BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Jauh
sebelum kedatangan Islam, masyarakat Arab telah memiliki agama, adat istiadat,
akhlak serta peraturan-peraturan hidup. Pada dasarnya masyarakat Arab mayoritas
mengikuti dakwah Isma’il Alaihis-Salam, yaitu menyeru kepada
agama bapaknya Ibrahim Alaihis-Salam yang intinya menyeru
menyembah Allah, mengesakan-Nya, dan memeluk agama-Nya.
Meskipun
mengadopsi praktek ritual politeistik nenek moyang, Nabi Ibrahim AS menentang
penyembangan banyak tuhan dan berjuang untuk mengajarkan prinsip “ hanya ada
satu Tuhan”. Namun waktu terus bergulir sekian lama, hingga banyak diantara
mereka yang melalaikan ajaran yang pernah disampaikan kepada mereka. Bangsa
arab lantas kembali lagi kepada agama nenek moyang mereka yakni menyembah berhala
Penyembahan
berhala dikenal sebagai agama masyarakat pra-Islam. Bentuk berhala itu bermacam-macam, di antaranya berbentuk
manusia laki-laki dan perempuan, atau hewan yang terbuat dari batu atau bahan
lainnya. Tampaknya penyembahan berhala merupakan ritus yang umum di masyarakat
Arab Jahiliyya, sehingga pada setiap kabilah atau suku, dan bahkan setiap rumah
terdapat berhala. Melihat berhala yang disembah dapat dikatakan bahwa tidak
terdapat keseragaman tuhan dan peraturan keagamaan di kalangan mereka.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana geografi jazirah Arab sebelum Islam?
2.
Bagaimana Bangsa Arab dan Struktur
masyarakatnya sebelum Masuknya Islam kesana?
3.
Bagaimana agama dan kebudayaan bagsa Arab
Pra-Islam?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Dapat mengetahui letak goegrafis jazirah Arab Pra-Islam
2.
Paham dan mengerti Bangsa Arab dan Struktur masyarakatnya sebelum
Masuknya Islam
3.
Supaya mengerti keadaan agama dan kebudayaan Arab Arab
Pra-Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Letak Geografis Jazirah Arab Pra Islam
Jazirah dalam bahasa Arab berarti pulau, jadi jazirah Arab berarti
“ pulau Arab “. Oleh bangsa Arab, tanah air mereka disebut jazirah, kendatipun
hanya dari tiga jurusan saja dibatasi oleh laut. Yang demikian itu adalah
secara majas (tidak sebenarnya). Sebagian ahli sejarah menamai tanah Arab itu “
Shibul jazirah” yang dalam bahasa Indonesia berarti “ semenanjung ”.[1]
Biasanya, dalam membicarakan wilayah geografis yang didiami bangsa
Arab sebelum Islam, orang membatasi pembicaraan hanya pada Jazirah Arab,
padahal bangsa Arab juga mendiami daerah-daerah di sekitar Jazirah. Jazirah
Arab memang merupakan kediaman mayoritas bangsa Arab kala itu. Jazirah Arab
terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu bagian tengah dan bagian pesisir.
Disana tidak ada sungai mengalir tetap, yang ada hanya lembah-lembah berair
dimusim hujan. Sebagian besar daerah Jazirah adalah padang pasir Sahara yang
terletak di tengah dan memiliki keadaan dan sifat yang berbeda-beda.[2]
Jazirah Arabia dibatasi di sebelah utara oleh Palestina dan Gurun
Suriah (Baadiyah asy-syam), disebelah selatan oleh samudra Hindia dan Teluk
Aden, disebelah barat oleh laut merah, dan sebelah timur oleh treluk Persia,
Sungai Eufrat, Sungai Trigis dan laut Arab. Jazirah Arabia dikelilingi oleh
lautan disebelah selatan, barat dan timur, sedangkan disebelah utara oleh
padang pasir yang amat luas. Oleh karena banyaknya air yang mengelilinginya,
maka kawasan ini diberi nama jazirah Arabia (sering disebut Syibh al-Jazirah
al-Arabiyyah, anak benua Arabia, meskipun pada hakekatnya bukan merupakan
jazirah atau benua sendiri)[3].
Jazirah Arab terbagi atas dua bahagian yaitu bagian tengah dan
bagian tepi. Setiap bagian memiliki bentangan alam tersendiri. Bagian tengah
terdiri dari daerah pegunungan yang amat jarang dituruni hujan. Di bagian
tengah inilah orang Badui tinggal. Bagian tengah dari Jazirah Arab terbagi
menjadi dua bagian yang lebih kecil yaitu: Bagian utara yang disebut Najed dan
bagian selatan yang disebut Al-Ahqaf. Bagian selatan penduduknya amat sedikit.
Karenanya bagian ini disebut Ar-Rab'ul Khali (tempat yang sunyi). Jazirah Arab
bagian tepi merupakan sebuah pita kecil yang melingkari Jazirah Arab. Pada
bagian tepi ini, hujan yang turun cukup teratur. Bagian tepi inilah yang
didiami oleh orang atau penduduk kota. Sedangkan ahli –ahli ilmu purba membagia
Jazirah Arab
menjadi tiga bagian :
1. Arab Petrix, yaitu daerah-daerah yang terletek di
sebelah barat daya lembah Syam.
2. Arab Deserta, yaitu daerah Syam sendiri.
B.
Bangsa Arab dan Struktur masyarakatnya sebelum Masuknya Islam
Dari silsilah keturunan bangsa Arab, para ahli sejarah
membagi menjadi dua kelompok yaitu;
1.
Arab Ba’idah
Yaitu bangsa arab yang telah
musnah yaitu, orang-orang arab yang telah lenyap jejaknya. Jejak mereka tidak
dapat diketahui kecuali hanya terdapat dalam catatan kitab-kitab suci. Arab
Ba'idah ini termaksud suku bangsa arab yang dulu pernah mendiami Mesopotamia
akan tetapi, karena serangan raja namrud dan kaum yang berkuasa di Babylonia,
sampai Mesopotamia selatan pada tahun 2000 SM suku bangsa ini berpencar dan
berpisah ke berbagai daerah, di antara kabilah mereka yang termaksud adalah:
'Aad, Tsamud, Ghasan, Jad.
2.
Arab Baqiyah ( bangsa Arab yang masih lestari) dan mereka
terbagi dalam dua kelompok yaitu sebagai berikut;
a.
Arab Aribah
Yaitu kelompok Qohthon, dan tanah air mereka adalah Yaman. Di
antara kabilah-kabilah mereka yang
terkenal yaitu Jurham, Ya’rab dan dari Ya’rab ini lahirlah suku-suku Kahlan dan
Himyar. Kerajaan yang terkenal adalah
kerajaan Saba' yang berdiri abad ke-8 SM dan kerajaan Himyar berdiri abad ke-2
SM.
b.
Arab Musta'ribah
Arab Musta'ribah sering juga disebut Bani
Ismail bin Ibrahim ismail (Adnaniyyun). Mereka adalah sebagian besar penduduk Arabia, dari
dusun sampai ke kota, yaitu mereka yang mendiami bagian tengah Jazirah Arabia
dan negeri Hijaz sampai Lembah Syiria. Mereka dinamakan Arab Musta’ribah karena
pada waktu itu Jurham dari suku Qohthaniyah mendiami Mekah, mereka tinggal
bersama nabi Ibrahim as, serta ibunya, dimana kemudian nabi Ibrahim dan
putra-putranya mempelajri bahasa Arab.[5]
Dikalangan
Bangsa Arab terdapat beberapa kelas masyarakat, yang kondisinya berbeda antara yang
satu dengan yang lain. Hubungan seorang keluarga dikalangan bangsawan sangat
diunggulkan dan diprioritaskan, dihormati dan dijaga sekalipun harus dengan
pedang yang terhunus dan darah yang tertumpah. Jika seorang ingin dipuji dan
menjadi terpandang dimata bangsa Arab karena kemuliaan dan keberaniannya, maka
dia harus banyak dibicarakan kaum wanita.
Sedangkan kondisi dan kedudukan wanita sebelum Islam
sumbernya bervariasi. Ada yang menyatakan bahwa di kalangan bangsa Arab
terdapat beberapa kepala suku wanita, seperti Ummu Aufah, Kindah, dan
sebagiannya yang berdiam di Mekah, Madinah dan sebaginya. Merekalah yang menentukan
segala kebijakan.[6]
Jika seorang wanita menghendaki, maka dia bisa mengumpulkan beberapa kabilah
untuk suatu perdamaian, dan jika wanita itu mau maka dia bisa menyulutkan api
peperangan dan pertempuran diantara mereka. Sekalipun begitu, seorang laki-laki
tetap dianggap sebagai pemimpin ditengah keluarga, yang tidak boleh dibantah
dan setiap perkataannya harus dituruti. Hubungan laki-laki dan wanita harus
melalui persetujuan wali wanita.
Namun jumlah mereka tidak banyak. Kebanyakan wanita tidak
ada harganya di mata masyarakat. Mereka dianggap tidak lebih dari barang yang
diperjual belikan di pasar. Mereka tidak dapat waris dari suami atau orang tua.
Laki-laki dengan semaunya bisa nikah dengan wanita banyak, sedangkan wanita
hampir tidak. Terdapat juga dalam beberapa suku, ibu tiri menikah dengan anak
tirinya, saudara kandung menikah dengan sesama saudaranya.[7]
Selain itu banyak hubungan antara wanita dan laki-laki
yang diluar kewajaran, seperti;
1. Pernikahan secara spontan, seorang laki-laki mengajukan
lamaran kepada laki-laki lain yang menjadi wali wanita, lalu dia bisa
menikahinya setelah menyerahkan mas kawin seketika itu pula.
2.
Para laki-laki bisa mendatangi wanita sekehendak
hatinya. Yang disebut wanita pelacur.
3.
Pernikahan Istibdha’, seorang
laki-laki menyuruh istrinya bercampur kepada laki-laki lain hingga mendapat
kejelasan bahwa istrinya hamil. Lalu sang suami mengambil istrinya kembali bila
menghendaki, karena sang suami menghendaki kelahiran seorang anak yang pintar
dan baik.
4.
Laki-laki dan wanita bisa saling berhimpun dalam
berbagai medan peperangan. Untuk pihak yang menang, bisa menawan wanita
dari pihak yang kalah dan menghalalkannya menurut kemauannya.
C.
Agama dan Kebudayaan Arab Pra Islam
1.
Agama Arab Pra Islam
Paganisme,
Yahudi, Majusi dan Nasrani adalah
agama orang Arab pra-Islam.[8]
Pagan adalah agama mayoritas mereka. Ratusan berhala dengan bermacam-macam
bentuk ada di sekitar Ka’bah. Ada sekitar
360 berhala yang mengelilingi berhala utama, Hubal, yang terdapat di Ka’bah.[9] Orang yang
pertama kali memasukan berhala dan mengajak menyembah adalah Amr bin Luhayyi
bin Qam’ah, nenek moyang bani Khuza’ah.[10]Mereka
berkeyakinan bahwa berhala-berhala itu dapat
mendekatkan mereka pada Tuhan sebagaimana yang tertera dalam al-Quran. Agama
pagan sudah ada sejak masa sebelum Ibrahim. Setidaknya ada beberapa sebutan bagi berhala-hala itu: Sanam, Wathan, Nuṣub, Latta, Uzza, Manat
dan Hubal. Ṣanam
berbentuk manusia dibuat dari logam atau kayu. Wathan juga dibuat dari
batu. Nuṣub adalah batu karang tanpa suatu bentuk tertentu. Lata Dewa tertua, Uzza
bertempat di Hijaz, Manat bertempat di Yatsrib dan Ḥubal
berbentuk manusia yang dibuat dari batu akik yang dianggap
dewa terbesar.[11]
Agama Yahudi
dianut oleh para imigran yang bermukim di Yathrib dan Yaman. Tidak banyak data
sejarah tentang pemeluk Yahudi di
Jazirah Arab, kecuali di Yaman. Dzū Nuwās adalah seorang penguasa Yaman yang
condong ke Yahudi. Dia tidak menyukai penyembahan berhala yang telah menimpa
bangsanya. Dia meminta penduduk Najran agar masuk agama Yahudi, kalau tidak
akan dibunuh. Karena mereka menolak, maka digalilah sebuah parit dan dipasang
api di dalamnya. Mereka dimasukkan ke dalam parit itu dan yang tidak mati
karena api, dibunuh dengan pedang atau dibuat cacat. Korban pembunuhan itu
mencapai dua puluh ribu orang. Tragedi berdarah dengan motif fanatisme agama
ini diabadikan dalam al-Quran dalam kisah “orang-orang yang membuat parit”.[12]
Adapun
Kristen di Jazirah Arab dan sekitarnya sebelum kedatangan Islam tidak ternodai
oleh tragedi yang mengerikan semacam itu. Yang ada adalah pertikaian di antara
sekte-sekte Kristen yang meruncing. Menurut Muḥammad ‘Ᾱbid al-Jābirī, al-Quran
menggunakan istilah “Naṣārā” bukan “al-Masīḥīyah” dan “al-Masīḥī” bagi pemeluk
agama Kristen. Bagi pendeta Kristen resmi (Katolik, Ortodoks, dan Evangelis)
istilah “Naṣārā” adalah sekte sesat, tetapi bagi ulama Islam mereka adalah
“Ḥawārīyūn”.
Para
misionaris Kristen menyebarkan doktrinnya dengan bahasa Yunani yang waktu itu
madhhab-madhhab filsafat dan aliran-aliran gnostik dan hermes menyerbu daerah
itu. Inilah yang menimbulkan pertentangan antara misionaris dan pemikir Yunani
yang memunculkan usaha-usaha mendamaikan antara filsafat Yunani yang bertumpu
pada akal dan doktrin Kristen yang bertumpu pada iman. Inilah yang melahirkan
sekte-sekte Kristen yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru, termasuk
Jazirah Arab dan sekitarnya. Sekte Arius menyebar di bagian selatan Jazirah
Arab, yaitu dari Suria dan Palestina ke Irak dan Persia. Misionaris sekte ini
telah menjelajahi penjuru-penjuru Jazirah Arab yang memastikan bahwa dakwah
mereka telah sampai di Mekah, baik melalui misionaris atau pedagang Quraysh
yang mana mereka berhubungan terus-menerus dengan Syam, Yaman, da Ḥabashah.
Tetapi salah satu sekte yang sejalan dengan tauhid murni agama samawi adalah
sekte Ebionestes.[13]
Salah
satu corak beragama yang ada sebelum Islam datang selain agama di atas adalah Ḥanīfīyah,
yaitu sekelompok orang yang mencari agama Ibrahim yang murni yang tidak
terkontaminasi oleh nafsu penyembahan berhala-berhala, juga tidak menganut
agama Yahudi ataupun Kristen, tetapi mengakui keesaan Allah. Mereka berpandangan
bahwa agama yang benar di sisi Allah adalah Ḥanīfīyah, sebagai aktualisasi dari
millah Ibrahim. Gerakan ini menyebar luas ke pelbagai penjuru Jazirah Arab
khususnya di tiga wilayah Hijaz, yaitu Yathrib, Ṭaif, dan Mekah. Di antara
mereka adalah Rāhib Abū ‘Ámir, Umayah bin Abī al-Ṣalt, Zayd bin ‘Amr bin
Nufayl, Waraqah bin Nawfal, ‘Ubaydullah bin Jaḥsh, Ka’ab bin Lu`ay, ‘Abd
al-Muṭallib, ‘As’ad Abū Karb al-Ḥamīrī, Zuhayr bin Abū Salma, ‘Uthmān bin
al-Ḥuwayrith.[14]
Tradisi-tradisi
warisan mereka yang kemudian diadopsi Islam adalah: penolakan untuk menyembah
berhala, keengganan untuk berpartisipasi dalam perayaan-perayaan untuk
menghormati berhala-berhala, pengharaman binatang sembelihan yang dikorbankan
untuk berhala-berhala dan penolakan untuk memakan dagingnya, pengharaman riba,
pengharaman meminum arak dan penerapan vonis hukuman bagi peminumnya,
pengharaman zina dan penerapan vonis hukuman bagi pelakunya, berdiam diri di
gua hira sebagai ritual ibadah di bulan ramaḍan dengan memperbanyak kebajikan
dan menjamu orang miskin sepanjang bulan ramaḍan, pemotongan tangan pelaku
pencurian, pengharaman memakan bangkai, darah, dan daging babi, dan larangan
mengubur hidup-hidup anak perempuan dan pemikulan beban-beban pendidikan mereka.[15]
Karena ajaran agama Nabi Ibrahim masih membekas dikalangan bangsa
Arab, maka diantara mereka masih ada yang tidak menyembah berhala. Mereka
adalah Waraqah ibn Naufal dan Usman ibn Huwaris, yang mengnut agama Kristen,
Abdullah ibn Jahsy yang ragu-ragu( ketika Islam dating ia m,menganutnya tetapi
kemudian ia menganut agama Masehi). Zaid ibn umar tidak tertarik kepada agama
Masehi, tetapi juga enggan menyembah berhala dan tidak mau memakan bangkai dan
darah. Umayah ibn Abi as-Salt dan Quss ibn As’ida al-Iyadi juga berbuar
demikian. Agama masehi (Kristen) banyak dipeluk oleh penduduk Yaman, Nazram dan
Syam, sedangkan agama Yahudi dipeluk oleh penduduk Yahudi imigran yang tinggal
di Yaman dan Yastrib (Madinah) yang besar jumlahnya, serta dipeluk oleh kalangan
orang-orang Persia.[16]
2.
Kebudayaan Arab Pra Islam
Peradaban bangsa Arab pra-Islam, yang disebut periode Jahiliyah,
adalah bukti dari adanya sebuah kebudayaan Arab yang mendahului datangnya
kebudayaan Islam. Salah satu kelebihan bangsa Arab adalah terletak pada
bahasanya. Bahasa Arab merupakan salah satu bahasa rumpun yang paling sempurna
dan mampu bertahan dari seleksi alam hingga Islam datang, kemudian mengalami
perkembangan sangat pesat karenya. Sehingga Philip K. Hitti dalam bukuinya A History of The Arab. Memberikan
penilaian bahwa keberhasilan penyebaran Islam di antaranya didukung oleh
keluasan bahasa Arab, khususnya bahasa Arab Al-Qur’an. Dari kesempurnaan bahasa yang
mereka kuasai, banyak sekali diantara mereka menghasilkan seni kesusastraan yang
tinggi.
Pada umumnya sastra Arab Jahiliah mendiskripsikan
keberadaan kemah (karena kehidupan para pujangga yang berpindah pindah dari
satu kemah ke kemah lainnya), hewan sebagai klendaraan tunggangan, kehidupan
mewah para bangsawan agar dengan begitupara pujangga mendaptkan imbalan materi
dan pujian tertentu, alam sekitar, keberanian seseorang atau sekelompok
kabilah, atau kecantikan seorang wanita pujaan.
Hal lain yang menjadi tujuan atau
kecenderungan sastra Arab Jahiliah adalah ritsa’
(ratapan), ode (pujian), satire (serangan terhadap kabilah tertentu), fakhr (kebanggan kelompok tertentu),
anggur sebagai lambang eksentrik para sastrwan atau untuk kebanggaan memiliki
suasana trance. Tetapi deskripsi dalm sastra terdebut seantiasa diselipi dengan
nasehat atau filsafat hidup tertentu.[17]
Selain dunia kesusastran masyarakat
pra Islam pada saat itu telah memiliki sistem hukum yang berlaku. Diantaranya
adalah sistem pewarisan, perkawinan dan perceraian. Khusus masalah perkawinan
terdapat bentuk-bentuk perkawinan yang mereka jalankan diantaranya adalah;
1. Perkawinan Mut’ah (kesenangan)
Perkawian ini dibatasi masa, bila sudah tiba masa
perjanjian perkwinan, maka keduanya berpisah. Perkawinan ini umum dilakukan
orang arab jahiliah. Penyebab adanya bentuk perkawinan ini adalah mereka suka
berkelana, berpindah setempat, dan sering terlobat peperangan. Banyaknya pria
pendatang pergi ketempat wanita untuk mengadakan ikatan perkawinan mut’ah
dengan salah seorang dari mereka. Ketika perjanjian berakhir, si pia prgi meninggalkan
istri dii kampungnya. Anak-anak hasil perkawinan ini biasanya ikut ibunya. Hal
ini karena anak sering kumpul dengan ibunya. Sedangkan ayahnya pergi
kemana-mana tidak tentu rimbanya.
Maka hubungan antara anak dan ayah terputus
sejalan dengan putusnya hubungan antara suami dan istri. Nasab anak-anak hasil perkawianan ini
dinisbahkan pada keluarga ibunya.
Ada 6 perbedaan prinsip antara nikah mut'ah
dan nikah sunni (syar'i):
a. Nikah mut'ah dibatasi oleh waktu, nikah sunni tidak
dibatasi oleh waktu.
b. Nikah mut'ah berakhir dengan habisnya waktu
yang ditentukan dalam akad atau fasakh, sedangkan nikah sunni berakhir dengan
talaq atau meninggal dunia.
b. Nikah mut'ah tidak berakibat saling mewarisi antara suami
istri, nikah sunni menimbulkan pewarisan antara keduanya.
c. Nikah mut'ah tidak membatasi jumlah istri, nikah sunni
dibatasi dengan jumlah istri hingga maksimal 4 orang.
d. Nikah mut'ah dapat dilaksanakan tanpa wali dan saksi,
nikah sunni harus dilaksanakan dengan wali dan saksi.
e. Nikah mut'ah tidak mewajibkan suami memberikan nafkah
kepada istri, nikah sunni mewajibkan suami memberikan nafkah kepada istri.
2. Perkawinan Zawaaq (cicipan)
Perkawinan ini dilakukan tanpa perjanjian.
Bila keduanya mersa bosan, mereka bisa berpisah. Perkawinan bentuk ini biasanya
hanya berlaku pada kaum Badui yang tidak pernag berkomunikasi dengan dunia luar
dan biasanya hanya berlaku beberapa hari.
3. Perkawinan Istibdaa’ (menjadikan barang dagangan)
seorang laki-laki menyuruh istrinya bercampur
kepada laki-laki lain hingga mendapat kejelasan bahwa istrinya hamil. Lalu sang
suami mengambil istrinya kembali bila menghendaki, karena sang suami
menghendaki kelahiran seorang anak yang pintar dan baik.
4. Perkawinan Khadn (teman intim)
Perkawinan ini terjadi antara pria dan wanita
pun memilih pria yang disenanginya. Lalu, mereka mengadakan hubungan kelamin
secara terang-terangan di depan umum tanpa upacara adat atau agama.
5. Perkawinan Mutadaamidah (saling membalut)
Perkawinan ini dilakukan ketika seorang
wanita bersuami mempunyai kekasih
seorang atau lebih. Ia dengan bebas bisa berhubungan intim dengan kekasihnya
tanpa harus takut kepada suaminya. Penyelewengan ini dibenarkan dalam
masyarakat Jahiliah. Suami menyuruh istrinya keluar mencari lelaki kaya yang
mau menggaulinya. Suami memaksa istrinya keluar pergi ke pasar atau tempat
ramai untuk menjual dirinya agar
menghasilkan uang. Bila uang sudah terkumpul, istri kembali ke rumah suaminya
dengan membawa harta yang banyak.
6. Perkawinan Badal (tukar)
Pertukaran ini dilakukan oleh pria Arab Zaman
Jahiliah. Orang menukarkan istrinya dengan istri temannnya atau istri orang
lain yang dikehendakinya. Pertukaran ini tidak hanya terjadi sekali dalam
hidupnya namun bisa berkali-kali sesuai dengan keinginan suaminya untuk
menukarkan istrinya kepada orang lain
7. Perkawinan Syghar (liar)
Perkawinan bentuk ini sama dengan perkawinan
pertukaran. Perbedaannya ialah bahwa dalam perkawainan syighar, yang ditukarkan bukan istrinya tetapi anak atau saudara
wanitanya. Ini dilakukan tanpa maskawin, sebab pertukaran itu sudah dianggap
sebaga pengganti mas kawin.
8. Perkawinan Maqt(kutukan)
Ini adalah perkawinan antara seorang anak
pria dengan ibu tirinya, yaitu bekas istri ayahnya yang telah meninggal dunia. Istri ayah dijadikan
barang warisan yang diwarisi anak lekaki ayahnya. Di Yatstrib, seorang
meninggal dunia dan tidak mempunyai anak atau saudara pria, maka ahli waris
yang lain meletakkan bajunya di pundak istri peninggalannya. Hal ini
menunjukkan bahwa wanita itu sudah dikuasainya dan menjadi miliknya. Jika mau,
wanita itu dikawinkan dengan siapa saja yang dikehendakinya, jika tidak, wanita
itu dibiarkan menjanda seumur hidup. Ia seperti mewarisi harta peninggalannya.
Apabila bisa menebus dirinya sendiri dengan sejumlah harta, maka wanita itu
dibebaskan dari penguasaannya.
9. Perkawinan Saby (tawanan)
Perkawinan ini dilakukan oleh yang menang
perang terhadap wanita yang menjadi tawanan perang . perkawinan ini terjadi
tanpa persetujuan pihak wanita atau walinya dan juga tanpa mahar. Wanita
tawanan ini menjadi wanita sabiyah
bila tak ada keluarga atau suku yang menebusnya. Pemilik tawanan ini bebas
memberlakukannya. Bila tidak ditebus keluarganya, ia boleh dimiliki selamanya
atau diperjualbelikan kepada yang berminat.
10. Perkawinan Hamba Sahaya
Perkawinan ini dilakukan seorang tuan dengan
hamba wanitanya, sebab hamba wanita adalah milik dan barang tuannya. Bila
dikaruniai anak, anaknya tidak menasabkan namanya kepada ayahnya dan juga ia
dijadikan budak ayahnya. Orang Arab biasanya marah bila hamba sahayanya
melahirkan anak darinya. Seorang anak dari keturunan seorang hamba disebut
dengan haji, yakni orang ayahnyaseorang Arab
11. Perkawinan antara saudara lelaki dan saudara wanitanya,
atau ayah dan putrinya
Hal ini sering dilakukan oleh para raja atau
penguasa lainnya. Mereka menikahi saudara wanita atau anaknya dengan alasan
agar kehormatannya tetap terjaga dan harta bendanya tidak jatuh ke orang lain.
12. Perkawinan dengan beberapa istri
Seorang Arab mempunyai lebih dari seorang
istri bahkan ada yang berpuluh-puluh orang dalam satu masa. Biasanya yang
melakukan bentuk perkawainan ini adalah tokoh masyarakat, kepala suku, orang
terhormat dan juga orang kaya. Bila mereka mempunyai anak, maka anakya adalah
milik ayahnya karena di nisbahkan kepadanya.
13. Perkawinan Bu’ulah (suami/istri) atau Ahadi (monogami).[18]
Perkawinan seorang suami dengan seorang
sitri. Biasanya seorarang datang pada orang lain meminang anak gadisnya dengan
memberinya mas kawin. Dari semua bentuk perkawinan di atas, hanya perkawinan
bentuk terakhir ini yan diakui Islam dan berjalan sampai sekarang. Anak-anak
hasil perkawinan ini dinsbahkan kepada ayahnya. Dari sini, bergeserlah sistem
kekerabatan matrilinial kepada patrilinial, artinya penisbahan anak kepada
ibunya menjadi penisbahan kepada ayah. Disni ayahlah yang bertanggung jawab atas
anaknya. Bila anak perempuan mau kawin, maka yang menjadi walinya haruslah
ayahnya atau saudara ayahnya.
Namun secara garis
besar, kondisi masyarakat jahiliah pada saat itu bisa dikatakan lemah dan buta.
Kebodohan mewarnai segala aspek kehidupan, khurafat tidak bisa dilepaskan,
manusia hidup layaknya binatang. Hal ini bisa terjadi karena pada saat itu masa
fatrah (masa tidak adanya rasul)
terus berlangsung di tengah bangsa Arab dalam jangka waktu yang begitu panjang,
tanpa turunnya wahyu ilahi dan tidak pula ada pengemban hidayah (hidayah al-irsyad).
Kurun waktu itu terjadi antara masa kenabian
Ismail ‘alaihissalam dan masa kenabian Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam sang penutup para nabi. Oleh sebab itu, beragam adat
kebiasaan buruk pun mulai bermunculan di tengah masyarakat Arab jahiliah
sebagaimana bentuk-bentuk perkawinan yang telah disebutkan di atas.
Selain
itu masih ada lagi adat kebiasaan buruk yang dilakukan masyarakat jahiliah pada
saat itu diantaranya adalah sebagai berikut;
1.
Al-qimar (judi),
atau yang lazim dikenal dengan istilah “al-maysir”. Merupakan kebiasaan penduduk kota-kota di kawasan jazirah,
seperti Makkah, Thaif, Shan’a, Hajar, Yatsrib, Daumatul Jandal, dan sebagainya.
Islam melarang kebiasaan semacam ini melalui turunnya surat Al-Maidah ayat 90,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ
وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Wahai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan
setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung.”
(Q.s. Al-Maidah: 90)
(Q.s. Al-Maidah: 90)
2.
Menenggak khamr dan berkumpul-kumpul untuk
minum khamr bersama, bangga karenanya, serta memahalkan
harganya. Ini merupakan
kebiasaan orang-orang kota dari kalangan hartawan, pembesar, dan pujangga
sastra. Ketika kebiasaan ini mengakar kuat di tengah mereka dan bertakhta di
hati mereka, Allah mengharamkannya secara perlahan-lahan, setahap demi setahap.
Ini merupakan salah satu bentuk kasih sayang Allah Ta’ala terhadap
hamba-hamba-Nya. Karenanya, bagi-Nya segala puji dan segala kebaikan.
3.
Mengubur hidup-hidup anak perempuan. Seorang laki-laki mengubur anak perempuannya secara hidup-hidup ke
dalam tanah, selepas kelahirannya, karena takut mendapat aib. Dalam Alquran
Alkarim terdapat penentangan terhadap perilaku semacam ini serta penjelasan
tentang betapa kejinya perilaku ini. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya
celaan keras terhadap pelakunya pada hari kiamat. Allah Ta’ala berfirma dalam
surat At-Takwir,
وَإِذَا
الْمَوْؤُودَةُ سُئِلَتْ. بِأَيِّ ذَنبٍ قُتِلَتْ
“Dan
apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa
apakah dia dibunuh.” (Q.s. At-Takwir: 8—9)
4.
Membunuh anak-anak, baik lelaki maupun perempuan. Kekejian ini mereka lakukan karena takut miskin dan takut lapar,
atau mereka sudah putus harapan atas bencana kemiskinan parah yang melanda,
bersamaan dengan lahirnya si anak di wilayah yang merasakan dampak kemiskinan
tersebut. Kondisi ini terjadi karena tanah sedang begitu tandus dan hujan tak
kunjung turun. Setelah Islam datang, Islam mengharamkan adat keji nan buruk
seperti ini, melalui turunnya firman Allah Ta’ala,
وَلاَ
تَقْتُلُواْ أَوْلاَدَكُم مِّنْ إمْلاَقٍ نَّحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ
“Dan janganlah
kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi
rezki kepadamu dan kepada mereka.”
(Q.s. Al-An’am: 151)
(Q.s. Al-An’am: 151)
وَلاَ
تَقْتُلُواْ أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاقٍ نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُم
“Dan
janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan
memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu.”
(Q.s. Al-Isra’:31)
Yang dimaksud
dengan “imlaq” adalah kemiskinan yang begitu parah serta begitu
memprihatinkan.
5.
Wanita berdandan ketika keluar rumah, dengan tujuan menampakkan
kecantikannya, pada saat dia
lewat di depan lelaki ajnabi (lelaki yang bukan mahramnya).
Jalannya genit, berlemah gemulai, seakan-akan dia memamerkan dirinya dan ingin
memikat orang lain.
6.
Wanita merdeka menjadi teman dekat lelaki. Mereka menjalin hubungan gelap dan saling berbalas cinta secara
sembunyi-bunyi. Padahal si lelaki bukanlah mahram si wanita. Kemudian Islam
mengharamkan hubungan semacam ini, dengan diturunkannya firman Allah Ta’ala,
وَلاَ
مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ
“…
Dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya”
(Q.s. An-Nisa’: 25)
(Q.s. An-Nisa’: 25)
Padahal
si wanita bukanlah mahram si lelaki. Kemudian Islam mengharamkan hubungan semacam ini,
وَلاَ
مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ
“… Dan tidak
(pula lelaki) yang memiliki gundik-gundik ….”
(Q.s. Al-Maidah: 5)
7.
Menjajakan para budak perempuan sebagai pelacur. Di depan pintu rumah si budak perempuan akan dipasang bendera
merah, supaya orang-orang tahu bahwa dia adalah pelacur dan para lelaki akan
mendatanginya. Dengan begitu, budak perempuan tersebut akan menerima upah
berupa harta yang sebanding dengan pelacuran yang telah dilakukannya.
8.
Fanatisme golongan.
Islam datang memerintahkan seseorang menolong saudaranya sesama muslim, dekat
maupun jauh, karena “al-akh” (saudara) yang dimaksud dalam pembahasan
ini adalah saudara seislam. Oleh sebab itu, pertolongan kepadanya jika dia
dizalimi adalah dengan menghapuskan kezaliman yang menimpanya. Adapun pertolongan
yang diberikan kepadanya kala dia berbuat zalim berupa tindakan melarang dan
mencegahnya agar tak berbuat zalim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda (dalam riwayat Bukhari),
انصر
أخاك ظالما أو مظلوما. فقيل: يا رسول الله أنصنره إذا كان مظلوما فكيف أنصره إذا
كان ظالما؟ قال: تحجزه عن الظلم
“Tolonglah
saudaramu, baik dia menzalimi ataupun dizalimi.” Kemudian ada yang
mengatakan, “Wahai Rasulullah, kami akan menolongnya (saudara kami) jika dia
dizalimi, maka bagiamana cara kami akan menolongnya jika dia menzalimi?” Beliaushallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Engkau mencegahnya supaya tak
berbuat zalim.”
9.
Saling menyerang dan memerangi satu sama lain, untuk merebut dan
merampas harta. Suku yang
kuat memerangi suku yang lemah untuk merampas hartanya. Yang demikian ini
terjadi karena tidak ada hukum maupun peraturan yang menjadi acuan pada
mayoritas waktu di sebagian besar negeri. Di antara perperangan mereka yang
paling terkenal adalah:- Perang Dahis dan Perang Ghabara’ yang berlangsung
antara Suku ‘Abs melawan Suku Dzibyan dan Fizarah;
- Perang Basus, sampai-sampai dikatakan, “Perang yang paling
membuat sial adalah Perang Basus yang berlangsung sepanjang tahun. Perang ini
terjadi antara Suku Bakr dan Taghlub;”
- Perang Bu’ats yang terjadi antara Suku Aus dan Khazraj di kota
Al-Madinah An-Nabawiyyah;
- Perang Fijar yang berlangsung antara Qays ‘Ilan melawan Kinanah
dan Quraisy. Disebut “Perang Fijar” karena terjadi saat bulan-bulan
haram. Fijar (فِجار ) adalah bentukan wazan فَعَّال
dari kata fujur (فجور ); Mereka telah sangat
mendurhakai Allah (sangat fujur) karena berani berperang pada bulan-bulan yang
diharamkan untuk berperang.
10.
Enggan mengerjakan profesi tertentu, karena kesombongan dan keangkuhan. Mereka tidaklah bekerja sebagai pandai besi, penenun, tukang
bekam, dan petani. Pekerjaan-pekerjaan semacam itu hanya diperuntukkan bagi
budak perempuan dan budak laki-laki mereka. Adapun bagi orang-orang merdeka,
profesi mereka terbatas sebagai pedagang, penunggang kuda, pasukan perang, dan
pelantun syair. Selain itu, di tengah bangsa Arab jahiliah tumbuh kebiasaan
berbangga-bangga dengan kemuliaan leluhur dan jalur keturunan.
Uraian singkat
di atas menunjuk kan bahwa kondisi sosial Arab seblum islam cenderung primitif.
Meminjam istilah Goldzier, Arab sebelum islam cenderung ‘barbarism’, bukan ‘jahiliyah’ (bodoh,dungu, dan tidak tahu). Jahiliyah adalah orang yang menyembah berhala, memakan mayat binatang,
melakukan amoral, meninggalkan keluarga,dan melanggar perjanjian perkawinan dengan sistem mencari keuntungan
yang di lakukan kepada orang yang lemah.
Terlepas dari
keterpurukan moral dan etika masyarakat Arab Jahiliah, ada fakta yang
menunjukkan beberapa kebiasaan atau budaya yang ada di masa pra-Islam diadopsi dan
dipraktekkan oleh nabi Muhammad. Hal ini mengindikasikan bahwa Islam lahir
tidak dalam rangka menghilangkan seluruh kebudayaan yang berkembang dan
dijalankan oleh masyarakat Arab pra-Islam. Nabi Muhammad banyak menciptakan
aturan-aturan yang melegalkan hukum adat masyarakat Arab, sehingga memberi tempat
bagi praktek hukum Adat di dalam sistem hukum Islam. Sebagai bukti
dari hal tersebut adalah adanya konsep sunah taqririyyah. Nabi Muhammad.
Hal ini mengindikasikan bahwa Nabi tidak melakukan tindakan-tindakan perubahan
terhadap hukum yang berlaku di masyarakat Arab, sepanjang hukum tersebut sesuai
dengan prinsip-prinsip ajaran fundamental Islam.
Seperti Dalam
hal ibadah, Islam menjalankan ibadah haji dan umrah sebagaimana telah
dipraktekkan dalam masyarakat Arab jauh sebelum Islam datang. Masyarakat Arab
menjalankan ritual-ritual tersebut sebagaimana dijalankan oleh umat Islam
sekarang ini, yaitu: talbiyyah, ihram, wukuf dan lain sebagainya. Setelah
kedatangan Islam, kemudian praktek tersebut diteruskan dengan penggunaan
istilah yang sama. Akan tetapi Islam kemudian membersihkan ibadah ini dari
perilaku syirik, seperti ungkapanungkapan talbiyyah mereka yang masih bernuansa
syirik. Di samping itu Islam juga melarang bertawaf secara telanjang.[19]
Selain dalam hal ibadah, hukum Islam juga mengadopsi budaya yang lain,
misalnya sistem qisas dan diyat. Kedua hal tersebut merupakan praktek budaya
masyarakat pra-Islam kemudian diadopsi dalam hukum pidana Islam.[20]
Demikian juga
terkait dengan beberapa sistem transaksi yang berkembang di masyarakat
pra-Islam juga diadopsi dalam sistem hukum Islam.
BAB
III
KESIMPULAN
Tidak semua kebudayaan pra Islam dihilangkan akan tetapi masih ada
budaya yang diadopsi dan dipraktekkan oleh nabi Muhammad Saw. Hal ini menjadi bukti bahwaIslam lahir tidak
dalam rangka menghilangkan seluruh kebudayaan yang berkembang dan dijalankan
oleh masyarakat Arab pra-Islam. Nabi Muhammad Saw telah memberikan formulasi untuk melegalkan budaya
atau adat istiadat masyarakat Arab pra Islam, sehingga bisa diterapkan di dalam kehidupan sehari hari dan juga di dalam sistem hukum Islam.
Ini
berarti bahwa budaya memiliki peran penting dalam sejarah hukum Islam.
DAFTAR RUJUKAN
A Partanto, Pius,
Kamus Ilmiah, Surabaya: Arkola, 1994.
A.Syalabi.Sejarah & Kebudayaan Islam 1.
Jakarta.Pustaka Al Husna.2003
Al A’zami, M.M. , The History of The Qur’anic text: from revelation
to Compilation A Comparative Study with
The Old and New Testaments, terj. Sohirin Sholihin dkk.Jakarta: Gema Insani
Press, 2005.
Al Qur’an dan Terjamahnya yang diterbitkan oleh badan Wakaf dan
Pelayanan Dua tanah Suci Raja Fahd bin Abdul Aziz Al Sa’ud, tth.
Ali Mufrodi, Islam di kawasan Kebudayaan Arab,
Jakrta : Logos 1997.
Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam.Jakarta
Rajagrafindo Persada.2008
G. S. Hodgson, Marshall, The Venture Of Islam, Consienceand History
in a world civilization, Terj. Mulyadi Kartanegara .Jakarta:Paramadina,cet
II, 2002.
Haykal, Muḥammad Ḥusayn. Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta: Litera
AntarNusa, 1996.
http://centrin21.tripod.com/sejarah.htm/ di download pada hari Selasa, 10 November
2010, jam 09.32
http://hitsuke.blogspot.com/2009/05/kondisi-masyarakat-arab-pada-masa-
pra.html
http://msubhanzamzami.wordpress.com/2010/10/18/kondisi-Arab-pra-Islam-dalam-aspek-sosial-budaya-agama-ekonomi-dan-politik/
di download pada hari selasa, 10 November 2010, jam 9.55 WIB
http://rasulullahsaw.atwiki.com/page/BAB%2001.%20ARAB%20PRA-ISLAM di
Download pada hari Selasa, 10 November 2010, Jam 09.36
http://www.2dix.com/doc-2010/Arab-pra-Islam-doc.php
Ibrahim Hasan, Hasan, Sejarah dan Kebudayaan
Islam, Jakarta:Kalam Mulia, cet II, 2006.
Imam Fuadi.Sejarah Peradaban Islam.Yogyakarta.Teras
2011
Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam,
Bandung : Pustaka Bani Quraisy, 2004.
Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam ,
Bandung : Pustaka Bani Quraisy, 2004
M. Lapidus, Ira, A History of
Islamic Societies, terj. Ghufron A. Masudi .Jakarta: Raja Grafindo
Persada,1999.
M.Abdul Karim.Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam.Yogyakarta.Pustaka
Book Publiser 2009
Mufrodi, Ali, Islam di kawasan Kebudayaan Arab,Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1997.
Quthb, Muhammad, Perlukah Menulis Ulang Sejarah Islam,Jakarta:
Gema Insani Press, 1995.
Said Ramadhan Al Buthi, Muhammad, Sirah
Nabawiyah, Analisis Ilmiyah Manhajiah, Sejarah Pergerakan Islam Dimasa
Rasulullah, Alih Bahasa AunurRafiq Saleh Tamhid, Jakarta:Robbani Press,
2005.
Su’ud, Abu, Islamologi, Sejarah, Ajaran dan Peranannya dalam
Peradaban Umat Manusia, Jakarta: Rineka Cipta, 2003.
Taufiq Abdullah dkk.Enskllopedi Tematis Dunia
Islam.Jakarta.Ichtiar Baru Van Hoeve
Yatim, Badri, Historiografi Islam,
Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1997.
[1] A.Syalabi: Sejarah &
Kebudayaan Islam 1(Jakarta,Pustaka Al Husna Baru,2003),hlm.28
[2] Badri YaTIM, Sejarah
Peradaban Islam.(Jakarta;Rajagrafindo Persada.2008),hlm.9
[3] DR.Syafiq A.Mughni:Ensiklopedi Tematis Dunia Islam 1:12
[5] Samsul Munir dalam A.Hasjmy, Sejarah
Kebudayaan Islam, hlm.56
[6] M.Abdul Karim, Sejarah
Pemikiran dan Peradaban Islam,(Yogyakarta;Pustaka Book
Publisher,2007),hlm.50
[7] Ibid.
[8] Abu Su’ud, Islamologi, Sejarah, Ajaran dan Peranannya
dalam Peradaban Umat Manusia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm.17
[10] Muhammad Said Ramadhan Al Buthi, Sirah Nabawiyah,
analisis ilmiyah manhajiah, sejarah pergerakan Islam dimasa rasulullah, Alih
Bahasa AunurRafiq Saleh Tamhid, (Jakarta:Robbani Press,2005), hlm.20
[12] http://rasulullahsaw.atwiki.com/page/BAB%2001.%20ARAB%20PRA-ISLAM
di Download pada hari Selasa, 22 Desember 2013, Jam 07.30
[13] http://msubhanzamzami.wordpress.com/2010/10/18/kondisi-Arab-pra-Islam-dalam-aspek-sosial-budaya-agama-ekonomi-dan-politik/
di download pada hari selasa, 22 Desember 2013, jam 8.00
[14] Muhammad Said Ramadhan Al Buthi, Sirah Nabawiyah, analisis ilmiyah manhajiah, sejarah pergerakan Islam
dimasa rasulullah, Alih Bahasa
AunurRafiq Saleh Tamhid, Jakarta:Robbani Press, 2005, hlm. 21
[15] http://msubhanzamzami.wordpress.com, Ibid
[16] Ibid,hlm.60-61
[17] Syafiq A.Mughni,Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam,(Jakarta,Ichtiar Baru Van Hoeve),hlm.25
[18] Ibid,hlm.23-24
Tidak ada komentar:
Posting Komentar