1.1. Latar Belakang
Al-Qur’anul Karim adalah sumber
tasyri’ pertama bagi umat Muhaammad Saw. Dan kebahagiaan mereka bergantun pada
pemahaman maknanya, pengetahuan rahasia-rahasianya dan pemahaman apa yang
terkandung di dalamnya. Kemampuan setiap orang dalam memahami lafaz dan
ungkapan Qur’an tidak sama, padahal penjelasannya sedemikian gambling dann
ayat-ayatnya pun sedemikian rinci. Perbedaan daya nalar diantara mereka ini adalah suatu hal yang tidak
dipertentangkan lagi. Kalangan awam hanya dapat memahami makna-maknanya yang
zahir dan pengertian ayat-ayatnya secara global. Sedangkan kalangan cerdik
cendekia dan terpelajar akan menyimpulkan pula daripadanya makna-makna yang
menarik. Maka tidaklah mengherankan jika Qur’an mendapatkan perhatian besar
dari umatnya melalui pengkajian intensif terutama dalan rangka menafsirkan.[1]
Proses penafsiran telah melalui
banyak periode sehingga sampai kepada corak dan bentuk yang sekarang ini yang
dituang di dalam berbagai kitab dan karangan. Tafsir telah tumbuh di masa nabi
saw, dan beliaulah penafsir awal (al-mufassir al-awwal) terhadap kitab Allah
Swt. Beliau menerangkan maksud-maksud wahyu yang diturunkan kepadanya.
Sahabat-sahabat Rasul yang mulia, tidak ada yang berani menafsirkan Al-Qur’an
ketika Rasul masih hidup. Rasulullah sendirilah yang memikul tugas menafsirkan
Al-qur’an.
Setelah Rasulullah saw, wafat
barulah para sahabat yang alim yang mengetahui rahasia-rahasia Al-quran dan
yang mendapat petunjuk langsung dari Nabi, merasa perlu untuk menerangkan apa
yang mereka ketahui dan menjelaskan apa yang mereka pahami tentang
maksud-maksud Al-Qur’an.[2] Proses
penafsiran ini juga dilakukan di pada masa tabi’it-tabi’in hingga
para mufassirin modern.
Salah
satu tokoh penafsir penganut aliran modern adalah Fazlur Rahman. Beliau
adalah termasuk diantara sekian banyak ulama yang mencoba memahami dan
memberikan pemahaman yang berbeda tentang al Qur’an. Lewat karyanya yang
berjudul “Major Themes of Qur’an” ini beliau mencoba menawarkan
pandangan-pandangan segar dan terkesan amat brillian mengingat kapasitas beliau
bukanlah sebagai seorang mufassir. Kitab ini menarik karena penulisnya
disamping bukan membidangi persoalan-persoalan tafsir (al qur’an) ia adalah
seorang pembaharu dan pemikir islam modern. Sehingga ketika karya ini dibaca,
ada nuansa baru yang bisa dipancarkan dari setiap bahasan yang dibuatnya.
Mudah-mudahan review sederhana ini bisa menjangkau dan menangkap pesan-pesan
sebagaimana maksud buku aslinya.
1.2. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
Biografi Fazlu Rahman ?
2.
Apa yang menjadi tema pokok
bahasan Fazlur Rahman ?
1.3. Tujuan Masalah
1.
Untuk
mengetahui Biografi Fazlur Rahman
2.
Untuk
mengetahui tema-tema yang menjadi topik bahasan Fazlur Rahman
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. Biografi Fazlur Rahman
a.
Latar Belakang Fazlur Rahman
Fazlur Rahman
dilahirkan pada tanggal 21 September 1919 di Hazara, suatu daerah di Anak Benua
Indo-Pakistan yang sekarang terletak di barat laut Pakistan. Wilayah Anak Benua
Indo-Pakistan sudah tidak diragukan lagi telah melahirkan banyak pemikir Islam
yang cukup berpengaruh dalam perkembangan pemikiran Islam, seperti Syah Waliyullah
al-Dahlawi, Sir Sayyid Ahmad Khan, Amir Allidan, hingga Sir Muhammad Iqbal. Karena
itu tidak mengherankan bila Rahman berkembang menjadi seorang pemikir
bebas. Meskipun terlahir dari keluarga
bermazahab Hanafi, Fazlur Rahman mampu melepaskan diri dari
sekat-sekat mazhab-mazhab
sunni dan mengembangkan pemikirannya secara bebas.
Selain memperoleh pendidikan
formal di Madrasah, Rahman juga memperoleh pendidikan agama secara khusus dari
ayahnya yang berasal dari Deoban, sebuah madrasah terkenal di Anak benua
Indo-Pakistan.[3]
Orang tua Fazlur Rahman sangat mempengaruhi pembentukan watak dan keyakinan
awal keagamaannya. Melalui ibunya, Fazlur Rahman memperoleh pelajaran berupa
nilai-nilai kebenaran, kasih saying, kesetiaan dan cinta. Sedangkan Ayah Fazlur
Rahman merupakan penganut mazhab Hanafi yang sangat kuat,
namun beliau tidak menutup diri dari pendidikan modern.
Tidak seperti penganut mazhab Hanafi
fanatik lainnya ketika itu, Ayahnya berkeyakinan bahwa Islam harus memandang
modernitas sebagai tantangan-tantangan dan kesempatan-kesempatan. Pandangan
ayahnya inilah yang kemudian mempengaruhi pemikiran dan keyakinan Fazlur Rahman
Selain itu, melalui tempaan ayahnya, Fazlur Rahman pada kemudian hari menjadi
seorang yang bersosok cukup tekun dalam mendapatkan pengetahuan dari pelbagai
sumber, dan melalui ibunyalah kemudian ia sangat tegar dan tabah dalam
mengembangkan keyakinan dan pembaruan Islam.
Setelah menamatkan
pendidikan menengah, Rahman melanjutkan studinya di departemen Ketimuran Universitas Punjab,
Lahore dan berhasil memperoleh gelar MA dalam bidang Sastra Arab pada Tahun
1942. Karena menganggap mutu pendidikan Tinggi Islam di India rendah, maka pada
tahun 1946, Rahman memutuskan mengambil program doktor di Universitas Oxford,
Inggris dalam bidang Filsafat Islam dan memperoleh gelar Ph.D pada tahun 1949
dengan desertasi tentang Ibnu Sina. Setelah lulus Rahman tidak langsung kembali
ke Pakistan. Ia menetap sementara waktu di Barat sambil menjadi dosen di
Universitas Durham, Inggris. Kemudian menjabat assosiciate professor di Institut of Islamic studies, McGill
Universitas[4]
Setelah mengembara cukup
lama di dunia Barat, pada awal tahun 1960-an Rahman kembali ke Pakistan.
Pendidikan formal yang di dapat di Barat serta pengalaman akademisinya di
berbagai Universitas Barat dan latar belakang liberalisme di Indo-Pakistan
membuatnya menjadi seorang pemikir bebas, kritis dan liberal. Pada tahun 1962,
Rahman ditunjuk sebagaiDirektur Lembaga Riset Islam. Pada tahun 1964 Ia
ditunjuk dewan Penasehat Ideologi Islam Pemerintah Pakistan. Karena tugas dua
lembaga tersebut, Rahman terlibat langsung dalam upaya menafsirkan kembali
Islam. Namun, gagasannya sering atau malah selalu, bertentangan dengan
pandangan kalangan tradisionalis dan fundamentalis serta menimbulkan
kontroversi yang berkepanjangan.
Rahman merasa negerinya
belum siap menerima gagasan-gagasan pembaharuannya, maka ia memutuskan untuk
meletakkan kedua jabatannya itu dan hijrak ke Los Angeles menjadi visiting
professor di Universitas California pada musim semi, 1969. Pada musim gugur ia
pergi ke Universitas Chigago sebagai professor pemikiran Islam di universita
itu. Ketenaran universitas ini juga disebabkan oleh penunjukan Rahaman sebagai
guru besarnya. Tidak kurang delapan belas tahun, Rahman menetap di Chigago,
menulis, meneliti dan mengkomunikasikan gagasannya hingga Tuahn memanggilnya
pada tanggal 26 Juli 1988, karena serangan jantung.[5]
b.
Karya-karya Fazlur Rahman
Pada awalnya, dengan penerbitan bukunya, avecenna’s Psychologi (London,1952), Rahman mulai memperoleh
popularitas Internasional. Dalam buku ini ia membuktikan adanya pengaruh
seorang filosof dan psikolog Islam muislim, Ibnu Sina (w.1037) terhadap seorang
teolog Kristen abad tengah, St.Thomas Aquinas (w.1275). Rahman juga menulis dua
buku lain tentang Ibnu Sina: Propechy in
Islam (Chigago,1958) dan Avicenna’s
de Anima (London;1959). Ia juga dikenal dengan karya-karyanya di bidang
kajian tafsir tematik Major Themes of the Qur’an (Menneapolis,1979), di bidang
metodologi sejarah Islam Islamic
Methodologi in History (1965) dan bidang penidikan Islam Islam and Modernity: Transformation of the Intelectual Tradition (1984).
Beberapa karya lain yang tidak kalah pentingnya adalah Philosophy of Mulla Sadra (Albani, 1975), Islam (Chigago,1979) dan Health
and Medicine in The Islamic tradition:Change and Identity (New York,1987).[6]
2.2. Tema Pokok Fazlur Rahman Dalam Penafsiran
Al-Qur’an
a. Problem Pemahaman Qur’an
Bagi
Rahman problem studi al-qur’an adalah problem pemahaman bukan problem keaslian.
Menurut Rahman ada dua problem saat ini yang dihadapi para ahli-ahli muslim
terkait dengan pemahaman Qur’an. Problem pertama
mereka kurang menghayati relevansi al-Qur’an untuk masa sekarang, dan oleh
karena itu mereka tidak dapat menyajikan al-Qur’an untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan ummat manusia masa kini; dan yang lebih penting (kedua) mereka kuatir jika penyajian
al-Qur’an dalam berbagai hal akan menyimpang dari pendapat-pendapat yang telah
diterima secara tradisional. Meskipun penyimpangan itu tidak bisa di hindarkan
akan tetapi resiko ini harus dihadapi dengan ketulusan hati dan persepsi.[7]
Menurutnya, yang penting adalah bagaimana memahami al-Qur’an dengan
metode yang tepat untuk mengungkap kandungan Qur’an, karena dalam kenyataannya
Qur’an itu laksana puncak sebuah gunung es yang terapung, sembilan sepersepuluh
darinya di bawah lautan sejarah dan hanya sepersepuiluh darinya yang tampak di
permukaan.[8] Karena
itulah, untuk memahami Qur’an, orang harus mengetahui sejarah Nabi dan
perjuangannya selama kurang lebih dua puluh tiga tahun. Selain itu juga perlu
memahami situasi dan kondisi bangsa Arab pada awal Islam serta kebiasaan,
pranata-pranata dan pandangan hidup orang Arab.[9]
Dalam Islam and Modenity,
Rahman menawarkan dua langkah untuk memahami Qur’an. Pertama, orang harus memahami makna pernyataan Qur’an dengan
mengkaji latar belakang historis ketika sebuah ayat diturunkan. Jadi, langkah
pertama adalah memahami makna Qur’an sebagai suatu keseluruhan disamping
jawaban-jawaban khusus. Langkah kedua, adalah menggeneralisasikan respon-respon
khusus dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan moral-sosial umum yang
dapat disarikan dari ayat-ayat spesifik dan ratio legisnya.[10]
b. Tema Pokok Al-Qur’an
Dalam buku yang berjudul Tema Pokok
al-Qur’an ini, Fazlur Rahman menjabarkan pokok bahasannya menjadi 8
tema utama. Kedelapan tema utama tersebut adalah sebagai berikut: Tuhan,
Manusia sebagai Individu, Manusia Anggota Masyarakat, Alam Semesta, Kenabian
dan Wahyu, Eskatologi, Setan dan Kejahatan, Lahirnya Masyarakat Islam. Di bawah
ini, akan diuraikan secara ringkas isi dari masing-masing tema tersebut;
1. Tuhan
Fazlur Rahman ingin memfokuskan bab pertama ini pada
permasalahan tentang perlunya pemahaman akan adanya Tuhan, keesaan Tuhan, dan
akibat-akibat langsung dari masalah-masalah tersebut menurut al-Qur’an.
Misalnya, mengapa kita harus mempercayai adanya Tuhan? Mengapa kita perlu
meyakini tentang adanya yang lebih tinggi daripada alam ini? Al-Qur’an
menunjukkan keyakinan yang lebih tinggi dari alam itu sebagai “keyakinan dan
kesadaran terhadap yang gaib”. Dalam batas-batas tertentu dan melalui wahyu
Allah, maka yang “gaib” ini dapat dilihat oleh manusia-manusia tertentu seperti
nabi Muhammad.
Fazlurrahman mempertanyakan tentang rasionalitas manusia
dalam mengakui setidak-tidaknya mempercayai adanya wujud Tuhan.[11] Dalam
pandangan beliau sesungguhnya al qur’an tidak “membuktikan” adanya Tuhan akan
tetapi “menunjukkan” cara untuk mengenal Tuhan, melalui alam semesta yang ada.[12]
Terkait dengan permasalahan tersebut, al-Qur’an bertujuan
untuk menunjukkan bahwa eksistensi Tuhan itu dapat dipahami bukan sebagai
sesuatu yang irrasional melainkan sebagai Kebenaran Tertinggi. Dalam mencapai
tujuan ini, manusia perlu untuk berupaya. Bahkan, manusia harus mendengarkan
seruan-seruan dari al-Qur’an. Ia dikatakan beriman apabila ia mengalihkan
perhatiannya pada berbagai fakta yang jelas dan kemudian mengubah fakta-fakta
itu menjadi hal yang mengingatkan manusia kepada eksistensi Tuhan. Tuhan adalah
dimensi yang memungkinkan adanya dimensi-dimensi lain. Tuhan memberikan arti
dan kehidupan pada setiap sesuatu. Tuhan itu serba meliputi. Tuhan itu juga
adalah yang esa. Apabila tuhan lebih dari satu maka hanya satu saja yang tampil
sebagai Yang pertama. Dalam al-Qur’an dikatakan ”Allah berkata: Janganlah
mengambil dua Tuhan karena Dia adalah Esa.”[13]
2. Manusia Sebagai Individu
Al-Qur’an dengan lugas menyatakan bahwa manusia itu
diciptakan secara alamiah karena Tuhan menciptakan Adam dari tanah (15:26, 28,
33; 6:2; 7:12, dan ayat-ayat lainnya). Setelah manusia terbentuk, Allah
kemudian “meniupkan ruh-Ku sendiri” ke dalam diri manusia. Berbeda dengan
tradisi filsafat Yunani yang menekankan doktrin dualisme radikal antara jiwa
dan raga sebagai unsur yang ada pada manusia, Al-Qur’an tidak mendukung doktrin
semacam itu. Tidak disebutkan dalam al-Qur’an, pernyataan bahwa manusia terdiri
dari dua buah substansi yang berbeda dan bertentangan, yakni jiwa dan raga.[14]
Beliau juga menjelaskan hakikat tujuan diciptakannya
manusia di muka bumi ini yakni sebgai khalifatullah mengemban amanah Allah SWt.[15] Sekaligus
hambatan dan tantangan yang dihadapinya dalam mengemban misi suci itu.
Tantangan terbear manusia dalah syaitan karena ia melambangkan sifat kepicikan
(dlaif) dan kesempitan fikir. Al-qur’an tidak henti-hentinya menyebutkan
kelemahan ini di dalam bentuk dan konteks yang berbeda. Karena kepicikannya
kadang manusia berlaku amat sombong tetapi lekas putus asa. Tidak ada mahluk
lain yang dapat menjadi sombong dan berputus asa sedemikian gapangnya seperti
manusia.[16]
Oleh karena itu manusia yang baik harus memiliki keseimbangan yang dalam al
qur’an disebut sebagai taqwa. Akar perkataan taqwa adalah waqy, berjaga-jaga atau
melindungi diri dari sesuatu dan perkataan taqwa dengan pengertian ini
dipergunakan juga dalam al qur’an surat ke-52:27 40:45 76:11.[17]
Selain sebagai individu manusia
adalah mahluk sosial, oleh karena itu al qur’an tidak bisa berdiam diri untuk
tidak mengatur peri kehdiupannya dalam bermasyarakat. Bahwa tujuan
diturunkannya al qur’an adalah menegakkan sebuah tatanan masyarakat yang ethis
dan egalitarian , hal ini terlihat di dalam celaannya terhadap disekuilibrum
ekonomi dan ketidak adilan sosial dalam masyarakat makkah waktu itu. Pada
mulanya celaan itu lebih ditujukan kepada dua aspek yang berkaitan dengan pola
hidup bermasyarakat yakni aspek politheisme dan ketimpangan sosial ekonomi yang
menibulkan dan menyebebakna perpecahan diantara manusia.[18]
3. Manusia Anggota Masyarakat
Tegaknya sebuah tata masyarakat yang adil, berdasarkan
etika, dan dapat bertahan di muka bumi ini adalah yang menjadi tujuan utama
al-Qur’an. Hal ini tampak dalam celaannya terhadap disekuilibrium ekonomi dan
ketidakadilan sosial di dalam masyrakat Makkah waktu itu. Selain mencela aspek
politheisme yang merupakan symptom dari segmentasi masyarakat, al-Qur’an amat
mencela ketimpangan sosio-ekonomi yang ditimbulkan oleh serta yang menyuburkan
perpecahan yang sangat tidak diinginkan di antara sesama manusia. Hal ini terus
dikecam karena hal inilah yang paling sulit untuk disembuhkan dan yang merupakan
inti dari ketimpangan sosial.[19]
Meskipun demikian, Al-Qur’an tidak melarang manusia untuk
mencari kekayaan. Al-Qur’an mengecam pernyalahgunaan kekayaan
karena hal tersebut dapat menghalangi manusia di dalam mencari
nilai-nilai yang luhur. Selain itu, sikap tidak mempedulikan orang-orang yang
memerlukan bantuan ekonomi ini adalah sikap yang mencerminkan puncak kepicikan
dan kesempitan akal (kelemahan dasar dalam diri manusia). Al-Qur’an juga
memerintahkan kepada kaum Muslimin bahwa mereka lebih baik mengeluarkan harta
kekayaan mereka di atas jalan Allah dan dengan demikian mereka “berpiutang
kepada Allah yang akan dibayar Allah dengan berlipat ganda” daripada
membungakan uang untuk menghirup darah orang-orang miskin (30:39; 2:245;
5:12,18; 57:11,18; 64:17; 73:20). Terkait dengan keadilan yang merata,
al-Qur’an juga menetapkan prinsip bahwa “kekayaan tidak boleh berputar di
kalangan orang-orang kaya saja” (59:7).
Dalam level sosial-politik, al-Qur’an ingin menguatkan
unit kekeluargaan paling dasar yang terdiri dari kedua orang tua, anak-anak,
dan kakek-nenek; dan masyarakat Muslim yang lebih besar dengan meniadakan rasa
kesukuan.[20]
Masyarakat Muslimin berdiri karena ideologi Islam. Dalam
melaksanakan urusan bersama (pemerintahan) al-Qur’an menyuruh kaum Muslimin
untuk menegakkan syura (dewan/majelis konsultatif) di mana
keinginan rakyat dapat dikemukakan melalui wakil-wakil mereka. Syura adalah
sebuah institusi Arab yang demokratis dari masa sebelum Islam dan yang kemudian
didukung oleh al-Qur’an (42:38). Meskipun menghendaki pluralisme
institusi-institusi secara liberal dan kemerdekaan individu yang asasi, di
dalam kondisi-kondisi tertentu al-Qur’an mengakui bahwa Negara sebagai wakil
masyarakat adalah yang tertinggi. Pemberontakan terhadap Negara dapat diganjar
dengan hukuman-hukuman yang sangat berat.[21]
Inti dari keseluruhan hak-hak asasi manusia adalah
kesamaan di antara semua ras. Hal ini dibenarkan dan didukung oleh al-Qur’an
dimana al-Qur’an menghapuskan setiap perbedaan di antara manusia kecuali
perbedaan karena kebajikan dan taqwa. Al-Qur’an menekankan persamaan manusia
yang esensial karena di antara semua mahluk hidup bangsa manusia sajalah yang
memiliki keunikan. Ada 4 macam kebebasan atau hak-hak asasi yang ditekankan
oleh para ahli-ahli hukum Islam, yakni: kebebasan/hak untuk hidup, beragama,
mencari nafkah dan memiliki harta kekayaan, dan harga diri (‘irdh). Keeempat
hak ini harus dilindungi oleh Negara. Pelangggaran terhadap hak-hak
tersebut adalah “perbuatan aniaya di muka bumi’.
Terkait dengan persamaan di antara laki dan perempuan,
al-Qur’an mengatakan: “dan kaum perempuan mempunyai hak-hak mereka (terhadap
kaum laki-laki)—tetapi kaum lelaki satu tahap lebih tinggi (daripada kaum
perempuan)” (2: 228). Pada dasarnya, al-Qur’an berpandangan bahwa ikatan
perkawinan dipertahankan oleh perasaan “cinta dan kasih-sayang” yang wajar
(30:21) dan menyatakan “mereka (isterei-isteri kamu) adalah pakaianmu dan kamu
adalah pakaian mereka” (2:187). Al-Qur’an mengharuskan suami untuk berlaku
lemah lembut terhadap isterinya.[22]
Tema yang juga amat dinyatakan al-Qur’an adalah
bahwa manusia-manusia yang kuat secara terus menerus berusaha mempengaruhi atau
menekan manusia-manusia yang lemah agar mereka melakukan tingkah laku yang
bertentangan dengan kehendak mereka yang sebenarnya. Al-Qur’an juga
mengemukakan bahwa penyelewengan pemimpin-pemimpin agama merupakan faktor
terjadinya keruntuhan masyarakat, padahal para pemimpin agama ini
diharapkan dapat sebagai sumber kekuatan dan regenerasi spiritual
masyarakat Penyelewengan dapat ini terjadi ketika hati nurani mereka tidak
tergugah apabila mereka melakukan kesalahan. Dengan hati nurani yang macam ini
mereka telah mengkompromikan kebenaran dengan “hawa nafsu”.[23]
4. Alam Semesta
Al-Qur’an hanya sedikit sekali membicarakan
tentang kejadian alam (kosmologi). Terkait dengan metafisika penciptaan,
al-Qur’an mengatakan bahwa alam semesta dan segala sesuatu yang hendak diciptakan
Allah di dalamnya tercipta sekedar dengan firman-Nya: “Jadilah!” (2:117; 3:47,
59; 6:73; 16:40; 19:35; 36:82; 40:68). Karenanya, Allah adalah pemilik yang
mutlak dari alam semesta dan penguasa alam semesta yang tak dapat
disangkal di samping pemeliharaannya yang maha pengasih. Semua isi alam semesta
ini mentaati Allah ‘secara otomatis”, kecuali manusia yang dapat mentaati atau
mengingkari Allah. Al-Qur’an menyatakan bahwa keseluruhan alam semesta itu
“Muslim” karena setiap sesuatu yang berada di dalamnya (kecuali manusia yang
dapat menjadi atau tidak menjadi “Muslim”) menyerah kepada kehendak Allah
(3:83), dan setiap sesuatu memuji Allah (57:1; 59:1; 61:1; 17:44; 24:41).[24]
Perbedaan terpenting diantara Allah dengan ciptaan-Nya
adalah : Allah itu tak terhingga dan mutlak. Karenanya, setiap sesuatu yang
diciptakannya adalah terhingga. Setiap sesuatu mempunyai potensi-potensi
tertentu namun betapapun banyaknya potensi-potensi itu tidaklah dapat membuat
yang tehingga melampaui keterhinggaannya sehingga menjadi tak terhingga. Inilah
yang dimaksud (qadar, qadr, taqdir) dimana segala sesuatu itu tergantung pada
Allah. Ketika Allah menciptakan sesuatu, Ia memberikan kekuatan ataupun hukum
tingkah laku dan dengan hukum inilah ciptaan-Nya dapat selaras dengan
ciptaan-ciptaan-Nya yang lain di dalam alam semesta. Apabila sesuatu ciptaan
melanggar hukumnya dan melampaui ukurannya, maka alam semesta menjadi kacau.
“ukuran” yang dimaksud sebetulnya mempunyai sebuah bias yang kuat, yakni
pola-pola, watak-watak, dan kecenderungan-kecenderungan. Perkataan “ukuran” ini
tidak menunjukkan teori predeterminasi (takdir).[25]
5. Kenabian dan Wahyu
Fazlur Rahman menyatakan bahwa Kenabian dan wahyu Allah
itu berdasarkan kepengasihan Allah dan ketidakdewasaan manusia di dalam persepsi
dan motivasi ethisnya. Para nabi adalah manusia-manusia luar biasa yang karena
kepekaan mereka, ketabahan dan wahyu Allah yang mereka terima serta yang
kemudian mereka sampaikan pada manusia dengan ulet tanpa mengenal takut, dapat
mengalihkan hati nurani ummat manusia dari ketenangan tradisional dan tensi
hipomoral ke dalam suatu kawasan sehingga mereka dapat menyaksikan Tuhan
sebagai Tuhan dan syeitan sebagai syeitan. Al-Qur’an memandang kenabian sebagai
sebuah fenomena yang bersifat universal, dimana di setiap pelosok dunia ini
pernah tampil seorang Rasul Allah, baik yang disebutkan maupun yang tidak
disebutkan di dalam al-Qur’an (40: 78;4 : 164). Ajaran rasul/nabi ini bersifat
universal dan harus diyakini dan diikuti oleh semua manusia (inilah maksudnya
bahwa kenabian itu tidak dapat dipecah-pecah).[26]
Selain itu, seorang nabi harus berhasil memperoleh
dukungan dari kaumnya. Para nabi juga harus bertanggung jawab terhadap
penyebarluasan ajaran-ajaran mereka. Sejak awal sejarah Islam, kaum Msilim
berpandangan bahwa runtunan Rasul-rasul Allah berakhir dengan Muhammad:
“Muhammad bukan bapak dari salah seorang di antara kalian; dia adalah Rasul
Allah dan Nabi yang terakhir” (33:40). Ada beberapa penafsiran argumentatif
untuk menerangkannya. Yang pertama, adanya evolusi di dalam agama
di mana Islam adalah bentuk yang terakhir. Yang kedua, penelaahan
terhadap kandungan agama-agama yang ada akan menunjukkan bahwa Islam adalah
agama yang paling memadai dan sempurna. Proposisi ini juga didukung oleh
kenyataan bahwa sebelum Islam tidak ada gerakan religius yang bersifat global.
Menurut al-Qur’an, nabi adalah utusan-utusan Allah kepada
ummat manusia. Berbeda dengan Bibel, dalam al-Qur’an, Nabi yang “menyampaikan
khabar” tidak berarti ‘yang menerangkan keadaan di masa mendatang”, tetapi “
yang menyampaikan kabar dari Allah”. Nabi diutus Allah untuk mencegah kejahatan
dan menyampaikan kabar gembira kepada orang-orang yang saleh. Secara tradsional
penulis-penulis Muslim tentang al-Qur’an membuat perbedaan antara Nabi dan
Rasul. Nabi adalah utusan Allah yang tidak membawakan hukum (syari’ah) dan
mungkin pula kitab Allah kepada manusia. Sedangkan rasul adalah utusan Allah
yang membawakan hukum dan kitab Allah. Meskipun demikian, perbedaan yang tegas
ini masih dapat diragukan kebenarannya karena al-Qur’an menyebut tokoh-tokoh
religius tertentu sebagai nabi dan rasul (lih. ayat-ayat 7:158;
19:51,54). Namun perbedaan ini telah ada dalam kenyataan bahwa
perkataan “nabi” semakin sering dipergunakan dalam al-Qur’an sejak periode
Mekkah yang terakhir dan periode Madinah. Rasul itu menyebut peranan yang lebih
penting daripada nabi. Sedangkan seorang nabi berperan sekedar sebagai pembantu
rasul, misalnya: Harun yang beperanan sebagai pembantu Musa.[27]
Pada dasarnya semua Rasul menyampaikan ajaran yang sama,
yakni: hanya ada satu, Tuhan yang Esa yang patut disembah, dicintai, dan
ditakuti. Sebagaimana nabi-nabi lainnya, Muhammad adalah “penyampai peringatan
dan kabar gembira”, dan misinya adalah untuk menyampaikan wahyu Allah secara terus
menerus dan pantang mundur. Ajaran yang disampaikan begitu penting untuk
dilaksanakan manusia supaya selamat sehingga Nabi harus berupaya keras keras
untuk meyakinkan manusia pada ajaran penting ini. Tidak jarang terjadi
penolakan dan hal ini bisa menimbulkan frustrasi.
Cara penting untuk
menghadapi frustrasi macam ini adalah dengan berpaling kepada ayat-ayat
al-Qur’an “Kami tidak menurunkan al-Qur’an kepada engkau agar engkau menderita
(20:2). Kepada Muhammad, al-Qur’an mengatakan bahwa ia hanyalah “seorang
yang menyampaikan peringatan”, “seorang yang mengingatkan”, “tugasmu hanyalah
untuk memberikan pengajaran”, “Engkau bukan penjaga mereka”, “engkau tidak
dapat memaksa mereka”, “Allah adalah Dia yang dapat membuat mereka mau
mendengarkan siapa-siapa yang dikehendaki-Nya. (11:12; 88:21; 3:20; 5:92, 99;
88:50). Selain itu, di dalam al-Qur’an banyak sekali bukti-bukti bahwa
ketika Nabi pada waktu-waktu tertentu menginginkan perkembangan ke arah
tertentu, ternyata wahyu Allah menunjukkan arah yang lain.
Terkait dengan penurunan Wahyu, dinyatakan bahwa pada
dasarnya istilah “malaekat” itu tidak tepat dikenakan kepada yang menyampaikan
wahyu kepada Muhammad. Kepada Muhammad, al-Qur’an tidak menyatakan bahwa
penyampai wahyu itu sebagai malaekat melainkan sebagai Ruh atau Utusan
Sipritual. Meskipun demikian jangan lantas dianggap bahwa Ruh Suci itu sangat
berbeda dari malaekat-malaekat. Mungkin sekali bahwa Ruh Suci adalah malaekat
yang paling mulia dan paling dekat dengan Allah (bandingkan dengan ayat 81:19-21).
Bahkan dalam berbagai kesempatan, al-Qur’an menyebutkan malekat-malaekat dan
Ruh Suci tersebut secara bersamaaan. Dinyatakan pula bahwa Wahyu dan Yang
Menyampaikanya itu bersifat spiritual dan terjadi di dalam batin Muhammad.
(ayat 42:24 Jika Allah menghendaki maka Dia akan mengunci hatimu (wahai
Muhammad) sehingga tidak ada lagi Wahyu yang sampai kepadamu).[28]
6. Eskatologi
Bagian menarik lain dari alqur’an adalah persoalan
eskatologis (akhirat) yang secara umum menggambarkan kenikmatan pahala surga
dan azab neraka. Ide pokok tentang akhiat adalah munculnya kesadaran unik
manusia tentang suatu pengalaman yang tidak pernah dialaminya dimasa-masa yang
lalu akhirat adalah saat kebenaran dan tujuan akhir kehidupan /akibat jangka
panjang dari amal perbuatan manusia diatas dunia ini. Semenatra dunia bukanlah
“dunia ini” tetapi ia adalah nilai-nilai yang rendah /keinginan-keinginan
rendah yang tampaknya sedemikian menggoda sehingga setiap saat dikejar oleh
hampir semua manusia dengan mengurbankan tujuan-tujuan yang lebih mulia dan
berjangka panjang. Konsep dasar akhirat sesungguhnya berujud sikap sarkasme al
qur’an terhadap pedagang-pedang makkah yang bermegah-megahan dg emas, perak dan
barang dagang lainnya.yang ditimbang adalah amal dan bukannya barang-barang tersebut.[29]
Hanya saja akhirat
ini adalah sebuah ide yang sangat sulit untuk diterima oleh orang-orag mekkah
jahiliyyah yang berpandangan sekularisme dengan alasan bahwa nnenek moyang dan
leluhur mereka dulunya telah mendengar “kisah-kisah” ini jauh dimasa sebelumnya
yang ternyata hal itu hanya khayalan orang-orang zaman dahulu.[30]
Menurut al-Qur’an, akhirat itu sangat penting. Ada
beberapa alasan untuk menjelaskannya. Yang pertama, moral dan
keadilan sebagai konstitusi realis adalah kualitas untuk menilai amal-perbuatan
manusia karena keadilan tidak dapat dijamin berdasarkan apa-apa yang terjadi di
atas dunia. Yang kedua, “tujuan-tujuan” hidup harus dijelaskan
dengan seterang-terangnya sehingga manusia dapat melihat apa yang telah
diperjuangkannya dan apa tujuan-tujuan yang sesungguhnya dari kehidupan ini.
Misalnya dalam doktrin tentang kebangkitan kembali karena soal “penimbangan
amal-perbuatan” mensyaratkan dan tergantung kepadanya. Yang ketiga,
terkait erat dengan alasan kedua bahwa perbantahan, perbedaan pendapat, dan
konflik di antara orientasi-orientasi manusia pada akhirnya harus diselesaikan.
Hampir semua perbedaan pendapat disebabkan oleh karena motivasi-motivasi
ekstrinsik untuk kepentingan diri sendiri, kelompok, atapun bentuk kefanatikan
yang berbeda-beda. Penyakit moral manusia yang terburuk adalah melakukan
hal-hal yang baik dengan motivasi-motivasi yang salah dan ekstrinsik. Karenaya,
pemecahan terhadap perbedaan keyakinan ini secara praksisnya adalah sama dengan
manifestasi dari motivasi dari keyakinan-keyakinan tersebut. Di hari akhirat,
batin semua manusia akan nampak jelas termasuk motivasi-motivasi mereka.[31]
7.
Setan dan Kejahatan
Adapun tema berikutnya adalah persoalan syaitan dan
kejahatan. Fazlurrahman beranggapan bahwa iblis dan syaitan adalah personifikasi
yang diruju’ al qur’an untuk mewakili kekuatan jahat yang ada dimuka bumi ini.
Sekalipun demikian personifikasi syaitan sebagai aktor kejahatan masih
menimbulkan perdebatan.[32]
Perbedaannya adalah bahwa syaitan kemunculannya bersamaan
dengan kisah kejadian adam, jadi seusia dengan manusia walaupun sebelumnya
telah ada dalam bentuk jin. Sementara jin/iblis diciptakan sebelum adanya
manusia berdasarkan 15:27 dan 7:12. Al qur’an menggambarkan syaitan sebagai
pembangkang perintah Allah SWT dan sebagi tandingan manusia, dan bukannya
tandingan Allah SWT karena Allah SWT berada diluar jangkauannya. Jadi secara
metafisis syaitan tidak sederajat dengan Tuhan, sebagaimana halnya Ahriman yang
merupakan tandingan Yazdan dalam agama Zoroaster.
Dalam pandangan fazlurrahman aktifitas syaitan hanya
mampu membingungkan manusia dan memendungi kesadaran-kesadaran batinnya. Syaitan tidak punya kekuatan akan tetapi
kelicikan dan kelicinannya dengan menggunakan tipu daya, siasat membujuk dan
berkhianat adalah aktifitas sejati syaitan . Jadi kekuatan syaitan bertumpu
pada kelemahan manusia . Oleh karena itu yang berbahaya bagi manusia bukanlah
faktor syaitan ansich/kekuatan syaitan akan tetapi sikap manusia itu sendiri
yang tidak mengerahkan kekuatannya untuk melawan bujukan syaitan.[33]
Al-Qur’an menegaskan bahwa walaupun secara prinsip tidak
ada manusia yang kebal terhadap godaan syeitan, namun syeitan itu sesungguhnya
tidak dapat memperdayakan orang-orang yang senantiasa menjaga integritas moral
mereka dari serangannya. Sebenarnya pula, cengkeraman syeitan itu tidak
kuat; melainkan hanya kelemahan, tidak adanya keberanian moral dan tidak adanya
kewaspadaan di dalam diri manusialah yang membuat syetan itu
terlihat sedemikian kuat. Meskipun syeitan itu tidak kuat, tetapi ia itu licik
dan licin. Ia lebih banyak mempergunakan tipu daya dan siasat daripada
menantang dengan terang-terangan.
Aktivitasnya tidak menggempur melainkan membujuk,
berkianat, dan menghadang. Tipu daya yang dibuat syeitan adalah soal
keputusasaan manusia sebagai kelemahan yang utama. Manusia juga pada
kenyataannya mempunyai kencenderungan-kecenderungan baik dan jahat. Di dalam
diri manusia senantiasa ada perjuangan di antara kedua kecenderungan tersebut.
Namun kecenderungan jahat kerap menjadi sedimikian kuat karena adanya tipu
muslihat syeitan. Karenanya, kunci pertahanan manusia terhadap godaan syeitan
adalah taqwa. Terhadap godaan untuk mengikuti kecenderungan jahat,
manusia perlu mengikuti jalan Allah dan memohon pertolongan-Nya. “Siapa-siapa yang
berpihak pada Allah dan Rasul-Nya adalah orang-orang yang beriman –
sesungguhnya partai Allah akan memperoleh kemenangan (5:56).
Selain itu, ada juga pandangan tentang kejahatan
objektif yang dalam al-Qur’an disebut sebagai thagut. Thagut berarti
prinsip kejahatan atau kekafiran.[34]
8. Lahirnya Masyarakat Muslim
Dalam bab ini Fazlur Rahman mencoba mengkritisi pandangan
landasan teori klasik tentang lahirnya masyarakat Muslim di Medinah menurut
Snouck Hurgronye. Fazlur Rahman mengatakan bahwa memang benar bahwa risalat
al-Qur’an itu sama dengan risalat yang diserukan oleh nabi-nabi di zaman
dahulu, tetapi tidak benar apabila dikatakan bahwa risalat al-Qur’an hanya
tertuju pada orang-orang Arab dan risalat-risalat para nabi itu di zaman dahulu
itu hanya tertuju pada kaum mereka masing-masing. Tidak benarlah pula
bahwa ketika di kemudian hari Ibrahim dihubungkan dengan Islam (hal ini terjadi
di Makkah, bukan di Madinah), al-Qur’an menyerahkan Musa kepada orang-orang
Yahudi dan Isa kepada orang-orang Kristen sebagai milik mereka karena tentangan
mereka. Tidak benar pula bahwa perubahan arah kiblat menunjukkan putusnya atau
nasionalisasi terhadap orientasi religius Nabi Muhammad. Kesulitan untuk
memahami hal ini adalah karena pandangan bahwa kehidupan Nabi dan al-Qur’an itu
terbagi ke dalam dua buah “periode” yang terpisah dan berdiri sendiri—periode
Makkah dan periode Madinah—dan pandangan yang seperti ini diyakini oleh hampir
semua para ahli Islam di zaman modern ini.
Dari keterangan al-Qur’an, dapat diperoleh informasi
bahwa sebelum kedatangan al-Qur’an, sebagian penduduk Makkah sangat
menginginkan adanya agama baru seperti Yahudi dan Kristen. Keadaan yang seperti
ini sebagiannya adalah disebabkan karena masuknya ide-ide Yahudi-Kristen ke
mileu Arab. Mereka menginginkan sebuah agama baru dan sebuah Kitab Suci baru,
sehingga mereka berbeda dari kaum-kaum yang terdahulu dan bahwa mereka tidak
suka menerima Kitab-Kitab Suci yang terdahulu. Bahkan ketika al-Qur’an
dibawakan oleh Nabi Muhammad, terjadi perbantahan-perbantahan pula dari antara
penduduk Makkah supaya ajaran-ajaran al-Qur’an diubah. Mereka menghendaki
beliau untuk memberikan tempat pada tuhan-tuhan mereka di antara Allah dengan
manusia. Kenyataan ini dapat menerangkan mengapa mereka tidak mau memandang Yesus
lebih tinggi daripada tuhan-tuhan mereka sendiri.
Karenanya ketika ajaran-ajaran Nabi (bahwa Allah
itu Esa, bahwa orang-orang yang miskin harus diberi kesempatan untuk maju, dan
di saat terakhir nanti ada hari pengengadilan) mulai mendapat tantangan, banyak
kisah-kisah mendetail mengenai para Nabi di zaman dahulu yang diulangi di
dalam al-Qur’an. Hampir merupakan kenyataan yang tak dapat diragukan lagi bahwa
Nabi Muhammad pernah mendengar kisah-kisah tersebut dari orang-orang tertentu
dengan identifikasi yang tak dapat ditemukan lagi dan orang-orang Makkah
sendiri tidak enggan-enggan untuk menunjukkan kenyataan ini. Meskipun demikian
Nabi Muhammad berkeras mengatakan bahwa kisah-kisah tersebut telah diwahyukan
oleh Allah. Karena kesamaan spiritual dengan nabi-nabi zaman dahulu melalui
penerimaaan Wahyu itu, Muhammad benar-benar yakin mengenai keidentikan setiap
risalat yang disampaikan oleh nabi-nabi.[35]
Jika Allah itu Esa dan Risalatnya juga esa serta pada
dasarnya tidak dapat dipecah-pecah, maka ummat manusia harus menjadi satu
kaum. Karena di antara para penganut agama-agama yang terdahulu itu ada
yang membenarkan misinya maka Muhammad ingin mempersatukan agama-agama tersebut
ke dalam sebuah masyarakat, menurut ajaran-ajaran dan persyaratan-persyaratannya,
tetapi begitu bertambah luas pengetahuannya mengenai perbedaan di antara
agama-agama dan sekte-sekte tersebut, lambat laut ia pun segera menyadari bahwa
persatuan itu tidak mungkin digalang.[36]
Hal yang penting
di sini adalah efek dari persepsi Muhammad mengenai keanekaragaman tersebut
terhadap perkembangan masyarakat Muslim. Ide Nabi Muhammad untuk menegakkan
masyarakat seagama tidak tercetus di Madinah (sebagaimana yang dinyatakan
Hurgronye), tetapi sebenarnya sudah ada ketika ia di Makkah.
Selain itu, jika Muhammad mengikuti serta menerima
warisan nabi-nabi di zaman dahulu dan al-Qur’an menerima warisan dari
Wahyu-wahyu Allah yang terdahulu, maka kaum Muslimin pada zaman sekarang ini
menerima warisan dari kaum-kaum yang terdahulu. Ketika Muhammad benar-benar
yakin bahwa ia memiliki kedudukan yang sama seperti nabi-nabi di zaman dahulu,
bahwa orang-orang Arab jahiliah yang menyembah berhala itu berada di dalam
kesesatan, dan bahwa kaum-kaum lain yang terpecah belah itu pun berada di dalam
kesesatan, maka oleh al-Qur’an ia dijuluki sebagai seorang yang hanif (monotheis
sejati), dan agamanya dinyatakan sebagai “agama yang lurus” (al-din
al-qayyim). Bahwa agama ini adalah monotheisme murni yang sangat dipujikan
kepada Ibrahim dan secara khusus diperkembangkan untuk menentang pemujaan
terhadap dewa-dewa jahiliah, terlihat dengan jelas dari ayat-ayat 12:37-40.[37]
BAB
III
KESIMPULAN
- Bahwa metode kajian al qur’an yang ditempuh oleh fazlurrahman memang agak baru (pada zamannya) sekalipun bibit-bibit/usaha awal dengan metode serupa sudah pernah dilakukan oleh ulama sebelumnya.
- Pendekatan kajian al qur’an dengan cara tematik, memang lebih menarik disamping juga memperkaya dan menambah ketajamn makna yang dikandung oleh sebuah ayat/surat dalam sebuah tema yang sama. Kajian yang demikian semakin menjadikan pesan/makna al qur’an jadi utuh (holistik) dan tidak terpecah-pecah (parsial)
- Fazlurrahman sama sekali tidak memasukkkan al Hukm (fiqh) sebagai bagian dari tema al qur’an padahal ia adalah bagian integral dari al qur’an yang sangat substansial. Nampaknya kriteria yang digunakan Rahman dalam menentukan tema-tema al qur’an lebih melihat kepada subyek dan hubungan antar subyek (seperti Tuhan, manusia Malaikat, Jin Iblis, Syaitan dan hubungan yang terjalin diantara subyek-subyek tersebut), Sementara obyek hukum (dan yang lain-lainnya) sama sekali tidak mendapat perhatian serius oleh fazlurrahman.
- Keseluruhan tema al qur’an dibahas secara tajam, mendalam dan bagus, kecuali pada tema kedelapan. Di sini Rahman kehilangan moment emasnya, karena fokus kajian adalah lahirnya masyarakat muslim akan tetapi di dalamnya justru dibentangkan panujang lebar perdebatan tentang entitas agama islam yang bukan merupakan unsur yahudi dan nasrani melainkan turunan dari nabi Ibrahim as.
- Adalah benar pernyataan Rahman yang mengatakan bahwa al qur’an tidak membuktikan adanya Tuhan akan tetapi menunjukkan cara untuk mengenal Tuhan. Filsuf Kontemporer Prancis Roger Garaudy (1982:146) mengatakan bahwa dalam al qur’an Tuhan tidak menunjukkan diri-Nya akan tetapi hanya menunjukkan sabdaNya dan hukumNya.
- Hal menarik lainnya adalah ketika Rahman mengatakan bahwa al qur’an diturunkan dengan mengambil setting kondisi masyarakat jahiliyyah yang cenderung timpang baik secara sosial maupun ekonomi.
DAFTAR
RUJUKAN
Abdurrahman,
Muslim., 1995, Islam Transformatif, Jakarta: Pustaka Firdaus.
-------------.,
1992, Islam dan Tantangan Modernitas:Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman,
Bandung:Mizan.
Amin, M.
Masyhur., 1989, Teologi Pembangunan, Paradigma Baru Pemikiran Islam,
Yogyakarta:LKPSM-NU.
Azra,
Azyumardi., 1999, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme,
hingga Post-Modernisme, Jakarta:Paramadina
Fahal,
Muktafi dan Achmad Amir Aziz, 1999, Teologi Islam Modern, Surabaya: Gitamedia
Press.
Fazlur
Rahman,terj.Anas, Tema Pokok Al-Qur’an, Bandung:Pustaka;1996
Gibb,
H.A.R., 1995, Aliran-aliran Modern dalam Islam, terj. Machnun Husain, Jakarta:
Rajawali Press
Harun Nasution, 1992, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah
Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang.
Ma’arif,
Ahmad Syafi’i, 1995, Membumikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Madjid,
Nurcholish., 1993, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan.
Muhammad
Sharur dkk, Studi Al-Qur’an Kontemporer,Yogyakarta:Tiara
Wacana Yogya,2002
Syikh
Manna’ Al-Qaththan,terj.Aunur,Pengantar
Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta:Pustaka Al-Kautsar,2006
Teungku
Muhammad Hasbi AS, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an,Semarang:Pustaka
Rizki Putra,2010
Nurcholish
Madjid, 1993, “Fazlur Rahman dan Rekonstruksi
Etika Al-Qur’an” dalam Islamika, No. 2, Oktober-Desember.
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, 1973., Sejarah Pengantar dan Ilmu
Tauhid/Kalam, Jakarta: Bulan Bintang.
http://dirga.wordpress.com/2007/05/14/tema-pokok-al-qur%E2%80%99an/
[1] Mannaa’ Al-Qaththan,Pengantar Studi
Al-Qur’an,Terj.Aunur Rafiq(Jakarta;Pustaka Al-Kautsar;2006),hlm.407
[2]
Teungku Muhammad H,Ilmu-Ilmu Al-Qur’an,(Semarang;Pustaka
Rizki Putra;2009),hlm.187
[3] Ali Masrur dalam Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas Studi atas
Pemikiran Hukum Fazlur Rahman (Yogyakarta:Tiara Wacana Yogya,2002),hlm.44
[6]
Ali Masrur dalam Tamara
Sonn,”Fazlur Rahman”, (Yogyakarta:Tiara Wacana Yogya,2002),hlm.46
[7]
Fazlur Rahman, Tema Pokok
Al-Qur’an, terj.Anas,(Bandung:Pustaka;1996),hlm.xi
[8] Ali Masrur dalam Fazlur Rahman, Metode dan Alternbatif Neomodernisme Islam
(Yogyakarta:Tiara Wacana Yogya,2002),hlm.47
[9]
Ibid.
[10] Ali Masrur dalam Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas,( Yogyakarta:Tiara
Wacana Yogya,2002),hlm.49
[11]
Fazlur Rahman,terj. Anas,Tema Pokok Al-Qur’an,(Bandung:Pustaka;1996),hlm.2
[14]
Ibid.hlm.26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar