Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.
Agama Islam memberikan memberikan penghargaan yang tinggi terhadap akal, tidak sedikit ayat-ayat Al-Qur'an yang mengajurkan dan mendorong supaya manusia banyak berpikir dan menggunakan akalnya. Di dalam Al-Qur'an dijumpai perkataan yang berakar dari ‘aql (akal) sebanyak 49 kali, yang semuanya dalam bentuk kata kerja aktif, seperti aquluh, ta’qilun, na’qil, ya’qiluha, dan ya’qilun. Dan masih banyak lagi kata yang di pakai dalam Al-Qur'an yang menggambarkan perbuatan berpikir diantaranya:
a.       Nazhara[35]
̍ÝàYuù=sù ß`»|¡RM}$# §NÏB t,Î=äz ÇÎÈ   t,Î=äz `ÏB &ä!$¨B 9,Ïù#yŠ ÇÏÈ   ßlãøƒs .`ÏB Èû÷üt/ É=ù=Á9$# É=ͬ!#uŽ©I9$#ur ÇÐÈ  
Artinya:
Setelah mengetahui yang demikian), maka hendaklah manusia memikirkan: dari apa ia diciptakan(5) Ia diciptakan dari air (mani) yang memancut (ke dalam rahim)(6) Yang keluar dari "tulang sulbi" lelaki dan "tulang dada" perempuan(7)
b.      Tadabbara[36]
ë=»tGÏ. çm»oYø9tRr& y7øs9Î) Ô8t»t6ãB (#ÿr㍭/£uÏj9 ¾ÏmÏG»tƒ#uä t©.xtFuŠÏ9ur (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇËÒÈ  
Artinya:
Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.
Selain itu di dalam Al Quran juga terdapat sebutan-sebutan yang memberi sifat berpikir bagi seorang muslim, diantaranya:
a.       Ulul Al-Bab[37]
ôs)s9 šc%x. Îû öNÎhÅÁ|Ás% ×ouŽö9Ïã Í<'rT[{ É=»t6ø9F{$# 3 $tB tb%x. $ZVƒÏtn 2uŽtIøÿム`Å6»s9ur t,ƒÏóÁs? Ï%©!$# tû÷üt/ Ïm÷ƒytƒ Ÿ@ÅÁøÿs?ur Èe@à2 &äóÓx« Yèdur ZpuH÷quur 5Qöqs)Ïj9 tbqãZÏB÷sムÇÊÊÊÈ  
Artinya:
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.
b.      Ulul Abshar[38]
Ü=Ïk=s)ムª!$# Ÿ@ø©9$# u$yg¨Y9$#ur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºsŒ ZouŽö9Ïès9 Í<'rT[{ ̍»|Áö/F{$# ÇÍÍÈ  
Artinya:
Allah mempergantikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran yang besar bagi orang-orang yang berpikir.
c.       Ulin Nuha[39]
öNn=sùr& Ïöku öNçlm; öNx. $uZõ3n=÷dr& Nßgn=ö7s% z`ÏiB Èbrãà)ø9$# tbqà±øÿs Îû öNÍkÈ]Å3»|¡tB 3 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy Í<'rT[{ 4sSZ9$# ÇÊËÑÈ  
Artinya:
Maka tidakkah menjadi petunjuk bagi mereka (kaum musyrikin) berapa banyaknya Kami membinasakan umat-umat sebelum mereka, padahal mereka berjalan (di bekas-bekas) tempat tinggal umat-umat itu?  Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.
Semuanya bentuk ayat-ayat tersebut mengandung anjuran, dorongan bahkan memerintahkan kepada pemeluknya untuk berfilsafat. Manusia adalah makhluk berfikir, yang dalam segala aktifitas kehidupannya selaluu berujung kepada mencari kebenaran tentang sesuatu. Misalnya dalam mencari jawaban tentang hidup, berarti dia mencari kebenaran tentang hidup. Jadi dengan demikian manusia adalah makhluk pencari kebenaran . dalam proses mencari kebenaran ini manusia menggunakan tiga instrumen, yaitu dengan agama, filsafat dan dengan ilmu pengetahuan. Antara ketiganya mempunyai titik persamaan, dan titik singgung.[40]
2.      Aplikasi Pendekatan Filosofis dalam Kajian Islam
Untuk membawa pendekatan filosofis dalam tataran aplikasi kita tidak bisa lepas dari pengertian pendekatan filosofis yang bersifat mendalam, radikal, sistematik dan universal. Karena sumber pengetahuan pendekatan filosofis adalah rasio, maka untuk melakukan kajian dengan pendekatan ini akal mempunyai peranan yang sangat signifikan.
Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas dan inti yang terdapat di balik yang bersifat lahiriah, sebagai contoh "kita jumpai berbagai bentuk rumah dengan kualitas yang berbeda, tatapi semua rumah itu intinya adalah sebagai tempat tinggal". Kegiatan berpikir untuk menemukan hakikat itu dilakukan secara mendalam, berpikir secara filosofis tersebut selanjutnya dapat digunakan dalam memahami ajaran agama, dengan maksud agar hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara seksama.
Menurut Musa Asy’ari Filsafat islam dapatlah diartikan sebagai kegiatan pemikiran yang bercorak islami, islam di sini menjadi jiwa yang mewarnai suatu pemikiran, filsafat disebut islam bukan karena yang melakukan aktivitas kefilsafatan itu orang yang beragama islam, atau orang yang berkebanggaan Arab atau dari segi obyeknya yang membahas mengenai pokok-pokok keislaman.[41]
Menurut Muhamad Al-Jurjawi, pendekatan filosofis dalam kajian Islam berusaha mengungkapkan hikmah yang terdapat di balik ajaran-ajaran agama Islam. Agama misalnya mengajarkan agar melaksanakan shalat berjamaah. Tujuannya antara lain agar seseorang merasakan hikmahnya hidup secara berdampingan dengan orang lain. Melalui pendekatan filosofis ini, seseorang tidak akan terjebak pada pengalaman agama yang bersifat formalistik, yakni mengamalkan agama dengan susah payah tapi tidak memiliki makna apa-apa, kosong tanpa arti. Yang mereka dapatkan dari pengalaman agama tersebut hanyalah pengakuan formalistik, misalnya sudah haji, sudah menunaikan rukun Islam yang kelima, dan berhenti sampai di situ. Mereka tidak dapat merasakan nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya. Namun demikian, pendekatan filosofis ini tidak berarti menafikan atau menyepelekan bentuk pengalaman agama secara formal. Filsafat mempelajari segi batin yang bersifat esoterik. Sedangkan bentuk (formal) memfokuskan segi lahiriah yang bersifat eksoterik.[42]
Untuk lebih memperjelas aplikasi pendekatan filosofis dalam kajian Islam berdasarkan penjelasan dari berbagai ahli, maka akan dipaparkan contoh dari hadist Rasullullah SAW yang berkenan dengan larangan melukis, sebagai berikut:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بنُ مَسْعُوْدِ قَالَ: سَمِعْتُ النبِيَ صلي الله عليه وسلم، يَقُوْلُ: أَنْ اشَدَّ النَّاسَ عَذَابًا عِنْدَ اللهِ يَوْمَ القِيَامَةِ المصوِّرُوْن (رواه البخارى ومسلم وأحمد)
Artinya:
Dari Abdillah bin Mas'ud, berkata: saya mendengarkan Nabi Muhammad SAW, berkata: sesungguhnya orang yang paling dahsyat siksanya di sisi Allah pada hari kiamat adalah para pelukis.[43]
Secara tekstual hadist ini memberi pengertin adanya larangan melukis (makhluk yang bernyawa), bahkan para imam mazhab sepakat akan keharaman menggambar, memajangnya dan menjualnya.[44] Kesimpulan seperti ini bisa dipahami, karena banyaknya riwayat mengenai masalah tersebut. Sebagaimana juga diriwayatkan pada hadist yang lain, bahwa para pelukis pada hari kiamat kelak dituntut untuk memberikan nyawa kepada apa yang pernah dilukisnya di dunia. Malaikat juga tidak akan masuk di rumah yang di dalamnya ada lukisannya.
Kita perlu melihat kembali kondisi sosio-historis pada waktu hadist tersebut dituturkan Nabi. Hal tersebut berkaitan dengan kondisi kejiwaan masyarakat ketika itu, di mana mereka secara psikologis belum lama terlepas dari kepercayaan menyekutukan Allah SWT, yakni menyembah patung-patung berhala. Dalam kapasitasnya sebagai Rasulullah SAW, Nabi berusaha keras agar umat Islam terlepas dari kemusyrikan tersebut. Salah satu cara yang ditempuh dengan mengeluarkan larangan untuk memproduksi dan memajang lukisan atau berhala. Jika tidak dilakukan, maka mereka akan sulit melepaskan kepercayaan lama. Jadi hadist ini, secara psikis-antropologis sebenarnya disabdakan dalam kondisi masyarakat transisi dari kepercayaan animisme ke monoteisme, sehingga perlu adanya larangan keras terhadap praktik yang dapat menjerumuskan ke dalam kemusyrikan.
Persoalannya sekarang adalah bagaimana jika kondisi masyarakat sudah berubah, di mana masyarakat dengan perkembangan pemikirannya sudah berada pada tahap yang lebih baik atau dimungkinkan tidak lagi dikhawatirkan terjerumus ke dalam kemusyrikan. Apakah melukis patung masih tidak dibenarkan? Atau mungkin bisa saja, saat ini bukan lagi simbolik patung yang menyebabkan seseorang menjadi syirik, tetapi pemujaan terhadap figur–figur di bidang kesenian yang membuat penggemarnya gila dan histeris, misalnya seperti yang terjadi pada para fans berat Noah, Shoimah, Maroon 5, Adele, dan lain sebagainya.
Paparan diatas adalah bentuk penjelasan dan analisa singkat tentang prinsip-prinsip temporal dan universalitas hadist Nabi sehingga terealisasi dalam konteks historis dan sosial yang berbeda. Salah satu perangkat metodologis dalam upaya memahami masa lampau dan kemudian merekonstruksi makna sebuah matan hadist dalam wacana kekinian dan kedisinian adalah pendekatan hermeneutik. Dalam pendekatan ini, sebuah matan hadist tidak mesti dipahami dalam bentuk pemahaman yang monolitik "seragam", karena sebuah hadist muncul dipengaruhi oleh berbagai segi seperti keadaan social, alam pikiran, budaya, bahasa pembacanya dan lain sebagainya.
Sehingga dapat dipahami, bahwa Islam sebagai agama yang banyak menyuruh penganutnya mempergunakan akal pikiran sudah dapat dipastikan sangat memerlukan pendekatan filosofis dalam memahami ajaran agamanya. Pendekatan filosofis adalah cara pandang atau paradigma yang bertujuan untuk menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada di balik objek formanya. Dengan kata lain, pendekatan filosofis adalah upaya sadar yang dilakukan untuk menjelaskan apa dibalik sesuatu yang nampak. Memahami ajaran Islam dengan pendekatan filosofis ini dimaksudkan agar seseorang melakukan pengamalan agama sekaligus mampu menyerap inti, hakikat atau hikmah dari apa yang diyakininya, bukan sebaliknya melakukan tanpa makna.

























BAB III
PENUTUP

Pendekatan filosofis merupakan salah satu pendekatan yang digunakan dalam kajian Islam untuk memahami aspek-aspek ajaran Islam dengan metodologi yang biasa digunakan filsafat atau menelaah dan mengurai nilai-nilai filosofis (hikmah) yang terkandung dalam doktrin-doktrin ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah sehingga diharapkan ajaran-ajaran Islam tersebut dapat diinternalisasikan dan diamalkan secara lebih subtansial dan sarat fungsi, tak kering makna.
Pendekatan filsafat dalam kajian Islam telah dilakukan banyak tokoh sejak masa klasik sampai masa kontemporer dalam berbagai disiplin ilmu. Beberapa model pendekatan filsafat tersebut antara lain: 1). Pendekatan Hermeneutik, 2). Pendekatan Teologi-Filosofis, 3). Pendekatan Tafsir Falsafi, dan 4). Pendekatan Tasawuf Falsafi.
Filsafat, dengan beragam karakteristik dasarnya yang inheren, sendiri berperan mengasah dan mempertajam penalaran kita, dan juga membongkar kejumudan pola pikir yang kita warisi begitu saja yang seakan turun dari langit, taken for granted, pula bagaikan mata kunci yang membuka hijab-hijab formalisme dan irasionalisme untuk menembus dan menangkap substansi persoalan. Idealitas filsafat inilah yang diharapkan juga meruhi upaya-upaya kajian Islam dengan menggunakan pendekatan filsafat agar produk pemikiran yang dilahirkan benar-benar menunjukan universalitas dan ke-rahmat-an Islam bagi umat, bagi manusia, dan bagi alam semesta.
Pendekatan filosofis adalah cara pandang atau paradigma yang bertujuan untuk menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada di balik objek formanya. Dengan kata lain, pendekatan filosofis adalah upaya sadar yang dilakukan untuk menjelaskan apa dibalik sesuatu yang nampak. Memahami ajaran Islam dengan pendekatan filosofis ini dimaksudkan agar seseorang melakukan pengamalan agama sekaligus mampu menyerap inti, hakikat atau hikmah dari apa yang diyakininya, bukan sebaliknya melakukan tanpa makna.








































DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010)
E. Sumaryono, Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999)
Fakhruddin Faiz, Hermeutika Qurani, (Yogyakarta: Qalam, 2007)
Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qurani, tema-tema Kontroversial, (Yoyakarta: elSAQ, 2005)
Husein Heriyanto, Nalar Saintifik Peradaban Islam, (Bandung : Mizan, 2011)
Husein Aziz, Bahasa Al-Qur’an Perspektif Filsafat Ilmu, (Pasuruan: Pustaka Sidogiri, 2010)
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001)
J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. XII, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991)
Jamali Sahrodi, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008)
Kadar M. Yusuf, Studi Al-Qur'an, (Jakarta: Amzah, 2012)
Khoiruddin Nasution, Peran Hermeneutika dan Pengelompokan Nash dalam Studi Hukum Islam Integratif-Interkonektif dalam Jamali Sahrodi, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008)
Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hal.21-22
M. Amin Abdullah, Antologi Studi Islam, Teori&Metodologi, Cet.I, (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000)
Mark B. Woodhouse, A Preface to Philosophy, (Belmont California: Wadsworth Publishing Company, 1984)
Musa Asy’ari, Filsafat Islam Suatu Tinjauan Ontologis, (Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992)
Muzairi, Hermeneutika dalam Pemikiran Islam dalam Hermeneutika Al-Qur'an Mazhab Yogya, (Bandung: Pustaka Islamika, 2003)

Peter Connoly, Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta : Elkis, 2009)
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jilid I, Cet. II, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967)
Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2008)
Supiana, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: DitjenPendisKemenag RI, 2012)
Suparlan Suhartono, Dasar-Dasar Filsafat “Cogito Ergo Sum” Aku Berpikir Maka Aku Ada (Rene Descartes), Cet. V, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009)
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008)
______________, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi, Pendekatan Integratif-Interkonektif, Cet.I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006)



[1] Supiana, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: DitjenPendisKemenag RI, 2012), hal.96
[2] Husein Heriyanto, Nalar Saintifik Peradaban Islam, (Bandung: Mizan, 2011), hal.355
[3] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hal.414
[4] J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hal.280
[5] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jilid I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hal.15
[6] Suparlan Suhartono, Dasar-Dasar Filsafat “Cogito Ergo Sum” Aku Berpikir Maka Aku Ada (Rene Descartes), (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009), hal.46
[7] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), hal.43
[8] M. Amin Abdullah, Antologi Studi Islam, Teori&Metodologi, (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000), hal.8
[9] Ibid, hal.9
[10]______________, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi, Pendekatan Integratif-Interkonektif, Cet.I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal.13
[11] Ibid, hal.14-15
[12] Mark B. Woodhouse, A Preface to Philosophy, (Belmont California: Wadsworth Publishing Company, 1984), hal.16-19
[13] Omar Mohammad at-Toumy Al-Syaibani, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, , 1979), hal.35
[14] Abuddin Nata, Op.cit, hal.22
[15] Ibid, hal.22-23
[16] Ibid, hal.45
[17] E. Sumaryono, Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hal.23
[18] Fakhruddin Faiz, Hermeutika Qurani, (Yogyakarta: Qalam, 2007), hal.19
[19] Khoiruddin Nasution, Peran Hermeneutika dan Pengelompokan Nash dalam Studi Hukum Islam Integratif-Interkonektif dalam Jamali Sahrodi, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal.18-19
[20] Syahiron Syamsuddin, Hermeneutika Al-Qur’an, (Yogyakarta: Islamika, 2003), hal.103
[21] Ibid, hal.20-21
[22] Ibid, hal.22
[23] Ibid, hal.38-39
[24] Muzairi, Hermeneutika dalam Pemikiran Islam dalam Hermeneutika Al-Qur'an Mazhab Yogya, (Bandung: Pustaka Islamika, 2003), hal.30
[25] Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qurani, tema-tema Kontroversial, (Yoyakarta: elSAQ, 2005), hal.14-15

[26] Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hal.21-22
[27] Jamali Sahrodi, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal.113
[28] Kadar M. Yusuf, Studi Al-Qur'an, (Jakarta: Amzah, 2012), hal.163
[29] Jamali Sahrodi, Op.cit, hal.113-114
[30] Surat An-Nur, Ayat:35
[31] Husein Aziz, Bahasa Al-Qur’an Perspektif Filsafat Ilmu, (Pasuruan: Pustaka Sidogiri, 2010), hal.23
[32]  Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal.67
[33] Surat Al-Baqarah, Ayat 259
[34] Surat Al-Hajj, Ayat:46
[35] Surat Ath-Thoriq, Ayat:5-7
[36] Surat Ash-Shaad, Ayat:29
[37] Surat Yusuf, Ayat:111
[38] Surat An-Nur, Ayat:44
[39] Surat Thaha, Ayat:128
[40] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), hal.18
[41] Musa Asy’ari, Filsafat Islam Suatu Tinjauan Ontologis, (Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992), hal.13
[42] Abuddin Nata, Op.cit, hal.45
[43] Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz I, hal.323-324
[44] Lukman S. Thahir, Studi Islam Interdisipliner, Aplikasi Pendekatan Filsafat, Sosiologi dan Sejarah, (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2003), hal.19

Tidak ada komentar:

Posting Komentar