Senin, 20 Oktober 2014

SEJARAH SINGKAT PONDOK PESANTREN DARUL QUR'AN WAL HADITS



  •   Pondok Pesantren Darul Qur’an Wal Hadits.

Pondok Pesantren Darul Qur’an Wal Hadits, salah satu pondok  tempat menimba dan mendalami ilmua agama islam. Bertempat di sebuah desa yang masih aman dari keramaian kota, telaga lebur, loang balok yang didirikan oleh Al-Ustadz Muna’am alumni Ar-Roisiyah Sekarbela ampenan, Mataram. Beliau  asli putra telage lebur yang ikatan keluarga dekat dengan ayahku. Pondok pesantren Darul Qur’an Wal Hadits dibangun pada tahun 1998 dengan sumabangan suwadaya masyarakat sekecamatan sekotong. Bangunan didirikan ditengah-tengah masyarakat yang masih awam, penuh mistis, temapat itu terkenal dengan kampung tukang sihir. Seiring dengan di bangunannya pesantren ini berangsur-angsur pula ilmu dan tukang sihir itu lenyap menghilan, bangunan pesantren ini berangsur-angsur bertambah mulai satu lokal, dua, tiga, empat sampai sekarang bangunannya ada yang sudah lantai dua. Berkat kegigihan jerih payah dan keikhlasan sang ustadz dalam membangun pondok pesantren sebagi tempat menimba ilmu-ilmu agama yang sekaligus sebagai ciri khas sekolah bernuansa islami.
Pada awal pembangunannya sebagaian masyarakat mencemooh, mengejek ada yang secara terang-terangan melempar bangunan dengan batu karena tidak senang, segala cobaan selalu datang, kadang-kadang siswa dilarang sekolah kepesantren, sewaktu-waktu jembatan yang menghubungi satu kampung dengan kampung telaga tempat pesantren dirusak oleh oknum yang tidak suka dengan pembangunan pesantren jembatan sengaja dirusak denagan tujuan agar anak-anak yang mengaji dan sekolah tidak dapat lewat sekaligus tidak senang denagan ustadz.
Sejalan dengan waktu masyarakat mulai sadar tidak mengejek walaupun sebagian masih tidak suka denagan sang ustadz. Sang ustadz tidak patah semangat, beliau mencari murid diluar sambil mengisi pengajian tak lupa mempromosikan pondok pesantren. Alhasil murid dari luar semakin banyak pesantrenpun makin dikenal. Dimasa awal-awal sumber murid yang datang dari luar diantaranya: dari dusun Temeran, Tembowong, Batu Kumbu, Kambeng dan Langko (Lombok Tengah). Santri-santri dari kampung inilah yang paling awal ikut memperjuangkan pondok pesantren. Sejalan denagn kepercayaan masyarakat luar pondok pesantren Darul Qur’an Wal Hadits resmi mendirikan sekolah formal Madrasah Tsanawiyah yang muridnya tidak kurang dari dua belas orang, dengan aktivitas ngaji dan sekolah sampai-sampai bangunan tidak lagi menampung tempat. Ahirnya sang Ustadz  meminta izin agar kegiatan sekolah  di musholla kampung saat itu, tidak lama berjalan masyarakat setempat melarang sekolah dimusholla dengan alasan ribut dan mengotori musholla, ustadz lalu minta izin ke sekolah SD (SDN 4 telage lebur dulu), untuk kegiatan belajar mengajar. Tidak lama lagi santri yang sedang belajar di suruh keluar dan tidak menggunakan bangunan SD. Ke esokan harinya pintu ruangan SD dikonci. Semua santri akhirnya belajar dirumah sang ustadz dengan serba kurang. Namun semangat santri-santri ini membuat sang ustadz tidak putus asa dan berkecil hati untuk terus membangun walau seribu rintangan membentang depan mata. Tetap berjuang hingga semua rintangan hilang berahir dengan kebosanan.
Semakin tahun santri berdatangan dari berbagai penjuru desa, pada tahun kedua pondok pesantren darul Qur’an resmi dapat izin pemerintah untuk dirikan sekolah Tsanawiyah. Tiga tahun berikutnya sang ustadz mendidrikan Madrasah Aliyah. Sampai genap Pondok Pesantren Darul Qur’an Wal Hadits mendirikan lembaga pendidikan formal mulai dari MI (Madrasah Ibtidakiyah), MTs (Madrasah Tsanawiyah) dan MA (Madrasah Aliyah) Sedangkan yang nonformal yaitu TPQ, Diniyah, Panti Asuhan  dan Majlis Tak’lim.  
a.    Bumbu-Bumbu  Pondok Pesantren
Sejak tahun ke dua dan baru kelas 2 Tsanawiyah, saya dan teman-teman menjalani hidup di asrama yang jauh beda dengan suasana di rumah mulai dari makan, tidur, mandi, ngaji dan sekolah semua serba atuaran, suatu saat pernah makan tanpa sayur, kadang-kadang pakai garam dan sambal, maklum waktu itu belum ada kos-kosan yang jualan nasi. masak sendiri-sendiri, sudah tak asing dan tak jarang masak pakai kayu, sandal dan lain sebaginya, waktu musim hujan santri sebagian besar tidur dimusholla, karena diasrama bocor, tak menampung dan tak nyaman, waktu itu asrama laki-laki dengan perempuan berdekatan, lalu lalang saling lihat dan saling sapa. mandi di satu jeding saling gantian. Sewaktu-waktu yang laki mandi di sungai.
Aktivitas ngaji selalu aktif yang terlambat di hukum (tahkim), sekolah juga demikian tak luput dari incaran guru dan ustadz bagi yang malas dan tidur di pagi hari, yang terlambat bangun subuh disiram, kemudian dihukum. Semua berjalan dengan apa adanya, selama 6 tahun, pernah suatu malam kakak kelas kethuan nonton TV kebetulan aku tidak ikut nonton waktu itu karena tak seneng keluar, langsung malam itu ustadz mengetahuinya dan langsung mengamuk, pondok-pondok di lempar batu, ada satu kakak kelas namanya suparman dari temeran dilempar batubata dan kena kakinya, hingga luka parah karena berusaha lari, semua santri yang keluar pondok pust up di depan kamar asrama, yang tidak nonton ikut juga karena tidak memperingati yang lain Satu Makan Nangka Semua Kena getahnya itulah pepatah yang populer saat itu. Ada santri yang ditemukan merokok dikumpulkan kemudian dihukum didepan santriwati, yang ditemukan pacaran di sidang, yang ketahuan bolos pulang didenda, yang tidak tepati janji di botak, setiap pagi nyapu bersih-bersih pungut sampah sebelum masuk sekolah. Semua ini tujuannya agar semua santri mentaati aturan, tidak manja  dan disiplin waktu.
b.   Kitab Hijau Pondok Pesantren 
Setelah empat tahun dipondok pesantren semakin dikenal dan disayang ustadz. Suatu saat diajak knaik ke gunung punyanya ustadz, represing menyegarkan pikiran bersama ustadz dan keluarganya dan lima temanku lainya (Ramdhan, Mansyur, Fauzi, Isa dan  Edi).
Di atas gunung ternyata udaranya segar, pemandangan indah bebas lepas rasa jenuh, letih pun hilang seketika. seminggu kemudian Saya dan Muhadits (kakak kelas) dipanggil untuk mengasah parang yang baru saja dibeliin dari pasar. Pada hari minggu aku, Muhadits, Ramdhan, dan Fauzi dipanggil diajak kegunung naik babat semak belukar (ngawas) digunung  untuk rencana tanam pohon jati,  suasana lain dipondok santri diajak bertani. Ahirnya setiap hari Minggu naik kegunung kadang-kadang pulang sekolah langsung dipanggil disuruh naik kegunung. Saking seringnya naik gunung aku makin disayang ustadz karena pandai dan sangat rapi bekasnya membabat semak-semak belukar, pada ahirnya aku dan teman ( Ramdhan, Mansur, Zainudin dan Fauzi ) dipercayakan jadi ketua didalam mengontrol teman-teman yang lain saat jadwal naik gunung.
Disini aku dan teman-teman sangat saling menghormati dan saling menghargai bagai satu keluarga besar sampai nanti ahirnya kami harus berpisah. Waktu membuktikan kami punya ide dan tak gengsi Kayu kosta yang besar-besar yang ditebang di bawa pulang untuk di jual  hasil jualannya dibagi bagi. Singkat waktu setelah selesai membabat disusul dengan di tanami pohon jati. Yayasan  dapat sumbangan dari Pondok Pesantren Nurul Hakim kediri. Sesekali kami dipercaya membawa santriawan/santriwati untuk bantu membawa bibit dari pondok ke gunung dua kali sehari. Selama tiga bulan berturut-turut kami setiap hari selesai sekolah langsung naik gunung menanam sampai-sampai membuat rumah digunung (lelanjong), dengan ahlinya Ramdahan dan Mansyur sebagai tempat berteduh dan istirahat, waktu membuat lelanjong aku hamir jatuh karena salah injak kayu yang dipasang jadi usuk belum diikat. Teman-temanku tertawa dengan girang, pembuatan lelanjong berlanjut hujan-hujanan tak lama sehari tiang dan rangka lelanjong jadi tinggal atapnya.
Keesokan harinya atapnya kita bawakan dari pondok Alhamdulillah ahirnya lelanjong pun jadi. Saking seringnya bolak balik Selama memanam pohon jati lima orang ini sangat dikenal warga sekeliling sampai sampai dikatakan agak diejek sekolah untuk menjadi petani tapi kita tidak hiraukan, bahkan suatu saat sempat tidak dikasih lewati tanah salah satu warga karena saking banyaknya santri yang lewat dan ribut. Orang itu masih ada ikatan keluarga sama kakekku, karena tanah itu milik kakekku yang di sandak (gadaian).
Ada duka ada tawa silih berganti waktu terus berjalan  kami berlima orang setiap musim hujan naik kegunung untuk mengontrol tanaman mulai dari merambat, bertanam, membersihkan, memberi pupuk kandang dan pupuk daun. Bisa di bilang inilah kitab hijauku dan teman-temanku saat itu. Sekarang terkenal dengan Hutan Jati yang tercatat sepuluh ribu batang dalam tiga hektar. Dujung perjalan satu persatu temanku selesai dan pulang. Kak Muhadits dari kambeng, kak Ramdhan, Mansur, Isya dari bun beleng Mareje, Zainuddin dari sesauh. Fauzi dari gawah pudak Tembowong. Teman-temanku ini pahit manis pondok sudah dirasakan, disamping ada temen-teman yang lain yang ikut mengambil peran yang tidak bisa ku sebutkan. Sampai kapanpun mereka adalah saudaraku, semoga kita ketemu suatu saat nanti dalam silaturrohmi ke pondok pesantren  Darul Qur’an Wal Hadits, Saat ini bukit itu sudah tertutup oleh hijaunya tanaman jati yang kerap terkenal dengan gunung jati.
c.    Batu Jaran
Selain akivitas sekolah ngaji waktu istirahat aku, Ramdhan, Isya, dan Mansyur sering mandi dikali (Batu Jaran) dan membuat sumur di kali batu jaran kebetulan pondok pesantren kala itu selama enam tahun   belum punya WC, BAB para santri sering membawa konflik dengan masyarakat sekitar, karena buang kotoran dikebun milik masyarakat, BAB santriwati di kali batu jaran mudi (hilir), yang santriawan dikebun, kadang-kadang kesungai batu jaran julu (hulu) maklum pondok pesantren masih dipedesaan. Hampir setiap hari mandi ke batu jaran, bahkan ada yang jadikan batu jaran sebagi tempat menghafal kitab selesai sekolah makan langsung kebatu jaran yang rindang aman untuk tempat menghafal. Sedangkan aku, Ramdhan dan mansur sering masak disana buat bubur/ beor (jajan paporit santri) disamping membuat tempat mandi disalah satu sudut sungai yang airnya jernih dan bersih, Sewaktu-waktu sepulang sekolah mencari ikan sama Ramdhan Dan Mansur sebagai lauk, mencari udang malem-malem setelah mengaji isya’, dihari libur tak jarang menangkap ikan dan udang bersama ustadz pakai jaring pencar (mencar), kadang-kadang pakai racun udang di atas sungai batu jaran.
Batu jaran adalah nama sebuatan batu besar yang berbentuk kuda putih ditengah-tengah sungai, konon ceritanya sangat mistis di tempat itu sering muncul jin yang disebut dewi anjani, (Salah satu jin perempuan yang menunggu batu itu dari gunung rinjani), diatas batu itu tempat para tokoh tabib membuat pupus obat-obatan, orang sering sakit kalau mengolok-olok bati itu dengan menunggangnya.
d.   Berkah Secangkir Kopi
“Gagasan Syabuni sebagai ketua pondok setiap hari semakin berkembang, ide-idenya sangat tajam walau terbilang anak kampung yang sangat sederhana, tetapi ia sangat kreatif,” itulah kata ustadz tohri salah satu pembina santriawan.
Suatu hari aku ditawari sama salah seorang warga (Tuak Bahri) untuk dibangunkan sumur tempat mandi, karena kasian sekali lihat semua santri yang keluyuran mandi dan nyuci ke jeding-jeding warga, sebagian santri mandi di jeding masjid, batu jaran dan dikali samping pondok dengan membuat penutup seadanya.
Mendengar tawaran itu saya langsung menerimanya namun sebelum kerja minta izin kepada ustadz pimpinan pondok, namun jawabannya masih ragu-ragu. Disatu sisi aku tidak berani menyampaikannya kepada tuak bahri, pada pagi hari senin tuak bahri datang kepondok dan siap menggali... aku agak panik karena belum dapatkan izin ustadz, tapi aku tidak ngomong tentang tidak diizinkan.
Pada pagi itu juga langsung gali sumur posisinya dekat bak penampung air PDAM pinggir jalan raya. Setelah diketahui, ustadz langsung memanggil ketua pengajian  yang waktu itu kakak kelas ku yang jadi ketua pengajian (M Tohri) yang jauh lebih senior, beliau ditanya  tentang galian sumur itu. ahirnya aku dimarahi, tidak direspon dicuekiin beliau menyuruh ketua pengajian mengontrol semua santri agar tidak ikut bantu, selama sehari ustadz tidak keluar mengintrol santri diam dalam rumah, sementara aku dan tiga teman sejatiku sekaligus teman pembiana (Zainudin, Mansur dan Ahmad Fauzi) ikut kerja membantu sebagaian pembina lainya diam tidak membantu, ternyata tuak bahri tau kalau ustadz marah, namun tidak mengurungkan niatnya karena sudah terlanjur, akupun memintakan tuak bahri secangkir kopi kepada puk/nenekku Rame, nenekku yang kebetulan rumahnya tidak jauh dengan Madrasah. Setengah hari belangsung tuak bahri pulang makan dan segera kembali dengan membawa ember besar dan pipa ukuran besar. Galian sumurpun berair dengan kedalaman sekitar  tujuh meter. Tuak bahri memintaku mencari batu sebanyak-banyaknya, kamipun turuti setelah shalat asyar kami minta waktu untuk libur ngaji dan pergi ambil batu semua santri yang setuju untuk ikut kerja cari batu yang tidak setuju diam. Semua santri ikut mengambil batu dari kali batu jaran sementara ustadz tidak keluar rumah. Batu-batu itu dipakai untuk menimbun sumur itu kembali, kami bingung namun setelah dijelasiin ternyata sumur timbun yang dalamnya dikasih ember dan pipa yang besar. kamipun puas dengan ide itu karena tidak butuh dana besar seperti gumbleng dan lain sebagainya. Menjelang magrib sumurpun sudah ditimbun rata seperti semuala hanya ada pipa aja. Kami bertiga berterima kasih banyak ke pada tuak bahri yang tidak mau diupah malah beliau menawarkan kami bertiga untuk makan malam dirumahnya. Setelah magrib ustadz baru keluar bersama para santriwati langsung kumpul di musholla, beliau sedikit kecewa dengan menyindir kami sambil bertanya kenapa sumur itu ditimbun kembali. Seketika itu ruangan terasa sunyi sedikitpun tidak ada santri yang menjawab sementara kami bersembunyi dibelakang adek-adek santri. Teman-teman pembina yang lain menjawab  “sumur pipa pak..! sedot pakai mesin” baru suasana sedikit sejuk langsung suasan sedikit cair beliau pun siap menyumbangkan mesin air ke esokan harinya dan menyuruh Mansur memasang mesin itu. Beberapa bulan pam itu beroprasi sebagai tempat ambil air minum, wudhu dan nyuci.
e.    Awal ada WC di Pondok
Setelah satu tahun setelah lulus dari Madrasah Aliyah, semakin dipercaya mengurus santriawan, diangkat jadi guru bantu di Madrasah Ibtidakiyah dan Madrasah Aliyah, saat itu  ku berperinsif belajar sambil mengajar sambil mengabdikan diri kepada pesantren (khidmat), sebagai bentuk kepedulian kepada pondok bersama Mansyur yang kebetulan tinggal kami berdua pembina yang senior dan betah dipondok waktu itu pembina yang lain begitu selesai Aliyah langsung pulang dan ada sebagian pembina yang keluar dari pondok dengan kesan yang kurang baik,  kami bermusyawarah untuk membuat sumur dan WC. Dengan dana iyuran sama-sama 25.000 per santri. Setelah para santri sepakat hatiku lega laksana berada ditaman surga setelah itu kami bentuk kepanitiaan penanggung jawab sekaligus ketua (Aku dan Mansyur), bendahara L. Mahyadi,  sekertaris Hamdhan, setelah semua rampung, kami menghadap ke Ustadz untuk minta restu dan izin, namun darimana beliau tau ide itu, sebelum kami mengutarakan maksud, Beliau mendahului pembicaraan dengan menyuruh buat sumur dan jeding dan nanti akan di bantu. Maklum waktu itu saatnya pemilihan kepala desa sekotong tengah.
Semua santri mengeluarkan iyuran dana sebanyak yang disepakati sehingga terkumpul uang sebanyak 300.000 sebagai dana awal disamping itu melihat dana yang masih kurang kami membuat lis donatur untuk minta sumbangan kepada orang-orang yang punya perhatian kepada pondok, tak berselang lama dana ahirnya terserap dari kepala camat sebanyak 1.000.000, Mamiq  H. Darliadi sebanyak 300.000, dari pak guru Muhsin 50.000 dan H. Miin taun 50.000,  sementara calon kepala desa yang sekaligus guruku waktu di MTs dulu menyumbang Closet 2 set dan pipa 2 biji. Setelah dana terkumpul dengan peroses yang panjang segala cara agar dapat bantuan dan jeding bisa jadi. kami mulai mencari batu bata ke lembar, kebon talo, tetapi harganya sangat mahal. Ahirnya kami membeli batu bata sebanyak seribu di telaga lebur desa dekat dengan pondok, dengan alat seadanya  penggalian sumurpun dimulai, yang gali sumur bukan ahlinya atau orang lain, tetapi aku, mansyur dan semua santri aliyah yang besar-besar terjun saling ganti. Tempatnya dibelakang pondok sebelah timur, pinggir sungai samping jembatan,  hampir siang malam  menggali tak kenal berhenti. Setelah kedalaman delapan meter mulai menemukan air setelah itu galian pun selesai dengan kedalaman sembilan meter. Kemudian kami buat beli gesik disekotong, beli semen sebanyak sepuluh sak diawal, peroses pembuatan gumbleng dimulai saudara mansyur tampil namun dari satu sak semen yang jadi gumblengnya hanya satu, akhirnya kami putuskan untuk beli saja, setelah itu kami membeli gumbleng ke tawun sekotong barat sebanyak 8 set dalam jangka satu minggu lebih sumurpun jadi dengan kedalaman sembilan meter.
            Setelah sumur jadi mulai merancang bentuk jeding dan pada ahirnya disepakati dengan ukuran dua kali delapan meter berbentuk L, setelah itu penggalian pondasi dimulai sampai penembokan berjalan dengan apa adanya yang menembok teman-teman yang merasa mau dan bisa, disisni aku belajar menembok, plester dan lain sebagainya, setelah melalui waktu dan peroses yang panjang hampir tiga bulan jeding pun jadi dengan kekompakaan dan keahlian saudara Mansur dan teman-teman lainnya yang tidak pernah mengenal upah dan putus asa walau kadang-kadang dimarah oleh ustadz karena kerja siang malam, pengajian jadi terbengkalai bahkan pernah tidak disuruh melanjutkannya karena dianggap melalaikan, tidak bisa dan tidak mampu, awalnya saat itu bendahara menagih ustadz yang meminjam uang jeding, setelah diminta sang ustadz marah-marah dan menyuruh membatalkan buat  jeding.
            Diposisi yang serba keterbatasan dan berbagai rintangan tekanan Jeding pun bisa terpakai dengan keadaan yang belum pinis, dana habis, semangat kritis. Diputusiin jeding tidak dikerjakan lagi dan mulai dipakai mandi, nyuci Semua santiawan tidak keluar mandi lagi ke jeding masyarakat sekitar, kebatu jaran pun jarang, peraturanpun mulai lancar Pondok sudah punya jeding dan WC dan itu awal ada jeding dan WC sampai sekarang masih menyimpan kenangan.
f.                 Mansyur dengan  Fit X
Setelah sembilan tahun menikmati suasana pesantren, memiliki banyak teman dari mana-mana salah satunya yang masih setia mengabdi siapa lagi kalau bukan yang bernama Mansyur dari bunbeleng, Mareje, kecamatan Lembar, beliau kakak tingkat ku tubuhnya kecil tetapi otaknya penuh i’rob matan jurumiyah, ahli bangunan, bahkan pernah dipercaya mengerjakan bangunan Madrasah dan asrama mulai dari menembok, sampai buat jendela. Beliau salah satu pembina yang terahir keluar dari pondok setelah diriku. Sebelumnya beliau sempat pulang untuk berhenti namun aku mengajaknya balek kepondok. Sebelum ahirnya aku yang berhenti udurkan diri. Sosok Mansyur yang sabar dan ulet ini menjadi suatu yang khas membuat persahabatan terasa saudara. Setelah sama-sama diangkat mengajar di Madrasah formal, kami mencoba keridit sepeda motor fit X dengan dana patungan yang diperuntukkan untuk keluar mengajar kerambut petung dan batu kumbu sekotong barat waktu itu aku belum bisa pakai sepeda motor, maklum anak kampung yang sederhana dan jalan belum dibangun dan baru bisa memakai sepeda motor setelah diajarin teman di pantai sesauh (buwun mass),  dengan sedikit bisa ternyata banyak mendatangkan musibah mulai pertama kali jatuh tabrak tiang bendera depan sekolah saat mencoba keliling lapangan, kedua di tikungan batu leong sekotong baret saat boncengan sama teman pulang ngajar dari rambut petung akibatnya celana sobek lutut sedikit luka, disenggol L 300, ketiga di tikungan karang kerem saat pergi mengajar kebatu kumbu hari sabtu, baju celana kotor sepanger motor belakang rusak untung tidak luka perjalanan pun diteruskan untuk pergi ngajar, keempat saat turun di jurang gerepek lembar, saat mau ke rumah sakit gerung menyusul salah satu siswa yang di serepet truk disaat menyebrang kesekolah di batu kumbu, jari tangannya terluka hamir putus ia langsung dirujuk ke rumah sakit gerung. Saat itu aku percayakan diri jadi depan, boncengan sama Mansyur dari batu kumbu, saat naympe jurang gerepek mau naik tanjakan sempat terpeleset dan hampir tabrak torotoar pinggir gunung namun bisa ku kendalikan, akupun mekin PD saat turun jurang gerepek... motor ku gas kencang karena tegang udah ketakutan,,, sseeet motor meluncur kebawah tanpa direem mau lolos kejurang saat genting ku panik motor dan mobil banyak saat pengkolan langsung putar setang kekanan dan jedaaaaarrrrrrr... sssssstt... tak sadar, Mansyur dibelakang terpental beberapa meter kedepan sementara aku masih diatas motor dada ku terpelandas kemotor kaki terjepit aku menabrak seseorang yang mengendari sepeda motor fit S yang datang dari bawah, namun aneh sekali motor ku tidak rusak hanya segi tiga obah sedikit, sementara orang tua yang tertabrak itu pelex depan  motornya rusak parah hancur sama sekali dan istrinya pingsan, suasana sempat macet. aku takut dikiraiin mau dipukul. Orang itu merengek marah-marah, mulutku hanyabisa bilang maaf pak,,, ampurayan pak,,, sambil kesakitan kakiku bengak memar,Untung selang beberapa waktu saat itu salah seorang guruku (Muharror) yang melintas dari bawah berhenti dan segera mengakuiku beliau langsung menelpon memberitau ustadz pimpinan pondok, sang ustadz pun segera datang bersama istri dan beberapa santriwati lainnya dikiraiin kami luka parah setelah datang beliau langsung menegurku dan minta maaf kepada bapak itu dan mau menanggung kerusakan. Langsung motor dibawa ke bengkel Nyurlembang Gerung. aku naik L 300 sama mansur. Sementara ustadz pengasuh pondok langsung kerumah sakit menjenguk murid yang terserepet tadi.
Aku dan Mansyur dibengkel setengah hari kakiku makin membengkak dan mulai terasa sakit, Sementara menunggu motor diperbaiki aku sempat canda tawa sama Mansyur untung tidak parah, Total kerugian 900.000 (sembilan ratus ribu) dibantu sama ustadz 500.000 (lima ratus ribu).
g.    Jatuh Sakit
Setelah beberapa bulan kemudian aku jatuh sakit, yakni sakit  perut (mencret) yang sangat parah, hampir mati karena penyebab awalnya makan jajan tarek yang terbuat dari tepung, yang baru matang digoreng dibawakan oleh salah satu pembina santriwati keruang kantor kebetulan sedang kerjakan tugas setelah itu  disuruh ustadz pergi naik gunung selesaiin masalah santriwati yang pulang bolos gara-gara ustadz memarahinya, keluarga santriwati ini tidak terima mereka keberatan dan melaporkan kasus ini ke polsek sekotong tengah, sang ustadz dikasih tau sama pak Yasiin salah satu guru yang ngajar di Madrasah Aliyah kalau beliau (ustadzku) akan dipanggil oleh kapolsek sekotong untuk dimintai keterangan gara-gara memarahi santrinya, sang ustadzpun meminta maaf lewat pak yasiin dan mengakui kesalahannya, sanggup dikenakan denda kalau dimintai asal jangan dipanggil kepolsek, pak yasiinpun menyampaikan salam ustadz kekeluarga santriwati ini, namun mereka tidak mau terima, dengan berbgai macam lobian pak yasiin ahirnya mereka menerimanya dengan satu syarat sang ustadz datang kerumahnya dan minta maaf baru damai.  Sementara ustadz tidak mau kerumahnya beliau masih takut dan ragu ahirnya aku dipanggil dan diutus kerumahnya, akupun menurut dengan keadaan suasana hening selesai shalt asyar akupun berangkat pakai motor Jupiter Z merah dengan teman, kamipun jalan dibonceng melintasi  jalan yang rusak dan bebatuaan. Sesampainya di rumah santriwati ini kami beri salam dan dipersilahkan duduk, ibunya memanggil anaknya yang laki-laki dan  saudara-saudaraa nya spontan salah satu saudaranya yang laki-laki ngomong dengan nada keras memaki-maki lagi emosi kami jadi sedikit kecut dikiraiin mau dipukul kami  mulai memberanikan diri bicara, kami memulai dengan minta maaf dan menceritakan kejadiaan sebenarnya dengan sedikit saling sambut  suasana tegang sedikit redup setelah beberapa lama disuguhkan kopi, kami dipersilahkan minum seleai minum kopi akhirnya mereka mau memaafkan ustadz dan menarik kembali laporannya, spontan kamipun berterimakasih dan pamitan jalan pulang. Sepulang dari rumah santriwati ini pada malamnya aku sakit perut saat itu sekitar jam duabelas (12) malam, santri yang lain sudah pada tidur, teman pembina pun terlelap, waktu itu aku tidur bertiga dengan Mansur dan Hamdan dikantor, malam itu pun aku tak bisa tidur karena mencret (sakit perut), selalu buang air besar terus, keluar masuk buang air besar semalaman tak bisa tidur pas waktu mau wuduk untuk shalat subuh aku lemas tenaga tidak ada mau jatuh, tapi disanggah sama santri yang wuduk lainnya, aku tak sadar diri pingsan kehabisan tenaga, perut kosong, aku segera dilarikan oleh pak dika ke rumah sakit sekotong, dengan dibonceng motor setiba di rumah sakit langsung di kasih impus, waktu itu aku pasrah tak ada harapan untuk hidup kembali, suara teman-teman yang menangis makin meyakinkan aku, kalau umurku bakal sampai disitu, kondisi tubuhku drop, pucat, kurus, dirumah sakit sekotong menghabiskan 2 infus, tak lama kemudian orang tua ku datang dari gunung mula-mula ibu, ibu langsung menangis tak tahan melihatku yang drop kurus yang hampir tulang saja saat itu, ibu mencium keningku sambil menangis, ibu menyapa menanyakan apa penyebab sakitnya, tiba-tiba karena sebelumnya tak pernah sakit separah itu, namun aku tak bisa berbicara, hanya kedipan mata yang menjawab. tak lama kemudian datang ayah, ayah ku bilang “ wah ndak bakal selamat anak ini” semua keluarga dan adik-adik santri pun pada menangis, ayah menyapa ku “ sabar anakku mule nasif jak selamet” terdengar di telinga ku, hampir setengah hari tak ada perubahan sembuh, ayahpun meminta supaya dibawa pulang, aku pun dalam keadaan lemas dibawa pulang, dengan dibawa mobil hartop  milik paman, jalan besar ke rumah sudah didoser berkat perjuangan ayah warga yang memenangkan PKK sekotong tengah pada tahun duaribu delapan kebetulan waktu itu ayah masih  jadi kadus, sesampi dirumah aku diletakkan di sekenem (berugak) begitu dilihat sama kakek dan nenek, langsung kakek menangis dengan hanya berkata “ ee nenek kaji sik kuase makat sak mene belek cobe nee eehh..ehh, kayee gamak baingku” lagi-lagi nenek bilang “arooh gamak tatik kembe gamak sakit penyakit nee, apee salakmm gamak sak mene lalok cobe terimakmm” aku sudah tak berdaya lagi ketika sakitnya makin parah, sudah dibacakan surat yasiin beberapa kali,, semua keluarga menangis rumahku penuh dengan warga yang datang melihat keadaanku, sementara aku hanya berbaring lemas sambil merasakan sakitnya perut dan anggota tubuh, berbagai obat tradisional dicoba, selang beberapa lama paman ku yakni H. Zul datang langsung marah-marah sambil menangis ” sabar sanak embe/mana mobil orang sakit kok ditonton, mana konci mobil amak bur,,, amak bur bawa kegerung cepat,,! Langsung ku dipopong dirujuk kerumah sakit gerung, sesmpai digerung langsung di infus tak lama kemudian langsung agak sadar, namun belum bisa ngomong, ayah dan ibu menemani malam pertama di rumah sakit, langsung semua keluarga, sahabat yang dari gerung, gapuk, mesulik dan egok datang jenguk dan bawa makanan setelah mengetahui kami ada dirumah sakit, ahirnya karunia taqdir Allah masih memberikan umur yang panjang aku sembuh dan genap satu minggu di rumh sakit gerung, setelah pulih aku pun dibawa pulang, kakek nenek bersykur, dirumah aku istirahat beberapa minggu dimanjakan disemblihkan ayam dibelikan jajan dan lain sebagainya aku tidak dikasih cepat-cepat kepondok oleh kakek dan paman bahkan menyuruh untuk berhenti, namun aku masih kangen pondok waktu itu masih semester pertama baru masuk kuliah cabang STIT Nurul Hakim kediri, akupun diizinin kembali kepondok, sesampainya dipondok aku disambut oleh teman-temanku dan adek-adek santri, aku sakit baru kali itu yang sebelumnya belum pernah sakit keras kayak begitu.
2.    Detik Terahir di Pondok.
Setelah selesai Tsanawiyah tahun 2005 dengan nilai yang sangat memuaskan, kemudian lanjut ke Madrasah Aliyah di tempat yang sama dengan biaya geratis, dapat beasiswa dari pmerintah, ditahun itu pula aku memasukkan dua adikku dan satu misan. Tak terasa tahun demi tahun berganti hidup ku penuh perhara yang tak mungkin terkupas habis, setelah kelas satu aliyah mulai dipercaya menjadi ketua pengajian Diniah sekaligus membimbing adik-adik kelas Tsanawiyah, dari sini aku memulai mengukir karir ingin bermanfaat bagi diri dan orang lain, sambil ngaji sekolah juga mengamalkan ilmu yang didpat, selang setengah semester dijadikan ketua pondok putra dan dipercaya bimbing adik-adek putra putri Diniah di setiap sore hari dengan kitab aqidah dan ta’lim sampai tamat aliyah. waktu kelas 3 aliyah diberi kepercayaan mengajar di Madrasah Ibtidakiyah dengan diberi mata pelajaran agama, setelah selesai Aliyah tahun 2008 ujian di Nurul Hakim kediri, Lombok Barat. Inget itu baru kali pertama keluar dari pondok melihat dunia luar, hampir selama tiga tahun tak pernah melihat alam luar, setelah lulus dengan setandar nilai kelulusan 5,00% waktu itu temanku ujian sebanyak 12 orang. Dari duabelas yang lulus hanya dua orang aku dan syahwan dari telaga lebur bangket.
Setelah selesai Aliyah langsung disuruh mengajar di Tsanawiyah ditempat nyantrinya sekaligus mulai dipercaya keluar mengajar di madrasah cabang di desa rambut petung sekotong barat dan batu kumbu. Sambil lanjut kuliah di tempat yang sama waktu itu baru diadakan kuliah cabang dari STIT Nurul Hakim kediri lombok barat. Selang beberapa bulan diberi amanat ngajar di aliyah dengan memegang mata kuliah fiqih dan di waktu yang sama diamanahi memegang sekolah cabang batu kumbu, selama setahun kemudian menekuni guru dibatu kumbu. tak jarang ujian pun kian datang, suatu waktu diserahkan memegang uang tabungan siwa dari kelas 1 sampai IV selama satu tahun, terhitung  hampir berjumlah tiga belas juta, seminggu lagi akan kenaikan kelas uang itu akan dikembalikan kemasing-masing siswa yang menabung kemudian di hitung ulang jumlah tabungan masing-masing siswa sebelum memasukkannya ke dalam amplop, ternyata kurang tiga juta setengah, setelah dicek ulang uang dipinjem oleh yayasan dua juta dan para guru satu juta setengah, mau nagih para guru dibilang uang belum ada, hari itu aku bingung minjem sana sisni tidak dapat terpaksa pulang minta uang di orang tua alhamdulillah dapat tujuh ratus ribu belum cukup minjem lagi dikepala sekolah madrasah ibtidakiyah induk dapat dua ratus, belum cukup minjem lagi di mansyur dapat enam ratus ahirnya  sampai cukup, sekolah tempat mengabdikan diri ini bernama Madrasah Ibtidaiyah Darul Aitam. Yang sekarang sudah berdiri sendiri, bangunannya sudah cukup, yang dulunya hanya tiga lokal. Sekarang setelah dibantu oleh lembaga PNPM bangunannya bagus dan maju. Namun tak lama kemudian ditarik mengajar ke induk MI Darul Qur’an. Tak lama ujian datang lagi, aku dituduh memakai uang listrik untuk beli binsin motor dan minyak jenset aduuh pusing... masih teringat dalam lubuk hati yang paling dalam, aku menjelaskannya pada ustadz, ahirnya ustadz tau seperti apa pengurusan uang listrik di santriawan yang waktu itu pengurus iyuran bagian listrik ngambek, karena dimarahi oleh ustadz juga, langsung aku yang diserahkan untuk mengurusnya, karena tanggung jawab ketua pondok, tetapi begitu mau disetor, jadi sasaran kemarahan sang Ustadz, aku dipanggil menghadap dikumpulkan diaula asrama santri putri bersama pengurus santriwati lainnya, aku didampingi mansur teman akrab sekaligus menjadi ketua pengajian waktu itu, langsung setelah lama diskusi masalah uang listrik dan jenset, tiba-tiba ustadz keluar menghampiri langsung marah-marah dituduh sudah habiskan uang dan menggosip mengungkit-ungkit hutang ustadz wahhh,, kacau malam itu, aku terdiam tak tahan mendengar cercaan ustadz, air mata pun menetes karena malu dimarahi didepan sanriwati dituduh mengungkit-ungkit hutang, memakan uang listrik (korupsi), tak becus mengurus, dibilang syetan, tak tau terimakasih, ahirnya dengan tuduhan itu aku mulai tidak tenang dan kerasan dipondok, paginya selesai shalat subuh aku mengumpulkan santri-santri bimbingan dan menjelaskan program selanjutnya agar tetap disiplin menjalankan aturan-aturan pondok, dipenghujung saran didepan santri-santri bimbingan aku tarik nafas dalam-dalam diam memancing perhatian santri aku ketok jendela agar para santri fokus mendengarkan. Aku mulai sambung pembicaraan, “Adek-adeku semua malam ini aku mengundurkan diri jadi pengurus, aku mengundurkan diri jadi ketua pondok, berhenti membina, mundur dari guru di MI, MTs dan MA karena sudah cukup rasanya mengabdi khidmat, menerima terpaan ujian yang tak berujung ditempat ini, saya minta maaf bila ada yang telah kusakiti selama ini dan terimakasih yang sebesar-besarnya atas semua ini akhirul kalam Assalamualikum wr wb ”,  suasana jadi hening semua santri kesimak sedih bisik-bisik pun terdengar jelas mereka merasakan apa yang sedang ku alami ada yang berkta “ siapa yang membimbing kita sekarang, siapa yang menggantikan kak syabuni”,  para santripun kemudian bubar keluar siap bersih-bersih dan sekolah, inilah detik-detik berada di pondok pesantren yang sebelumnya banyak sekali cerita yang tak bisa tertuang dalam kisah ini, baik yang bersifat individu maupun secara bersama, dengan tuduhan yang tak berdasar ini aku mengambil keputusan untuk berhenti mengabdi dipondok yang selama ini telah menjadikanku seorang yang lebih baik dari sebelumnya. Ujian ini yang terbesar selama nyntri di pondok, walau sifatnya tak merusak pisik tapi batin terasa tak dihargai lagi, cobaan mulai dari yang dimalukan didepan adek-adek bimbingan sampai dilempar batubata karena tak membimbing, memutuskan untuk pulang kampung sebelumnya aku minta izin pada ustadz, untuk berhenti tapi ustadz tak mengizinkan, beliau minta maaf, namun tetap tekad harus pulang, cukup mengabdi, sudah tak nyaman lagi rasanya tinggal dipondok, walau tak diizinin barang-barang  sudah siap dibawa pulang, siang hari rabo aku  pamitan sama santri dan ustadz, genap sudah tinggal dipondok selama delapan tahun (2002-2009).
Dengan meninggalkan dua (2) adik zaenaf dan zaenal dan misan, namun zaenal tak betah ia pun berhenti, sedang adik zaenab waktu itu kelas tiga. aku pulang dengan berjalan kaki dari pondok lewat jalan belakang agar tidak dilihat sama warga sampai rumah. Aku menyusuri jalan setapak yang biasa ku lewati kalau pulang kampung, jalan pintas menyusuri sungai dengan ditemani bisikan hati cita-cita ingin bantu ibu kerja tak ada gambaran untuk sekolah lagi, namun hati kecil ingin lanjutkan kuliah di induknya yaitu di Nurul Hakim kediri. Sambil membawa dus yang berisi buku dan kitab dipunggung ada tas pakaian aku terus berjalan mendaki jurang sekopang. Sesampainya dirumah aku disambut adek kecil dan kakakku, sedang ibu belum pulang kerja dari sawah, ayah waktu itu lagi dirumah ibu yang kedua sedang sakit,  aktivitasku dirumah membantu ibu kerja, malam hari bimbing adek-adek kerja, aku tidak ceritakan pada ayah dan ibu kalau aku berhenti mondok dengan alasan tak ingin mereka tau masalahnya, keseharianku membantu ibu disawah sambil mengembala, cari dedauanan untuk makanan sapi, waktu itu musim kemarau, kadang-kadang ikut kakak pergi cari batu emas, menunggu ayah yang sedang sakit, makin hari penyakit ayah semakin parah, akhirnya pada suatu hari ayah dibawa kerumah sakit untuk dironsen (diperiksa penyakitnya) diawal bulan puasa, itulah aktivitasku dirumah yang dianggap liburan sama orang tua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar