Jumat, 10 Oktober 2014

ARAB PRA ISLAM (By Ahmad Amiin/Gus Amiin)



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Jauh sebelum kedatangan Islam, masyarakat Arab telah memiliki agama, adat istiadat, akhlak serta peraturan-peraturan hidup. Pada dasarnya masyarakat Arab mayoritas mengikuti dakwah Isma’il Alaihis-Salam, yaitu menyeru kepada agama bapaknya Ibrahim Alaihis-Salam yang intinya menyeru menyembah Allah, mengesakan-Nya, dan memeluk agama-Nya.
Meskipun mengadopsi praktek ritual politeistik nenek moyang, Nabi Ibrahim AS menentang penyembangan banyak tuhan dan berjuang untuk mengajarkan prinsip “ hanya ada satu Tuhan”. Namun waktu terus bergulir sekian lama, hingga banyak diantara mereka yang melalaikan ajaran yang pernah disampaikan kepada mereka. Bangsa arab lantas kembali lagi kepada agama nenek moyang mereka yakni menyembah berhala
Penyembahan berhala dikenal sebagai agama masyarakat pra-Islam. Bentuk berhala itu  bermacam-macam, di antaranya berbentuk manusia laki-laki dan perempuan, atau hewan yang terbuat dari batu atau bahan lainnya. Tampaknya penyembahan berhala merupakan ritus yang umum di masyarakat Arab Jahiliyya, sehingga pada setiap kabilah atau suku, dan bahkan setiap rumah terdapat berhala. Melihat berhala yang disembah dapat dikatakan bahwa tidak terdapat keseragaman tuhan dan peraturan keagamaan di kalangan mereka.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana geografi jazirah Arab sebelum Islam?
2.      Bagaimana Bangsa Arab dan Struktur masyarakatnya sebelum Masuknya Islam kesana?
3.      Bagaimana agama dan kebudayaan bagsa Arab Pra-Islam?

C.     Tujuan Penulisan
1.      Dapat mengetahui letak goegrafis jazirah Arab Pra-Islam
2.      Paham dan mengerti Bangsa Arab dan Struktur masyarakatnya sebelum Masuknya Islam
3.      Supaya mengerti keadaan agama dan kebudayaan Arab Arab Pra-Islam

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Letak Geografis Jazirah Arab Pra Islam

Jazirah dalam bahasa Arab berarti pulau, jadi jazirah Arab berarti “ pulau Arab “. Oleh bangsa Arab, tanah air mereka disebut jazirah, kendatipun hanya dari tiga jurusan saja dibatasi oleh laut. Yang demikian itu adalah secara majas (tidak sebenarnya). Sebagian ahli sejarah menamai tanah Arab itu “ Shibul jazirah” yang dalam bahasa Indonesia berarti “ semenanjung ”.[1]
Biasanya, dalam membicarakan wilayah geografis yang didiami bangsa Arab sebelum Islam, orang membatasi pembicaraan hanya pada Jazirah Arab, padahal bangsa Arab juga mendiami daerah-daerah di sekitar Jazirah. Jazirah Arab memang merupakan kediaman mayoritas bangsa Arab kala itu. Jazirah Arab terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu bagian tengah dan bagian pesisir. Disana tidak ada sungai mengalir tetap, yang ada hanya lembah-lembah berair dimusim hujan. Sebagian besar daerah Jazirah adalah padang pasir Sahara yang terletak di tengah dan memiliki keadaan dan sifat yang berbeda-beda.[2]
Jazirah Arabia dibatasi di sebelah utara oleh Palestina dan Gurun Suriah (Baadiyah asy-syam), disebelah selatan oleh samudra Hindia dan Teluk Aden, disebelah barat oleh laut merah, dan sebelah timur oleh treluk Persia, Sungai Eufrat, Sungai Trigis dan laut Arab. Jazirah Arabia dikelilingi oleh lautan disebelah selatan, barat dan timur, sedangkan disebelah utara oleh padang pasir yang amat luas. Oleh karena banyaknya air yang mengelilinginya, maka kawasan ini diberi nama jazirah Arabia (sering disebut Syibh al-Jazirah al-Arabiyyah, anak benua Arabia, meskipun pada hakekatnya bukan merupakan jazirah atau benua  sendiri)[3].
Jazirah Arab terbagi atas dua bahagian yaitu bagian tengah dan bagian tepi. Setiap bagian memiliki bentangan alam tersendiri. Bagian tengah terdiri dari daerah pegunungan yang amat jarang dituruni hujan. Di bagian tengah inilah orang Badui tinggal. Bagian tengah dari Jazirah Arab terbagi menjadi dua bagian yang lebih kecil yaitu: Bagian utara yang disebut Najed dan bagian selatan yang disebut Al-Ahqaf. Bagian selatan penduduknya amat sedikit. Karenanya bagian ini disebut Ar-Rab'ul Khali (tempat yang sunyi). Jazirah Arab bagian tepi merupakan sebuah pita kecil yang melingkari Jazirah Arab. Pada bagian tepi ini, hujan yang turun cukup teratur. Bagian tepi inilah yang didiami oleh orang atau penduduk kota. Sedangkan ahli –ahli ilmu purba membagia Jazirah Arab menjadi tiga bagian :
1. Arab Petrix, yaitu daerah-daerah yang terletek di sebelah barat daya lembah Syam.
2. Arab Deserta, yaitu daerah Syam sendiri.
3. Arab Felix, yaitu negeri Yaman yang terkenal dengan sebutan “Bumi Hijau”[4].
B.    Bangsa Arab dan Struktur masyarakatnya sebelum Masuknya Islam
Dari silsilah keturunan bangsa Arab, para ahli sejarah membagi menjadi dua kelompok yaitu;
1.      Arab Ba’idah
      Yaitu bangsa arab yang telah musnah yaitu, orang-orang arab yang telah lenyap jejaknya. Jejak mereka tidak dapat diketahui kecuali hanya terdapat dalam catatan kitab-kitab suci. Arab Ba'idah ini termaksud suku bangsa arab yang dulu pernah mendiami Mesopotamia akan tetapi, karena serangan raja namrud dan kaum yang berkuasa di Babylonia, sampai Mesopotamia selatan pada tahun 2000 SM suku bangsa ini berpencar dan berpisah ke berbagai daerah, di antara kabilah mereka yang termaksud adalah: 'Aad, Tsamud, Ghasan, Jad.
2.      Arab Baqiyah ( bangsa Arab yang masih lestari) dan mereka terbagi dalam dua kelompok yaitu sebagai berikut;
a.       Arab Aribah
Yaitu kelompok Qohthon, dan tanah air mereka adalah Yaman. Di antara  kabilah-kabilah mereka yang terkenal yaitu Jurham, Ya’rab dan dari Ya’rab ini lahirlah suku-suku Kahlan dan Himyar. Kerajaan yang terkenal adalah kerajaan Saba' yang berdiri abad ke-8 SM dan kerajaan Himyar berdiri abad ke-2 SM.
b.      Arab Musta'ribah
Arab Musta'ribah sering juga disebut Bani Ismail bin Ibrahim ismail (Adnaniyyun). Mereka adalah sebagian besar penduduk Arabia, dari dusun sampai ke kota, yaitu mereka yang mendiami bagian tengah Jazirah Arabia dan negeri Hijaz sampai Lembah Syiria. Mereka dinamakan Arab Musta’ribah karena pada waktu itu Jurham dari suku Qohthaniyah mendiami Mekah, mereka tinggal bersama nabi Ibrahim as, serta ibunya, dimana kemudian nabi Ibrahim dan putra-putranya mempelajri bahasa Arab.[5]
Dikalangan Bangsa Arab terdapat beberapa kelas masyarakat, yang kondisinya berbeda antara yang satu dengan yang lain. Hubungan seorang keluarga dikalangan bangsawan sangat diunggulkan dan diprioritaskan, dihormati dan dijaga sekalipun harus dengan pedang yang terhunus dan darah yang tertumpah. Jika seorang ingin dipuji dan menjadi terpandang dimata bangsa Arab karena kemuliaan dan keberaniannya, maka dia harus banyak dibicarakan kaum wanita.
Sedangkan kondisi dan kedudukan wanita sebelum Islam sumbernya bervariasi. Ada yang menyatakan bahwa di kalangan bangsa Arab terdapat beberapa kepala suku wanita, seperti Ummu Aufah, Kindah, dan sebagiannya yang berdiam di Mekah, Madinah dan sebaginya. Merekalah yang menentukan segala kebijakan.[6] Jika seorang wanita menghendaki, maka dia bisa mengumpulkan beberapa kabilah untuk suatu perdamaian, dan jika wanita itu mau maka dia bisa menyulutkan api peperangan dan pertempuran diantara mereka. Sekalipun begitu, seorang laki-laki tetap dianggap sebagai pemimpin ditengah keluarga, yang tidak boleh dibantah dan setiap perkataannya harus dituruti. Hubungan laki-laki dan wanita harus melalui persetujuan wali wanita.
Namun jumlah mereka tidak banyak. Kebanyakan wanita tidak ada harganya di mata masyarakat. Mereka dianggap tidak lebih dari barang yang diperjual belikan di pasar. Mereka tidak dapat waris dari suami atau orang tua. Laki-laki dengan semaunya bisa nikah dengan wanita banyak, sedangkan wanita hampir tidak. Terdapat juga dalam beberapa suku, ibu tiri menikah dengan anak tirinya, saudara kandung menikah dengan sesama saudaranya.[7]
Selain itu banyak hubungan antara wanita dan laki-laki yang diluar kewajaran, seperti;
1.      Pernikahan secara spontan, seorang laki-laki mengajukan lamaran kepada laki-laki lain yang menjadi wali wanita, lalu dia bisa menikahinya setelah menyerahkan mas kawin seketika itu pula.
2.      Para laki-laki bisa mendatangi wanita sekehendak hatinya. Yang disebut wanita pelacur.
3.      Pernikahan Istibdha’, seorang laki-laki menyuruh istrinya bercampur kepada laki-laki lain hingga mendapat kejelasan bahwa istrinya hamil. Lalu sang suami mengambil istrinya kembali bila menghendaki, karena sang suami menghendaki kelahiran seorang anak yang pintar dan baik.
4.      Laki-laki dan wanita bisa saling berhimpun dalam berbagai medan peperangan. Untuk pihak yang menang, bisa menawan wanita dari pihak yang kalah dan menghalalkannya menurut kemauannya.
C.     Agama dan Kebudayaan Arab Pra Islam
1.      Agama Arab Pra Islam
Paganisme, Yahudi, Majusi dan Nasrani adalah agama orang Arab pra-Islam.[8] Pagan adalah agama mayoritas mereka. Ratusan berhala dengan bermacam-macam bentuk ada di sekitar Ka’bah. Ada sekitar 360 berhala yang mengelilingi berhala utama, Hubal, yang terdapat di Ka’bah.[9]  Orang yang pertama kali memasukan berhala dan mengajak menyembah adalah Amr bin Luhayyi bin Qam’ah, nenek moyang bani Khuza’ah.[10]Mereka berkeyakinan bahwa berhala-berhala itu dapat mendekatkan mereka pada Tuhan sebagaimana yang tertera dalam al-Quran. Agama pagan sudah ada sejak masa sebelum Ibrahim. Setidaknya ada beberapa sebutan bagi berhala-hala itu: Sanam, Wathan, Nuṣub, Latta, Uzza, Manat dan Hubal. Ṣanam berbentuk manusia dibuat dari logam atau kayu. Wathan juga dibuat dari batu. Nuṣub adalah batu karang tanpa suatu bentuk tertentu. Lata Dewa tertua, Uzza bertempat di Hijaz, Manat bertempat di Yatsrib dan Ḥubal berbentuk manusia yang dibuat dari batu akik yang dianggap dewa terbesar.[11]
Agama Yahudi dianut oleh para imigran yang bermukim di Yathrib dan Yaman. Tidak banyak data sejarah tentang pemeluk Yahudi di Jazirah Arab, kecuali di Yaman. Dzū Nuwās adalah seorang penguasa Yaman yang condong ke Yahudi. Dia tidak menyukai penyembahan berhala yang telah menimpa bangsanya. Dia meminta penduduk Najran agar masuk agama Yahudi, kalau tidak akan dibunuh. Karena mereka menolak, maka digalilah sebuah parit dan dipasang api di dalamnya. Mereka dimasukkan ke dalam parit itu dan yang tidak mati karena api, dibunuh dengan pedang atau dibuat cacat. Korban pembunuhan itu mencapai dua puluh ribu orang. Tragedi berdarah dengan motif fanatisme agama ini diabadikan dalam al-Quran dalam kisah “orang-orang yang membuat parit”.[12]
Adapun Kristen di Jazirah Arab dan sekitarnya sebelum kedatangan Islam tidak ternodai oleh tragedi yang mengerikan semacam itu. Yang ada adalah pertikaian di antara sekte-sekte Kristen yang meruncing. Menurut Muḥammad ‘Ᾱbid al-Jābirī, al-Quran menggunakan istilah “Naṣārā” bukan “al-Masīḥīyah” dan “al-Masīḥī” bagi pemeluk agama Kristen. Bagi pendeta Kristen resmi (Katolik, Ortodoks, dan Evangelis) istilah “Naṣārā” adalah sekte sesat, tetapi bagi ulama Islam mereka adalah “Ḥawārīyūn”.
Para misionaris Kristen menyebarkan doktrinnya dengan bahasa Yunani yang waktu itu madhhab-madhhab filsafat dan aliran-aliran gnostik dan hermes menyerbu daerah itu. Inilah yang menimbulkan pertentangan antara misionaris dan pemikir Yunani yang memunculkan usaha-usaha mendamaikan antara filsafat Yunani yang bertumpu pada akal dan doktrin Kristen yang bertumpu pada iman. Inilah yang melahirkan sekte-sekte Kristen yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru, termasuk Jazirah Arab dan sekitarnya. Sekte Arius menyebar di bagian selatan Jazirah Arab, yaitu dari Suria dan Palestina ke Irak dan Persia. Misionaris sekte ini telah menjelajahi penjuru-penjuru Jazirah Arab yang memastikan bahwa dakwah mereka telah sampai di Mekah, baik melalui misionaris atau pedagang Quraysh yang mana mereka berhubungan terus-menerus dengan Syam, Yaman, da Ḥabashah. Tetapi salah satu sekte yang sejalan dengan tauhid murni agama samawi adalah sekte Ebionestes.[13]
Salah satu corak beragama yang ada sebelum Islam datang selain agama di atas adalah Ḥanīfīyah, yaitu sekelompok orang yang mencari agama Ibrahim yang murni yang tidak terkontaminasi oleh nafsu penyembahan berhala-berhala, juga tidak menganut agama Yahudi ataupun Kristen, tetapi mengakui keesaan Allah. Mereka berpandangan bahwa agama yang benar di sisi Allah adalah Ḥanīfīyah, sebagai aktualisasi dari millah Ibrahim. Gerakan ini menyebar luas ke pelbagai penjuru Jazirah Arab khususnya di tiga wilayah Hijaz, yaitu Yathrib, Ṭaif, dan Mekah. Di antara mereka adalah Rāhib Abū ‘Ámir, Umayah bin Abī al-Ṣalt, Zayd bin ‘Amr bin Nufayl, Waraqah bin Nawfal, ‘Ubaydullah bin Jaḥsh, Ka’ab bin Lu`ay, ‘Abd al-Muṭallib, ‘As’ad Abū Karb al-Ḥamīrī, Zuhayr bin Abū Salma, ‘Uthmān bin al-Ḥuwayrith.[14]
Tradisi-tradisi warisan mereka yang kemudian diadopsi Islam adalah: penolakan untuk menyembah berhala, keengganan untuk berpartisipasi dalam perayaan-perayaan untuk menghormati berhala-berhala, pengharaman binatang sembelihan yang dikorbankan untuk berhala-berhala dan penolakan untuk memakan dagingnya, pengharaman riba, pengharaman meminum arak dan penerapan vonis hukuman bagi peminumnya, pengharaman zina dan penerapan vonis hukuman bagi pelakunya, berdiam diri di gua hira sebagai ritual ibadah di bulan ramaḍan dengan memperbanyak kebajikan dan menjamu orang miskin sepanjang bulan ramaḍan, pemotongan tangan pelaku pencurian, pengharaman memakan bangkai, darah, dan daging babi, dan larangan mengubur hidup-hidup anak perempuan dan pemikulan beban-beban pendidikan mereka.[15]
Karena ajaran agama Nabi Ibrahim masih membekas dikalangan bangsa Arab, maka diantara mereka masih ada yang tidak menyembah berhala. Mereka adalah Waraqah ibn Naufal dan Usman ibn Huwaris, yang mengnut agama Kristen, Abdullah ibn Jahsy yang ragu-ragu( ketika Islam dating ia m,menganutnya tetapi kemudian ia menganut agama Masehi). Zaid ibn umar tidak tertarik kepada agama Masehi, tetapi juga enggan menyembah berhala dan tidak mau memakan bangkai dan darah. Umayah ibn Abi as-Salt dan Quss ibn As’ida al-Iyadi juga berbuar demikian. Agama masehi (Kristen) banyak dipeluk oleh penduduk Yaman, Nazram dan Syam, sedangkan agama Yahudi dipeluk oleh penduduk Yahudi imigran yang tinggal di Yaman dan Yastrib (Madinah) yang besar jumlahnya, serta dipeluk oleh kalangan orang-orang Persia.[16]
2.      Kebudayaan Arab Pra Islam
 Peradaban bangsa Arab pra-Islam, yang disebut periode Jahiliyah, adalah bukti dari adanya sebuah kebudayaan Arab yang mendahului datangnya kebudayaan Islam. Salah satu kelebihan bangsa Arab adalah terletak pada bahasanya. Bahasa Arab merupakan salah satu bahasa rumpun yang paling sempurna dan mampu bertahan dari seleksi alam hingga Islam datang, kemudian mengalami perkembangan sangat pesat karenya. Sehingga Philip K. Hitti dalam bukuinya A History of The Arab. Memberikan penilaian bahwa keberhasilan penyebaran Islam di antaranya didukung oleh keluasan bahasa Arab, khususnya bahasa Arab Al-Qur’an. Dari kesempurnaan bahasa yang mereka kuasai, banyak sekali diantara mereka menghasilkan seni kesusastraan yang tinggi.
Pada umumnya sastra Arab Jahiliah mendiskripsikan keberadaan kemah (karena kehidupan para pujangga yang berpindah pindah dari satu kemah ke kemah lainnya), hewan sebagai klendaraan tunggangan, kehidupan mewah para bangsawan agar dengan begitupara pujangga mendaptkan imbalan materi dan pujian tertentu, alam sekitar, keberanian seseorang atau sekelompok kabilah, atau kecantikan seorang wanita pujaan.
Hal lain yang menjadi tujuan atau kecenderungan sastra Arab Jahiliah adalah ritsa’ (ratapan), ode (pujian), satire (serangan terhadap kabilah tertentu), fakhr (kebanggan kelompok tertentu), anggur sebagai lambang eksentrik para sastrwan atau untuk kebanggaan memiliki suasana trance. Tetapi deskripsi dalm sastra terdebut seantiasa diselipi dengan nasehat atau filsafat hidup tertentu.[17]
Selain dunia kesusastran masyarakat pra Islam pada saat itu telah memiliki sistem hukum yang berlaku. Diantaranya adalah sistem pewarisan, perkawinan dan perceraian. Khusus masalah perkawinan terdapat bentuk-bentuk perkawinan yang mereka jalankan diantaranya adalah;
1.      Perkawinan Mut’ah (kesenangan)
Perkawian ini dibatasi masa, bila sudah tiba masa perjanjian perkwinan, maka keduanya berpisah. Perkawinan ini umum dilakukan orang arab jahiliah. Penyebab adanya bentuk perkawinan ini adalah mereka suka berkelana, berpindah setempat, dan sering terlobat peperangan. Banyaknya pria pendatang pergi ketempat wanita untuk mengadakan ikatan perkawinan mut’ah dengan salah seorang dari mereka. Ketika perjanjian berakhir, si pia prgi meninggalkan istri dii kampungnya. Anak-anak hasil perkawinan ini biasanya ikut ibunya. Hal ini karena anak sering kumpul dengan ibunya. Sedangkan ayahnya pergi kemana-mana tidak tentu rimbanya.
Maka hubungan antara anak dan ayah terputus sejalan dengan putusnya hubungan antara suami dan istri.  Nasab anak-anak hasil perkawianan ini dinisbahkan pada keluarga ibunya.
Ada 6 perbedaan prinsip antara nikah mut'ah dan nikah sunni (syar'i):
a.       Nikah mut'ah dibatasi oleh waktu, nikah sunni tidak dibatasi oleh waktu.
b.  Nikah mut'ah berakhir dengan habisnya waktu yang ditentukan dalam akad atau fasakh, sedangkan nikah sunni berakhir dengan talaq atau meninggal dunia.
b.      Nikah mut'ah tidak berakibat saling mewarisi antara suami istri, nikah sunni menimbulkan pewarisan antara keduanya.
c.       Nikah mut'ah tidak membatasi jumlah istri, nikah sunni dibatasi dengan jumlah istri hingga maksimal 4 orang.
d.      Nikah mut'ah dapat dilaksanakan tanpa wali dan saksi, nikah sunni harus dilaksanakan dengan wali dan saksi.
e.       Nikah mut'ah tidak mewajibkan suami memberikan nafkah kepada istri, nikah sunni mewajibkan suami memberikan nafkah kepada istri.
2.      Perkawinan Zawaaq (cicipan)
Perkawinan ini dilakukan tanpa perjanjian. Bila keduanya mersa bosan, mereka bisa berpisah. Perkawinan bentuk ini biasanya hanya berlaku pada kaum Badui yang tidak pernag berkomunikasi dengan dunia luar dan biasanya hanya berlaku beberapa hari.
3.      Perkawinan Istibdaa’ (menjadikan barang dagangan)
seorang laki-laki menyuruh istrinya bercampur kepada laki-laki lain hingga mendapat kejelasan bahwa istrinya hamil. Lalu sang suami mengambil istrinya kembali bila menghendaki, karena sang suami menghendaki kelahiran seorang anak yang pintar dan baik.
4.      Perkawinan Khadn (teman intim)
Perkawinan ini terjadi antara pria dan wanita pun memilih pria yang disenanginya. Lalu, mereka mengadakan hubungan kelamin secara terang-terangan di depan umum tanpa upacara adat atau agama.
5.      Perkawinan Mutadaamidah (saling membalut)
Perkawinan ini dilakukan ketika seorang wanita bersuami mempunyai  kekasih seorang atau lebih. Ia dengan bebas bisa berhubungan intim dengan kekasihnya tanpa harus takut kepada suaminya. Penyelewengan ini dibenarkan dalam masyarakat Jahiliah. Suami menyuruh istrinya keluar mencari lelaki kaya yang mau menggaulinya. Suami memaksa istrinya keluar pergi ke pasar atau tempat ramai untuk menjual  dirinya agar menghasilkan uang. Bila uang sudah terkumpul, istri kembali ke rumah suaminya dengan membawa harta yang banyak.
6.      Perkawinan Badal (tukar)
Pertukaran ini dilakukan oleh pria Arab Zaman Jahiliah. Orang menukarkan istrinya dengan istri temannnya atau istri orang lain yang dikehendakinya. Pertukaran ini tidak hanya terjadi sekali dalam hidupnya namun bisa berkali-kali sesuai dengan keinginan suaminya untuk menukarkan istrinya kepada orang lain


7.      Perkawinan Syghar (liar)
Perkawinan bentuk ini sama dengan perkawinan pertukaran. Perbedaannya ialah bahwa dalam perkawainan syighar, yang ditukarkan bukan istrinya tetapi anak atau saudara wanitanya. Ini dilakukan tanpa maskawin, sebab pertukaran itu sudah dianggap sebaga pengganti mas kawin.
8.      Perkawinan Maqt(kutukan)
Ini adalah perkawinan antara seorang anak pria dengan ibu tirinya, yaitu bekas istri ayahnya yang  telah meninggal dunia. Istri ayah dijadikan barang warisan yang diwarisi anak lekaki ayahnya. Di Yatstrib, seorang meninggal dunia dan tidak mempunyai anak atau saudara pria, maka ahli waris yang lain meletakkan bajunya di pundak istri peninggalannya. Hal ini menunjukkan bahwa wanita itu sudah dikuasainya dan menjadi miliknya. Jika mau, wanita itu dikawinkan dengan siapa saja yang dikehendakinya, jika tidak, wanita itu dibiarkan menjanda seumur hidup. Ia seperti mewarisi harta peninggalannya. Apabila bisa menebus dirinya sendiri dengan sejumlah harta, maka wanita itu dibebaskan dari penguasaannya.
9.      Perkawinan Saby (tawanan)
Perkawinan ini dilakukan oleh yang menang perang terhadap wanita yang menjadi tawanan perang . perkawinan ini terjadi tanpa persetujuan pihak wanita atau walinya dan juga tanpa mahar. Wanita tawanan ini menjadi wanita sabiyah bila tak ada keluarga atau suku yang menebusnya. Pemilik tawanan ini bebas memberlakukannya. Bila tidak ditebus keluarganya, ia boleh dimiliki selamanya atau diperjualbelikan kepada yang berminat.
10.  Perkawinan Hamba Sahaya
Perkawinan ini dilakukan seorang tuan dengan hamba wanitanya, sebab hamba wanita adalah milik dan barang tuannya. Bila dikaruniai anak, anaknya tidak menasabkan namanya kepada ayahnya dan juga ia dijadikan budak ayahnya. Orang Arab biasanya marah bila hamba sahayanya melahirkan anak darinya. Seorang anak dari keturunan seorang hamba disebut dengan haji, yakni orang ayahnyaseorang Arab
11.  Perkawinan antara saudara lelaki dan saudara wanitanya, atau ayah dan putrinya
Hal ini sering dilakukan oleh para raja atau penguasa lainnya. Mereka menikahi saudara wanita atau anaknya dengan alasan agar kehormatannya tetap terjaga dan harta bendanya tidak jatuh ke orang lain.
12.  Perkawinan dengan beberapa istri
Seorang Arab mempunyai lebih dari seorang istri bahkan ada yang berpuluh-puluh orang dalam satu masa. Biasanya yang melakukan bentuk perkawainan ini adalah tokoh masyarakat, kepala suku, orang terhormat dan juga orang kaya. Bila mereka mempunyai anak, maka anakya adalah milik ayahnya karena di nisbahkan kepadanya.
13.  Perkawinan Bu’ulah (suami/istri) atau Ahadi (monogami).[18]
Perkawinan seorang suami dengan seorang sitri. Biasanya seorarang datang pada orang lain meminang anak gadisnya dengan memberinya mas kawin. Dari semua bentuk perkawinan di atas, hanya perkawinan bentuk terakhir ini yan diakui Islam dan berjalan sampai sekarang. Anak-anak hasil perkawinan ini dinsbahkan kepada ayahnya. Dari sini, bergeserlah sistem kekerabatan matrilinial kepada patrilinial, artinya penisbahan anak kepada ibunya menjadi penisbahan kepada ayah. Disni ayahlah yang bertanggung jawab atas anaknya. Bila anak perempuan mau kawin, maka yang menjadi walinya haruslah ayahnya atau saudara ayahnya.
 Namun secara garis besar, kondisi masyarakat jahiliah pada saat itu bisa dikatakan lemah dan buta. Kebodohan mewarnai segala aspek kehidupan, khurafat tidak bisa dilepaskan, manusia hidup layaknya binatang. Hal ini bisa terjadi karena pada saat itu masa fatrah (masa tidak adanya rasul) terus berlangsung di tengah bangsa Arab dalam jangka waktu yang begitu panjang, tanpa turunnya wahyu ilahi dan tidak pula ada pengemban hidayah (hidayah al-irsyad).  Kurun waktu itu terjadi antara masa kenabian Ismail ‘alaihissalam dan masa kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sang penutup para nabi. Oleh sebab itu, beragam adat kebiasaan buruk pun mulai bermunculan di tengah masyarakat Arab jahiliah sebagaimana bentuk-bentuk perkawinan yang telah disebutkan di atas.
Selain itu masih ada lagi adat kebiasaan buruk yang dilakukan masyarakat jahiliah pada saat itu diantaranya adalah sebagai berikut;
1.      Al-qimar (judi), atau yang lazim dikenal dengan istilah “al-maysir. Merupakan kebiasaan penduduk kota-kota di kawasan jazirah, seperti Makkah, Thaif, Shan’a, Hajar, Yatsrib, Daumatul Jandal, dan sebagainya. Islam melarang kebiasaan semacam ini melalui turunnya surat Al-Maidah ayat 90,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung.
(Q.s. Al-Maidah: 90)
2.      Menenggak khamr dan berkumpul-kumpul untuk minum khamr bersama, bangga karenanya, serta memahalkan harganya. Ini merupakan kebiasaan orang-orang kota dari kalangan hartawan, pembesar, dan pujangga sastra. Ketika kebiasaan ini mengakar kuat di tengah mereka dan bertakhta di hati mereka, Allah mengharamkannya secara perlahan-lahan, setahap demi setahap. Ini merupakan salah satu bentuk kasih sayang Allah Ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya. Karenanya, bagi-Nya segala puji dan segala kebaikan.
3.      Mengubur hidup-hidup anak perempuan. Seorang laki-laki mengubur anak perempuannya secara hidup-hidup ke dalam tanah, selepas kelahirannya, karena takut mendapat aib. Dalam Alquran Alkarim terdapat penentangan terhadap perilaku semacam ini serta penjelasan tentang betapa kejinya perilaku ini. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya celaan keras terhadap pelakunya pada hari kiamat. Allah Ta’ala berfirma dalam surat At-Takwir,
وَإِذَا الْمَوْؤُودَةُ سُئِلَتْ. بِأَيِّ ذَنبٍ قُتِلَتْ
Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.” (Q.s. At-Takwir: 8—9)
4.      Membunuh anak-anak, baik lelaki maupun perempuan. Kekejian ini mereka lakukan karena takut miskin dan takut lapar, atau mereka sudah putus harapan atas bencana kemiskinan parah yang melanda, bersamaan dengan lahirnya si anak di wilayah yang merasakan dampak kemiskinan tersebut. Kondisi ini terjadi karena tanah sedang begitu tandus dan hujan tak kunjung turun. Setelah Islam datang, Islam mengharamkan adat keji nan buruk seperti ini, melalui turunnya firman Allah Ta’ala,
وَلاَ تَقْتُلُواْ أَوْلاَدَكُم مِّنْ إمْلاَقٍ نَّحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka.”
(Q.s. Al-An’am: 151)
وَلاَ تَقْتُلُواْ أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاقٍ نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُم
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu.
(Q.s. Al-Isra’:31)
Yang dimaksud dengan “imlaq” adalah kemiskinan yang begitu parah serta begitu memprihatinkan.
5.      Wanita berdandan ketika keluar rumah, dengan tujuan menampakkan kecantikannya, pada saat dia lewat di depan lelaki ajnabi (lelaki yang bukan mahramnya). Jalannya genit, berlemah gemulai, seakan-akan dia memamerkan dirinya dan ingin memikat orang lain.
6.      Wanita merdeka menjadi teman dekat lelaki. Mereka menjalin hubungan gelap dan saling berbalas cinta secara sembunyi-bunyi. Padahal si lelaki bukanlah mahram si wanita. Kemudian Islam mengharamkan hubungan semacam ini, dengan diturunkannya firman Allah Ta’ala,
وَلاَ مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ
… Dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai  piaraannya”
 (Q.s. An-Nisa’: 25)
Padahal si wanita bukanlah mahram si lelaki. Kemudian Islam mengharamkan    hubungan semacam ini,
وَلاَ مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ
… Dan tidak (pula lelaki) yang memiliki gundik-gundik ….
      (Q.s. Al-Maidah: 5)
7.      Menjajakan para budak perempuan sebagai pelacur. Di depan pintu rumah si budak perempuan akan dipasang bendera merah, supaya orang-orang tahu bahwa dia adalah pelacur dan para lelaki akan mendatanginya. Dengan begitu, budak perempuan tersebut akan menerima upah berupa harta yang sebanding dengan pelacuran yang telah dilakukannya.
8.      Fanatisme golongan. Islam datang memerintahkan seseorang menolong saudaranya sesama muslim, dekat maupun jauh, karena “al-akh” (saudara) yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah saudara seislam. Oleh sebab itu, pertolongan kepadanya jika dia dizalimi adalah dengan menghapuskan kezaliman yang menimpanya. Adapun pertolongan yang diberikan kepadanya kala dia berbuat zalim berupa tindakan melarang dan mencegahnya agar tak berbuat zalim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (dalam riwayat Bukhari),
انصر أخاك ظالما أو مظلوما. فقيل: يا رسول الله أنصنره إذا كان مظلوما فكيف أنصره إذا كان ظالما؟ قال: تحجزه عن الظلم       
Tolonglah saudaramu, baik dia menzalimi ataupun dizalimi.” Kemudian ada yang mengatakan, “Wahai Rasulullah, kami akan menolongnya (saudara kami) jika dia dizalimi, maka bagiamana cara kami akan menolongnya jika dia menzalimi?” Beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Engkau mencegahnya supaya tak berbuat zalim.”
9.      Saling menyerang dan memerangi satu sama lain, untuk merebut dan merampas harta. Suku yang kuat memerangi suku yang lemah untuk merampas hartanya. Yang demikian ini terjadi karena tidak ada hukum maupun peraturan yang menjadi acuan pada mayoritas waktu di sebagian besar negeri. Di antara perperangan mereka yang paling terkenal adalah:- Perang Dahis dan Perang Ghabara’ yang berlangsung antara Suku ‘Abs melawan Suku Dzibyan dan Fizarah;
- Perang Basus, sampai-sampai dikatakan, “Perang yang paling membuat sial adalah Perang Basus yang berlangsung sepanjang tahun. Perang ini terjadi antara Suku Bakr dan Taghlub;”
- Perang Bu’ats yang terjadi antara Suku Aus dan Khazraj di kota Al-Madinah An-Nabawiyyah;
- Perang Fijar yang berlangsung antara Qays ‘Ilan melawan Kinanah dan Quraisy. Disebut “Perang Fijar” karena terjadi saat bulan-bulan haram. Fijar (فِجار ) adalah bentukan wazan فَعَّال dari kata fujur (فجور ); Mereka telah sangat mendurhakai Allah (sangat fujur) karena berani berperang pada bulan-bulan yang diharamkan untuk berperang.
10.  Enggan mengerjakan profesi tertentu, karena kesombongan dan keangkuhan. Mereka tidaklah bekerja sebagai pandai besi, penenun, tukang bekam, dan petani. Pekerjaan-pekerjaan semacam itu hanya diperuntukkan bagi budak perempuan dan budak laki-laki mereka. Adapun bagi orang-orang merdeka, profesi mereka terbatas sebagai pedagang, penunggang kuda, pasukan perang, dan pelantun syair. Selain itu, di tengah bangsa Arab jahiliah tumbuh kebiasaan berbangga-bangga dengan kemuliaan leluhur dan jalur keturunan.
Uraian singkat di atas menunjuk kan bahwa kondisi sosial Arab seblum islam cenderung primitif. Meminjam istilah Goldzier, Arab sebelum islam cenderung ‘barbarism’, bukan ‘jahiliyah’ (bodoh,dungu, dan tidak tahu). Jahiliyah adalah orang yang menyembah berhala, memakan mayat binatang, melakukan amoral, meninggalkan keluarga,dan melanggar perjanjian  perkawinan dengan sistem mencari keuntungan yang di lakukan kepada orang yang lemah.
Terlepas dari keterpurukan moral dan etika masyarakat Arab Jahiliah, ada fakta yang menunjukkan beberapa kebiasaan atau budaya yang ada di masa pra-Islam diadopsi dan dipraktekkan oleh nabi Muhammad. Hal ini mengindikasikan bahwa Islam lahir tidak dalam rangka menghilangkan seluruh kebudayaan yang berkembang dan dijalankan oleh masyarakat Arab pra-Islam. Nabi Muhammad banyak menciptakan aturan-aturan yang melegalkan hukum adat masyarakat Arab, sehingga memberi tempat bagi praktek hukum Adat di dalam sistem hukum Islam. Sebagai bukti dari hal tersebut adalah adanya konsep sunah taqririyyah. Nabi Muhammad. Hal ini mengindikasikan bahwa Nabi tidak melakukan tindakan-tindakan perubahan terhadap hukum yang berlaku di masyarakat Arab, sepanjang hukum tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran fundamental Islam.
Seperti Dalam hal ibadah, Islam menjalankan ibadah haji dan umrah sebagaimana telah dipraktekkan dalam masyarakat Arab jauh sebelum Islam datang. Masyarakat Arab menjalankan ritual-ritual tersebut sebagaimana dijalankan oleh umat Islam sekarang ini, yaitu: talbiyyah, ihram, wukuf dan lain sebagainya. Setelah kedatangan Islam, kemudian praktek tersebut diteruskan dengan penggunaan istilah yang sama. Akan tetapi Islam kemudian membersihkan ibadah ini dari perilaku syirik, seperti ungkapanungkapan talbiyyah mereka yang masih bernuansa syirik. Di samping itu Islam juga melarang bertawaf secara telanjang.[19]
Selain dalam hal ibadah, hukum Islam juga mengadopsi budaya yang lain, misalnya sistem qisas dan diyat. Kedua hal tersebut merupakan praktek budaya masyarakat pra-Islam kemudian diadopsi dalam hukum pidana Islam.[20] Demikian juga terkait dengan beberapa sistem transaksi yang berkembang di masyarakat pra-Islam juga diadopsi dalam sistem hukum Islam.



BAB III
KESIMPULAN

Tidak semua kebudayaan pra Islam dihilangkan akan tetapi masih ada budaya yang diadopsi dan dipraktekkan oleh nabi Muhammad Saw. Hal ini menjadi bukti bahwaIslam lahir tidak dalam rangka menghilangkan seluruh kebudayaan yang berkembang dan dijalankan oleh masyarakat Arab pra-Islam. Nabi Muhammad Saw telah memberikan formulasi untuk melegalkan budaya atau adat istiadat masyarakat Arab pra Islam, sehingga bisa diterapkan di dalam kehidupan sehari hari dan juga di dalam sistem hukum Islam. Ini berarti bahwa budaya memiliki peran penting dalam sejarah hukum Islam.















DAFTAR RUJUKAN

A Partanto, Pius,  Kamus Ilmiah, Surabaya: Arkola, 1994.
A.Syalabi.Sejarah & Kebudayaan Islam 1. Jakarta.Pustaka Al Husna.2003
Al A’zami, M.M. , The History of The Qur’anic text: from revelation to Compilation A Comparative  Study with The Old and New Testaments, terj. Sohirin Sholihin dkk.Jakarta: Gema Insani Press, 2005.
Al Qur’an dan Terjamahnya yang diterbitkan oleh badan Wakaf dan Pelayanan Dua tanah Suci Raja Fahd bin Abdul Aziz Al Sa’ud, tth.
Ali Mufrodi, Islam di kawasan Kebudayaan Arab, Jakrta : Logos 1997.
Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam.Jakarta Rajagrafindo Persada.2008
G. S. Hodgson, Marshall, The Venture Of Islam, Consienceand History in a world civilization, Terj. Mulyadi Kartanegara .Jakarta:Paramadina,cet II, 2002.
Haykal, Muḥammad Ḥusayn. Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta: Litera AntarNusa, 1996.

http://centrin21.tripod.com/sejarah.htm/  di download pada hari Selasa, 10 November 2010, jam 09.32
http://hitsuke.blogspot.com/2009/05/kondisi-masyarakat-arab-pada-masa- pra.html
http://msubhanzamzami.wordpress.com/2010/10/18/kondisi-Arab-pra-Islam-dalam-aspek-sosial-budaya-agama-ekonomi-dan-politik/ di download pada hari selasa, 10 November 2010, jam 9.55 WIB

http://rasulullahsaw.atwiki.com/page/BAB%2001.%20ARAB%20PRA-ISLAM di Download pada hari Selasa, 10 November 2010, Jam 09.36
http://www.2dix.com/doc-2010/Arab-pra-Islam-doc.php
Ibrahim Hasan, Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta:Kalam Mulia, cet II, 2006.
Imam Fuadi.Sejarah Peradaban Islam.Yogyakarta.Teras 2011
Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, Bandung : Pustaka Bani Quraisy, 2004.
Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam , Bandung : Pustaka Bani Quraisy, 2004
M. Lapidus, Ira,  A History of Islamic Societies, terj. Ghufron A. Masudi .Jakarta: Raja Grafindo Persada,1999.

M.Abdul Karim.Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam.Yogyakarta.Pustaka Book Publiser 2009

Mufrodi, Ali,  Islam di kawasan Kebudayaan Arab,Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Quthb, Muhammad, Perlukah Menulis Ulang Sejarah Islam,Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Said Ramadhan Al Buthi, Muhammad, Sirah Nabawiyah, Analisis Ilmiyah Manhajiah, Sejarah Pergerakan Islam Dimasa Rasulullah, Alih Bahasa AunurRafiq Saleh Tamhid, Jakarta:Robbani Press, 2005.

Su’ud, Abu, Islamologi, Sejarah, Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia, Jakarta: Rineka Cipta, 2003.

Taufiq Abdullah dkk.Enskllopedi Tematis Dunia Islam.Jakarta.Ichtiar Baru Van Hoeve
Yatim, Badri, Historiografi Islam, Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1997.











[1] A.Syalabi: Sejarah & Kebudayaan Islam 1(Jakarta,Pustaka Al Husna Baru,2003),hlm.28
[2] Badri YaTIM, Sejarah Peradaban Islam.(Jakarta;Rajagrafindo Persada.2008),hlm.9
[3] DR.Syafiq A.Mughni:Ensiklopedi Tematis Dunia Islam 1:12
[4][4] Drs. Samsul Munir Amin; Sejarah Peradaban Islam, hlm.55
[5] Samsul Munir dalam A.Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, hlm.56
[6] M.Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam,(Yogyakarta;Pustaka Book Publisher,2007),hlm.50
[7] Ibid.
[8] Abu Su’ud, Islamologi, Sejarah, Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm.17
[9]  Yatim, Badri, Sejarah Peradaban, Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1997.hlm.9
[10] Muhammad Said Ramadhan Al Buthi, Sirah Nabawiyah, analisis ilmiyah manhajiah, sejarah pergerakan Islam dimasa rasulullah, Alih Bahasa AunurRafiq Saleh Tamhid, (Jakarta:Robbani Press,2005), hlm.20
[11] Badri Yatim, Sejarah Peradaban, Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1997.hlm. 9
[12]  http://rasulullahsaw.atwiki.com/page/BAB%2001.%20ARAB%20PRA-ISLAM di Download pada hari Selasa, 22 Desember 2013, Jam 07.30
[13] http://msubhanzamzami.wordpress.com/2010/10/18/kondisi-Arab-pra-Islam-dalam-aspek-sosial-budaya-agama-ekonomi-dan-politik/ di download pada hari selasa, 22 Desember 2013, jam 8.00
[14] Muhammad Said Ramadhan Al Buthi, Sirah Nabawiyah, analisis ilmiyah manhajiah, sejarah pergerakan Islam dimasa rasulullah, Alih Bahasa AunurRafiq Saleh Tamhid, Jakarta:Robbani Press, 2005, hlm. 21
[15] http://msubhanzamzami.wordpress.com, Ibid
[16] Ibid,hlm.60-61
[17] Syafiq A.Mughni,Ensiklopedi Tematis Dunia Islam,(Jakarta,Ichtiar Baru Van Hoeve),hlm.25
[18] Ibid,hlm.23-24
[19] Khalil Abdul Karim, Syari’ah Sejarah…, hlm. 7-8
[20] Ratno Lukito, Islamic Law…, hlm. 5-6.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar