BAB I
PENDAHULUAN
A. PENDAHULUAN
Islam yang kita kenal dan yakini selama ini sebagai agama
yang akan membawa kita kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Namun apakah Islam
yang kita kenal dan yakini itu memang begitu adanya atau banyak hal yang pada
hakikatnya tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya diajarkan Nabi Muhammad SAW,
sebagai penyampai wahyu dari Allah SWT. Berbagai pertanyaan menelisik tentang
Islam masih sering bergelayut di pikiran kita.
Islam bagaikan sebuah bola yang mengapung di atas air,
permukaannya yang menyentuh air hanya sepersepuluh, kita tidak bisa mengetahui
bola itu secara utuh hanya dari sepersepuluh yang mengapung di atas air
tersebut. Begitu pula dengan Islam, Islam bukan monodimensi tapi multidimensi,
jika ingin memahaminya secara menyeluruh walau kelak tidak akan pernah mencapai
finalitas keimanan kita, tetapi usaha untuk memahaminya itu lebih penting, kita
perlu memahami Islam melalui berbagai dimensi dan dengan berbagai pendekatan.
Salah satunya dengan pendekatan filosofis.
Pendekatan filosofis
dalam kajian Islam, berusaha untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan
yang universal dengan meneliti akar permasalahannya. Metode ini bersifat
mendasar dengan cara radikal dan integral, karena memperbincangkan sesuatu dari
segi esensi (hakikat sesuatu). Harun Nasution mengemukakan, bahwa berfilsafat
intinya adalah berfikir secara mendalam, seluas-luasnya dan sebebasbebasnya,
tidak terikat kepada apapun, sehingga sampai kepada dasar segala dasar.[1]
Menggunakan pendekatan filosofis
atau filsafat dalam mengkaji Islam, ibarat menjadikan filsafat sebagai pisau analisis untuk
membedah Islam secara mendalam, integral dan komprehensif untuk melahirkan pemahaman dan pemikiran
tentang Islam yang senantiasa shalih fi kulli zaman wal makan (relevan
pada setiap waktu dan ruang),
karena dengan pendekatan filosofis,
sumber-sumber otentik ajaran Islam digali dengan menggunakan akal, yang menjadi
alat tak terpisahkan dalam proses penggunaan metode ijtihad, tanpa lelah tak
kunjung henti.
Dan pendekatan
filosofis
berperan membuka wawasan berpikir umat untuk menyadari fenomena perkembangan
wacana keagamaan kontemporer yang menyuarakan nilai-nilai keterbukaan,
pluralitas dan inklusivitas. Studi filosofis atau filsafat sebagai pilar utama
rekonstruksi pemikiran dapat membongkar formalisme agama dan kekakuan pemahaman
agama atau dalam istilah M. Arkoun sebagai taqdis al-afkar at-diniyyah,
sebagai salah satu sumber ekslusivisme agama dan kejumudan umat. Salah satu
problem krusial pemikiran dan pemahaman keagamaan sekarang ini, misalnya,
adalah perumusan pemahaman agama yang dapat mengintegrasikan secara utuh visi
Ilahi dan visi manusiawi tanpa dikotomi sedikitpun.[2]
Mengacu pada pendahuluan diatas, maka makalah ini akan
membahas pengertian pendekatan filosofis, pola dan metode pendekatan filosofis dalam
kajian Islam, model pendekatan filosofis dalam kajian Islam dan pendekatan
filosofis dalam kajian Islam.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apakah
pengertian dari pendekatan filosofis?
2.
Bagaimana
pola dan metode pendekatan filosofis dalam kajian Islam?
3.
Bagaimana
model pendekatan filosofis dalam kajian Islam?
4.
Bagaimana
pendekatan filosofis dalam kajian Islam?
C. TUJUAN PEMBAHASAN
1. Mengetahui pengertian dari pendekatan
filosofis.
2. Menjelaskan pola dan metode pendekatan
filosofis dalam kajian Islam.
3. Menjelaskan model pendekatan filosofis
dalam kajian Islam.
4. Menjelaskan pendekatan filosofis dalam
kajian Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN PENDEKATAN FILOSOFIS
Kata filosof berasal dari kata filsafat dari bahasa
Yunani, philosophia, yang terdiri atas dua kata: philos (cinta)
atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan shopia (hikmah,
kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi).
Jadi secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran.
Plato menyebut Socrates sebagai philosophos (filosof) dalam pengertian
pencinta kebijaksanaan. Kata falsafah berasal dari bahasa Arab yang berarti pencarian yang dilakukan
oleh para filosof.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata filsafat
menunjukkan pengertian yang dimaksud, yaitu pengetahuan dan penyelidikan dengan
akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab asal dan hukumnya. Manusia filosofis adalah manusia yang
memiliki kesadaran diri dan akal sebagaimana ia juga memiliki jiwa yang
independen dan bersifat spiritual.[3]
Dan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia,
Poerwadarminta mengartikan filsafat sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan
akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum dan sebagainya terhadap segala
yang ada di alam semesta ataupun mengenai kebenaran arti "adanya" sesuatu.[4]
Pengertian filsafat yang umumnya digunakan adalah pendapat
yang dikemukakan oleh Sidi Gazalba. Menurutnya, filsafat adalah berpikir secara
mendalam, sistematik, radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran,
inti, hikmah atau hakikat mengenai
segala sesuatu yang ada.[5]
Dan menurut Rene Descartes, yang dikenal sebagai "Bapak Filsafat Modern", filsafat baginya
adalah merupakan kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam dan manusia
menjadi pokok penyelidikan.[6]
Dari berbagai definisi di atas, dapat diketahui bahwa
filsafat pada dasarnya adalah pertanyaan atas segala hal yang "ada". Pertanyaan akan muncul tentu
dengan berpikir, berpikir pasti menggunakan akal. Dan filsafat juga bisa
dikatakan sebagai upaya menjelaskan inti, hakikat atau hikmah mengenai segala
sesuatu yang ada dengan memanfaatkan atau memberdayakan secara penuh akal budi
manusia yang telah dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Berpikir secara filosofis tersebut selanjutnya dapat
digunakan dalam memahami ajaran agama, dengan maksud agar hikmah, hakikat atau
inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara seksama. Pendekatan
filosofis yang demikian sebenarnya sudah banyak digunakan oleh para ahli.
Misalnya dalam hikmah al-tasyri’ wa falsafatuhu oleh Muhammad
Al-Jurjawi, di dalam buku tersebut ia berusaha mengungkapkan hikmah yang
terdapat di balik ajaran-ajaran agama Islam.[7]
Ajaran agama dalam mengajarkan agar shalat berjamaah.
Tujuannya antara lain agar seseorang merasakan hikmahnya hidup secara berdampingan
dengan orang lain. Dengan mengerjakan puasa misalnya agar seseorang dapat
merasakan lapar dan menimbulkan rasa iba kepada sesamanya yang hidup serba
kekurangan, dan berbagai contoh lainnya.
Dalam Islam ada dua inti dari segala sesuatu yakni sesuatu
yang bersifat Ke-Tuhanan (Ilahi), yang bersumber dari Al-Qur'an, As-Sunnah
dan berbagai Kitab Allah SWT.
Ia bersifat muthlak. Dan yang kedua adalah yang bersifat kemanusiaan (insani),
berbentuk fiqh atau pemahaman manusia, kesan di otak manusia yang muncul dari
berbagai teks yang dia baca dan alami (pengalaman) atau latar belakang
pendidikan, ekonomi, sosial, psikologi dan lain sebagainya. Bahkan Ibnu Khaldun menambahkan satu
aspek yakni iklim, kemudian
inilah yang dinamakan Historisitas Keagamaan. Ia lalu menjadi tafsir atau
perspektif (setiap individu beragama).
Filsafat sebagai salah satu bentuk metodologi
pendekatan keilmuan, sama halnya dengan cabang keilmuan yang lain.[8]
Sering kali dikaburkan dan dirancukan dengan paham atau aliran-aliran
filsafat tertentu seperti rasionalisme, eksistensialisme, pragmatisme, dan
lain-lain. Ada perbedaan antara kedua wilayah tersebut, bahwasanya wilayah
pertama bersifat keilmuan, open-ended, terbuka dan dinamis. Sedangkan
wilayah kedua bersifat ideologis, tertutup dan statis. Yang pertama bersifat
inklusif (seperti sifat pure sciences), tidak bersekat-sekat dan tidak
terkotak-kotak, sedang yang kedua bersifat ekslusif (seperti halnya applied
sciences), seolah-olah terkotak-kotak dan tersekat-sekat oleh perbedaan
tradisi, kultur, latar belakang pergumulan sosial dan bahasa.[9]
Siapa pun yang bergerak pada wilayah ''applied sciences'' pada dasarnya harus
dibekali persoalan-persoalan dasar yang digeluti oleh ''pure sciences'', sedang yang bergerak pada wilayah ''pure sciences'', tidak harus tahu dan
menjadi expert pada setiap wilayah ''applied sciences''.[10]
Cara berpikir dan pendekatan kefilsafatan yang pertama, yakni yang bersifat
keilmuan, open-ended, terbuka, dinamis dan inklusif yang tepat dan cocok
untuk diapreasiasi dan diangkat kembali ke permukaan kajian keilmuan.
Filsafat sebagai pendekatan keilmuan setidaknya ditandai
antara lain dengan tiga ciri, yaitu sebagai berikut:[11]
1. Kajian
Telaah
dan penelitian filsafat selalu terarah kepada pencarian atau perumusan ide-ide
dasar atau gagasan yang bersifat mendasar-fundamental (fundamental ideas)
terhadap objek persoalan yang dikaji. Ide atau pemikiran fundamental biasanya
diterjemahkan dengan istilah teknis kefilsafatan sebagai al-falsafatu al-ula,
substansi, hakekat atau esensi. Pemikiran
fundamental biasanya bersifat umum (general), mendasar dan abstrak.
2. Pengenalan
Pendalaman
persoalan-persoalan dan isu-isu fundamental dapat membentuk cara berpikir
kritis (critical thought).
3. Kajian dan pendekatan falsafati
Kajian
dan pendekatan falsafati yang bersifat seperti dua hal diatas, akan
dapat membentuk mentalitas, cara berpikir dan kepribadian yang mengutamakan
kebebasan intelektual (intellectual freedom), sekaligus mempunyai sikap
toleran terhadap berbagai pandangan dan kepercayaan yang berbeda serta terbebas
dari dogmatisme dan fanatisme.
Mengkaji Islam secara filosofis, akan menjadikan segala
sesuatu disandarkan kepada konteks baik itu berupa kebaiksan sosial, local
wisdom, social impact, rasionalitas dan lain-lain (تكيف). Ia juga akan bersandar
pada analisa rasio manusia, yang akan bersifat relatif. Kegiatan berfilsafat
menurut Louis O. Kattsoff adalah kegiatan berpikir secara:[12]
1. Mendalam: dilakukan sedemikian rupa hingga dicari sampai ke
batas akal tidak sanggup lagi.
2. Radikal: sampai ke akar-akar nya sehingga tidak ada lagi yang
tersisa.
3. Sistematik: dilakukan secara teratur dengan menggunakan metode
berpikir tertentu.
4. Universal: tidak dibatasi hanya pada satu kepentingan kelompok
tertentu, tetapi menyeluruh.
Filsafat dalam segala usaha nya untuk mengetahui berbagai
hakikat dari segala sesuatu, begitu pula ketika ia dipakai dalam mengkaji
Islam, tidak selalu mencapai hasil yang maksimal, yang terpenting adalah upaya
(memanfaatkan hasil usaha), yang akan membuat suatu perubahan ke arah yang lebih
baik lagi atau kemajuan. Manfaat yang bisa didapat ketika seseorang menggunakan
pendekatan filosofis dalam kajian nya adalah sebagai berikut:[13]
1. Agar
hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami
secara seksama.
2. Setiap individu dapat memberi makna terhadap segala sesuatu yang
dijumpainya dan mengambil hikmah sehingga ketika melakukan ibadah atau apa pun,
ia tidak mengalami degradasi spriritualitas yang menimbulkan kebosanan.
3. Membentuk pribadi yang selalu berpikir kritis (critical
thought).
4. Adanya kebebasan intelektual (intellectual freedom).
5. Membentuk pribadi yang selalu toleran.
B. POLA PENDEKATAN FILOSOFIS DALAM KAJIAN
ISLAM
Menggunakan pendekatan filosofis dalam
kajian Islam dapat dideskripsikan dalam dua pola:[14]
1.
Upaya
ilmiah yang dilakukan secara sistematis untuk mengetahui dan memahami serta
membahas secara mendalam seluk beluk atau hal-hal yang berhubungan dengan agama
Islam, baik ajaran, sejarah maupun praktek-praktek pelaksanaannya secara nyata
dalam kehidupan sehari-hari, sepanjang sejarahnya dengan menggunakan paradigma
dan metodologi disiplin filsafat.
2.
Upaya
ilmiah yang dilakukan secara sistematis untuk mengetahui dan memahami serta
membahas nilai-nilai filosofis (hikmah) yang terkandung dalam doktrin-doktrin
ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur'an dan As-Sunnah yang selanjutnya dilaksanakan
dalam praktek-praktek keagamaan.
Untuk menjelaskan pola yang pertama, ada
baiknya jika dijelaskan terlebih dahulu metode yang dapat ditempuh dalam kajian
Islam melalui pendekatan filosofis. Sebagai suatu metode, pengembangan suatu
ilmu, dalam hal ini kajian Islam, memerlukan empat hal sebagai berikut:[15]
1.
Bahan
Bahan-bahan
yang akan digunakan untuk pengembangan didiplin ilmu. Dalam hal ini dapat
berupa bahan tertulis yaitu, Al-Qur'an dan As-Sunnahserta pendapat para ulama
atau filosof. Dan bahan yang diambil dari pengalaman empirik dalam praktek
keberagamaan.
2.
Metode
pencarian bahan
Metode
pencarian bahan, untuk mencari bahan-bahan yang bersifat tertulis dapat
dilakukan melalui studi kepustakaan dan studi lapangan yang masing-masing
prosedurnya telah diatur sedemikian rupa.
3.
Metode
pembahasan,
Metode
pembahasan, untuk ini Muzayyin Arifin mengajukan alternatif metode
analitis-sintetis, yaitu metode yang berdasarkan pendekatan rasional dan logis
terhadap sasaran pemikiran secara induktif, deduktif, dan analisa ilmiah.
4.
Pendekatan.
Pendekatan
biasanya diperlukan dalam analisa, dan berhubungan dengan teori-teori keilmuan
tertentu yang akan dipilih untuk menjelaskan fenomena tertentu pula. Dalam hubungan
ini pendekatan lebih merupakan pisau yang akan digunakan dalam analisa. Ia
semacam paradigma (cara pandang) yang digunakan untuk menjelaskan suatu
fenomena. Hal ini selanjutnya erat hubungannya dengan disiplin keilmuan.
Sedangkan dalam pola kedua, pendekatan
filosofis dilakukan untuk mengurai nilai-nilai filosofis atau hikmah yang
terkandung dalam doktrin-doktrin ajaran Islam yang terdapat dalam Al-Qur'an dan
As-Sunnah,
seperti hikmah dalam penerapan syariat Islam
atau hikmah dalam perintah tentang shalat, puasa, haji, dan sebagainya. Pola
ini banyak ditempuh oleh beberapa ulama, antara lain Imam As-Syatibi melalui
karyanya: Al-Muwafaqatu fi Ushul Al-Syariati.
Pola pendekatan tersebut diharapkan agar
seseorang tidak akan terjebak pada pengamalan agama yang bersifat
formalistik, yakni mengamalkan agama dengan susah payah tapi tidak
memiliki makna apa-apa, kosong tanpa arti. Yang mereka dapatkan dari
pengamalan agama tersebut hanyalah pengakuan formalistik, misalnya sudah
haji, sudah menunaikan rukun Islam yang kelima, dan berhenti sampai di
situ. Mereka tidak dapat merasakan nilai-nilai spiritual yang terkandung
di dalamnya. Namun demikian, pendekatan filosofis ini tidak berarti menafikan
atau menyepelekan bentuk pengamalan agama yang bersifat formal. Filsafat
mempelajari segi batin yang bersifat esoterik, sedangkan bentuk (forma)
memfokuskan segi lahiriah yang bersifat eksoterik.[16]
C. MODEL PENDEKATAN FILOSOFIS DALAM KAJIAN
ISLAM
Jamali Sahrodi menyebutkan setidaknya
ada tiga jenis atau model yang termasuk pendekatan filsafat modern
(kontemporer) yang digunakan dalam kajian Islam, yaitu: pendekatan
hermeneutika, pendekatan teologi-filosofis, dan pendekatan tafsir falsafi.
1.
Pendekatan
Hermeneutik
Kata
hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan, dan dari kata hermeneuein ini
dapat ditarik kata benda hermenia yang berarti penafisran atau
interprestasi dan hermeneutes yang berarti interpreter (penafsir).
Kata ini sering diasosiasikan dengan nama salah seorang dewa Yunani, Hermes
yang dianggap sebagai utusan para dewa bagi manusia. Hermes adalah utusan para
dewa di langit untuk membawa pesan kepada manusia.[17]
Hermeneutika
secara terminologis dapat didefinisikan sebagai tiga hal:[18]
a.
Mengungkapkan
pikiran seseorang dalam kata-kata, menerjemahkan dan bertindak sebagai
penafsir.
b.
Usaha
mengalihkan dari suatu bahasa asing yang maknanya gelap tidak diketahui ke
dalam bahasa lain yang bisa dimengerti oleh si pembaca.
c.
Pemindahan
ungkapan pikiran yang kurang jelas, diubah menjadi bentuk ungkapan yang lebih
jelas.
Fungsi
hermeneutika adalah untuk mengetahui makna dalam kata, kalimat dan teks.
Hermeneutika juga berfungsi menemukan instruksi dari simbol. Menurut Josef
Bleicherr, hermeneutika dapat dipetakan menjadi tiga bagian, yaitu:[19]
a.
Hermeneutika
sebagai metodologi.
b.
Hermeneutika
sebagai filsafat/filosofis.
c.
Hermeneutika
sebagai kritik.
Salah
satu kajian penting hermeneutik adalah bagaimana merumuskan relasi yang pas
antara nash (text), penulis atau pengarang (author), dan pembaca (reader)
dalam dinamika pergumulan penafsiran/pemikiran nash termasuk dalam nash-nash
keagamaan dalam Islam. Perlu disadari, semestinya kekuasaan (otoritas) atas
nash adalah hanya mutlak menjadi hak Tuhan. Hanya Tuhan sajalah yang (author)
yang tahu persis apa yang sebenarnya Dia kehendaki dan maui dalam
firman-firman-Nya sebagaimana tertuang dalam nash. Manusia sebagai
penafsir (reader), hanya mampu memosisikan dirinya sebagai penafsir atas
nash yang diungkapkan Tuhan dengan segala kekurangan dan
keterbatasannya. Dengan demikian, penafsiran yang paling relevan dan paling
benar mestinya hanyalah keinginan dan kehendak si pengarang, dan bukan terletak
di tangan penafsir.[20]
Istilah
hermeneutika dalam pengertian teori penafsiran kitab suci ini pertama kali
dimunculkan oleh J.C. Dannhauer dalam bukunya Hermeneutica Sacra Siva Methodus
Expondarum Sacrarum Litterarum. Istilah hermeneutika dalam hal ini
dimaksudkan sebagai kegiatan memahami kitab-kitab suci yang dilakukan para
agamawan. Kata hermeneutika dalam pengertian ini muncul pada abad 17-an,
meskipun sebenarnya kegiatan penafsiran dan pembicaraan tentang teori-teori
penafsiran, baik itu terhadap kitab suci, sastra maupun dalam bidang hukum,
sudah berlangsung sejak lama. Dalam agama Yahudi misalnya, tafsir terhadap
teks-teks Taurat dilakukan oleh para ahli kitab, yaitu mereka yang membaktikan
hidupnya untuk mempelajari dan menafsirkan hukum-hukum agama yang dibawa oleh
para Nabi. Berbeda dengan kaum Yahudi, awal tradisi Kristen dengan pengalaman
akan Yesus yang dianggap wafat dan bangkit lagi, juga menerapkan tafsir pada
teks-teks Perjanjian Lama, dimana tafsir tersebut bisa dikategorikan
hermeneutika, karena Perjanjian Lama dipahami secara Kristiani dan hasilnya
kemudian disebut Perjanjian Baru.[21]
Pada
perkembangan selanjutnya ketika memasuki zaman modern, munculah Friedrich Ernst
Daniel Schleiermacher, seorang pendeta yang nantinya dianggap sebagai bapak hermeutika
modern karena ''melahirkan kembali'' hermeneutika
melalui konsep hermeneutikanya yang disebut sebagai Hermeneutika Romantik.[22]
Istilah
hermeneutika sendiri dalam sejarah keilmuan Islam, khususnya tafsir Al-Qur'an klasik, memang tidak ditemukan. Istilah tersebut popular justru dalam masa
kemunduran. Meski demikian, menurut Farid Esack, sebagaimana dikutip Fakhruddin Faiz,
dalam bukunya Qur`an: Liberation and Pluralism, praktik hermeneutika
sebenarnya telah dilakukan oleh umat Islam sejak lama, khususnya ketika
menghadapi Al-Qur'an. Bukti dari hal itu adalah:[23]
a.
Problematika
Hermeneutik senantiasa dialami dan dikaji, meski tidak ditampilkan
secara definitif. Hal ini terbukti dari kajian-kajian mengenai asbabun nuzul dan
nasakh-mansukh.
b.
Perbedaan
antara komentar komentar yang aktual terhadap Al-Qur'an (tafsir) dengan
aturan, teori atau metode penafsiran telah ada sejak mulai munculnya
literatur-literatur tafsir yang disusun dalam bentuk ilmu tafsir.
c.
Tafsir
tradisional itu selalu dimasukkan dalam kategori-kategori, misalnya tafsir syiah, tafsir mu'tazilah, tafsir hukum,
tafsir filsafat, dan lain sebagainya. Hal itu menunjukan adanya
kelompok-kelompok tertentu, ideologi-ideologi tertentu,
periode-periode tertentu, maupun horisonhorison tertentu dari
tafsir.
Dalam
dunia pemikiran Islam, Hassan Hanafi yang pertama kali memperkenalkan
Hermeneutika dalam bukunya berjudul: Les Methods d'Exeges, Essai sur La
Science de Fordements de la Comprehension, ilm Ushul Al-Fiqh.[24]
Selain Hassan Hanafi, di Mesir ada Muhammad Abduh dan Nasr Hamid Abu Zayd tokoh
islam yang menggeluti kajian hermeneutika, di India, Ahmad Khan, Amir Ali dan
Ghulam Ahmad Parves, yang berusaha melakukan demitologisasi konsep-konsep
dalam Al- Qur'an yang dianggap bersifat mitologis, di Aljazair, muncul
Mohammed Arkoun yang menggagas ide cara baca semiotik terhadap Al-Qur'an, kemudian Fazlurrahman yang
merumuskan hermeneutika semantik terhadap Al-Qur'an, dan kemudian dikenal
sebagai double movement.[25]
2.
Pendekatan Teologis Filosofis
Kajian
keislaman dengan menggunakan pendekatan teologi-filosofis bermula dari
kemunculan pemahaman rasional di kalangan mutakallimin (ahli kalam) di kalangan umat Islam yaitu Mazhab
Mu'tazilah.
Mu'tazilah menyodorkan konsep-konsep
teologi (ilmu kalam) dengan berbasiskan metodologi dan epistemologi disiplin
filsafat Yunani yang pada saat itu tengah berpenetrasi dalam perkembangan
intelektual dunia Islam (masa pemerintahan Bani Abbas) akibat proyek
penterjemahan ilteraturliteratur Yunani yang dilakukan para sarjana muslim pada
kurun waktu tersebut. Kehadiran mazhab teologi rasional ini berupaya memberikan
jawaban-jawaban dengan pendekatan filosofis atas doktrin-doktrin pokok Tauhid
yang pada saat itu tengah menjadi materi-materi perdebatan dalam blantika
pemikiran Islam.
Kemunculan gerakan Mu'tazilah
merupakan tahap yang amat terpenting dalam sejarah
perkembangan intelektual Islam. Meskipun bukan golongan rasionalis murni, namun
jelas mereka adalah pelopor yang amat bersungguhsungguh untuk digiatkannya
pemikiran tentang tentang ajaran-ajaran pokok Islam secara lebih sistematis.
Sikap mereka yang rasionalistik dimulai dengan titik tolak bahwa akal mempunyai
kedudukan yang sama dengan wahyu dalam memahami agama. Sikap ini adalah
konsekwensi logis dari dambaan mereka kepada pemikiran sistematis. Kebetulan
pula pada masa-masa akhir kekuasaan Umayyah itu sudah terasa adanya gelombang
pengaruh Hellenisme di kalangan umat Islam. Karena pembawa rasional mereka, kaum
Mu'tazilah merupakan kelompok pemikir muslim yang dengan cukup antusias
menyambut invasi filsafat itu. Meskipun terdapat berbagai kesenjangan untuk
memberi sistem kepada faham Mu'tazilah tingkat awal itu, namun tesis-tesis
mereka jelas merupakan sekumpulan dogma yang ditegakkan di atas prinsip-prinsip
rasional
tertentu. Karena berpikir rasional dan sistematis itu sesungguhnya tuntutan
alami agama Islam, maka penalarannya, di bidang lain, juga menghasilkan pemikiran
yang rasional dan sistematis pula, seperti di bidang hukum syari'ah yang
dirintis oleh Imam Syafi'i, perumus pertama prinsip-prinsip jurisprudensi
(Ushul Al-Fiqh).[26]
Pada era pemikiran Islam
kontemporer, kajian Islam dengan pendekatan teologi-filosofis banyak dilakukan
oleh beberapa tokoh orientalis (outsider) seperti dilakukan oleh W. Montgomery
Watt melalui karyanya, Free Will and Predestination in Early Islam (1948),
Islamic Theology and Theology (1960), dan The Formative Period of Islamic
Thought (1973). Sumber-sumber kajian kalam (teologi oleh para sarjana barat
banyak memanfaatkan literatur teologi Islam klasik seperti karya-karya
Al-Syahrastani seperti Al-Milal wa Al-Nihal, Al-Baghdadi, Al-Farq Bayn Al-Firaq
dan Al-Asy'ari, Maqalat Al-Islamiyyin.[27]
3.
Pendekatan
Tafsir Falsafi
Al-Dzahabi,
sebagaimana dikutip Jamali Sahrodi, menjelaskan bahwa tafsir falsafi adalah
penafsiran ayat-ayat Al-Qur'an berdasarkan pendekatan-pendekatan filosofis,
baik yang berusaha untuk mengadakan sintesis dan sinkretisasi antara
teori-teori filsafat dengan ayat-ayat Al-Qur'an maupun yang berusaha menolak
teori-teori filsafat yang dianggap bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur'an.
Timbulnya tafsir jenis ini tidak terlepas dari perkenalan umat Islam dengan
filsafat Hellenisme yang kemudian merangsang mereka untuk menggelutinya
kemudian menjadikannya sebagai alat untuk menganalisis ajaran-ajaran Islam,
khususnya Al-Qur'an.[28]
Tafsir
falsafi juga diartikan sebagai suatu tafsir yang bercorak filsafat. Dalam
menjelaskan makna suatu ayat, mufassir mengutip atau merujuk pendapat para
filsuf. Persoalan yang diperbincangkan dalam suatu ayat dimaknai atau
didefinisikan berdasarkan pandangan para ahli filsafat. Makna suatu ayat
ditakwilkan sehingga sesuai dengan pandangan mereka.[29]
Ibnu
Sina adalah salah satu contoh tokoh yang berkecenderungan tafsir jenis ini
ketika menjelaskan ayat-ayat Al-Qur'an. Salah satu karyanya dalam bidang ini
adalah al-isyarat wal tanbihat: al-qismu tsani al-taii'ah, salah satu
contoh dari tafsir falsafi Ibnu Sina, dalam hal penafsiran filosofis, sebagai
berikut:[30]
*
ª!$#
âqçR
ÅVºuq»yJ¡¡9$#
ÇÚöF{$#ur
4
ã@sWtB
¾ÍnÍqçR
;o4qs3ô±ÏJx.
$pkÏù
îy$t6óÁÏB
(
ßy$t6óÁÏJø9$#
Îû
>py_%y`ã
(
èpy_%y`9$#
$pk¨Xr(x.
Ò=x.öqx.
AÍhß
ßs%qã
`ÏB
;otyfx©
7p2t»t6B
7ptRqçG÷y
w
7p§Ï%÷°
wur
7p¨Î/óxî
ß%s3t
$pkçJ÷y
âäûÓÅÓã
öqs9ur
óOs9
çmó¡|¡ôJs?
Ö$tR
4
îqR
4n?tã
9qçR
3
Ïöku
ª!$#
¾ÍnÍqãZÏ9
`tB
âä!$t±o
4
ÛUÎôØour
ª!$#
@»sWøBF{$#
Ĩ$¨Y=Ï9
3
ª!$#ur
Èe@ä3Î/
>äóÓx«
ÒOÎ=tæ
ÇÌÎÈ
Artinya:
Allah
(Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah
seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar.
Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya)
seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya,
(yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak
pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi,
walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah
membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat
perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Ibnu Sina mengatakan bahwa Nur mempunyai makna ganda, denotatif dan
konotatif. Makna denotatifnya adalah penerangan yang sempurna, sedangkan makna
konotatfnya adalah kebaikan dan faktor penyampai kepada kebaikan. Makna yang
dimaksudkan disini adalah kedua-duanya, yakni bahwa Allah SWT adalah dzat yang
maha baik dan penyebab dari semua kebaikan. Ungkapan as-samawati wal-ardhi merupakan
ungkapan dari universalitas. Kata misykat (lentera) merupakan ungkapan
dari akal material (al-aqlul-huyuli) dan jiwa yang berakal. Karena misykat
itu dekat dengan dinding, maka daya pantulnya lebih kuat dan cahayanya
lebih banyak. Demikian juga dengan akal, sebenarnya menyerupai cahaya (nur).
Yang dilambangkan dengan misykat (lentera) adalah akal material yang
kaitannya dengan akal mustafad (acquired intelect) adalah
bagaikan kaitan misykat dengan cahaya. Sementara mishbah (lampu)
sebenarnya merupakan ungkapan dari akal mustafad itu sendiri. Hubungan
akal mustafad dengan akal material adalah seperti hubungan mishbah
dengan misykat. Adapun kata fi zujajah
(kaca), ditafsirkan bahwa hubungan antara akal material dan akal mustafad
pada sisi lain adalah seperti hubungan yang terjadi antara penerang dan mishbah.
Hubungan ini tidak dapat dicapai kecuali dengan perantara sumbu. Dari sumbu itu
muncul az-zujajah karena dia adalah penerang yang menerima cahaya.[31]
Selain tiga model pendekatan filsafat
dalam kajian Islam yang telah disebut di atas, Tasawuf Falsafi juga bisa
disebut sebagai disiplin kajian berpendekatan filsafat. Tasawuf falsafi, atau
biasa juga disebut tasawuf nazhari, merupakan tasawuf yang
ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional sebagai
pengasasannya. Tasawuf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam
pengungkapannya. Terminologi filosofis tersebut berasal dari bermacam-macam
ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya.[32]
D. PENDEKATAN FILOSOFIS DALAM KAJIAN ISLAM
Untuk
memahami pendekatan filosofis dalam kajian Islam,
maka akan diuraikan menjadi dua yaitu: filsafat dalam islam dan aplikasi
pendekatan filosofis dalam kajian Islam.
1. Filsafat dalam Islam
Dalam bahasa Arab "hikmah dan
hakim", bisa diterjemahkan dengan arti "filsafat dan filsofol".
Kata "hukamul islam" bisa berarti "falasifatul islam".
Hikmah adalah perkara tertinggi yang bisa dicapai oleh manusia dengan melalui
alat-alat tertentu, yaitu akal dan metode berpikirnya, sebagaimana yang disebutkan dalam
firman Allah SWT:[33]
÷rr& É©9$%x. §tB 4n?tã 7ptös% }Édur îptÍr%s{ 4n?tã $ygÏ©ráãã tA$s% 4¯Tr& ¾Çósã ÍnÉ»yd ª!$# y÷èt/ $ygÏ?öqtB ( çms?$tBr'sù ª!$# sps($ÏB 5Q$tã §NèO ¼çmsVyèt/ ( tA$s% öN2 |M÷VÎ7s9 ( tA$s% àM÷VÎ7s9 $·Böqt ÷rr& uÙ÷èt/ 5Qöqt ( tA$s% @t/ |M÷VÎ7©9 sps($ÏB 5Q$tã öÝàR$$sù 4n<Î) ÏB$yèsÛ Î/#u°ur öNs9 ÷m¨Z|¡tFt ( öÝàR$#ur 4n<Î) Í$yJÏm n=yèôfuZÏ9ur Zpt#uä ÂZ$¨Y=Ïj9 ( öÝàR$#ur n<Î) ÏQ$sàÏèø9$# y#ø2 $ydãų^çR §NèO $ydqÝ¡õ3tR $VJóss9 4 $£Jn=sù ú¨üt7s? ¼çms9 tA$s% ãNn=ôãr& ¨br& ©!$# 4n?tã Èe@à2 &äóÓx« ÖÏs% ÇËÎÒÈ
Artinya:
Atau (tidakkah
engkau pelik memikirkan wahai Muhammad) tentang orang yang melalui sebuah
negeri yang telah runtuh segala bangunannya, orang itu berkata: "Bagaimana
Allah akan menghidupkan (membina semula) negeri ini sesudah matinya (rosak
binasanya)?" Lalu ia dimatikan oleh Allah (dan dibiarkan tidak berubah)
selama seratus tahun, kemudian Allah hidupkan dia semula lalu bertanya
kepadanya: "Berapa lama engkau tinggal (di sini)?" Ia menjawab:
"Aku telah tinggal (di sini) sehari atau setengah hari". Allah
berfirman: "(Tidak benar), bahkan engkau telah tinggal (berkeadaan
demikian) selama seratus tahun. Oleh itu, perhatikanlah kepada makanan dan
minumanmu, masih tidak berubah keadaannya, dan perhatikanlah pula kepada
keldaimu (hanya tinggal tulang-tulangnya bersepah), dan Kami (lakukan ini ialah
untuk) menjadikan engkau sebagai tanda (kekuasaan Kami) bagi umat manusia; dan
lihatlah kepada tulang-tulang (keldai) itu, bagaimana Kami menyusunnya kembali,
kemudian Kami menyalutnya dengan daging". Maka apabila telah jelas
kepadanya (apa yang berlaku itu), berkatalah dia: Sekarang aku mengetahuinya
(dengan yakin), sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu".
Ayat diatas, memiliki pengertian bahwa
Allah SWT menganugerahkan Al-Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al-Qur'an dan
As-Sunnah) kepada siapa yang dikehendakin-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi
hikmah, ia benar-beanr telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya
orang–orang yang berakal yang dapat mengambil pelajaran (dari fiman Allah SWT).
Datangnya hikmah itu bukan dari
penglihatan saja, tetapi juga dari penglihatan dan dan hati, atau dengan mata
hati dan pikiran yang tertuju kepada alam yang ada disekitarnya. Karena itu
kadangkala ada orang yang melihat tetapi tidak memperhatikan (melihat dengan
mata hati dan berpikir), sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah SWT:[34]
óOn=sùr& (#rçÅ¡o Îû ÇÚöF{$# tbqä3tGsù öNçlm; Ò>qè=è% tbqè=É)÷èt !$pkÍ5 ÷rr& ×b#s#uä tbqãèyJó¡o $pkÍ5 ( $pk¨XÎ*sù w yJ÷ès? ã»|Áö/F{$# `Å3»s9ur yJ÷ès? Ü>qè=à)ø9$# ÓÉL©9$# Îû ÍrßÁ9$# ÇÍÏÈ
Artinya:
Maka apakah
mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu
mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat
mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta,
ialah hati yang di dalam dada.
Agama Islam memberikan memberikan
penghargaan yang tinggi terhadap akal, tidak sedikit ayat-ayat Al-Qur'an yang
mengajurkan dan mendorong supaya manusia banyak berpikir dan menggunakan
akalnya. Di dalam Al-Qur'an dijumpai perkataan yang berakar dari ‘aql (akal)
sebanyak 49 kali, yang semuanya dalam bentuk kata kerja aktif, seperti aquluh,
ta’qilun, na’qil, ya’qiluha, dan ya’qilun. Dan masih banyak lagi kata yang di
pakai dalam Al-Qur'an yang menggambarkan perbuatan berpikir diantaranya:
a. Nazhara[35]
ÌÝàYuù=sù ß`»|¡RM}$# §NÏB t,Î=äz ÇÎÈ t,Î=äz
`ÏB
&ä!$¨B
9,Ïù#y
ÇÏÈ ßlãøs .`ÏB Èû÷üt/ É=ù=Á9$# É=ͬ!#u©I9$#ur ÇÐÈ
Artinya:
Setelah mengetahui yang demikian), maka
hendaklah manusia memikirkan: dari apa ia diciptakan(5) Ia diciptakan dari air
(mani) yang memancut (ke dalam rahim)(6) Yang keluar dari "tulang
sulbi" lelaki dan "tulang dada" perempuan(7)
b. Tadabbara[36]
ë=»tGÏ. çm»oYø9tRr& y7øs9Î) Ô8t»t6ãB (#ÿrã/£uÏj9 ¾ÏmÏG»t#uä t©.xtFuÏ9ur (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇËÒÈ
Artinya:
Ini adalah
sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka
memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang
mempunyai fikiran.
Selain itu di dalam Al Quran juga
terdapat sebutan-sebutan yang memberi sifat berpikir bagi seorang muslim,
diantaranya:
a. Ulul Al-Bab[37]
ôs)s9 c%x. Îû öNÎhÅÁ|Ás% ×ouö9Ïã Í<'rT[{ É=»t6ø9F{$# 3 $tB tb%x. $ZVÏtn 2utIøÿã `Å6»s9ur t,ÏóÁs? Ï%©!$# tû÷üt/ Ïm÷yt @ÅÁøÿs?ur Èe@à2 &äóÓx« Yèdur ZpuH÷quur 5Qöqs)Ïj9 tbqãZÏB÷sã ÇÊÊÊÈ
Artinya:
Sesungguhnya
pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai
akal. Al Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan
(kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai
petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.
b. Ulul Abshar[38]
Ü=Ïk=s)ã ª!$# @ø©9$# u$yg¨Y9$#ur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºs Zouö9Ïès9 Í<'rT[{ Ì»|Áö/F{$# ÇÍÍÈ
Artinya:
Allah
mempergantikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat
pelajaran yang besar bagi orang-orang yang berpikir.
c. Ulin Nuha[39]
öNn=sùr& Ïöku öNçlm; öNx. $uZõ3n=÷dr& Nßgn=ö7s% z`ÏiB Èbrãà)ø9$# tbqà±øÿs Îû öNÍkÈ]Å3»|¡tB 3 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºs ;M»tUy Í<'rT[{ 4sSZ9$# ÇÊËÑÈ
Artinya:
Maka tidakkah
menjadi petunjuk bagi mereka (kaum musyrikin) berapa banyaknya Kami
membinasakan umat-umat sebelum mereka, padahal mereka berjalan (di bekas-bekas)
tempat tinggal umat-umat itu?
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang
berakal.
Semuanya bentuk ayat-ayat tersebut
mengandung anjuran, dorongan bahkan memerintahkan kepada pemeluknya untuk
berfilsafat. Manusia adalah makhluk berfikir, yang dalam segala aktifitas
kehidupannya selaluu berujung kepada mencari kebenaran tentang sesuatu.
Misalnya dalam mencari jawaban tentang hidup, berarti dia mencari kebenaran
tentang hidup. Jadi dengan demikian manusia adalah makhluk pencari kebenaran .
dalam proses mencari kebenaran ini manusia menggunakan tiga instrumen, yaitu
dengan agama, filsafat dan dengan ilmu pengetahuan. Antara ketiganya mempunyai
titik persamaan, dan titik singgung.[40]
2. Aplikasi Pendekatan Filosofis dalam
Kajian Islam
Untuk
membawa pendekatan filosofis dalam tataran aplikasi kita tidak bisa lepas dari
pengertian pendekatan filosofis yang bersifat mendalam, radikal, sistematik dan
universal. Karena sumber pengetahuan pendekatan filosofis adalah rasio, maka
untuk melakukan kajian dengan pendekatan ini akal mempunyai peranan yang sangat
signifikan.
Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas dan inti yang terdapat di
balik yang bersifat lahiriah, sebagai contoh "kita jumpai berbagai bentuk rumah dengan kualitas yang
berbeda, tatapi semua rumah itu intinya adalah sebagai tempat tinggal". Kegiatan berpikir untuk menemukan
hakikat itu dilakukan secara mendalam, berpikir secara filosofis tersebut
selanjutnya dapat digunakan dalam memahami ajaran agama, dengan maksud agar
hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami
secara seksama.
Menurut Musa Asy’ari Filsafat islam dapatlah diartikan sebagai kegiatan
pemikiran yang bercorak islami, islam di sini menjadi jiwa yang mewarnai suatu
pemikiran, filsafat disebut islam bukan karena yang melakukan aktivitas
kefilsafatan itu orang yang beragama islam, atau orang yang berkebanggaan Arab
atau dari segi obyeknya yang membahas mengenai pokok-pokok keislaman.[41]
Menurut
Muhamad
Al-Jurjawi,
pendekatan filosofis dalam kajian Islam berusaha mengungkapkan hikmah yang terdapat di
balik ajaran-ajaran agama Islam. Agama misalnya mengajarkan agar melaksanakan
shalat berjamaah. Tujuannya antara lain agar seseorang merasakan hikmahnya
hidup secara berdampingan dengan orang lain. Melalui pendekatan filosofis ini,
seseorang tidak akan terjebak pada pengalaman agama yang bersifat formalistik,
yakni mengamalkan agama dengan susah payah tapi tidak memiliki makna apa-apa,
kosong tanpa arti. Yang mereka dapatkan dari pengalaman agama tersebut hanyalah
pengakuan formalistik, misalnya sudah haji, sudah menunaikan rukun Islam yang
kelima, dan berhenti sampai di situ. Mereka tidak dapat merasakan nilai-nilai
spiritual yang terkandung di dalamnya. Namun demikian, pendekatan filosofis ini
tidak berarti menafikan atau menyepelekan bentuk pengalaman agama secara
formal. Filsafat mempelajari segi batin yang bersifat esoterik. Sedangkan
bentuk (formal) memfokuskan segi lahiriah yang bersifat eksoterik.[42]
Untuk
lebih memperjelas aplikasi pendekatan filosofis dalam kajian Islam berdasarkan
penjelasan dari berbagai ahli, maka akan dipaparkan contoh dari hadist
Rasullullah SAW yang berkenan dengan larangan melukis, sebagai berikut:
عَنْ عَبْدِ
اللهِ بنُ مَسْعُوْدِ قَالَ: سَمِعْتُ النبِيَ صلي الله عليه وسلم، يَقُوْلُ:
أَنْ اشَدَّ النَّاسَ عَذَابًا عِنْدَ اللهِ يَوْمَ القِيَامَةِ المصوِّرُوْن (رواه البخارى
ومسلم وأحمد)
Artinya:
Dari Abdillah bin Mas'ud, berkata: saya mendengarkan Nabi Muhammad
SAW, berkata: sesungguhnya orang yang paling dahsyat siksanya di sisi Allah
pada hari kiamat adalah para pelukis.[43]
Secara
tekstual hadist ini memberi pengertin adanya larangan melukis (makhluk yang
bernyawa), bahkan para imam mazhab sepakat akan keharaman menggambar,
memajangnya dan menjualnya.[44]
Kesimpulan seperti ini bisa dipahami, karena banyaknya riwayat mengenai masalah
tersebut. Sebagaimana juga diriwayatkan pada hadist yang lain, bahwa para
pelukis pada hari kiamat kelak dituntut untuk memberikan nyawa kepada apa yang
pernah dilukisnya di dunia. Malaikat juga tidak akan masuk di rumah yang di
dalamnya ada lukisannya.
Kita perlu melihat kembali kondisi sosio-historis pada
waktu hadist tersebut dituturkan Nabi. Hal tersebut berkaitan dengan kondisi
kejiwaan masyarakat ketika itu, di mana mereka secara psikologis belum lama
terlepas dari kepercayaan menyekutukan Allah SWT, yakni menyembah patung-patung
berhala. Dalam kapasitasnya sebagai Rasulullah SAW, Nabi berusaha keras agar
umat Islam terlepas dari kemusyrikan tersebut. Salah satu cara yang ditempuh
dengan mengeluarkan larangan untuk memproduksi dan memajang lukisan atau
berhala. Jika tidak dilakukan, maka mereka akan sulit melepaskan kepercayaan
lama. Jadi hadist ini, secara psikis-antropologis sebenarnya disabdakan dalam
kondisi masyarakat transisi dari kepercayaan animisme ke monoteisme, sehingga
perlu adanya larangan keras terhadap praktik yang dapat menjerumuskan ke dalam
kemusyrikan.
Persoalannya sekarang adalah bagaimana jika kondisi masyarakat
sudah berubah, di mana masyarakat dengan perkembangan pemikirannya sudah berada
pada tahap yang lebih baik atau dimungkinkan tidak lagi dikhawatirkan
terjerumus ke dalam kemusyrikan. Apakah melukis patung masih tidak dibenarkan?
Atau mungkin bisa saja, saat ini bukan lagi simbolik patung yang menyebabkan
seseorang menjadi syirik, tetapi pemujaan terhadap figur–figur di bidang
kesenian yang membuat penggemarnya gila dan histeris, misalnya seperti yang
terjadi pada para fans berat Noah, Shoimah, Maroon 5, Adele, dan lain
sebagainya.
Paparan diatas adalah bentuk penjelasan dan analisa
singkat tentang prinsip-prinsip temporal dan universalitas hadist Nabi sehingga
terealisasi dalam konteks historis dan sosial yang berbeda. Salah satu
perangkat metodologis dalam upaya memahami masa lampau dan kemudian
merekonstruksi makna sebuah matan hadist dalam wacana kekinian dan kedisinian
adalah pendekatan hermeneutik. Dalam pendekatan ini, sebuah matan hadist tidak
mesti dipahami dalam bentuk pemahaman yang monolitik "seragam", karena
sebuah hadist muncul dipengaruhi oleh berbagai segi seperti keadaan social,
alam pikiran, budaya, bahasa pembacanya dan lain sebagainya.
Sehingga dapat dipahami, bahwa Islam
sebagai agama yang banyak menyuruh penganutnya mempergunakan akal pikiran sudah
dapat dipastikan sangat memerlukan pendekatan filosofis dalam memahami ajaran
agamanya. Pendekatan filosofis adalah cara pandang atau paradigma yang
bertujuan untuk menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang
berada di balik objek formanya. Dengan kata lain, pendekatan filosofis adalah upaya sadar
yang dilakukan untuk menjelaskan apa dibalik sesuatu yang nampak. Memahami
ajaran Islam dengan pendekatan filosofis ini dimaksudkan agar seseorang
melakukan pengamalan agama sekaligus mampu menyerap inti, hakikat atau hikmah
dari apa yang diyakininya, bukan sebaliknya melakukan tanpa makna.
BAB III
PENUTUP
Pendekatan
filosofis merupakan salah satu pendekatan yang digunakan dalam kajian Islam
untuk memahami aspek-aspek ajaran Islam dengan metodologi yang biasa digunakan
filsafat atau menelaah dan mengurai nilai-nilai filosofis (hikmah) yang
terkandung dalam doktrin-doktrin ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur'an dan
As-Sunnah sehingga diharapkan ajaran-ajaran Islam tersebut dapat
diinternalisasikan dan diamalkan secara lebih subtansial dan sarat fungsi, tak
kering makna.
Pendekatan
filsafat dalam kajian Islam telah dilakukan banyak tokoh sejak masa klasik
sampai masa kontemporer dalam berbagai disiplin ilmu. Beberapa model pendekatan
filsafat tersebut antara lain: 1). Pendekatan Hermeneutik, 2). Pendekatan
Teologi-Filosofis, 3). Pendekatan Tafsir Falsafi, dan 4). Pendekatan Tasawuf
Falsafi.
Filsafat,
dengan beragam karakteristik dasarnya yang inheren, sendiri berperan mengasah
dan mempertajam penalaran kita, dan juga membongkar kejumudan pola pikir yang
kita warisi begitu saja yang seakan turun dari langit, taken for granted,
pula bagaikan mata kunci yang membuka hijab-hijab formalisme dan irasionalisme
untuk menembus dan menangkap substansi persoalan. Idealitas filsafat inilah
yang diharapkan juga meruhi upaya-upaya kajian Islam dengan menggunakan
pendekatan filsafat agar produk pemikiran yang dilahirkan benar-benar
menunjukan universalitas dan ke-rahmat-an Islam bagi umat, bagi manusia, dan
bagi alam semesta.
Pendekatan filosofis adalah cara
pandang atau paradigma yang bertujuan untuk menjelaskan inti, hakikat, atau
hikmah mengenai sesuatu yang berada di balik objek formanya. Dengan kata lain,
pendekatan filosofis adalah upaya sadar yang dilakukan untuk menjelaskan apa
dibalik sesuatu yang nampak. Memahami ajaran Islam dengan pendekatan filosofis
ini dimaksudkan agar seseorang melakukan pengamalan agama sekaligus mampu
menyerap inti, hakikat atau hikmah dari apa yang diyakininya, bukan sebaliknya
melakukan tanpa makna.
DAFTAR
PUSTAKA
Abuddin Nata, Metodologi
Studi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010)
E. Sumaryono, Hermeneutika: Sebuah Metode
Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999)
Fakhruddin
Faiz, Hermeutika
Qurani,
(Yogyakarta: Qalam, 2007)
Fakhruddin
Faiz, Hermeneutika Al-Qurani, tema-tema Kontroversial, (Yoyakarta:
elSAQ, 2005)
Husein
Heriyanto, Nalar Saintifik Peradaban Islam, (Bandung :
Mizan, 2011)
Husein Aziz, Bahasa Al-Qur’an Perspektif
Filsafat Ilmu, (Pasuruan: Pustaka Sidogiri, 2010)
Hasyimsyah
Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001)
J.S. Poerwadarminta, Kamus
Umum Bahasa Indonesia, Cet. XII, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991)
Jamali
Sahrodi, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008)
Kadar M. Yusuf, Studi Al-Qur'an, (Jakarta: Amzah,
2012)
Khoiruddin
Nasution, Peran Hermeneutika dan Pengelompokan Nash dalam Studi Hukum
Islam Integratif-Interkonektif dalam Jamali Sahrodi, Metodologi Studi Islam,
(Bandung: Pustaka Setia, 2008)
Nurcholis
Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1994), hal.21-22
M. Amin Abdullah, Antologi Studi Islam, Teori&Metodologi,
Cet.I, (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000)
Mark B. Woodhouse, A Preface to Philosophy,
(Belmont California: Wadsworth Publishing Company, 1984)
Musa Asy’ari, Filsafat
Islam Suatu Tinjauan Ontologis, (Yogyakarta: Lembaga Studi
Filsafat Islam, 1992)
Muzairi, Hermeneutika dalam Pemikiran Islam
dalam Hermeneutika Al-Qur'an Mazhab Yogya, (Bandung: Pustaka Islamika, 2003)
Peter
Connoly, Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta : Elkis, 2009)
Sidi Gazalba, Sistematika
Filsafat, Jilid I, Cet. II, (Jakarta: Bulan Bintang,
1967)
Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka
Setia, 2008)
Supiana,
Metodologi Studi Islam, (Jakarta: DitjenPendisKemenag RI, 2012)
Suparlan Suhartono, Dasar-Dasar
Filsafat “Cogito Ergo Sum” Aku Berpikir Maka Aku Ada (Rene Descartes),
Cet. V, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009)
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008)
______________, Islamic Studies Di Perguruan
Tinggi, Pendekatan Integratif-Interkonektif, Cet.I,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006)
[3]
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hal.414
[4] J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hal.280
[5] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat,
Jilid I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hal.15
[6] Suparlan Suhartono, Dasar-Dasar Filsafat “Cogito
Ergo Sum” Aku Berpikir Maka Aku Ada (Rene Descartes), (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2009), hal.46
[7] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), hal.43
[8] M. Amin Abdullah, Antologi Studi Islam,
Teori&Metodologi, (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000),
hal.8
[9]
Ibid, hal.9
[10]______________,
Islamic Studies Di Perguruan Tinggi, Pendekatan
Integratif-Interkonektif, Cet.I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006),
hal.13
[12] Mark
B. Woodhouse, A Preface to Philosophy, (Belmont California:
Wadsworth Publishing Company, 1984), hal.16-19
[13] Omar Mohammad at-Toumy Al-Syaibani, Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, , 1979), hal.35
[14] Abuddin Nata, Op.cit,
hal.22
[19] Khoiruddin Nasution, Peran Hermeneutika dan Pengelompokan Nash
dalam Studi Hukum Islam Integratif-Interkonektif dalam Jamali Sahrodi,
Metodologi Studi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal.18-19
[20] Syahiron Syamsuddin, Hermeneutika
Al-Qur’an, (Yogyakarta: Islamika, 2003), hal.103
[21] Ibid, hal.20-21
[22] Ibid, hal.22
[23] Ibid,
hal.38-39
[24] Muzairi, Hermeneutika
dalam Pemikiran Islam dalam Hermeneutika Al-Qur'an
Mazhab Yogya,
(Bandung: Pustaka Islamika, 2003), hal.30
[25] Fakhruddin Faiz, Hermeneutika
Al-Qurani, tema-tema Kontroversial, (Yoyakarta: elSAQ,
2005), hal.14-15
[28] Kadar M. Yusuf, Studi Al-Qur'an,
(Jakarta: Amzah, 2012), hal.163
[29] Jamali Sahrodi, Op.cit,
hal.113-114
[30] Surat An-Nur, Ayat:35
[31] Husein Aziz, Bahasa Al-Qur’an
Perspektif Filsafat Ilmu, (Pasuruan: Pustaka Sidogiri, 2010), hal.23
[32]
Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2008),
hal.67
[33] Surat Al-Baqarah, Ayat 259
[34] Surat Al-Hajj, Ayat:46
[35] Surat Ath-Thoriq, Ayat:5-7
[36] Surat Ash-Shaad, Ayat:29
[37] Surat Yusuf, Ayat:111
[38] Surat An-Nur, Ayat:44
[39] Surat Thaha, Ayat:128
[40] Hasyimsyah Nasution, Filsafat
Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), hal.18
[41] Musa Asy’ari, Filsafat Islam Suatu Tinjauan Ontologis,
(Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992), hal.13
[42] Abuddin Nata, Op.cit,
hal.45
[43]
Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz I, hal.323-324
[44]
Lukman S. Thahir, Studi Islam Interdisipliner, Aplikasi Pendekatan
Filsafat, Sosiologi dan Sejarah, (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2003), hal.19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar