Selasa, 28 Juli 2015

TAFSIR FAZLURRAHMAN




      1.1. Latar Belakang
Al-Qur’anul Karim adalah sumber tasyri’ pertama bagi umat Muhaammad Saw. Dan kebahagiaan mereka bergantun pada pemahaman maknanya, pengetahuan rahasia-rahasianya dan pemahaman apa yang terkandung di dalamnya. Kemampuan setiap orang dalam memahami lafaz dan ungkapan Qur’an tidak sama, padahal penjelasannya sedemikian gambling dann ayat-ayatnya pun sedemikian rinci. Perbedaan daya nalar diantara  mereka ini adalah suatu hal yang tidak dipertentangkan lagi. Kalangan awam hanya dapat memahami makna-maknanya yang zahir dan pengertian ayat-ayatnya secara global. Sedangkan kalangan cerdik cendekia dan terpelajar akan menyimpulkan pula daripadanya makna-makna yang menarik. Maka tidaklah mengherankan jika Qur’an mendapatkan perhatian besar dari umatnya melalui pengkajian intensif terutama dalan rangka menafsirkan.[1]     
Proses penafsiran telah melalui banyak periode sehingga sampai kepada corak dan bentuk yang sekarang ini yang dituang di dalam berbagai kitab dan karangan. Tafsir telah tumbuh di masa nabi saw, dan beliaulah penafsir awal (al-mufassir al-awwal) terhadap kitab Allah Swt. Beliau menerangkan maksud-maksud wahyu yang diturunkan kepadanya. Sahabat-sahabat Rasul yang mulia, tidak ada yang berani menafsirkan Al-Qur’an ketika Rasul masih hidup. Rasulullah sendirilah yang memikul tugas menafsirkan Al-qur’an.
Setelah Rasulullah saw, wafat barulah para sahabat yang alim yang mengetahui rahasia-rahasia Al-quran dan yang mendapat petunjuk langsung dari Nabi, merasa perlu untuk menerangkan apa yang mereka ketahui dan menjelaskan apa yang mereka pahami tentang maksud-maksud Al-Qur’an.[2] Proses penafsiran ini juga dilakukan di pada masa tabi’it-tabi’in hingga para mufassirin modern.
Salah satu tokoh penafsir penganut aliran modern adalah Fazlur Rahman. Beliau adalah termasuk diantara sekian banyak ulama yang mencoba memahami dan memberikan pemahaman yang berbeda tentang al Qur’an. Lewat karyanya yang berjudul “Major Themes of Qur’an” ini beliau mencoba menawarkan pandangan-pandangan segar dan terkesan amat brillian mengingat kapasitas beliau bukanlah sebagai seorang mufassir. Kitab ini menarik karena penulisnya disamping bukan membidangi persoalan-persoalan tafsir (al qur’an) ia adalah seorang pembaharu dan pemikir islam modern. Sehingga ketika karya ini dibaca, ada nuansa baru yang bisa dipancarkan dari setiap bahasan yang dibuatnya. Mudah-mudahan review sederhana ini bisa menjangkau dan menangkap pesan-pesan sebagaimana maksud buku aslinya.

       1.2. Rumusan Masalah
1.    Bagaimana Biografi Fazlu Rahman ?
2.    Apa yang menjadi tema pokok bahasan Fazlur Rahman  ?

1.3. Tujuan Masalah
1.    Untuk mengetahui Biografi Fazlur Rahman
2.    Untuk mengetahui tema-tema yang menjadi topik bahasan Fazlur Rahman









BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Biografi Fazlur Rahman
a. Latar Belakang Fazlur Rahman
Fazlur Rahman dilahirkan pada tanggal 21 September 1919 di Hazara, suatu daerah di Anak Benua Indo-Pakistan yang sekarang terletak di barat laut Pakistan. Wilayah Anak Benua Indo-Pakistan sudah tidak diragukan lagi telah melahirkan banyak pemikir Islam yang cukup berpengaruh dalam perkembangan pemikiran Islam, seperti Syah Waliyullah al-Dahlawi, Sir Sayyid Ahmad Khan, Amir Allidan, hingga Sir Muhammad Iqbal.  Karena itu tidak mengherankan bila Rahman berkembang menjadi seorang pemikir bebas.  Meskipun terlahir dari keluarga bermazahab Hanafi, Fazlur Rahman mampu melepaskan diri dari sekat-sekat mazhab-mazhab sunni dan mengembangkan pemikirannya secara bebas.
Selain memperoleh pendidikan formal di Madrasah, Rahman juga memperoleh pendidikan agama secara khusus dari ayahnya yang berasal dari Deoban, sebuah madrasah terkenal di Anak benua Indo-Pakistan.[3] Orang tua Fazlur Rahman sangat mempengaruhi pembentukan watak dan keyakinan awal keagamaannya. Melalui ibunya, Fazlur Rahman memperoleh pelajaran berupa nilai-nilai kebenaran, kasih saying, kesetiaan dan cinta. Sedangkan Ayah Fazlur Rahman merupakan penganut mazhab Hanafi yang sangat kuat, namun beliau tidak menutup diri dari pendidikan modern.
Tidak seperti penganut mazhab Hanafi fanatik lainnya ketika itu, Ayahnya berkeyakinan bahwa Islam harus memandang modernitas sebagai tantangan-tantangan dan kesempatan-kesempatan. Pandangan ayahnya inilah yang kemudian mempengaruhi pemikiran dan keyakinan Fazlur Rahman Selain itu, melalui tempaan ayahnya, Fazlur Rahman pada kemudian hari menjadi seorang yang bersosok cukup tekun dalam mendapatkan pengetahuan dari pelbagai sumber, dan melalui ibunyalah kemudian ia sangat tegar dan tabah dalam mengembangkan keyakinan dan pembaruan Islam.
Setelah menamatkan pendidikan menengah, Rahman melanjutkan studinya di  departemen Ketimuran Universitas Punjab, Lahore dan berhasil memperoleh gelar MA dalam bidang Sastra Arab pada Tahun 1942. Karena menganggap mutu pendidikan Tinggi Islam di India rendah, maka pada tahun 1946, Rahman memutuskan mengambil program doktor di Universitas Oxford, Inggris dalam bidang Filsafat Islam dan memperoleh gelar Ph.D pada tahun 1949 dengan desertasi tentang Ibnu Sina. Setelah lulus Rahman tidak langsung kembali ke Pakistan. Ia menetap sementara waktu di Barat sambil menjadi dosen di Universitas Durham, Inggris. Kemudian menjabat assosiciate professor di Institut of Islamic studies, McGill Universitas[4]
Setelah mengembara cukup lama di dunia Barat, pada awal tahun 1960-an Rahman kembali ke Pakistan. Pendidikan formal yang di dapat di Barat serta pengalaman akademisinya di berbagai Universitas Barat dan latar belakang liberalisme di Indo-Pakistan membuatnya menjadi seorang pemikir bebas, kritis dan liberal. Pada tahun 1962, Rahman ditunjuk sebagaiDirektur Lembaga Riset Islam. Pada tahun 1964 Ia ditunjuk dewan Penasehat Ideologi Islam Pemerintah Pakistan. Karena tugas dua lembaga tersebut, Rahman terlibat langsung dalam upaya menafsirkan kembali Islam. Namun, gagasannya sering atau malah selalu, bertentangan dengan pandangan kalangan tradisionalis dan fundamentalis serta menimbulkan kontroversi yang berkepanjangan.
Rahman merasa negerinya belum siap menerima gagasan-gagasan pembaharuannya, maka ia memutuskan untuk meletakkan kedua jabatannya itu dan hijrak ke Los Angeles menjadi visiting professor di Universitas California pada musim semi, 1969. Pada musim gugur ia pergi ke Universitas Chigago sebagai professor pemikiran Islam di universita itu. Ketenaran universitas ini juga disebabkan oleh penunjukan Rahaman sebagai guru besarnya. Tidak kurang delapan belas tahun, Rahman menetap di Chigago, menulis, meneliti dan mengkomunikasikan gagasannya hingga Tuahn memanggilnya pada tanggal 26 Juli 1988, karena serangan jantung.[5]
b. Karya-karya Fazlur Rahman
Pada awalnya, dengan penerbitan bukunya, avecenna’s Psychologi (London,1952), Rahman mulai memperoleh popularitas Internasional. Dalam buku ini ia membuktikan adanya pengaruh seorang filosof dan psikolog Islam muislim, Ibnu Sina (w.1037) terhadap seorang teolog Kristen abad tengah, St.Thomas Aquinas (w.1275). Rahman juga menulis dua buku lain tentang Ibnu Sina: Propechy in Islam (Chigago,1958) dan Avicenna’s de Anima (London;1959). Ia juga dikenal dengan karya-karyanya di bidang kajian tafsir tematik Major Themes of the Qur’an (Menneapolis,1979), di bidang metodologi sejarah Islam Islamic Methodologi in History (1965) dan bidang penidikan Islam Islam and Modernity: Transformation of the Intelectual Tradition (1984). Beberapa karya lain yang tidak kalah pentingnya adalah Philosophy of Mulla Sadra (Albani, 1975), Islam (Chigago,1979) dan Health and Medicine in The Islamic tradition:Change and Identity (New York,1987).[6]
2.2. Tema Pokok Fazlur Rahman Dalam Penafsiran Al-Qur’an
a. Problem Pemahaman Qur’an
            Bagi Rahman problem studi al-qur’an adalah problem pemahaman bukan problem keaslian. Menurut Rahman ada dua problem saat ini yang dihadapi para ahli-ahli muslim terkait dengan pemahaman Qur’an. Problem pertama mereka kurang menghayati relevansi al-Qur’an untuk masa sekarang, dan oleh karena itu mereka tidak dapat menyajikan al-Qur’an untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ummat manusia masa kini; dan yang lebih penting (kedua) mereka kuatir jika penyajian al-Qur’an dalam berbagai hal akan menyimpang dari pendapat-pendapat yang telah diterima secara tradisional. Meskipun penyimpangan itu tidak bisa di hindarkan akan tetapi resiko ini harus dihadapi dengan ketulusan hati dan persepsi.[7]
Menurutnya, yang penting adalah bagaimana memahami al-Qur’an dengan metode yang tepat untuk mengungkap kandungan Qur’an, karena dalam kenyataannya Qur’an itu laksana puncak sebuah gunung es yang terapung, sembilan sepersepuluh darinya di bawah lautan sejarah dan hanya sepersepuiluh darinya yang tampak di permukaan.[8] Karena itulah, untuk memahami Qur’an, orang harus mengetahui sejarah Nabi dan perjuangannya selama kurang lebih dua puluh tiga tahun. Selain itu juga perlu memahami situasi dan kondisi bangsa Arab pada awal Islam serta kebiasaan, pranata-pranata dan pandangan hidup orang Arab.[9]
Dalam Islam and Modenity, Rahman menawarkan dua langkah untuk memahami Qur’an. Pertama, orang harus memahami makna pernyataan Qur’an dengan mengkaji latar belakang historis ketika sebuah ayat diturunkan. Jadi, langkah pertama adalah memahami makna Qur’an sebagai suatu keseluruhan disamping jawaban-jawaban khusus. Langkah kedua, adalah menggeneralisasikan respon-respon khusus dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan moral-sosial umum yang dapat disarikan dari ayat-ayat spesifik dan ratio legisnya.[10]
b. Tema Pokok Al-Qur’an
Dalam buku yang berjudul Tema Pokok al-Qur’an ini, Fazlur Rahman menjabarkan pokok bahasannya menjadi 8 tema utama. Kedelapan tema utama tersebut adalah sebagai berikut: Tuhan, Manusia sebagai Individu, Manusia Anggota Masyarakat, Alam Semesta, Kenabian dan Wahyu, Eskatologi, Setan dan Kejahatan, Lahirnya Masyarakat Islam. Di bawah ini, akan diuraikan secara ringkas isi dari masing-masing tema tersebut;
1.      Tuhan
Fazlur Rahman ingin memfokuskan bab pertama ini pada permasalahan tentang perlunya pemahaman akan adanya Tuhan, keesaan Tuhan, dan akibat-akibat langsung dari masalah-masalah tersebut menurut al-Qur’an. Misalnya, mengapa kita harus mempercayai adanya Tuhan? Mengapa kita perlu meyakini tentang adanya yang lebih tinggi daripada alam ini? Al-Qur’an  menunjukkan keyakinan yang lebih tinggi dari alam itu sebagai “keyakinan dan kesadaran terhadap yang gaib”. Dalam batas-batas tertentu dan melalui wahyu Allah, maka yang “gaib” ini dapat dilihat oleh manusia-manusia tertentu seperti nabi Muhammad.
Fazlurrahman mempertanyakan tentang rasionalitas manusia dalam mengakui setidak-tidaknya mempercayai adanya wujud Tuhan.[11] Dalam pandangan beliau sesungguhnya al qur’an tidak “membuktikan” adanya Tuhan akan tetapi “menunjukkan” cara untuk mengenal Tuhan, melalui alam semesta yang ada.[12]
Terkait dengan permasalahan tersebut, al-Qur’an bertujuan untuk menunjukkan bahwa eksistensi Tuhan itu dapat dipahami bukan sebagai sesuatu yang irrasional melainkan sebagai Kebenaran Tertinggi.  Dalam mencapai tujuan ini, manusia perlu untuk berupaya. Bahkan, manusia harus mendengarkan seruan-seruan dari  al-Qur’an. Ia dikatakan beriman apabila ia mengalihkan perhatiannya pada berbagai fakta yang jelas dan kemudian mengubah fakta-fakta itu menjadi hal yang mengingatkan manusia kepada eksistensi Tuhan. Tuhan adalah dimensi yang memungkinkan adanya dimensi-dimensi lain. Tuhan memberikan arti dan kehidupan pada setiap sesuatu. Tuhan itu serba meliputi. Tuhan itu juga adalah yang esa. Apabila tuhan lebih dari satu maka hanya satu saja yang tampil sebagai Yang pertama. Dalam al-Qur’an dikatakan ”Allah berkata: Janganlah mengambil dua Tuhan karena Dia adalah Esa.”[13] 
2.      Manusia Sebagai Individu
Al-Qur’an dengan lugas menyatakan bahwa manusia itu diciptakan secara alamiah karena Tuhan menciptakan Adam dari tanah (15:26, 28, 33; 6:2; 7:12, dan ayat-ayat lainnya). Setelah manusia terbentuk, Allah kemudian “meniupkan ruh-Ku sendiri” ke dalam diri manusia. Berbeda dengan tradisi filsafat Yunani yang menekankan doktrin dualisme radikal antara jiwa dan raga sebagai unsur yang ada pada manusia, Al-Qur’an tidak mendukung doktrin semacam itu. Tidak disebutkan dalam al-Qur’an, pernyataan bahwa manusia terdiri dari dua buah substansi yang berbeda dan bertentangan, yakni jiwa dan raga.[14]  
Beliau juga menjelaskan hakikat tujuan diciptakannya manusia di muka bumi ini yakni sebgai khalifatullah mengemban amanah Allah SWt.[15] Sekaligus hambatan dan tantangan yang dihadapinya dalam mengemban misi suci itu. Tantangan terbear manusia dalah syaitan karena ia melambangkan sifat kepicikan (dlaif) dan kesempitan fikir. Al-qur’an tidak henti-hentinya menyebutkan kelemahan ini di dalam bentuk dan konteks yang berbeda. Karena kepicikannya kadang manusia berlaku amat sombong tetapi lekas putus asa. Tidak ada mahluk lain yang dapat menjadi sombong dan berputus asa sedemikian gapangnya seperti manusia.[16] Oleh karena itu manusia yang baik harus memiliki keseimbangan yang dalam al qur’an disebut sebagai taqwa. Akar perkataan taqwa adalah waqy, berjaga-jaga atau melindungi diri dari sesuatu dan perkataan taqwa dengan pengertian ini dipergunakan juga dalam al qur’an surat ke-52:27 40:45 76:11.[17]
Selain sebagai individu manusia adalah mahluk sosial, oleh karena itu al qur’an tidak bisa berdiam diri untuk tidak mengatur peri kehdiupannya dalam bermasyarakat. Bahwa tujuan diturunkannya al qur’an adalah menegakkan sebuah tatanan masyarakat yang ethis dan egalitarian , hal ini terlihat di dalam celaannya terhadap disekuilibrum ekonomi dan ketidak adilan sosial dalam masyarakat makkah waktu itu. Pada mulanya celaan itu lebih ditujukan kepada dua aspek yang berkaitan dengan pola hidup bermasyarakat yakni aspek politheisme dan ketimpangan sosial ekonomi yang menibulkan dan menyebebakna perpecahan diantara manusia.[18]
3.      Manusia Anggota Masyarakat
Tegaknya sebuah tata masyarakat yang adil, berdasarkan etika, dan dapat bertahan di muka bumi ini adalah yang menjadi tujuan utama al-Qur’an. Hal ini tampak dalam celaannya terhadap disekuilibrium ekonomi dan ketidakadilan sosial di dalam masyrakat Makkah waktu itu. Selain mencela aspek politheisme yang merupakan symptom dari segmentasi masyarakat, al-Qur’an amat mencela ketimpangan sosio-ekonomi yang ditimbulkan oleh serta yang menyuburkan perpecahan yang sangat tidak diinginkan di antara sesama manusia. Hal ini terus dikecam karena hal inilah yang paling sulit untuk disembuhkan dan yang merupakan inti dari ketimpangan sosial.[19]
Meskipun demikian, Al-Qur’an tidak melarang manusia untuk mencari kekayaan.   Al-Qur’an mengecam pernyalahgunaan kekayaan karena hal tersebut  dapat menghalangi manusia di dalam mencari nilai-nilai yang luhur. Selain itu, sikap tidak mempedulikan orang-orang yang memerlukan bantuan ekonomi ini adalah sikap yang mencerminkan puncak kepicikan dan kesempitan akal (kelemahan dasar dalam diri manusia). Al-Qur’an juga memerintahkan kepada kaum Muslimin bahwa mereka lebih baik mengeluarkan harta kekayaan mereka di atas jalan Allah dan dengan demikian mereka “berpiutang kepada Allah yang akan dibayar Allah dengan berlipat ganda” daripada membungakan uang untuk menghirup darah orang-orang miskin (30:39; 2:245; 5:12,18; 57:11,18; 64:17; 73:20). Terkait dengan keadilan yang merata, al-Qur’an juga menetapkan prinsip bahwa “kekayaan tidak boleh berputar di kalangan orang-orang kaya saja” (59:7).
Dalam level sosial-politik, al-Qur’an ingin menguatkan unit kekeluargaan paling dasar yang terdiri dari kedua orang tua, anak-anak, dan kakek-nenek; dan masyarakat Muslim yang lebih besar dengan meniadakan rasa kesukuan.[20]
Masyarakat Muslimin berdiri karena ideologi Islam. Dalam melaksanakan urusan bersama (pemerintahan) al-Qur’an menyuruh kaum Muslimin untuk menegakkan syura (dewan/majelis konsultatif) di mana keinginan rakyat dapat dikemukakan melalui wakil-wakil mereka. Syura adalah sebuah institusi Arab yang demokratis dari masa sebelum Islam dan yang kemudian didukung oleh al-Qur’an (42:38). Meskipun menghendaki pluralisme institusi-institusi secara liberal dan kemerdekaan individu yang asasi, di dalam kondisi-kondisi tertentu al-Qur’an mengakui bahwa Negara sebagai wakil masyarakat adalah yang tertinggi. Pemberontakan terhadap Negara dapat diganjar dengan hukuman-hukuman yang sangat berat.[21]
 Inti dari keseluruhan hak-hak asasi manusia adalah kesamaan di antara semua ras. Hal ini dibenarkan dan didukung oleh al-Qur’an dimana al-Qur’an menghapuskan setiap perbedaan di antara manusia kecuali perbedaan karena kebajikan dan taqwa. Al-Qur’an menekankan persamaan manusia yang esensial karena di antara semua mahluk hidup bangsa manusia sajalah yang memiliki keunikan. Ada 4 macam kebebasan atau hak-hak asasi yang ditekankan oleh para ahli-ahli hukum Islam, yakni: kebebasan/hak untuk hidup, beragama, mencari nafkah dan memiliki harta kekayaan, dan harga diri (‘irdh). Keeempat hak ini harus dilindungi oleh Negara.  Pelangggaran terhadap hak-hak tersebut adalah “perbuatan aniaya di muka bumi’.
Terkait dengan persamaan di antara laki dan perempuan, al-Qur’an mengatakan: “dan kaum perempuan mempunyai hak-hak mereka (terhadap kaum laki-laki)—tetapi kaum lelaki satu tahap lebih tinggi (daripada kaum perempuan)” (2: 228). Pada dasarnya, al-Qur’an berpandangan bahwa ikatan perkawinan dipertahankan oleh perasaan “cinta dan kasih-sayang” yang wajar (30:21) dan menyatakan “mereka (isterei-isteri kamu) adalah pakaianmu dan kamu adalah pakaian mereka” (2:187). Al-Qur’an mengharuskan suami untuk berlaku lemah lembut terhadap isterinya.[22]
 Tema yang juga amat dinyatakan al-Qur’an adalah bahwa manusia-manusia yang kuat secara terus menerus berusaha mempengaruhi atau menekan manusia-manusia yang lemah agar mereka melakukan tingkah laku yang bertentangan dengan kehendak mereka yang sebenarnya. Al-Qur’an juga mengemukakan bahwa penyelewengan pemimpin-pemimpin agama merupakan faktor terjadinya keruntuhan masyarakat, padahal para pemimpin agama  ini diharapkan dapat sebagai  sumber kekuatan dan regenerasi spiritual masyarakat Penyelewengan dapat ini terjadi ketika hati nurani mereka tidak tergugah apabila mereka melakukan kesalahan. Dengan hati nurani yang macam ini mereka telah mengkompromikan kebenaran dengan “hawa nafsu”.[23]
4.      Alam Semesta
Al-Qur’an hanya  sedikit sekali membicarakan  tentang kejadian alam (kosmologi). Terkait dengan metafisika penciptaan, al-Qur’an mengatakan bahwa alam semesta dan segala sesuatu yang hendak diciptakan Allah di dalamnya tercipta sekedar dengan firman-Nya: “Jadilah!” (2:117; 3:47, 59; 6:73; 16:40; 19:35; 36:82; 40:68). Karenanya, Allah adalah pemilik yang mutlak dari alam semesta dan penguasa  alam semesta yang tak dapat disangkal di samping pemeliharaannya yang maha pengasih. Semua isi alam semesta ini mentaati Allah ‘secara otomatis”, kecuali manusia yang dapat mentaati atau mengingkari Allah. Al-Qur’an menyatakan bahwa keseluruhan alam semesta itu “Muslim” karena setiap sesuatu yang berada di dalamnya (kecuali manusia yang dapat menjadi atau tidak menjadi “Muslim”) menyerah kepada kehendak Allah (3:83), dan setiap sesuatu memuji Allah (57:1; 59:1; 61:1; 17:44; 24:41).[24]
Perbedaan terpenting diantara Allah dengan ciptaan-Nya adalah : Allah itu tak terhingga dan mutlak. Karenanya, setiap sesuatu yang diciptakannya adalah terhingga. Setiap sesuatu mempunyai potensi-potensi tertentu namun betapapun banyaknya potensi-potensi itu tidaklah dapat membuat yang tehingga melampaui keterhinggaannya sehingga menjadi tak terhingga. Inilah yang dimaksud (qadar, qadr, taqdir) dimana segala sesuatu itu tergantung pada Allah. Ketika Allah menciptakan sesuatu, Ia memberikan kekuatan ataupun hukum tingkah laku dan dengan hukum inilah ciptaan-Nya dapat selaras dengan ciptaan-ciptaan-Nya yang lain di dalam alam semesta. Apabila sesuatu ciptaan melanggar hukumnya dan melampaui ukurannya, maka alam semesta menjadi kacau. “ukuran” yang dimaksud sebetulnya mempunyai sebuah bias yang kuat, yakni pola-pola, watak-watak, dan kecenderungan-kecenderungan. Perkataan “ukuran” ini tidak menunjukkan teori predeterminasi (takdir).[25] 


5.      Kenabian dan Wahyu
Fazlur Rahman menyatakan bahwa Kenabian dan wahyu Allah itu berdasarkan kepengasihan Allah dan ketidakdewasaan manusia di dalam persepsi dan motivasi ethisnya. Para nabi adalah manusia-manusia luar biasa yang karena kepekaan mereka, ketabahan dan wahyu Allah yang mereka terima serta yang kemudian mereka sampaikan pada manusia dengan ulet tanpa mengenal takut, dapat mengalihkan hati nurani ummat manusia dari ketenangan tradisional dan tensi hipomoral ke dalam suatu kawasan sehingga mereka dapat menyaksikan Tuhan sebagai Tuhan dan syeitan sebagai syeitan. Al-Qur’an memandang kenabian sebagai sebuah fenomena yang bersifat universal, dimana di setiap pelosok dunia ini pernah tampil seorang Rasul Allah, baik yang disebutkan maupun yang tidak disebutkan di dalam al-Qur’an (40: 78;4 : 164). Ajaran rasul/nabi ini bersifat universal dan harus diyakini dan diikuti oleh semua manusia (inilah maksudnya bahwa kenabian itu tidak dapat dipecah-pecah).[26]
Selain itu, seorang nabi harus berhasil memperoleh dukungan dari kaumnya. Para nabi juga harus bertanggung jawab terhadap penyebarluasan ajaran-ajaran mereka. Sejak awal sejarah Islam, kaum Msilim berpandangan bahwa runtunan Rasul-rasul Allah berakhir dengan Muhammad: “Muhammad bukan bapak dari salah seorang di antara kalian; dia adalah Rasul Allah dan Nabi yang terakhir” (33:40). Ada beberapa penafsiran argumentatif untuk menerangkannya. Yang pertama, adanya evolusi di dalam agama di mana Islam adalah bentuk yang terakhir. Yang kedua, penelaahan terhadap kandungan agama-agama yang ada akan menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang paling memadai dan sempurna. Proposisi ini juga didukung oleh kenyataan bahwa sebelum Islam tidak ada gerakan religius yang bersifat global.
Menurut al-Qur’an, nabi adalah utusan-utusan Allah kepada ummat manusia. Berbeda dengan Bibel, dalam al-Qur’an, Nabi yang “menyampaikan khabar” tidak berarti ‘yang menerangkan keadaan di masa mendatang”, tetapi “ yang menyampaikan kabar dari Allah”. Nabi diutus Allah untuk mencegah kejahatan dan menyampaikan kabar gembira kepada orang-orang yang saleh. Secara tradsional penulis-penulis Muslim tentang al-Qur’an membuat perbedaan antara Nabi dan Rasul. Nabi adalah utusan Allah yang tidak membawakan hukum (syari’ah) dan mungkin pula kitab Allah kepada manusia. Sedangkan rasul adalah utusan Allah yang membawakan hukum dan kitab Allah. Meskipun demikian, perbedaan yang tegas ini masih dapat diragukan kebenarannya karena al-Qur’an menyebut tokoh-tokoh religius tertentu sebagai nabi dan rasul (lih. ayat-ayat 7:158; 19:51,54).  Namun perbedaan ini  telah ada dalam kenyataan bahwa perkataan “nabi” semakin sering dipergunakan dalam al-Qur’an sejak periode Mekkah yang terakhir dan periode Madinah. Rasul itu menyebut peranan yang lebih penting daripada nabi. Sedangkan seorang nabi berperan sekedar sebagai pembantu rasul, misalnya: Harun yang beperanan sebagai pembantu Musa.[27]
Pada dasarnya semua Rasul menyampaikan ajaran yang sama, yakni: hanya ada satu, Tuhan yang Esa yang patut disembah, dicintai, dan ditakuti. Sebagaimana nabi-nabi lainnya, Muhammad adalah “penyampai peringatan dan kabar gembira”, dan misinya adalah untuk menyampaikan wahyu Allah secara terus menerus dan pantang mundur. Ajaran yang disampaikan begitu penting untuk dilaksanakan manusia supaya selamat sehingga Nabi harus berupaya keras keras untuk meyakinkan manusia pada ajaran penting ini. Tidak jarang terjadi penolakan dan hal ini bisa menimbulkan frustrasi.
 Cara penting untuk menghadapi frustrasi macam ini adalah dengan berpaling kepada ayat-ayat al-Qur’an “Kami tidak menurunkan al-Qur’an kepada engkau agar engkau menderita (20:2).  Kepada Muhammad, al-Qur’an mengatakan bahwa ia hanyalah “seorang yang menyampaikan peringatan”, “seorang yang mengingatkan”, “tugasmu hanyalah untuk memberikan pengajaran”, “Engkau bukan penjaga mereka”, “engkau tidak dapat memaksa mereka”, “Allah adalah Dia yang dapat membuat mereka mau mendengarkan siapa-siapa yang dikehendaki-Nya. (11:12; 88:21; 3:20; 5:92, 99; 88:50).  Selain itu, di dalam al-Qur’an banyak sekali bukti-bukti bahwa ketika Nabi pada waktu-waktu tertentu menginginkan perkembangan ke arah tertentu, ternyata wahyu Allah menunjukkan arah yang lain.
Terkait dengan penurunan Wahyu, dinyatakan bahwa pada dasarnya istilah “malaekat” itu tidak tepat dikenakan kepada yang menyampaikan wahyu kepada Muhammad. Kepada Muhammad, al-Qur’an tidak menyatakan bahwa penyampai wahyu itu sebagai malaekat melainkan sebagai Ruh atau Utusan Sipritual. Meskipun demikian jangan lantas dianggap bahwa Ruh Suci itu sangat berbeda dari malaekat-malaekat. Mungkin sekali bahwa Ruh Suci adalah malaekat yang paling mulia dan paling dekat dengan Allah (bandingkan dengan ayat 81:19-21). Bahkan dalam berbagai kesempatan, al-Qur’an menyebutkan malekat-malaekat dan Ruh Suci tersebut secara bersamaaan.  Dinyatakan pula bahwa Wahyu dan Yang Menyampaikanya itu bersifat spiritual dan terjadi di dalam batin Muhammad. (ayat 42:24 Jika Allah menghendaki maka Dia akan mengunci hatimu (wahai Muhammad) sehingga tidak ada lagi Wahyu yang sampai kepadamu).[28]
6.      Eskatologi
Bagian menarik lain dari alqur’an adalah persoalan eskatologis (akhirat) yang secara umum menggambarkan kenikmatan pahala surga dan azab neraka. Ide pokok tentang akhiat adalah munculnya kesadaran unik manusia tentang suatu pengalaman yang tidak pernah dialaminya dimasa-masa yang lalu akhirat adalah saat kebenaran dan tujuan akhir kehidupan /akibat jangka panjang dari amal perbuatan manusia diatas dunia ini. Semenatra dunia bukanlah “dunia ini” tetapi ia adalah nilai-nilai yang rendah /keinginan-keinginan rendah yang tampaknya sedemikian menggoda sehingga setiap saat dikejar oleh hampir semua manusia dengan mengurbankan tujuan-tujuan yang lebih mulia dan berjangka panjang. Konsep dasar akhirat sesungguhnya berujud sikap sarkasme al qur’an terhadap pedagang-pedang makkah yang bermegah-megahan dg emas, perak dan barang dagang lainnya.yang ditimbang adalah amal dan bukannya barang-barang tersebut.[29]
Hanya saja  akhirat ini adalah sebuah ide yang sangat sulit untuk diterima oleh orang-orag mekkah jahiliyyah yang berpandangan sekularisme dengan alasan bahwa nnenek moyang dan leluhur mereka dulunya telah mendengar “kisah-kisah” ini jauh dimasa sebelumnya yang ternyata hal itu hanya khayalan orang-orang zaman dahulu.[30]
Menurut al-Qur’an, akhirat itu sangat penting. Ada beberapa alasan untuk menjelaskannya. Yang pertama, moral dan keadilan sebagai konstitusi realis adalah kualitas untuk menilai amal-perbuatan manusia karena keadilan tidak dapat dijamin berdasarkan apa-apa yang terjadi di atas dunia. Yang kedua, “tujuan-tujuan” hidup harus dijelaskan dengan seterang-terangnya sehingga manusia dapat melihat apa yang telah diperjuangkannya dan apa tujuan-tujuan yang sesungguhnya dari kehidupan ini. Misalnya dalam doktrin tentang kebangkitan kembali karena soal “penimbangan amal-perbuatan” mensyaratkan dan tergantung kepadanya. Yang ketiga, terkait erat dengan alasan kedua bahwa perbantahan, perbedaan pendapat, dan konflik di antara orientasi-orientasi manusia pada akhirnya harus diselesaikan. Hampir semua perbedaan pendapat disebabkan oleh karena motivasi-motivasi ekstrinsik untuk kepentingan diri sendiri, kelompok, atapun bentuk kefanatikan yang berbeda-beda. Penyakit moral manusia yang terburuk adalah melakukan hal-hal yang baik dengan motivasi-motivasi yang salah dan ekstrinsik. Karenaya, pemecahan terhadap perbedaan keyakinan ini secara praksisnya adalah sama dengan manifestasi dari motivasi dari keyakinan-keyakinan tersebut. Di hari akhirat, batin semua manusia akan nampak jelas termasuk motivasi-motivasi mereka.[31]
7.      Setan dan Kejahatan
Adapun tema berikutnya adalah persoalan syaitan dan kejahatan. Fazlurrahman beranggapan bahwa iblis dan syaitan adalah personifikasi yang diruju’ al qur’an untuk mewakili kekuatan jahat yang ada dimuka bumi ini. Sekalipun demikian personifikasi syaitan sebagai aktor kejahatan masih menimbulkan perdebatan.[32]
Perbedaannya adalah bahwa syaitan kemunculannya bersamaan dengan kisah kejadian adam, jadi seusia dengan manusia walaupun sebelumnya telah ada dalam bentuk jin. Sementara jin/iblis diciptakan sebelum adanya manusia berdasarkan 15:27 dan 7:12. Al qur’an menggambarkan syaitan sebagai pembangkang perintah Allah SWT dan sebagi tandingan manusia, dan bukannya tandingan Allah SWT karena Allah SWT berada diluar jangkauannya. Jadi secara metafisis syaitan tidak sederajat dengan Tuhan, sebagaimana halnya Ahriman yang merupakan tandingan Yazdan dalam agama Zoroaster.
Dalam pandangan fazlurrahman aktifitas syaitan hanya mampu membingungkan manusia dan memendungi kesadaran-kesadaran batinnya.  Syaitan tidak punya kekuatan akan tetapi kelicikan dan kelicinannya dengan menggunakan tipu daya, siasat membujuk dan berkhianat adalah aktifitas sejati syaitan . Jadi kekuatan syaitan bertumpu pada kelemahan manusia . Oleh karena itu yang berbahaya bagi manusia bukanlah faktor syaitan ansich/kekuatan syaitan akan tetapi sikap manusia itu sendiri yang tidak mengerahkan kekuatannya untuk melawan bujukan syaitan.[33]
Al-Qur’an menegaskan bahwa walaupun secara prinsip tidak ada manusia yang kebal terhadap godaan syeitan, namun syeitan itu sesungguhnya tidak dapat memperdayakan orang-orang yang senantiasa menjaga integritas moral mereka dari serangannya.  Sebenarnya pula, cengkeraman syeitan itu tidak kuat; melainkan hanya kelemahan, tidak adanya keberanian moral dan tidak adanya kewaspadaan di dalam diri manusialah  yang  membuat syetan itu terlihat sedemikian kuat. Meskipun syeitan itu tidak kuat, tetapi ia itu licik dan licin. Ia lebih banyak mempergunakan tipu daya dan siasat daripada menantang dengan terang-terangan.
Aktivitasnya tidak menggempur melainkan membujuk, berkianat, dan menghadang. Tipu daya yang dibuat syeitan adalah soal keputusasaan manusia sebagai kelemahan yang utama. Manusia juga pada kenyataannya mempunyai kencenderungan-kecenderungan baik dan jahat. Di dalam diri manusia senantiasa ada perjuangan di antara kedua kecenderungan tersebut. Namun kecenderungan jahat kerap menjadi sedimikian kuat karena adanya tipu muslihat syeitan. Karenanya, kunci pertahanan manusia terhadap godaan syeitan adalah taqwa.  Terhadap godaan untuk mengikuti kecenderungan jahat, manusia perlu mengikuti jalan Allah dan memohon pertolongan-Nya. “Siapa-siapa yang berpihak pada Allah dan Rasul-Nya adalah orang-orang yang beriman – sesungguhnya partai Allah akan memperoleh kemenangan (5:56).      Selain itu, ada juga pandangan tentang  kejahatan objektif yang dalam al-Qur’an disebut sebagai thagutThagut berarti prinsip kejahatan atau kekafiran.[34]
8.      Lahirnya Masyarakat Muslim
Dalam bab ini Fazlur Rahman mencoba mengkritisi pandangan landasan teori klasik tentang lahirnya masyarakat Muslim di Medinah menurut Snouck Hurgronye. Fazlur Rahman mengatakan bahwa memang benar bahwa risalat al-Qur’an itu sama dengan risalat yang diserukan oleh nabi-nabi di zaman dahulu, tetapi tidak benar apabila dikatakan bahwa risalat al-Qur’an hanya tertuju pada orang-orang Arab dan risalat-risalat para nabi itu di zaman dahulu itu hanya tertuju pada kaum mereka masing-masing.  Tidak benarlah pula bahwa ketika di kemudian hari Ibrahim dihubungkan dengan Islam (hal ini terjadi di Makkah, bukan di Madinah), al-Qur’an menyerahkan Musa kepada orang-orang Yahudi dan Isa kepada orang-orang Kristen sebagai milik mereka karena tentangan mereka. Tidak benar pula bahwa perubahan arah kiblat menunjukkan putusnya atau nasionalisasi terhadap orientasi religius Nabi Muhammad. Kesulitan untuk memahami hal ini adalah karena pandangan bahwa kehidupan Nabi dan al-Qur’an itu terbagi ke dalam dua buah “periode” yang terpisah dan berdiri sendiri—periode Makkah dan periode Madinah—dan pandangan yang seperti ini diyakini oleh hampir semua para ahli Islam di zaman modern ini.
Dari keterangan al-Qur’an, dapat diperoleh informasi bahwa sebelum kedatangan al-Qur’an, sebagian penduduk Makkah sangat menginginkan adanya agama baru seperti Yahudi dan Kristen. Keadaan yang seperti ini sebagiannya adalah disebabkan karena masuknya ide-ide Yahudi-Kristen ke mileu Arab. Mereka menginginkan sebuah agama baru dan sebuah Kitab Suci baru, sehingga mereka berbeda dari kaum-kaum yang terdahulu dan bahwa mereka tidak suka menerima Kitab-Kitab Suci yang terdahulu. Bahkan ketika al-Qur’an dibawakan oleh Nabi Muhammad, terjadi perbantahan-perbantahan pula dari antara penduduk Makkah supaya ajaran-ajaran al-Qur’an diubah. Mereka menghendaki  beliau untuk memberikan tempat pada tuhan-tuhan mereka di antara Allah dengan manusia. Kenyataan ini dapat menerangkan mengapa mereka tidak mau memandang Yesus lebih tinggi daripada tuhan-tuhan mereka sendiri. 
Karenanya ketika ajaran-ajaran Nabi (bahwa  Allah itu Esa, bahwa orang-orang yang miskin harus diberi kesempatan untuk maju, dan di saat terakhir nanti ada hari pengengadilan) mulai mendapat tantangan, banyak kisah-kisah mendetail mengenai para Nabi di  zaman dahulu yang diulangi di dalam al-Qur’an. Hampir merupakan kenyataan yang tak dapat diragukan lagi bahwa Nabi Muhammad pernah mendengar kisah-kisah tersebut dari orang-orang tertentu dengan identifikasi yang tak dapat ditemukan lagi dan orang-orang Makkah sendiri tidak enggan-enggan untuk menunjukkan kenyataan ini. Meskipun demikian Nabi Muhammad berkeras mengatakan bahwa kisah-kisah tersebut telah diwahyukan oleh Allah. Karena kesamaan spiritual dengan nabi-nabi zaman dahulu melalui penerimaaan Wahyu itu, Muhammad benar-benar yakin mengenai keidentikan setiap risalat yang disampaikan oleh nabi-nabi.[35]
Jika Allah itu Esa dan Risalatnya juga esa serta pada dasarnya tidak dapat dipecah-pecah, maka ummat manusia harus menjadi satu kaum.  Karena di antara para penganut agama-agama yang terdahulu itu ada yang membenarkan misinya maka Muhammad ingin mempersatukan agama-agama tersebut ke dalam  sebuah masyarakat, menurut ajaran-ajaran dan persyaratan-persyaratannya, tetapi begitu bertambah luas pengetahuannya mengenai perbedaan di antara agama-agama dan sekte-sekte tersebut, lambat laut ia pun segera menyadari bahwa persatuan itu tidak mungkin digalang.[36]
 Hal yang penting di sini adalah efek dari persepsi Muhammad mengenai keanekaragaman tersebut terhadap perkembangan masyarakat Muslim. Ide Nabi Muhammad untuk menegakkan masyarakat seagama tidak tercetus di Madinah (sebagaimana yang dinyatakan Hurgronye), tetapi sebenarnya sudah ada ketika ia di Makkah.
Selain itu, jika Muhammad mengikuti serta menerima warisan nabi-nabi di zaman dahulu dan al-Qur’an menerima warisan dari Wahyu-wahyu Allah yang terdahulu, maka kaum Muslimin pada zaman sekarang ini menerima warisan dari kaum-kaum yang terdahulu. Ketika Muhammad benar-benar yakin bahwa ia memiliki kedudukan yang sama seperti nabi-nabi di zaman dahulu, bahwa orang-orang Arab jahiliah yang menyembah berhala itu berada di dalam kesesatan, dan bahwa kaum-kaum lain yang terpecah belah itu pun berada di dalam kesesatan, maka oleh al-Qur’an ia dijuluki sebagai seorang yang hanif (monotheis sejati), dan agamanya dinyatakan sebagai “agama yang lurus” (al-din al-qayyim). Bahwa agama ini adalah monotheisme murni yang sangat dipujikan kepada Ibrahim dan secara khusus diperkembangkan untuk menentang pemujaan terhadap dewa-dewa jahiliah, terlihat dengan jelas dari ayat-ayat 12:37-40.[37]



BAB III
KESIMPULAN

  1. Bahwa metode kajian al qur’an yang ditempuh oleh fazlurrahman memang agak baru (pada zamannya) sekalipun bibit-bibit/usaha awal dengan metode serupa sudah pernah dilakukan oleh ulama sebelumnya.
  2. Pendekatan kajian al qur’an dengan cara tematik, memang lebih menarik disamping juga memperkaya dan menambah ketajamn makna yang dikandung oleh sebuah ayat/surat dalam sebuah tema yang sama. Kajian yang demikian semakin menjadikan pesan/makna al qur’an jadi utuh (holistik) dan tidak terpecah-pecah (parsial)
  3. Fazlurrahman sama sekali tidak memasukkkan al Hukm (fiqh) sebagai bagian dari tema al qur’an padahal ia adalah bagian integral dari al qur’an yang sangat substansial. Nampaknya kriteria yang digunakan Rahman dalam menentukan tema-tema al qur’an lebih melihat kepada subyek dan hubungan antar subyek (seperti Tuhan, manusia Malaikat, Jin Iblis, Syaitan dan hubungan yang terjalin diantara subyek-subyek tersebut), Sementara obyek hukum (dan yang lain-lainnya) sama sekali tidak mendapat perhatian serius oleh fazlurrahman.
  4. Keseluruhan tema al qur’an dibahas secara tajam, mendalam dan bagus, kecuali pada tema kedelapan. Di sini Rahman kehilangan moment emasnya, karena fokus kajian adalah lahirnya masyarakat muslim akan tetapi di dalamnya justru dibentangkan panujang lebar perdebatan tentang entitas agama islam yang bukan merupakan unsur yahudi dan nasrani melainkan turunan dari nabi Ibrahim as.
  5.  Adalah benar pernyataan Rahman yang mengatakan bahwa al qur’an tidak membuktikan adanya Tuhan akan tetapi menunjukkan cara untuk mengenal Tuhan. Filsuf Kontemporer Prancis Roger Garaudy (1982:146) mengatakan bahwa dalam al qur’an Tuhan tidak menunjukkan diri-Nya akan tetapi hanya menunjukkan sabdaNya dan hukumNya.
  6. Hal menarik lainnya adalah ketika Rahman mengatakan bahwa al qur’an diturunkan dengan mengambil setting kondisi masyarakat jahiliyyah yang cenderung timpang baik secara sosial maupun ekonomi.

DAFTAR RUJUKAN
Abdurrahman, Muslim., 1995, Islam Transformatif, Jakarta: Pustaka Firdaus.
-------------., 1992, Islam dan Tantangan Modernitas:Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Bandung:Mizan.
Amin, M. Masyhur., 1989, Teologi Pembangunan, Paradigma Baru Pemikiran Islam, Yogyakarta:LKPSM-NU.
Azra, Azyumardi., 1999, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme, hingga Post-Modernisme, Jakarta:Paramadina
Fahal, Muktafi dan Achmad Amir Aziz, 1999, Teologi Islam Modern, Surabaya: Gitamedia Press.
Fazlur Rahman,terj.Anas, Tema Pokok Al-Qur’an, Bandung:Pustaka;1996
Gibb, H.A.R., 1995, Aliran-aliran Modern dalam Islam, terj. Machnun Husain, Jakarta: Rajawali Press
Harun Nasution, 1992, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang.
Ma’arif, Ahmad Syafi’i, 1995, Membumikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Madjid, Nurcholish., 1993, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan.
Muhammad Sharur dkk, Studi Al-Qur’an Kontemporer,Yogyakarta:Tiara Wacana Yogya,2002
Syikh Manna’ Al-Qaththan,terj.Aunur,Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta:Pustaka Al-Kautsar,2006
Teungku Muhammad Hasbi AS, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an,Semarang:Pustaka Rizki Putra,2010
Nurcholish Madjid, 1993, “Fazlur Rahman dan Rekonstruksi Etika Al-Qur’an” dalam Islamika, No. 2, Oktober-Desember.
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, 1973., Sejarah Pengantar dan Ilmu Tauhid/Kalam, Jakarta: Bulan Bintang.
http://dirga.wordpress.com/2007/05/14/tema-pokok-al-qur%E2%80%99an/




[1] Mannaa’ Al-Qaththan,Pengantar Studi Al-Qur’an,Terj.Aunur Rafiq(Jakarta;Pustaka Al-Kautsar;2006),hlm.407
[2] Teungku Muhammad H,Ilmu-Ilmu Al-Qur’an,(Semarang;Pustaka Rizki Putra;2009),hlm.187
[3] Ali Masrur dalam Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman (Yogyakarta:Tiara Wacana Yogya,2002),hlm.44
[4] Ibid.hlm.45
[5] Ibid.hlm.45-46
[6] Ali Masrur dalam Tamara Sonn,”Fazlur Rahman”, (Yogyakarta:Tiara Wacana Yogya,2002),hlm.46
[7] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an, terj.Anas,(Bandung:Pustaka;1996),hlm.xi
[8] Ali Masrur dalam Fazlur Rahman, Metode dan Alternbatif Neomodernisme Islam (Yogyakarta:Tiara Wacana Yogya,2002),hlm.47
[9] Ibid.
[10] Ali Masrur dalam Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas,( Yogyakarta:Tiara Wacana Yogya,2002),hlm.49
[11] Fazlur Rahman,terj. Anas,Tema Pokok Al-Qur’an,(Bandung:Pustaka;1996),hlm.2
[12] Ibid.hlm.15
[13] Ibid.hlm.2-3
[14] Ibid.hlm.26
[15] Ibid.hlm.28
[16] Ibid.hlm.38-41
[17] Ibid.hlm.43
[18] Ibid.hlm.55
[19] Ibid.hlm.54
[20] Ibid.hlm.61
[21] Ibid.hlm.63
[22] Ibid.hlm.71
[23] Ibid.hlm.89
[24] Ibid.hlm.95
[25] Ibid.hlm.97
[26] Ibid.hlm.117
[27] Ibid.hlm.119-120
[28] Ibid.hlm.125
[29] Ibid.hlm.154-158
[30] Ibid.hlm.168
[31] Ibid.hlm.169
[32] Ibid.hlm.178 & 168
[33] Ibid.hlm.180-185
[34] Ibid.hlm.187-188
[35] Ibid.hlm.199-200
[36] Ibid.hlm.202
[37] Ibid.hlm.207

Tidak ada komentar:

Posting Komentar