BAB
I
PENDAHULUAN
A.
PENDAHULUAN
Perihal
Ucapan, Kepribadian dan perbuatan Nabi Muhammad SAW. Merupakan pegangan dan uswah bagi Muslimin. Selain itu,
sejarah perjuanganya pun dijadikan sebagai sumber inspirasi dan motovasi bagi
umat Islam dalam berdakwah menyebarkan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Oleh
karena itu, kita (umat Islam) dapat mempelajari secara rinci dalam As-Sunnah An-Nabawiyah tentang keberhasilan perjuangan, karakteristik,
dan pokok ajaran beliau.[1] Hadist
merupakan segala hal yang berasal dari Nabi Muhammad SAW yang telah termuat
dalam ajaran Islam, dipraktekkan dan diterapkan dalam pendidikan umat Islam,
sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah SWT:[2]
ôs)s9 £`tB ª!$# n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# øÎ) y]yèt/ öNÍkÏù Zwqßu ô`ÏiB ôMÎgÅ¡àÿRr& (#qè=÷Gt öNÍkön=tæ ¾ÏmÏG»t#uä öNÍkÅe2tãur ãNßgßJÏk=yèãur |=»tGÅ3ø9$# spyJò6Ïtø:$#ur bÎ)ur (#qçR%x. `ÏB ã@ö6s% Å"s9 9@»n=|Ê AûüÎ7B ÇÊÏÍÈ
Artinya:
Sungguh Allah Telah
memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara
mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada
mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada
mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu,
mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata
Sebagai
sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur`an, hadist memang harus dipelihara,
dijaga, dipahami dan diamalkan. Setiap umat Islam dianjurkan untuk mengamalkan
apa yang datang dari Rasulullah SAW, baik melalui ucapan, perkataan atau
persetujuan. Mengamalkan sunnah Rasulullah SAW berarti mengamalkan perintah Al-Qur'an,
Keduanya tidak bisa dipisahkan, bukankah Rasulullah SAW, diperintahkan untuk
menjelaskan Al-Qur`an? Penjelasan Rasulullah SAW baik secara teoritis ataupun
praktis, merupakan landasan hukum yang mesti diamalkan.[3] Sebagaimana firman Allah SWT:[4]
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ Ìç/9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍkös9Î) öNßg¯=yès9ur crã©3xÿtGt ÇÍÍÈ
Artinya:
(Kami utuskan Rasul-rasul itu) membawa keterangan-
keterangan yang jelas nyata (yang membuktikan kebenaran mereka) dan Kitab-kitab
Suci (yang menjadi panduan) dan Kami pula turunkan kepadamu (wahai Muhammad)
Al-Quran yang memberi peringatan, supaya engkau menerangkan kepada umat manusia
akan apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka memikirkannya.
Posisi sunnah yang
begitu esensial, sangat dipahami oleh generasi Islam sepanjang masa. Itulah
sebabnya segala cara dilakukan demi terpeliharanya sumber Islam ini. Tidak
sedikit di antara para sahabat dan ulama yang rela melakukan perjalanan (rihlah)
ke berbagai kota hanya untuk mendengar satu hadist saja. Upaya yang
dilakukan tidak berhenti hanya pada pengumpulan hadist-hadist Rasulullah SAW
melalui periwayatan. Namun lebih dari itu, mereka berupaya memisahkan antara hadist
yang bisa dijadikan sandaran hukum dengan hadist yang tidak layak untuk
diamalkan.
Dengan
demikian, untuk mengetahui apakah riwayat berbagai hadist yang terhimpun
dapat dijadikan sebagai hujjah ataukah tidak, terlebih dahulu perlu dilakukan
penelitian. Kegiatan penelitian hadist tidak hanya ditujukan kepada apa yang
menjadi materi berita dalam hadis itu saja, yang biasa dikenal dengan masalah
matan hadist, tetapi juga kepada berbagai hal yang berhubungan dengan
periwayatannya, dalam hal ini sanadnya, yakni rangkaian para periwayat yang menyampaikan
matan hadis kepada kita.
Penelitian
kualitas hadist perlu dilakukan, bukan berarti meragukan hadist Nabi Muhammad SAW, tetapi melihat keterbatasan perawi hadist sebagai manusia, yang adakalanya melakukan kesalahan,
baik karena lupa maupun karena didorong oleh kepentingan tertentu. Keberadaan
perawi hadist sangat
menentukan kualitas hadist,
baik kualitas sanad maupun kualitas matan hadist.
Untuk menguji orisinilitas sebuah hadist, dalam ilmu hadist berkembang
teori tentang ilmu riwayah hadist (ilmu yang dipakai untuk meneliti sanad suatu
hadis) dan ilmu dirayah hadist (ilmu yang dipakai untuk meneliti matan suatu
hadis). Penerapan kedua ilmu ini dalam pengujian ribuan bahkan jutaan hadist
sangatlah menyita waktu, sehingga pada perkembangan selanjutnya, ahli hadist
lebih memfokuskan diri pada ilmu riwayah hadist (kritik sanad) dari pada ilmu
dirayah hadist (kritik matan).
Selama ini, orisinilitas hadist pada umumnya masih baru teruji dari segi
sanadnya saja. Padahal asumsi yang berkembang di kalangan ulama hadist sendiri
mengatakan bahwa yang disebut hadist shahih tentulah hadist shahih dari segi
sanad maupun matannya. Akibatnya, kritik matan hadist (orisinilitas teks)
terhadap hadist shahih (dari segi sanad) tersebut, dianggap tidak perlu. Dengan
demikian tidak ada jaminan bahwa jika sanad sebuah hadist sehat atau shahih
maka demikian juga dengan redaksi matannya. Banyak lagi yang harus dikaji lebih
mendalam terkait dengan redaksi orisinilitas hadist.
Dari uraian diatas, maka makalah ini akan menjelaskan kritik matan hadist, kedhabitan
perawi hadist, dan mukhtalif hadist
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apa
yang dimaksud kritik matan hadist?
2.
Bagaimana
kedhabitan perawi hadist?
3.
Apa yang
dimaksud dengan Mukhtalif Al-Hadist?
C. TUJUAN PEMBAHASAN
1.
Menjelaskan
kritik matan hadist ditinjau dari sisi kemunculan kritik matan hadist, metode
kritik matan hadist dan langkah-langkah kritik matan hadist
2.
Mengetahui
kedhabitan perawi hadist di tinjau dari sisi ragam kedhabitan perawi hadist,
pengujian tingkat kedhabitan perawi hadist, hal-hal yang meruntuhkan kedhabitan
perawi hadist dan contoh perawi hadist yang dhabit
3.
Mengetahui
pengertian dari mukhtalif al-hadist, sebab-sebabnya dan metode penyelesaiannya
BAB II
PEMBAHASAN
A. KRITIK MATAN HADIST
1.
Pengertian Kritik Matan Hadist
Kata kritik dalam bahasa Arab
lazim diterjemahkan dengan Al-Naqd.[5]
Kata kritik sebenarnya bahasa serapan yang berasal dari bahasa latin. Kritik
itu sendiri berarti menghakimi, membanding, menimbang.[6] Naqd
dalam bahasa Arab popular berarti penelitian, analisis, pengecekan dan
pembedaan.[7]
Salinan arti naqd dengan pembedaan, kiranya bertemu sesuai dengan judul
karya Imam Muslim, Ibnu Hajaj (W. 261 H) yang membahas kritik hadits, yakni
kitab Al-Tamyiz. Selanjutnya, dalam pembicaraan umum orang Indonesia,
kata “kritik” berkonotasi pengertian bersifat tidak lekas percaya, tajam dalam
penganalisaan, ada uraian pertimbangan baik buruk terhadap suatu karya.[8] Kata Sedangkan dalam Lisanul Arabi
bermakna tamyiz (membedakan).
Dari tebaran arti kebahasaan tersebut,
kata kritik bisa diartikan sebagai upaya membedakan antara yang benar (asli)
dan yang salah (tiruan/palsu). Sedangkan menurut istilah kritik hadits bermakna
sebagai berikut:
a.
Menurut Ibnu Abi Hatim Al-Razi (w.327
H):[9]
تمييز
الاحاديث الصحيحة من الضعيفة والحكم على الرواة توثيقا وتجريحا
Artinya
Upaya
menyeleksi (membedakan) antara hadist shahih dan dha’if dan menetapkan status
perawi-perawinya dari segi kepercayaan atau cacat.
b.
Sebagai sebuah disiplin ilmu, kritik
hadits adalah:[10]
الحكم
على الرواة تجريحا وتعديلا بألفاظ خاصة ذات دلائل معلومه عند أهله و النظرمتون
الاحاديث التى صح سنده لتصحيحها او تضعيفها ولرفع الأشكال عما بدا مشكلا من صحيحها
ودفع التعارض بينها يتطبيق مقاييس دقيقه.
Artinya:
Penetapan
status cacat atau ‘adil pada peawi hadits dengan mempergiunakan idiom khusus
berdasar bukti-bukti yang mudah diketahui oleh para ahlinya dan mencermati
matan-matan hadits sepanjang shahis sanadnya untuk tujuan mengakui validitas
atau menilai lemah dan upaya menyingkap kemusykilan pada matan hadits yang
shahih serta mengatasi gejala kontradiksi antar matan dengan mengaplikjasikan
tolak ukur yang detail.
c.
Menurut Umi Sumbulah[11]
Istilah
kritik matan hadts, dipahami sebagai upaya pengujian atas keabsahan matan
hadits, yang dilakukan untuk memisahkan antara matan-matan hadits yang shahih
dan yang tidak shahih.
Bercermin pada perumusan kritik hadist
di atas, maka hakikat kritik hadist bukan untuk menilai salah atau membuktikan
ketidakbenaran sabda Rasulullah SAW, karena otoritas kenabian dan penerima
mandat risalah dijamin terhindar dari salah ucap atau melanggar norma, tetapi
sekadar uji perangkat yang memuat informasi tentang beliau, termasuk uji
kejujuran informatornya. Teks redaksi matan hadist tentu membawa serta perawi
selaku perekam fakta kesejarahan masa lampau terposisikan sebagai sumber
primer. Sedang kaitan yang mendokumentasikan fakta kehadistan berbentuk kutub hadist
merupakan sumber sekunder. Demikian ini bila ditinjau dari tradisi kritik
sejarah.
Kritik hadist pada dasarnya bertujuan
untuk menguji dan menganalisis secara kritis apakah fakta sejarah hadist itu
dapat dibuktikan, termasuk komposisi kalimat yang terekspos dalam ungkapan
matan. Lebih jauh lagi, kritik hadist bergerak pada level menguji apakah
kandungan ungkapan matan amat berhubungan dengan taraf intelektualitas perawi
hadis dan bayang-bayang bias informasi sebagai implikasi daya berfantasi dan
kreasi berfikir saat mengamati dan melaporkan kesaksian itu kepada orang lain.
Sangat mungkin terjadi, perawi tidak hadir pada saat fakta hadist berlangsung.
2.
Awal Mula Kemunculan Kritik Matan
Hadist
Kritik terhadap matan hadist telah dimulai
pada masa hidup Nabi Muhammad SAW. Tapi, pada masa itu istilah ini hanya
berarti "pergi menemui Nabi Muhammad SAW untuk membuktikan sesuatu yang
dilaporkan telah dikatakan beliau". Pada tahap ini, merupakan proses
konsolidasi dengan tujuan agar kaum muslimin merasa tentram, seperti kejadian
Dimam bin Tsa’labah datang menemui Nabi Muhammad SAW, dan bertanya: "Muhammad,
utusanmu mengatakan kepada kami begini dan begitu", Nabi Muhammad SAW
menjawab: Dia berkata benar".[12]
Berdasarkan kejadian tersebut dapatlah
dikatakan bahwa kritik matan hadist telah dimulai dalam bentuk yang sederhana
di masa hidup Nabi Muhammad SAW. Praktik merujuk kepada Nabi Muhammad SAW ini
dengan sendirinya berhenti dengan wafatnya beliau. Tetapi adalah kewajiban umat
Islam untuk mengikuti jejak Nabi Muhammad SAW. Konsekuensinya, mereka harus
bersikap sangat berhati-hati dalam menisbatkan pernyataan-pernyataan dari Nabi
Muhammad SAW dan harus menelitinya dengan cermat.
Khalifah pertama, Abu Bakar Shiddiq
adalah perintis di bidang ini. Selanjutnya Umar dan Ali. Selama periode awal
ini, terdapat sahabat-sahabat lain yang melakukan kritik matan hadist, seperti
Aisyah dan Ibnu Umar. Maka dengan tersebarnya matan hadist ke berbagai daerah
di dunia Islam, kemungkinan kekeliruan pun timbul, maka kebutuhan akan kritik
pun menjadi tampak jelas.
Sementara itu dalam setiap tahap
penyebaran matan hadist di dunia Islam, masyarakat menghadapi kejadian-kejadian
besar dan penting, dan terjadi pula pergolakan besar pada masa seperempat abad
setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, salah satunya adalah konspirasi politik,
yaitu pembuhuan terhadap Utsman dan peperangan antara Ali dengan Muawiyah yang
menimbulkan perpecahan di kalangan kaum muslimin. Di sini tampak seolah-olah
pemalsuan matan hadist yang mula-mula dimulai di lapangan politik, untuk
mengangkat atau menurunkan citra kelompok tertentu.
a.
Masa Sahabat (Setelah Rasulullah SAW
wafat)
Sejak kapan muncul kritik matan hadist,
adalah sebuah pertanyaan awal mengkaji matan hadist. Kritik matan hadist itu
sebuah upaya memilah matan yang benar dari yang salah. Mana yang otentik dari
Rasulullah SAW dan yang palsu, yang boleh jadi disebabkan oleh kekurangcermatan
dalam periwayatan, dapat ditelusuri dengan cara ini. Pada masa Rasulullah SAW
hal ini sudah dilakukan para sahabat, seperti:
Imam Muslim
meriwayatkan melalui jalur Anas bin Malik, ada seorang dari dusun datang kepada
Rasulullah, kami mendengar ia bertanya, “Hai Muhammad, telah datang kepada kamu
utusanmu menjelaskan bahwa Allah mengirim Engkau sebagai Rasul?” beliau
menjawab, “benar.” Riwayat ini menunjukkan ada upaya mencari kebenaran berita
di masa Rasulullah SAW.
Konfirmasi tentang orisinilitas matan hadist
dilakukan juga oleh sahabat senior semacam Abu Bakar Shiddiq di saat Rasulullah
SAW sudah tiada, seperti:[13]
عَنْ
قَبِيصَةَ بْنِ ذُؤَيْبٍ أَنَّهُ قَالَ جَاءَتِ الْجَدَّةُ إِلَى أَبِى بَكْرٍ
الصِّدِّيقِ تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا فَقَالَ مَا لَكِ فِى كِتَابِ اللَّهِ
تَعَالَى شَىْءٌ وَمَا عَلِمْتُ لَكِ فِى سُنَّةِ نَبِىِّ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- شَيْئًا فَارْجِعِى حَتَّى أَسْأَلَ النَّاسَ. فَسَأَلَ النَّاسَ فَقَالَ
الْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ حَضَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
أَعْطَاهَا السُّدُسَ. فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ هَلْ مَعَكَ غَيْرُكَ فَقَامَ
مُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ فَقَالَ مِثْلَ مَا قَالَ الْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ
فَأَنْفَذَهُ لَهَا أَبُو بَكْرٍ.
Artinya:
Dari Qubaisyah bin Dzuaib bahwa seorang nenek datang kepada Abu Bakar untuk meminta (menanyakan) harta warisan untuk dirinya. Abu Bakar menjawab: "Di dalam Al-Qur'an saya tidak menemukan sesuatu untuk dirimu, dan saya tidak mengetahui Rasulullah SAW menyebut sesuatu untuk dirimu". Kemudian, Abu Bakar bertanya kepada para sahabat yang lain, Al-Mughirah berdiri dan berkata: "Saya mendengar Rasulullah SAW berkata bahwa ia memberikan seperenam untuknya", Abu Bakar bertanya kepada Al-Mughirah: “Adakah orang lain bersamamu (ketika mendengar sabda Rasulullah SAW itu)?” Maka berdirilah Muhammad bin Maslamah memberi kesaksian. Setelah Muhammad bin Maslamah memberi kesaksian tentang hal itu maka Abu Bakar memberikan warisan nenek itu berdasarkan sabda Rasulullah SAW itu.
Dari Qubaisyah bin Dzuaib bahwa seorang nenek datang kepada Abu Bakar untuk meminta (menanyakan) harta warisan untuk dirinya. Abu Bakar menjawab: "Di dalam Al-Qur'an saya tidak menemukan sesuatu untuk dirimu, dan saya tidak mengetahui Rasulullah SAW menyebut sesuatu untuk dirimu". Kemudian, Abu Bakar bertanya kepada para sahabat yang lain, Al-Mughirah berdiri dan berkata: "Saya mendengar Rasulullah SAW berkata bahwa ia memberikan seperenam untuknya", Abu Bakar bertanya kepada Al-Mughirah: “Adakah orang lain bersamamu (ketika mendengar sabda Rasulullah SAW itu)?” Maka berdirilah Muhammad bin Maslamah memberi kesaksian. Setelah Muhammad bin Maslamah memberi kesaksian tentang hal itu maka Abu Bakar memberikan warisan nenek itu berdasarkan sabda Rasulullah SAW itu.
Dengan peristiwa itu, menunjukkan bahwa
Abu Bakar sangat berhati-hati dalam menerima kabar. Bukan bermaksud menutup periwayatan hadist.
Dengan demikian, pembatasan dan penyeleksian riwayat tersebut memang telah
dilakukan sejak masa Abu Bakar.
Kemudian pengukuhan Umar bin Khathab
terhadap penerimaan kabar:[14]
عَنْ
بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِىَّ يَقُولُ كُنْتُ
جَالِسًا بِالْمَدِينَةِ فِى مَجْلِسِ الأَنْصَارِ فَأَتَانَا أَبُو مُوسَى
فَزِعًا أَوْ مَذْعُورًا. قُلْنَا مَا شَأْنُكَ قَالَ إِنَّ عُمَرَ أَرْسَلَ
إِلَىَّ أَنْ آتِيَهُ فَأَتَيْتُ بَابَهُ فَسَلَّمْتُ ثَلاَثًا فَلَمْ يَرُدَّ
عَلَىَّ فَرَجَعْتُ فَقَالَ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَأْتِيَنَا فَقُلْتُ إِنِّى
أَتَيْتُكَ فَسَلَّمْتُ عَلَى بَابِكَ ثَلاَثًا فَلَمْ يَرُدُّوا عَلَىَّ
فَرَجَعْتُ وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- (إِذَا اسْتَأْذَنَ
أَحَدُكُمْ ثَلاَثًا فَلَمْ يُؤْذَنْ لَهُ فَلْيَرْجِعْ). فَقَالَ عُمَرُ أَقِمْ
عَلَيْهِ الْبَيِّنَةَ وَإِلاَّ أَوْجَعْتُكَ. فَقَالَ أُبَىُّ بْنُ كَعْبٍ لاَ
يَقُومُ مَعَهُ إِلاَّ أَصْغَرُ الْقَوْمِ. قَالَ أَبُو سَعِيدٍ قُلْتُ أَنَا
أَصْغَرُ الْقَوْمِ. قَالَ فَاذْهَبْ بِهِ.
Artinya:
Abu Sa’id al-Khudri, Ia berkata:
"Saya berada disuatu majelis para sahabat Anshar. Tiba-tiba Abu Musa
al-Asy’ari datang, seakan-akan ia sedang dalam ketakutan, kemudian ia berkata:
'Saya meminta izin (mengucapkan salam) tiga kali hendak masuk ke rumah Umar,
saya tidak diizinkan, kemudian saya pulang.' Umar bertanya: 'Apa yang menghalangimu
(masuk kerumahku)?' Saya (Abu Musa) menjawab: 'Saya telah meminta izin tiga
kali (tetapi) saya tidak diizinkan, kemudian saya kembali karena Rasulullah SAW
bersabda: 'Jika salah seorang diantaramu telah meminta izin tiga kali kemudian
ia tidak diizinkan kepadanya maka hendaklah ia kembali.' Umar berkata: 'Hadirkan
saksi atas kebenaran sabda Rasulullah SAW, jika tidak, saya akan menyakitimu.' Kemudian
Ubay bin Ka’ab berkata: 'Tidak ada yang menemaninya (ketika itu) kecuali orang
yang paling muda di antara kaum." Abu Sa’id berkata: 'Aku orang yang
paling muda diantara mereka'. Maka Ubay berkata: “Maka pergilah (untuk menjadi
saksi kepada Umar) dengannya.
Di sini dapat kita lihat, bagaimana
kehati-hatian Umar dalam menerima kabar dari sahabat, bahkan dia memberi
ancaman akan menyakiti jika Abu Musa tidak bisa menghadirkan saksi dengan apa
yang diucapkannya. Tindakan Umar ini mendorong kaum muslimin melakukan
pembuktian ilmiah dengan sebaik-baiknya dan bersikap hati-hati terhadap agama
Allah sehingga seseorang tidak bisa dengan mudah mengatakan sesuatu atas nama
Rasulullah SAW. Hal ini tampak jelas pada perkataan Umar ketika Abu Musa Al-Asy’ari
pulang bersama Abu Sa’id Al-Khudri dan memberikan kesaksian kepadanya. Umar
berkata, “Ingat, sesungguhnya saya tidak (bermaksud) mencurigaimu, tetapi saya
khawatir manusia berkata-kata atas (nama) Rasulullah SAW.[15] Hal
ini juga dilakukan oleh Ustman bin Affan, ketika beliau berwudhu dan menanyakan
keshahihan dari cari berwudhunya kepada para sahabat yang lain, seperti:[16]
عَنْ بِسْرِ بْنُ سَعِيْد قَالَ: أَتَى
عُثْمَانُ المَقَاعِدُ فَدَعَا بِوُضُوْءِ فَتَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ثُمَّ غَسَلَ
وَجْهَهُ ثَلَاثًا وَيَدَيْهِ ثَلَاثًا ثَلَاثًا ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ وَرِجْلَيْهِ
ثَلَاثًا ثَلَاثًا ثُمَّ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
هَكَذَا يَتَوَضَّأَ يَا هَؤُلَاءِ أَكَذَاكَ؟ قَالُوْا: نَعَمْ، لِنفر مِنْ أَصْحَابِ
رسول الله صلى الله عليه وسلم عِنْدَهُ
Artinya:
Diriwayatkan dari Bisr bin Sa’id, ia
berkata: "Utsman datang di tempat duduk (suatu lokasi di masjid tempat dia
dan para sahabat berwudhu). Ia meminta air lalu berwudhu. Pertama, ia berkumur
dan menghirup air ke hidung. Kemudian ia membasuh wajahnya dan membasuh
tangannya masing-masing tiga kali. Setelah itu, ia mengusap sebagian kepalanya
dan kedua kakinya, masing-masing tiga kali. Selesai berwudhu, ia berkata: 'Demikianlah
saya melihat Rasulullah SAW berwudhu, Wahai para sahabat, benarkah demikian
wudhu Rasulullah SAW?' Mereka menjawab: 'Ya, sekelompok sahabat Rasulullah SAW
menyaksikan wudhu beliau demikian'."
Kemudian
Ali bin Abi Thalib, juga berhati-hati dalam mengambil suatu hadist, seperti:
عَنْ
علي رضي الله عَنْهُ قَالَ كُنْتُ إِذَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وسلم حَدِيثًا نفعني الله بما شاء منه وإذا حدثني عنه غيري استحلفته فإذا
حلف لي صدقته وإن أبا بكر رضي الله عنه حدثني وصدق أبو بكر أنه سمع النبي صلى الله
عليه و سلم قال: ما من رجل يذنب ذنبا فيتوضأ فيحسن الوضوء قال مسعر ويصلي وقال
سفيان ثم يصلي ركعتين فيستغفر الله عز وجل إلا غفر له.
Artinya:
Diriwayatkan
dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata: "Jika saya mendengar suatu hadist
dari Rasulullah SAW maka semoga Allah memberi manfaat kepadaku dengan apa yang
Dia kehendaki dari hadist itu, jika orang lain meriwayatkan hadist kepadaku
maka saya memintanya bersumpah. Jika dia bersedia bersumpah maka saya
membenarkannya. Sesungguhnya Abu Bakar meriwayatkan hadist kepadaku dan Abu Bakar
adalah benar- bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: "Tidaklah seseorang
berbuat (suatu) dosa kemudian dia berwudhu, menyempurnakan wudhunya, dan
melakukan shalat dua rakaat, kemudian memohon ampun kepada Allah Azza wa Jalla,
kecuali Allah SAW akan memberi ampunan kepadanya."
Berdasarkan keterangan di atas,
ditemukan adanya upaya selektivitas yang dilakukan sahabat untuk menerima
periwayatan. Hal ini didorong kehati-hatian mereka terhadap terjadinya
pemalsuan, kesalahan, atau kealfaan dalam meriwayatkan hadist Rasulullah SAW.
Sebaliknya, hal ini bukanlah sikap eksklusif sebagian sahabat atau didasari
sikap negatif untuk menyembunyikan dan meninggalkan sunnah sebagaimana yang
dilakukan kelompok inkar sunnah. Tidak ada satu indikasipun yang
menggiring logika untuk menyimpulkan ke arah itu.
Bagaimanapun, kritik terhadap
orisinilitas matan berangkat dari paling tidak sebuah keraguan, apakah sebuah
informasi berasal dari Rasulullah SAW, keraguan ini tiada lain dimaksudkan
untuk menjaga Hadist dari pemalsuan. Para sahabat tidak mengalami kesulitan
memahami Hadist Nabi Muhammad SAW secara harfiyah, karena bahwasanya sesuai
dengan konteks mereka. Bila ada kesulitan memahami ajaran agama mereka dapat
langsung bertanya kepada Rasulullah SAW. Tidak diragukan bahwa Hadist sebagai
“produk” Rasulullah SAW berfungsi menjelaskan Al-Qur’an sehingga apa yang
terkandung di dalamnya dapat diaktualisasikan. Perintah shalat, zakat, puasa,
dan lain-lain tidak dapat dibayangkan melaksanakannya tanpa membaca Hadist Nabi
Muhammad SAW. Atas dasar inilah para sahabat melakukan kritik matan hadist
dengan cara menghadapkan hadist yang bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an.
Mereka menolak sebuah hadist yang bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an. Di
samping itu, para sahabat menghadapkan hadist dengan hadist lain yang temanya
sama. Mereka menolak hadist yang bertentangan dengan hadist lain yang
diriwayatkan oleh orang yang lebih terpercaya.
b.
Masa Pasca Sahabat
Kritik periwayatan hadist dilakukan
juga oleh para ulama dengan cara yang dilakukan oleh para sahabat seperti
contoh dimuka, terutama ketika terjadi penyebaran hadist maudhu’ karena
kepentingan tertentu, utamanya kepentingan politik. Setelah terbunuhnya
khalifah Utsman, suhu politik dalam masyarakat Islam memanas. Dan semakin
tinggi panas itu ketika khalifah Ali harus berhadapan dengan Mu’awiyah dalam
perang besar. Perseturuan ini, karena harus saling menambah pendukung fanatik,
maka implikasinya, mereka perlu mengeluarkan doktrin-doktrin agama berupa hadist
maudhu’, selanjutnya, untuk mengecek apakah hadist itu maudhu’ apa
tidak, ulama hadist melihat redaksi hadist, apakah susunan katanya layak
diucapkan oleh Rasulullah SAW atau tidak, di antaranya hadist riwayat Abu Daud:[17]
عن
سفينة قال: قال: رَسُوْلِ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ خلافة
النبوة ثلاثون سنة ثم يؤتى الله الملك أو ملكه من يشاء قال: سعيد، قال: لي سفينة أمسك عليك أبا
بكر سنتين وعمر عشرا وعثمان اثنتي عشرة وعلي كذا، قال: سعيد، قلت لسفينة إن هؤلاء يزعمون أن عليا عليه السلام لم يكن
بخليفة قال كذبت أستاذه بنى الزرقاء يعنى بنى مروان
Hadist ini mengandung informasi bahwa
masa kekhalifahan itu 30 tahun, kemudian berpindah ke dinasti kerajaan. Hadist
ini, kendati sesuai dengan fakta, tetapi justru dinilai maudhu’ karena
diperkirakan para periwayat mencocok-cocokkan masa kekhalifahan Abu Bakar 2
tahun, Umar 10 tahun, Utsman 12 tahun, sisa genapnya mencapai 30 tahun, masa
kekhalifahan Ali, Nabi Muhammad SAW bukan peramal.
Berdasarkan pedoman penolakan terhadap
Hadist yang isinya tidak masuk akal itu para ahli Hadist generasi berikutnya
mengadakan kritik terhadap hadist yang dipandang mencemari keotentikan Hadist
seperti, seperti hadist yang menyebutkan bahwa Hajar Aswad itu dari surga,
asalnya berwarna putih, lebih putih dari susu. Ia menjadi hitam karena
banyaknya kesalahan yang dilakukan Bani Adam. Sudut Ka’bah dan maqam Ibrahim
itu dibuat dari Yaqut surga yang bersinar. Allah SWT menghapuskannya, teks hadist
itu berbunyi:
روى
الترمذى عن ابن عباس أن رَسُوْلِ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ قال: نَزَلَ
الْحَجَرُ الْأَسْوَدُ مِنْ الْجَنَّةِ وَهُوَ أَشَدُّ بَيَاضًا مِنْ اللَّبَنِ فَسَوَّدَتْهُ
خَطَايَا بَنِي آدَمَ.
Artinya:
Diriwayatkan
Tirmidzi dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW, berkata: Hajar Aswad turun dari
surga, dalam kondisi berwarna lebih putih dari air susu. Kemudian, dosa-dosa
anak Adam-lah yang membuatnya sampai berwarna hitam
وروى
عن عبد الله بن عمرو أن رَسُوْلِ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ قال:
إن الركن والمقام
ياقوتتان من ياقوت الجنة، طمس الله نورهما، ولو لم يطمس نورهما لأضاءتا بين المشرق
والمغرب.
Artinya:
Diriwayatkan dari Abdullah ibnu
Amru, bahwa Rasulullah berkata: Rukun (Hajar Aswad) dan Maqam (Batu/Maqam
Ibrahim dua batu ruby dari Surga yang dihilangkan cahayanya oleh Allah.
Kalau cahayanya tidak dihilangkan, maka dua batu ruby tersebut mampu menyinari
dunia dari Barat sampai Timur".
Salahuddin Al-Adlibi memberi komentar hadist
tersebut sebagai tidak masuk akal. Sekiranya batu itu dulunya putih, sekarang
pun tetap putih. Ia mengutip riwayat Ibnu Abbas ketika melihat Umar bin Khattab
mencium Hajar Aswad mengatakan, “Sungguh engkau adalah batu yang tidak memberi
manfaat atau madharat. Sekiranya aku tidak melihat Rasulullah menciummu,
niscaya aku tidak pernah akan melakukannya.” Ungkapan Umar ini menunjukkan
bahwa Hajar Aswad itu bukan dari surga seperti yang dipersepsikan orang secara
berlebih-lebihan sebagai benda keramat.[18]
3.
Metode Kritik Matan Hadist
Metode kritik matan bersandar
pada kriteria hadis yang diterima (maqbul, yakni yang shahih dan hasan), atau matan
tidak jangkal (syadz) dan tidak memiliki cacat (illat). Untuk itu
metode yang digunakan atau dikembangkan untuk kritik matan adalah metode
perbandingan dengan menggunakan pendekatan rasional. Metode tersebut, terutama
perbandigannya, telah berkembang sejak masa sahabat. Dalam menentukan otentitas
hadist, mereka melakukan studi perbandingan dengan Al-Qur'an, sebagai sumber yang
lebih tinggi, perbandingan dengan hadis yang lain mahfuzh, juga dengan
kenyataan sejarah. Bila terjadi pertentangan, maka hadist yang bersangkutan
dicoba untuk di-takwil atau di-takhsish, sesuai sifat dan tingkat
pertentangan, sehingga dikompromikan satu dengan yang lain. Tetapi jika tetap
tidak bisa maka dilakukan tarjih dengan mengamalkan yang lebih kuat.[19]
Menurut Shalahuddin Ibnu Ahmad Al-Dhabi,
urgensi obyek studi kritik matan hadist tampak dari beberapa segi, di antaranya:[20]
a.
Menghindari sikap kekeliruan (tasahhul)
dan berlebihan (tasyaddud) dalam meriwayatkan suatu hadist karena adanya
ukuran-ukuran tertentu dalam metodologi kritik matan hadist.
b.
Menghadapi kemungkinan adanya kesalahan
pada diri periwayat.
c.
Menghadapi musuh-musuh Islam yang memalsukan
hadist dengan menggunakan sanad hadis yang shahih, tetapi matannya tidak
shahih
d.
Menghadapi kemungkinan terjadinya
kontradiksi antara beberapa periwayat.
Selanjutnya, ada beberapa kesulitan
dalam melakukan penelitian terhadap obyek studi kritik matan hadist, yaitu:[21]
a.
Minimnya pembicaraan mengenai kritik
matan hadist dan metodenya.
b.
Terpencar-pencarnya pembahasan mengenai
kritik matan hadist
c.
Kekhawatiran terbuangnya sebuah hadist.
Jika melihat kembali sosio-historis
perkembangan hadis, maka akan ditemukan banyak problem di seputarnya. Di
antaranya, banyak upaya pemalsuan hadis dan sebagainya. Hal ini disebabkan oleh
beberapa hal, di antaranya adalah kesenjangan, baik itu untuk menyerang dan
menghancurkan Islam, maupun untuk pembelaan terhadap kepentingan kelompok atau
golongan, atau ketidak-sengajaan, seperti kekeliruan pada diri periwayat, dan
lain-lain.[22]
Ulama ahli hadist sepakat bahwa
unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh suatu matan hadist yang berkualitas shalih
ada dua macam, yaitu terhindar dari syuzuz (kejanggalan) dan
terhindar dari illat (cacat), yaitu sebagai berikut:[23]
a.
Terhindar dari syuzuz
Matan
Hadist bersangkutan tidak menyendiri, tidak bertentangan dengan hadis
yang lebih kuat, tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, tidak bertentangan
dengan akal sehat, indera dan sejarah.
b.
Terhindar dari 'illat
Matan
hadist tidak mengandung idraj (sisipan), tidak mengandung ziyadah
(tambahan), tidak mengandung maqlub (pergantian lafaz atau kalimat), tidak
terjadi idhthirab (pertentangan yang tidak dapat dikompromikan). Kelima,
tidak terjadi kerancuan lafaz dan penyimpangan makna yang jauh dari matan hadis
itu.
4.
Langkah-langkah Kritik Matan Hadist
Ada lima langkah yang harus ditempuh
dalam rangka mengkritik matan hadis yaitu:[24]
a.
Menghimpun hadist-hadist yang terjalin
dalam tema yang sama.
Yang
dimaksud dengan hadis yang terjalin dalam tema yang sama adalah
1)
Hadist-hadist yang mempunyai sumber
sanad dan matan yang sama, baik riwayat bi Al-lafzh maupun melalui riwayat riwayat
bi Al-Ma’na.
2)
Hadist-hadist mengandung makna yang
sama, baik sejalan maupun bertolak belakang.
3)
Hadist-hadist yang memiliki tema yang
sama, seperti tema aqidah, ibadah, dan lainnya.
Hadist
yang pantas dibandingkan adalah hadist yang sederajat kualitas sanad dan
matannya. Perbedaan lafad pada matan hadist yang semakna ialah karena dalam
periwayatan secara makna (al-riwayah bi al-ma’na). Perbedaan lafazh yang tidak
mengakibatkan perbedaan makna, dapat ditoleransi asalkan sanad dan matannya
sama-sama sahih.
b.
Kesahihan Penelitian matan hadist
dengan pendekatan hadist
Sekiranya
kandungan suatu matan hadist bertentangan dengan matan hadist lainnya, perlu
diadakan pengecekan secara cermat. Sebab, Nabi Muhammad SAW tidak mungkin
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan perkataan yang lain, demikian pula
dengan Al-Qur'an. Pada dasarnya, kandungan matan hadist tidak ada yang
bertentangan, baik dengan hadist maupun dengan Al-Qur'an. Hadist yang pada
akhirnya bertentangan dapat diselesaikan melalui pendekatan mukhtalifu al-hadist.
Imam Syafi’i mengemukakan empat jalan keluar:
1)
Mengandung makna universal (mujmal) dan
lainnya terperinci (mufassar).
2)
Mengandung makna umum (am) dan lainnya
khusus.
3)
Mengandung makna penghapus (al-naikh)
dan lainnya dihapus (mansukh).
4)
Kedua-duanya mungkin dapat diamalkan.
Untuk
menyatukan suatu hadis yang bertentangan dengan hadist lainnya, diperlukan
pengkajian yang mendalam guna menyeleksi hadist yang bermakna universal dari
yang khusus, hadist yang naskh dari yang mansukh.
c.
Penelitian matan hadist dengan
pendekatan Al-Qur'an
Pendekatan
ini dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa Al-Qur'an adalah sebagai sumber
pertama atau utama dalam Islam untuk melaksanakan berbagai ajaran, baik yang
ushul maupun yang furu’, maka Al-Qur'an haruslah berfungsi sebagai penentu
hadis yang dapat diterima dan bukan sebaliknya. Hadist yang tidak sejalan
dengan Al-Qur'an haruslah ditinggalkan sekalipun sanadnya sahih. Cara yang
ditempuh mereka untuk meloloskan matan hadist yang kelihatannya bertentangan
dengan teks Al-Qur'an adalah dengan menta’wil atau menerapkan mukhtalif al-hadist.
Oleh karena itu, kita akan kesulitan menemukan hadist yang dipertentangkan
dengan Al-Qur'an dalam buku-buku hadist atau hadist sahih dari segi sanad dan
matannya dibatalkan karena bertentangan dengan Al-Qur’an.
d.
Penelitian matan hadis dengan
pendekatan bahasa
Pendekatan
bahasa dalam upaya mengetahui kualitas hadis tertuju pada beberapa obyek:
1)
Struktur bahasa, artinya apakah susunan
kata dalam matan hadis yang menjadi obyek penelitian sesuai dengan kaedah
bahasa Arab
2)
Kata-kata yang terdapat dalam matan
hadis, apakah menggunakan kata-kata yang lumrah dipergunakan bangsa Arab pada
masa Nabi Muhammad atau menggunakan kata-kata baru, yang muncul dan dipergunakan
dalam literatur Arab Modern?
3)
Matan hadis tersebut menggambarkan
bahasa kenabian. Keempat, menelusuri makna kata-kata yang terdapat dalam matan
hadis, dan apakah makna kata tersebut ketika diucapkan oleh nabi Muhammad sama
makna dengan yang dipahami oleh pembaca atau peneliti
e.
Penelitian matan dengan pendekatan
sejarah
Salah
satu langkah yang ditempuh para muhadditsin untuk penelitian matan hadis adalah
mengetahui peristiwa yang melatarbelakangi munculnya suatu hadis (asbab
al-wurud haditsi). Langkah ini mempermudah memahami kandungan hadis. Fungsi
azhab al-wurud hadits ada tiga, yaitu:
1)
Menjelaskan makna hadist.
2)
Mengetahui kedudukan Rasulullah pada
saat kemunculan hadist apakah sebagai rasul, sebagai pemimpin masyarakat, atau
sebagai manusia biasa.
3)
Mengetahui situasi dan kondisi
masyarakat saat hadist itu disampaikan.
Salah
satu contoh matan hadis yang dianggap oleh sebagian ulama bertentangan dengan
fakta adalah, hadis yang terdapat dalam sahih Bukhari yang berbunyi :
“......Orang
Islam tidak dibunuh karena membunuh orang kafir.”
Dikalangan
ulama ada yang tidak mengamalkan hadist ini. Diantaranya adalah Abu Hanifah. Ia
menolak hadist ini bukan karena sanadnya lemah, tetapi ia menolaknya karena
hadist ini dianggap bertentangan dengan sejarah. Di dalam sejarah disebutkan
bahwa apabila kaum kafir memerangi kaum muslimin, maka kaum muslimin
diperintahkan memeranginya. Jika ia terbunuh, tidak ada hukum apapun atas
pembunuhan itu. Berbeda dengan ahlu al-zimmi (orang kafir yang terikat
perjanjian dengan kaum muslimin). Apabila seseorang membunuhnya, maka ia
dijatuhi hukum qishahs. Hadist yang diteliti tidak memenuhi kriteria kesahihan
hadist, baik dari segi sanad maupun dari segi matan. Dari segi sanad hadis diatas bersifat mauquf tidak mencapai derajat marfu’ (tidak
disandarkan kepada Nabi, hanya sampai sahabat) dan dari segi matan dengan
pendekatan sejarah, hadis tersebut tidak menggambarkan praktik hukum dari
Rasulullah SAW.
B. KEDHABITAN PERAWI HADIST
Dhabit secara bahasa ada
beberapa macam makna yakni: yang kokoh, yang kuat, yang tepat, dan yang halal
dengan sempurna. Adapun dhabit secara istilah terdapat berbagai macam
pendapat dari para ahli yaitu:
1.
Menurut Syuhudi Ismail:
Seseorang yang
dinyatakan dhabit adalah orang yang kuat hafalannya kapan saja dia
menghendaki.[25]
2.
Menurut Ahmad Umar Hasyim:
Kedhabitan seorang
perawi adalah seorang periwayat yang harus terpercaya di dalam riwayatnya,
yakni harus mempunyai hafalan yang meyakinkan setiap meriwayatkan hadist.[26]
3.
Menurut Mahmud Al-Thahan:
Diantara kriteria
dhabit antara lain tidak betentangan dengan hadist yang diriwayatkan
perawi-perawi tsiqah, tidak susah dalam hafalan, tidak jahat, tidak
pelupa, bukan orang yang suka ragu-ragu.[27]
4.
Menurut M. Ajjaj Al-Khatib
Dhabit
ialah perawi sadar secara penuh ketika menerima hadis dan faham tentang apa
yang ia dengar dan mampu menghafal sejak ia menerima hadis tersebut sampai pada
waktu dia meriwayatkan. Dabit ada kalanya berdasarkan hafalannya atau
ingatannya (dabit sadran), dan adakalanya berdasarkan catatannya (dabit
kitaban), artinya perawi mampu memelihara catatannya dari kekeliruan terjadi
pertukaran, pengurangan apabila ia meriwayatkan dari kitabnya.[28]
5.
Menurut Nuruddin
Dhabit ialah perawi tersebut sadar
secara penuh, bukan seorang pelupa, hafal apabila meriwayatkan dari hafalannya
atau catatannya dan apabila ia meriwayatkan secara makna perawi tersebut
mengetahui tentang sesuatu yang dibolehkan diriwayatkan secara makna.[29]
6.
Menurut Subhi As-Sahlih
Dhabit orang yang mendengarkan riwayat
sebagaimana seharusnya, dia memahamkannya dengan pemahaman yang mendetail,
kemudian ia menghafal dengan sempurna dan dia memiliki kemampuan yang demikian
itu sedikitnya sejak dia menyampaikan riwayat tersebut sampai dia menyampaikan riwayat
tersebut pada orang lain.[30]
Adapun Syuhudi Ismail, dia mengungkap
makna dhabit
dengan mempertemukan berbagai pendapat
para ulama, dan dia juga memberikan rumusan mengenai maksud dari dhabit
secara istilah sebagai berikut:[31]
1.
Periwayat yang dhabit adalah
periwayat yang mempunyai ciri-ciri yaitu: hafal dengan sempurna hadis yang
diterimanya, dan mampu menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalnya itu
kepada orang lain.
2.
Periwayat yang bersifat dhabit adalah
periwayat yang memiliki ciri seperti yang tertera di atas, dan mampu memahami
dengan baik hadis yang dihafalnya.
Tingkat
kedhabitan seorang perawi dapat dikatakan baik jika riwayat-riwayatnya banyak
yang sesuai dengan para perawi yang terpercaya dan teliti. Bahkan walapun
kesesuaian itu hanya pada level makna dan tidak sampai pada kesesuaian lafazh
maka juga dikatakan sebagai perawi yang dhabit. Artinya bahwa jika
ketidaksesuaian riwayat yang dibawakan oleh seorang perawi dengan para perawi
level atas terhitung kecil maka tetap saja ia dianggap sebagai seorang yang dhabit.
Kedhabitan seseorang menjadi cacat jika terjadi banyak ketidaksesuaian
dengan riwayat para perawi profesioanal sebelumnya.[32]
Dhabit mempunyai beberapa hal yang dapat merusak kedhabitan para periwayat
hadist, yaitu sebagai berikut:[33]
1.
Dalam meriwayatkan hadist, lebih banyak
salahnya dari pada benarnya.
2.
Lebih menonjolkan sifat lupanya dari
pada hafalnya.
3.
Riwayat yang disampaikan diduga keras
mengandung kekeliruan (al-wahm).
4.
Riwayatnya bertentangan dengan riwayat
yang disampaikan oleh orang-orang yang tsiqah.
5.
Jelek hafalannya, walaupun ada juga
sebagian riwayatnya itu yang benar.
Menurut
Ibnu Shalah, Kedhabitan seorang perawi dikenal dengan cara membandingkan
riwayat-riwayatnya dengan riwayat orang-orang yang terpercaya dan terkenal
tingkat kedhabitannya. Jika kita mendapati riwayatnya sesuai, walaupun hanya
pada level makna, dengan riwayat mereka, atau secara umum sama dan
ketidaksesuaiannya hanya sedikit maka ketika itu kita mengenal bahwa ia dhabit.
Jika kita menemukan banyak ketidaksesuaian, maka kita mengetahui bahwa
kedhabitannya telah runtuh sehingga kita tidak lagi berhujjah dengan
hadits-hadits yang diriwayatkan.[34]
1.
Ragam
Kedhabitan Seorang Perawi
Kedhabitan seorang perawi hadits terbagi
menjadi tiga jenis, yaitu:
a.
Kedhabitan dari segi sumber
periwayatan.
Dari
segi ini, kedhabitan seorang perawi terbagi menjadi dua, yaitu:[35]
1)
Dhabit Shadri
Yaitu
melekatnya hadits yang didengar oleh seorang perawi pada memorinya, yang mana
ia mampu menghadirkannya ketika ia membutuhkan.
2)
Dhabit Kitab
Yaitu
seorang perawi hadits menyimpan baik-baik kitab yang ia gunakan dalam menulis
hadits yang didengar dari syekh-nya hingga sampai pada saat periwayatan. Dalam
bahasa Ibnu Hajar, jenis ini dimaknai sebagai usaha seorang perawi hadits dalam
menjaga catatan yang dimiliki dari tahap awal mendengar hadits dari seorang
syekh, serta selalu memperbaiki kondisinya hingga ia meriwayatkan hadits
tersebut dari bukunya.
Pembagian ulama terhadap hadits
berdasarkan sumbernya ini didasarkan pada kondisi umum seorang perawi.
Maksudnya bahwa jika ia sering meriwayatkan hadits melalui hafalannya maka
kedhabitannya diklarifakasikan sebagai dhabit shadri. Tetapi jika
kitabnya menjadi sumber utama dalam meriwayatkan hadits, maka ia tergolong ke
dalam dhabtu kitab. Bahkan bisa jadi seorang perawi memadukan antara
keduanya, sehingga ia menempati posisi utama di kalangan para Huffazul
Hadits. Maksud Al-Hifz di sini adalah menjaga dan bukan sekedar
menghafal semata (seperti yang selama ini dipahami). Karenanya ia mencakup tiga
bentuk tersebut di atas, yakni periwayatan dengan hafalan, periwayatan melalui
kitab dan perpaduan antara keduanya.[36]
b.
Kedhabitan dari segi tingkatan hafalan.
Dari
sisi tingkatan hafalan, perawi juga terbagi menjadi dua golongan, yaitu:[37]
1)
Dhabit At-Taam
Yaitu
seorang perawi menghafal hadits dengan kesadaran penuh dengan tidak sering
lalai, lupa dan ragu pada saat membawakan dan meriwayatkan hadits.
2)
Dhabit An-Naqish
Yaitu
jika seorang perawi tidak memenuhi standar dhabit at-taam. Misalnya ketika
seorang perawi sering lalai, lupa atau ragu ketika meriwayatkan sebuah hadits.
Pembagian ini sebenarnya merupakan sub
dari dhabit shadri, karena tidak bisa digambarkan bahwa dhabit kitab terbagi
menjadi dhabit at-taam dan dhabit an-naqish. Karena dhabit kitab hanya bisa
menerima dhabit at-taam Hal ini disinggung oleh As-Shan'ani dengan mengatakan, dhabit
shadri bisa menjadi taam dan bisa pula menjadi naqish. Adapun dhabit kitab maka
yang nampak adalah bahwa semuanya taam dan tidak bisa digambarkan ia terkena
nuqshan, walaupun sebenarnya buku juga berbeda tingkatannya antara satu dengan
lainnya.[38]
a.
Kedhabitan dari segi pemahaman hadits
yang dibawakan.
Ada tingkatan yang menandai perbedaan
antara seorang perawi dengan perawi lainnya dari segi pemahaman kandungan
hadits yang diriwayatkan. Tingkatan itu terbagi menjadi dua, yaitu:[39]
1)
Dhabit Al-Zhahir
Yaitu
tingkat pemahaman seorang perawi terhadap makna bahasa yang dikandung oleh hadits
yang disampaikan.
2)
Al-Dhabtu al-Bathin
Yaitu
tingkat pemahaman seorang perawi dari segi keterkaitan hukum-hukum syari'ah
dengan hadits yang diriwayatkannya. Hal ini sering dikenal dengan istilah Al-Fiqh.
Seperti dijelaskan
sebelumnya bahwa dalam tradisi saarjana hadits, yang dibutuhkan adalah jenis
pertama. Adapun yang kedua, ia hanyalah pelengkap (pendukung), terutama jika
terjadi pertentangan riwayat dengan perawi hadits yang lain. Bahkan menurut
Nuruddin, kemampuan memahami makna disyaratkan ketika seorang perawi
meriwayatkan hadits secara makna dan bukan secara lafzi.[40]
2.
Menguji Tingkat Kedhabitan Perawi
Hadits
Ahli hadits menguji kedhabitan perawi
hadits dengan menggunakan beberapa cara, diantaranya:[41]
a.
Merangkum
sebagian besar riwayat seorang perawi yang hendak diuji tanpa sepengetahuannya
kemudian mengujinya setelah berlalu beberapa waktu.
b.
Mendengar
langsung hadits-hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang hendak diuji dari
syekhnya kemudian kedua riwayat itu dikomparisikan secara langsung untuk
melihat ketepatannya dengan sumber asli.
c.
Membandingkan
antara hafalan seorang perawi dengan kitab hadits yang menjadi pegangannya
dalam meriwayatkan hadits.
d.
Menguji
seorang perawi dengan mengujukan sebuah riwayat kepadanya, yang mana riwayat
tersebut telah dirobah tata letaknya. Jika ia seorang yang hafizh maka tentu
mampu mengembalikan hadits tersebut ke redaksinya semula.
3.
Hal-hal yang Meruntuhkan Kedhabitan
Seorang Perawi.
Kedhabitan seorang perawi hadits
diragukan jika terjadi padanya salah satu dari hal-hal di bawah ini:[42]
a.
Al-Ghalat
Yaitu
suatu kondisi di mana seorang perawi meriwayatkan hadits tidak seperti
seharusnya. Misalnya, ia menambah atau atau merubah atau memutar-balik matan
atau sanad hadits.
b.
Su'ul Hifzh
Yaitu
ketidakmampuan seorang perawi untuk menghadirkan hadits yang telah dihafalnya
dari memorinya ketika sedang membutuhkannya.
c.
Al-Ikhtilaf
Yaitu
ketidak teraturan ucapan atau perbuatan seorang perawi karena penyebab yang
bersifat sementara, baik karena ketuaan atau terjadinya kebutaan atau hilangnya
kitab yang menjadi sumber periwayatan, jika ia meriwayatkan dari kitab.
d.
Asy-Syuzuz
Seorang
perawi banyak meriwayatkan hadits-hadits yang berbeda dengan riwayat
orang-orang yang terpercaya. Akhirnya ia hanya sendirian dalam riwayat tersebut
تفرد به)).
e.
Talkin
Yaitu
seseorang yang mengatakan kepada perawi hadits bahwa hadist tertentu adalah
termasuk riwayatnya, padahal sebenarnya bukan, lalu Ia mengakuinya begitu saja.
Hal ini menunjukkan bahwa ia tidak bisa membedakan riwayatnya dengan
riwayat-riwayat yang lain.
f.
Tasahul
Yaitu
ketidakhati-hatian seorang perawi dalam menjaga kitab-kitab haditsnya,
khususnya jika ia meriwayatkan hadits dai kitab. Atau ia meriwayatkaan hadits
dari kitab yang tidak benar atau kitab yang belum disesuaikan dengan sumber
aslinya (diedit).
4.
Contoh dari Perawi Hadist yang Dhabit
Nama lengkapnya abu Abdurrahman
Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Sinan bin Bahr Al-Kurasani An-Nasa’i. Nama imam
An-Nasa’i dinisbatkan pada sebuah daerah bernama Nasa’ di wilayah kurasan yang
disebut juga Nasawi. Kelahiran An-Nasa’i menurut Adz-Dzahabi, “imam An-Nasa’i
lahir di daerah Nasa’i pada tahun 215 hijriah.[43]
Pada awalnya, beliau tumbuh
dan berkembang di daerah Nasa’. Beliau berhasil menghafal Al-Qur’an di Madrasah
yang ada di desa kelahirannya. Beliau juga banyak menyerap berbagai disiplin
ilmu keagamaan dari para ulama di daerahnya. Saat remaja, seiring dengan
peningkatan kapasitas intelektualnya, beliaupun mulai gemar melakukan lawatan
ilmiah ke berbagai penjuru dunia. Apalagi kalau bukan untuk guna memburu
ilmu-ilmu keagamaan, terutama disiplin hadist dan ilmu Hadist.
Belum genap usia 15 tahun,
beliau sudah melakukan mengembara ke berbagai wilayah Islam, seperti Mesir,
Hijaz, Iraq, Syam, Khurasan, dan lain sebagainya. Sebenarnya, lawatan
intelektual yang demikian, bahkan dilakukan pada usia dini, bukan merupakan hal
yang aneh dikalangan para Imam Hadis. Semua imam hadist, yang biografinya
banyak kita ketahui, sudah gemar melakukan perlawatan ilmiah ke berbagai
wilayah Islam semenjak usia dini. Dan itu merupakan ciri khas ulama-ulama hadist,
termasuk Imam al-Nasa’i.
Kemampuan intelektual Imam
al-Nasa’i menjadi kian matang dan berisi dalam masa pengembaraannya. Namun
demikian, awal proses pembelajarannya di daerah Nasa’ tidak bisa dikesampingkan
begitu saja, karena justru di daerah inilah, beliau mengalami proses pembentukan
intelektual, sementara masa pengembaraannya dinilai sebagai proses pematangan
dan perluasan pengetahuan.[44]
C. MUKHTALIF AL-HADIST
Pelopor
dalam ilmu Mukhtalif Al-Hadist ini adalah Imam Syafi’i. Beliau menulis sebuah
kitab yang berjudul Ikhtilaf Al-Hadist yang menjadi peletak dasar ilmu ini,
sehingga diteruskan oleh para ulama sepeninggalnya.
Dalam kaidah bahasa Mukhtalaf Al-Hadist adalah susunan dua kata benda (isim) yakni Mukhtalaf dan
Al-Hadis. Mukhtalaf sendiri adalah isim maf’ul dari kata ikhtalafa yang berarti
perselisihan dua hal atau ketidaksesuaian dua hal, secara umum apabila ada dua
hal yang bertentangan, hal tersebut bisa dikatakan mukhtalaf atau ikhtilaf.
Sedangkan dalam istilah ahli hadis, Mukhtalif Al-Hadis (dengan dibaca kasroh
lam’) adalah hadis yang secara dhohir tampak saling bertentangan dengan hadis lain.
dan dengan dibaca fathah lam’nya adalah dua hadis yang secara makna saling
bertentangan. dari dua definisi diatas bisa disimpulkan bahwa Mukhtalif
Al-Hadis adalah adalah esensi hadis
itu sendiri,
sedangkan Mukhtlaf Al-Hadis adalah pertentangannya.[45]
Sedangkan menurut istilah ilmu mukhtalif al-Hadits ialah ilmu yang membahas
hadits-hadits, yang menurut lahirnya bertentangan atau berlawanan, kemudian
pertentangan tersebut dihilangkan atau dilkompromikan antara keduanya,
sebagaimana membahas hadits-hadits yang sulit dipahami kandungannya, dengan
menghilangkan kesulitannya serta menjelaskan hakikatnya.[46]
Para
ulama memberikan pengertian Mukhtalif al-hadits yang beragam, yaitu sebagai
berikut:
a.
Hakim Naisaburi, menyebutkan bahwa mukhtalif al-hadist
adalah:[47]
سنن
لرسول الله صلى الله عليه وسلم يعارضها مثلها فيحتج أصحاب المذاهب بأحدهما وهما في
الصحة والسقم سيان
Artinya:
Sunah-sunah
Rasulullah saw. yang bertentangan dengan sesamanya, lalu para ulama memakai
salah satunya sebagai dalil, di sisi lain keduanya setara dalam kesahihan dan kelemahannya.
b.
An-Nawawi mendefinisikannya ikhtilaf
al-hadits dengan:[48]
أن
يأتي حديثان متضادان في المعنى ظاهرا فيوفق بينهما او يرجح أحدهما
Artinya:
Dua
hadis yang secara lahiriah maknanya saling bertentangan, lalu dikompromikan
atau dikuatkan salah satunya.
c.
Imam as-Suyuthi, mendefinisikannya
dengan,
حديث
قد أباه اخر# فالجمع إن أمكن لاينافر
Artinya:
Hadist
yang ditolak oleh hadis lain, yang bila mungkin hendaknya di-jam’u.[49]
d.
M. Ajjaj al-Khatib, memberikan
pengertian:[50]
العلم الذي يبحث في الاحاديث التي ظاهرها متعارض فيزيل تعارضها
أو يوفق بينهما كما يبحث في الاحاديث التي يشكل فهمها أوتصورها فيدفع إشكالها ويوضح حقيقتها
Artinya
Ilmu
yang membahas hadis-hadis yang lahiriahnya bertentangan, lalu dihilangkan sisi
pertentangannya atau di-taufiq antara keduanya, sebagaimana dibahas tentang
kejanggalan pemahaman atau penggambaran atas hadis-hadis, lalu ditolak
kejanggalannya dan dijelaskan hakikat sebenarnya.
Dari beberapa pengertian yang di
sebutkan oleh para ulama di atas, dapat difahami bahwa bidang kajian mukhtalif hadits
ini meliputi:
a.
Terjadi pertentangan yang melibatkan
dua hadis
b.
Pertentangan bersifat lahiriah
c.
Pertentangan itu diselesaikan dengan
beberapa cara.
2.
Sebab-sebab yang Melatarbelakangi
timbulnya Mukhtalif Hadist[51]
a.
Faktor Internal
Yakni berkaitan dengan
internal dari redaksi hadits tersebut. Biasanya terdapat ‘illat (cacat)
di dalam hadits tersebut yang nantinya kedudukan hadits tersebut menjadi dha’if.
Dan secara otomatis hadits tersebut ditolak ketika hadits tersebut berlawanan
dengan hadits shahih.
b.
Faktor Eksternal
Yakni faktor yang
disebabkan oleh konteks penyampaian dari Nabi, yang mana menjadi ruang lingkup
dalam hal ini adalah waktu, dan tempat di mana Nabi menyampaikan haditsnya.
c.
Faktor Metodologi
Yakni berkaitan dengan
cara bagaimana cara dan proses seseorang memahami hadits tersebut. Ada sebagian
dari hadits yang dipahami secara tekstual dan belum secara kontekstual, yaitu
dengan kadar keilmuan dan kecenderungan yang dimiliki oleh seorang yang
memahami hadits, sehingga memunculkan hadits-hadits yang mukhtalif.
d.
Faktor Ideologi
Yakni berkaitan dengan ideologi
atau manhaj suatu madzhab dalam memahami suatu hadits, sehingga memungkinkan
terjadinya perbedaan dengan berbagai aliran yang sedang berkembang.
3. Metode Penyelesaian Mukhtalif Hadist
Metode
menyelesaikan mukhtalif hadist, adalah peringatan yang tegas dalam
memahami mukhtalif hadist, sebagaiman yang diungkapkan Imam Syafi'i, yaitu:
لا
تجعل عن رسول الله حديثين مختلفين أبدا إذا وجد السبيل إلى أن يكونا مستعملين، فلا
نعطل منهما واحدا لأن علينا في كل ما علينا في صاحبه، ولا نجعل المختلف إلا فيما
يجوز أن يستعمل أبدا ألا بطرح صاحبه.
Artinya
Jangan
mempertentangkan hadist Rasulullah SAW satu dengan yang lainnya, apabila
mungkin ditemukan jalan untuk menjadikan hadist-hadist tersebut dapat sama-sama
diamalkan. Jangan tinggalkan salah satu antara keduanya karena kita punya
kewajiban untuk mengamalkan keduanya. Dan jangan jadikan hadist-hadist
bertentangan kecuali tidak mungkin untuk diamalkan selaian harus meninggalkan
salah satu darinya.
Peringatan ini disampaikan berdasarkan
suatu prinsip bahwa tidak mungkin Rasulullah SAW menyampaikan ajaran Islam yang
antara satu dengan yang lainnya benar-benar saling bertentangan. Jika ada
penilaian yang menyatakan bahwa satu hadist dengan hadist lainnya saling
bertantangan, maka dalam hal ini ada dua kemungkinan, yaitu:[52]
a.
Salah satu dari hadist tersebut
bukanlah hadist maqbul, karena hadist mardud, baik dha’if maupun mawdhu’, besar
kemungkinan bertentangan dengan hadist shahih atau hasan.
b.
Karena pemahaman yang keliru terhadap
maksud yang dituju oleh hadist-hadist tersebut.
Karena bisa saja masing-masing Hadîts
tersebut memiliki maksud dan orientasi yang berbeda sehingga keduanya dapat
diamalkan menurut maksud masing-masing.
Menurut Imam Syafi’i, mengenai metode
penyelesaian mukhtalif hadist, ada tiga cara yang mesti dilakukan yakni
penyelesaian dengan cara kompromi, penyelesaian dengan cara nasakh dan
penyelesaian dengan cara tarjîh, yaitu sebagai berikut:
a.
Penyelesaian
dengan Cara Kompromi
Adapun yang dimaksud dengan metode
kompromi dalam menyelesaikan mukhtalif hadist ialah menghilangkan
pertentangan yang tampak (makna lahiriyahnya) dengan cara menelusuri titik temu
kandungan makna masing-masingnya sehingga maksud sebenarnya yang dituju oleh
satu dengan yang lainnya dapat dikompromikan. Artinya, mencari pemahaman yang
tepat yang menunjukkan kesejalanan dan keterkaitan makna sehingga
masing-masingnya dapat diamalkan sesuai dengan tuntutannya. Untuk menemukan
benang merah antara kedua hadist yang saling bertentangan itu, dapat
diselesaikan dengan empat cara, yaitu:
1)
Pemahaman
dengan Menggunakan Pendekatan Kaedah Ushul
Penyelesaian berdasarkan pemahaman
dengan menggunakan pendekatan kaedah ushul ialah memahami hadist Rasulullah SAW
dengan memperhatikan dan mempedomani ketentuan-ketentuan atau kaedah-kaedah
ushul yang terkait yang telah dirumuskan oleh ulama (ushûliyûn). Adapun yang
menjadi objek kajian ilmu ushul fiqh ialah bagaimana meng-istimbâth-kan hukum
dari dalil-dalil syara’, baik Al-Qur'an maupun hadist. Untuk sampai pada
hukum-hukum yang dimaksud, maka terlebih dahulu dalil-dalil tersebut dipahami
agar istimbâth hukum sesuai dengan yang dituju oleh dalil. Di antara kaedah
ushul yang terkait seperti am, khash, muthlaq, dan muqayyad. Nash yang umum
haruslah dipahami dengan keumumannya selama tidak ada nash lain yang
men-takhsishkan-nya, apabila ada dalil yang men-thakhsish-kannya maka nash
tersebut tidak lagi diberlakukan secara umum. Demikian juga bagi nash yang
muthlaq dengan yang muqayyad.[53]
Contoh hadist yang menggunakan pendekatan kaedah ushul:
a)
Hadist
tentang larangan mengambil upah dari jasa berbekam
1.حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ عَنْ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ
الْمُغِيرَةِ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ أَبِي نُعْمٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ
يَقُولُ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كَسْبِ
الْحَجَّامِ وَعَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَعَنْ عَسْبِ الْفَحْلِ.[54]
2.حَدَّثَنَا
إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ عَنْ
الْأَوْزَاعِيِّ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ
قَارِظٍ عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ حَدَّثَنِي رَافِعُ بْنُ خَدِيجٍ عَنْ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَمَنُ الْكَلْبِ
خَبِيثٌ وَمَهْرُ الْبَغِيِّ خَبِيثٌ وَكَسْبُ الْحَجَّامِ خَبِيثٌ.[55]
b) Hadist tentang mengambil upah dari
jasa berbekam
3.حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ قَالُوا
حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ يَعْنُونَ ابْنَ جَعْفَرٍ عَنْ حُمَيْدٍ قَالَ سُئِلَ
أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ عَنْ كَسْبِ الْحَجَّامِ فَقَالَ احْتَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَجَمَهُ أَبُو طَيْبَةَ فَأَمَرَ لَهُ
بِصَاعَيْنِ مِنْ طَعَامٍ وَكَلَّمَ أَهْلَهُ فَوَضَعُوا عَنْهُ مِنْ خَرَاجِهِ
وَقَالَ إِنَّ أَفْضَلَ مَا تَدَاوَيْتُمْ بِهِ الْحِجَامَةُ أَوْ هُوَ مِنْ
أَمْثَلِ دَوَائِكُمْ
Hadits, pada nomor 3 menunjukkan bahwa
Rasulullah SAW pernah berbekam yang dilakukan oleh Abu Thaibah kemudian ia
diberi upah oleh Rasulullah SAW. Hadits no.1 dikeluarkan oleh Imam Nasa’i dan hadits
no.2 dan no. 3 dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab yang sama. Di lihat
dari sisi redaksi antara no. 1 dan no. 2 dengan no. 3, nampak saling
bertentangan. Hadist no.1 dan no.2 menjelaskan adanya larangan mengambil
keuntungan dari berbekam yang sekaligus menunjukkan bahwa perbuatan tersebut
haram. Para ulama mencoba memahami pertenatangan tersebut dengan menggunakan
pendekatan muthlaq dan muqyyad. Haramnya kasb al-hajâm merupakan suatu yang
muthlaq, kemudian dibatasi oleh adanya qarinah untuk mengambil manfaat dari
orang lain karena Rasullullah melakukannya. Adanya qarinah menjadikan kasb al-hajam
tidak lagi haram akan tetapi makruh.[56]
2)
Pemahaman Kontekstual
Pemahaman
kontekstual yang dimaksud di sini ialah memahami hadist-hadist Rasulullah SAW
dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi
yang menjadi latarbelakang disampaikannya hadist, dengan memperhatikan asbab
al-wurud hadist tersebut. Dalam kata lain dengan memperhatikan konteks. Jika
asbab al-wurud al-hadist tidak diperhatikan, maka akan terjadi kekeliruan dalam
memahmi maksud yang dituju suatu hadist sehingga hal ini menimbulkan penilaian
yang bertentangan antara satu Hadîts dengan yang lainnya. Oleh sebab itu
mengetahui konteks hadist menjadi hal yang sangat orgen dalam pemahaman hadist.
Jika konteks suatu hadist diikutsertakan dalam memahami mukhtalif hadist, akan
terlihat perbedaan konteks antara satu dengan yang lainnya sehingga
pertentangan yang tampak secara lahiriyah dapat dilenyapkan dan masing-masing hadist
dapat diketahui arah pemahamannya.[57] Contoh hadist yang menggunakan
pendekatan kontekstual:
a)
Hadist melarang meminang seseorang yang
telah dipinang oleh orang lain[58]
و
حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى جَمِيعًا عَنْ
يَحْيَى الْقَطَّانِ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ
أَخْبَرَنِي نَافِعٌ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَبِعْ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلَا يَخْطُبْ عَلَى
خِطْبَةِ أَخِيهِ إِلَّا أَنْ يَأْذَنَ لَهُ.
b)
Hadist dimana Rasulullah SAW meminang
Fatimah Binti Qais untuk Usamah Ibnu Zaid[59]
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
يَزِيدَ مَوْلَى الْأَسْوَدِ بْنِ سُفْيَانَ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ أَنَّ أَبَا عَمْرِو بْنَ حَفْصٍ
طَلَّقَهَا الْبَتَّةَ وَهُوَ غَائِبٌ فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا وَكِيلُهُ بِشَعِيرٍ
فَسَخِطَتْهُ فَقَالَ وَاللَّهِ مَا لَكِ عَلَيْنَا مِنْ شَيْءٍ فَجَاءَتْ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ لَيْسَ
لَكِ عَلَيْهِ نَفَقَةٌ فَأَمَرَهَا أَنْ تَعْتَدَّ فِي بَيْتِ أُمِّ شَرِيكٍ
ثُمَّ قَالَ تِلْكِ امْرَأَةٌ يَغْشَاهَا أَصْحَابِي اعْتَدِّي عِنْدَ ابْنِ أُمِّ
مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ رَجُلٌ أَعْمَى تَضَعِينَ ثِيَابَكِ فَإِذَا حَلَلْتِ
فَآذِنِينِي قَالَتْ فَلَمَّا حَلَلْتُ ذَكَرْتُ لَهُ أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ
أَبِي سُفْيَانَ وَأَبَا جَهْمٍ خَطَبَانِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ
عَاتِقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ انْكِحِي أُسَامَةَ
بْنَ زَيْدٍ فَكَرِهْتُهُ ثُمَّ قَالَ انْكِحِي أُسَامَةَ فَنَكَحْتُهُ فَجَعَلَ
اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا وَاغْتَبَطْتُ
Dalam hadist pertama Rasulullah
melarang meminang seseorang yang telah dipinang oleh orang lain. Namun dalam
Hadîts kedua justru Rasulullah sendiri yang meminang Fatimah Bint Qais untuk
Usamah Ibnu Zaid, yang sebelumnya telah dipinang oleh Mu’awiyah dan Abu Jahm.
Mengapa hal ini terjadi, apakah Rasulullah tidak konsisten dengan
pernyataannya? Tentu pertanyaan seperti ini yang akan muncul ketika tidak
dilihat konteks kedua hadist tersebut. Imam Syafi'i berpendapat bahwa hadist
pertama tidak bertentangan dengan hadist kedua karena hadist pertama berlaku pada
kondisi dan situasi tertentu, tidak berlaku pada situasi dan kondisi lainnya. dikarenakan:[60]
a)
Pada hadist pertama, Rasulullah
ditanya tentang seseorang yang meminang perempuan dan pinangannya diterima
untuk selanjutanya diteruskan kejenjang perkawinan. Akan tetapi datang lagi
pinangan dari laki-laki lain yang ternyata lebih menarik hati perempuan
tersebut, dibanding laki-laki pertama sehingga ia pun membatalkan pinangan
pertama.
b)
Pada hadist kedua, berbeda
konteksnya dengan hadist pertama, dimana Fatimah binti Qais datang kepada Nabi
Muhammad SAW seraya memberitahukan bahwa ia telah dipinang oleh Mu’awiyah dan
Abu Jahm. Rasulullah tidak menyanggah pernyataan ini sesuai dengan hadist pertama
karena Rasulullah SAW tahu bahwa Fatimah sendiri tidak suka dan belum menerima
kedua pinangan itu, sebab Fatimah datang kepada Rasulullah untuk meminta
pertimbangan. Lalu Rasulullah memberikan solusi dengan miminangkannya untuk
Usamah. Hal ini menggambarkan bahwa konteks hadist pertama berbeda dengan
konteks hadist kedua, hadist pertama kondisi di mana seorang perempuan dengan
persetujuan walinya telah menerima pinangan dari seorang laki-laki, maka ia
tidak boleh lagi menerima pinangan lelaki lainnya. Sementara hadist kedua
kondisi di mana seorang laki-laki baru sebatas mengajukan proposal pinangan,
belum ada kepastian diterima atau ditolak, maka dalam kondisi seperti ini
seorang perempuan boleh menolak pinangan tersebut dan menerima pinangan yang
disukainya.
3)
Pemahaman
Korelatif
Pemahaman
korelatif yang dimaksud ialah memperhatikan keterkaitan makna antara satu hadist
dengan hadist lainnya yang dipandang mukhtalif hadist yang membahas
permasalahan yang sama sehingga pertentangan yang nampak secara lahiriyahnya
dapat dihilangkan. Karena dalam menjelaskan satu persoalan tidak hanya ada satu
atau dua hadist saja akan tetapi bisa saja ada beberapa hadist yang saling
terkait satu sama lainnya. Oleh karena itu semua hadist tersebut mesti dipahami
secara bersama untuk dilihat hubungan makna antara satu hadist dengan hadist lainnya
sehingga diperoleh gambaran yang utuh tentang satu masalah tersebut dan
pertentangan yang terjadi dapat diselesaikan. Contoh hadist yang menggunakan
pendekatan korelatif:
a)
Hadist tentang larangan menunaikan
shalat di waku setelah subuh hingga terbit matahari dan waktu setelah ashar
hingga terbenamnya matahari[61]
حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ قَالَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ
قَتَادَةَ عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ شَهِدَ عِنْدِي
رِجَالٌ مَرْضِيُّونَ وَأَرْضَاهُمْ عِنْدِي عُمَرُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى
تَشْرُقَ الشَّمْسُ وَبَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ
b)
Hadist tentang di mana seseorang dapat
melakukan shalat kapan saja apabila ia lupa menunaikan kewajibannya, baik watu
setelah subuh hingga terbit matahari maupun waktu setelah ashar hingga terbenam
matahari[62]
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ وَمُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ قَالَا
حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّ إِذَا
ذَكَرَهَا لَا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ وَأَقِمْ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
قَالَ مُوسَى قَالَ هَمَّامٌ سَمِعْتُهُ يَقُولُ بَعْدُ وَأَقِمْ الصَّلَاةَ
للذِّكْرَى
Dua
hadist di atas dipandang yang bertentangan, keduanya tidak bisa dipertemukan
begitu saja, sebelum dilihat riwayat lainnya yang dipandang relevan untuk menarik
benang merah pertentangan antara keduanya. Karena shalat yang dimaksudkan oleh hadist
pertama adalah shalat sunnat, sementara hadist kedua merupakan shalat wajib
yang tidak dapat tidak mesti dikerjakan, dan jika lupa maka merupakan rukhshah
melaksanakannya pada waktu ingat. Jika hadist kedua dipahami dengan shalat
wajib, maka hadist kedua berkenaan dengan shalat sunnat.
4)
Menggunakan Cara Ta’wîl
Takwil
berarti memalingkan lafaz dari makna lahiriyahnya kepada makna lain yang
dikandung oleh lafaz karena adanya qarinah yang menghendakinya. Hal ini dikukan
makna lahiriyah yang ditampilkan oleh lafaz hadist dinilai tidak tepat untuk
menjelaskan makna yang ditujunya, dengan mengambil kemungkinan makna lain yang
lebih tepat di antara kemungkinan makna yang dikandung oleh lafaz. Pemalingan
ini dilakukan kerana adanya dalil yang menghendakinya. Imam Syafi'i, menggunakan
metode takwil untuk menghilangkan pertenatangan antara satu hadist dengan hadist
lainnya. Contoh hadist
yang menggunakan pendekatan ta'wil:
أَخْبَرَنَا
عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ ابْنِ عَجْلَانَ
قَالَ حَدَّثَنِي عَاصِمُ بْنُ عُمَرَ بْنِ قَتَادَةَ عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ
عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ أَسْفِرُوا بِالْفَجْرِ.
b)
Hadist tentang waktu yang afdhal untuk
melaksanakan shalat subuh ia ghalas, yakni susana gelap diujung malam
dan datangnya cahaya subuh[64]
وحَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ وَإِسْحَقُ
بْنُ مُوسَى الْأَنْصَارِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا مَعْنٌ عَنْ مَالِكٍ عَنْ يَحْيَى
بْنِ سَعِيدٍ عَنْ عَمْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ إِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُصَلِّي الصُّبْحَ فَيَنْصَرِفُ النِّسَاءُ
مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوطِهِنَّ مَا يُعْرَفْنَ مِنْ الْغَلَسِ و قَالَ الْأَنْصَارِيُّ
فِي رِوَايَتِهِ مُتَلَفِّفَاتٍ
Dalam hal ini, Imam Syafi’i mengatakan
bahwa beliau tidak melihat pertentanagn antara kedua hadist tersebut. Imam Syafi’i
mentakwilkan kata isfar pada hadist pertama. Di mana isfar yang
semulanya dimaknai dengan “waktu subuh yang sudah mulai terang mendekati
matahari terbit”, ditakwilkan dengan makna “awal waktu subuh yang ditandai
dengan terbitnya cahaya fajar yang tampak di langit. Dalam kata lain, makna isfar
pada hadist pertama ditakwilkan dengan makna ghalas pada hadist
kedua. Hal ini dilakukan karena hadist kedua dipandang memiliki
nilai lebih dibanding hadist kedua untuk dijadikan sebagai sandaran
alasan.[65]
b.
Penyelesaian dengan Cara Nasakh
Penyelesaian dalam bentuk nasakh dipandang
sebagai bentuk penyelesaian mukhtalif hadist non-kompromi. Dikatakan demikian
karena salah satu dari hadist tidak lagi dapat diamalkan, hal ini sesuai dengan
ungkapan Imam Syafi'i terdahulu yakni: ”Dan jangan jadikan hadist bertentangan
kecuali tidak mungkin untuk diamalkan selaian harus meninggalkan salah satu
darinya.” Di sini terungkap bahwa cara kompromi tidak membuahkan penyelesaian,
oleh sebab itu ditempuh cara nasakh. Sebab pada mukhtalif hadist yang
pertentangannya tidak saja pada makna lahiriyahnya namun juga pada makna yang dikandungnya,
dalam masalah seperti ini mungkin sekali antara hadist tersebut telah terjadi
nasakh. Oleh karena itu ia mesti dipahami dengan melihat ketentuan-ketentuan
nasakh yakni mengamalkan yang nasakh dan meninggalkan yang mansukh. Secara
etimologi nasakh mengandung dua makna, yaitu الإزالة
(menghilangkan) dan النقل (memindahkan).[66] Contoh
penyelesaian hadist dengan cara nasakh: dapat dilihat dalam persoalan hukum
makan daging kuda:
a)
Hadist tentang larangan makan daging
kuda
أَخْبَرَنَا
كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ قَالَ حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ عَنْ ثَوْرِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ
صَالِحِ بْنِ يَحْيَى بْنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ
جَدِّهِ عَنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْخَيْلِ وَالْبِغَالِ
وَالْحَمِيرِ وَكُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ
b)
Hadist tentang kebolehan makan daging
kuda
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ وَنَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ قَالَا
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ جَابِرٍ قَالَ أَطْعَمَنَا
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لُحُومَ الْخَيْلِ وَنَهَانَا
عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ
Dua hadist di atas terlihat saling
bertantangan, hadist pertama bersisi tentang larangan makan daging kuda yang
sekaligus menjadikan ia haram dan hadist kedua menunjukkan kebolehan memakan
daging kuda. Pertentangan ini mesti dihilangkan dengan cara nasakh. Hukum
keharaman makan daging kuda pada hadist pertama telah dinasakhkan oleh hukum kebolehan
makan daging kuda pada hadist Jabir Ibnu Abdallah yang datang setelahnya.
c.
Penyelesaian dengan Cara Tarjih
Dalam masalah penyelesaian mukhtalif hadist
dengan cara tarjih, dimaksudkan membandingkan hadist yang tampak bertentangan
yang tidak dapat dikompromikan dan tidak pula ditemukan adanya indikasi nasakh,
maka dengan perbandingan tersebut diambil hadist yang lebih kuat yang memilki
nilai alasan yang lebih tinggi dari hadist yang lainnya, di mana yang lebih
kuat diamalkan dan yang lemah ditinggalkan. Oleh karena hal-hal yang dapat
menguatkan sautu hadist untuk dijadikan hujjah digunakan sebagi data dan
senjata untuk melemahkan hadist lain yang memiliki data kehujjahan yang lebih
sedikit, baik dari aspek sanad maupun matn. Dengan mengadu data kehujjahan dapat
diketahui antara hadist yang bertentangan tersebut yang lebih benar, sehingga
dengan kebenarannya yang lemah mengakibatkan pertentangan yang terjadi hilang, dan
sekaligus melahirkan konsekuensi baru, yakni ditinggalkannya yang lemah.[67]
Sebelum masuk pada pembahasan
berikutnya perlu dijelaskan bahwa konsep penyelesaian mukhtalif hadist di atas,
menurut Imam Syafi’i dilakukan dengan berurutan. Namun, menurut Hanafiyah,
urutannya tidak seperti yang diungkapkan Imam Syaf’i, dan bahkan Hanafiyah
memiliki metode lain yang tidak ditemukan dalam pendapat Imam Syafi’i.
Hanafiyah mendahulukan penyelesaian mukhtalif hadist dengan terlebih dahulu
menerapkan metode nasakh, jika tidak ditemukan indikasi nasakh dan mansûkh,
maka diteruskan dengan tarjih, jika dengan cara tarjih tidak juga berbuah
solusi atas pertentangan yang terjadi barulah digunakan jalan kompromi,
terakhir kitika ketiga cara tidak juga menuai hasil yang pasti, maka Hanafiyah
menempuh jalan yang tidak ada dalam konsep Imam Syafi’i, yakni tasaqut
al-dalilain. Tasaqut al-dalilain mengandung arti menggungurkan dua dalil yang
bertentangan, maka dalam problem mukhtalif hadist yang saling bertentangan
tersebut digugurkan segugur-gugurnya, untuk kemudian merujuk pada dalil yang
derajatnya dibawah derajat dalil yang saling bertentangan tersebut.[68]
Di sini lah letak perbedaan Imam
Syafi’i dengan Hanafiyah dalam menyelesaikan bertentangan antara satu dalil
dengan dalil lainnya. Hal ini didasari oleh cara pandang yang berbeda,
Hanafiyah mendahulukan nasakh, hal ini bisa saja dilakukan agar kerja tidak
berulang karena jika ditempuh kompromi terlebih dahulu, ternyata pertentangan
yang terjadi sudah ada kejelasan nasakhnya maka cara kompromi dipandang dapat
menyita waktu. Dalam persoalan ini belum diteliti apa yang melatarbelakangi
Hanafiah menggunakan urutan metode yang berbeda dengan Imam Syafi’i. Namun Imam
Syafi’i dalam pernyataan terdahulu telah dijelaskan bahwa ia memilki prinsip
mengamalkan kedua dalil lebih baik daripada meninggalkan salah satu darinya,
apalagi meninggalkan kedua dalil tersebut.
d.
Masalah Tanawwu’ Al-‘Ibadah
Tanawwu’ al-‘ibadah merupakan salah
satu cara yang ditempuh Imam Syafi’i dalam menyelesaikan mukhtalif hadist
dengan catatan mukhtalif hadist tidak pada makna ta'aruth tapi tanawwu’. Adapun
yang dimakud dengan tanawwu’ al-ibâdah ialah hadist yang menerangkan praktek
ibadah tertentu yang diajarkan oleh Rasulullah SAW akan tetapi antara yang satu
dengan yang lain terdapat perbedaan, bukan pertentangan, sehingga menggambarkan
keberagaman dalam pelaksanaan ibadah tersebut.[69]
Manakah yang lebih afdhal untuk diamalkan? Dalam masalah ini perlu disimak tiga
hal:
1)
Ragam ibadah yang sering dilakan oleh
Rasulullah dan sahabat.
2)
Memperhatikan ajaran yang dibawa oleh
Hadîts itu sendiri, manakah yang lebih tepat dan lengkap sesuai dengan situasi
dan kondisi si pemakai.
3)
Memperhatikan manakah di antara
Hadîts-Hadîts tersebut yang lebih tinggi tingkat ke-shahîh-annya.
Maka
dalam hal ini tingkat kesumpurnaan lebih penting untuk dijadikan yang utama.
Contoh masalah tanawwu' al-ibadah:
حَدَّثَنَا
زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا
جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ أَبِي الضُّحَى عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ
قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ أَنْ
يَقُولَ فِي رُكُوعِهِ وَسُجُودِهِ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي يَتَأَوَّلُ الْقُرْآنَ
وحَدَّثَنِي
أَبُو الطَّاهِرِ وَيُونُسُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى قَالَا أَخْبَرَنَا ابْنُ
وَهْبٍ أَخْبَرَنِي يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ غَزِيَّةَ عَنْ
سُمَيٍّ مَوْلَى أَبِي بَكْرٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ فِي سُجُودِهِ
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي كُلَّهُ دِقَّهُ وَجِلَّهُ وَأَوَّلَهُ وَآخِرَهُ
وَعَلَانِيَتَهُ وَسِرَّهُ
و حَدَّثَنِي حَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْحُلْوَانِيُّ وَمُحَمَّدُ
بْنُ رَافِعٍ قَالَا حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ
قَالَ قُلْتُ لِعَطَاءٍ كَيْفَ تَقُولُ أَنْتَ فِي الرُّكُوعِ قَالَ أَمَّا
سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ فَأَخْبَرَنِي ابْنُ أَبِي
مُلَيْكَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ افْتَقَدْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَظَنَنْتُ أَنَّهُ ذَهَبَ إِلَى بَعْضِ
نِسَائِهِ فَتَحَسَّسْتُ ثُمَّ رَجَعْتُ فَإِذَا هُوَ رَاكِعٌ أَوْ سَاجِدٌ
يَقُولُ سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ فَقُلْتُ بِأَبِي
أَنْتَ وَأُمِّي إِنِّي لَفِي شَأْنٍ وَإِنَّكَ لَفِي آخَرَ
Tiga contoh bacaan dalam ruku’ dan sujud
di atas merupakan ragam ibadah yang ketiganya diajarkan oleh Rasulullah SAW dan
diriwayatkan dengan isnad yang shahih. Dalam mengamalkannya tergantung pada
orang yang mengamalkannya manakah yang menurutnya tapat untuknya, baik dari
kebiasaan, hafalan, atau makna yang dikandung oleh bacaan itu sesuai dengan doa
yang ingin ia panjatkan ketika sujud dan ruku’. Masih banyak bacaan yang lain
yang diajarkan oleh Rasulullah menyangkut bacaan ruku’ dan sujud, maupun bacaan
yang lainnya
BAB III
KESIMPULAN
Kritik matan hadist adalah suatu upaya
untuk menyeleksi kehadiran hadist, memberikan penilaian dan membuktikan
kemurnian dan keaslian sebuah matan hadist. Upaya ini juga berarti mendudukkan
hadist sebagai hal yang sangat penting sebagai sumber hukum Islam kedua, itulah
bukti kehati-hatian kita. Upaya ini juga sebagai upaya untuk memahami matan hadist
dengan tepat dalam mengamalkan isi dari hadist tersebut.
Didalam kritik matan hadist hal penting
yang perlu diperhatikan dan ditekankan adalah masalah dhabit. Dhabit (Aspek
intelektualitas) perawi yang dikenal dalam ilmu hadist dipahami sebagai
kapasitas kecerdasan perawi hadist. Istilah dhabit ini secara etimologi memiliki
arti menjaga sesuatu. Seorang perawi layak disebut dhabit, apabila dalam
dirinya terdapat sifa-sifat, yaitu: perawi itu memahami dengan baik riwayat
yang telah didengarnya dan diterimanya, perawi itu hafal dengan baik atau
mencatat dengan baik atau mencatat dengan baik riwayat yang telah didengarnya
(diterimanya) dan perawi itu mampu menyampaikan riwyat hadis yang telah
didengarnya dengan baik, kapanpun diperlukan, terutama hingga saat perawi
tersebut menyampaikan riwayat hadisnya kepada orang lain.
Sejarah perkembangan mukhtalif hadits
terkait dengan konflik ideologis antara kelompok-kelompok keilmuan dalam
lingkungan kaum muslimin. Tepatnya antara aliran yang sering disebut rasional,
baik dalam konteks fikih maupun kalam, dengan ahli hadis, dan secara khusus
sebagai sebuah perlawanan terhadap gerakan kalam ini. Dan pada masa akhir,
justru menjadi medan polemik bagi sesama ahli hadist. Secara khusus, Imam Syafi’i
mengambil medan fikih sebagai wahana pencanangan gagasan teoretisnya pada As-Sunnah.
Menurut para ulama Ikhtilaf al hadis adalah hadis-hadis yang tampak saling
bertentangan satu sama lain. Namun
kita jangan terburu-buru menolak
suatu hadis yang
kontradiktif, sebelum benar-benar melakukan verifikasi secara mendalam. Hal
ini bisa
jadi hadis-hadis tersebut
tidak benar-benar kontradiksi,
sehingga masih bisa diberikan solusi. Ikhtilaf hadis terjadi disebabkan
beberapa faktor, yaitu: faktor internal (al-aamil al-dakhili), faktor eksternal
(al-aamil al-khariji), faktor metodologi (al-bu’du al-manhaji) dan faktor
ideologi (al-bu’du al-madzhabi). Penyelesaian ikhtilaf al-hadis dapat ditempuh
dengan menggunakan beberapa metode, yaitu: Metode tarjih, metode al-jam‟u wa al-taufiq, metode nasikh wal al-mansukh,
metode ta‟wil dan petode al-tauqif.
DAFTAR PUSTAKA
Yusuf Qardawi, Kayla Nata ‘amal Ma’a
As-Sunnah An-Nabawiyah, (Bandung: Karisma, 1994)
Zeid B. Smeer, Ulumul Hadist Pengantar
Praktis, (Malang: UIN Malang Press, 2008)
Ahmad Warson Al-Munawir, Kamus
Al-Munawir
Atar Semi, Kritik Sastra,
(Bandung: Angkasa, 1987)
Hans Wehr, A Dictionsry of Modern
Written Arabic, (London: Geore Allen dan Unwa Ltd, 1970)
Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus
Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988)
M. Musthofa al-A’zhami, Manhaj
Al-Naqd ‘inda Al-Muhadditsin, (Riyadh: Al-Ummariyah, 1982)
Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadist,
(Yogyakarta: TERAS, 2004)
Umi Sumbullah, Kritik Matan Hadist,
(Malang: UIN Maliki Press, 2008)
Muhammad Mustafa Azami, Metodologi
Kritik Hadist, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992)
Abu Daud, Sunan Abu Daud Juz
III, (Beirut: Darul Kitab al-‘Arabi, tth.)
Abul Husain Muslim bin Al-Hajaj bin Muslim Al-Qusyairi
An-Naisaburi, Sahih Muslim Juz VI, (Beirut: Darul
Afaq, tth)
M. Ajaj al-Khatib, As-Sunnah Qablat-Tadwin,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1981)
Ahmad bin Hambal, Musnad Imam Ahmad bin
Hambal Juz 1, (Al-Kahirah: Muassasah Qurthubah, tth.)
Muh. Zuhri, Telaah Matan Hadist:
Sebuah Tawaran Metodologis, (Jogyakarta: LESFI, th.)
Shalahddin
Al-Adlibi, Manhaj Naqd al-Matn ‘Inda ‘Ulama al-Hadist,
(Berut: Dar Al-Afaq, Al-Jadidah, 1983)
Bustamin,
Metodologi Kritik Matan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004)
Shalahuddin
Ibnu Ahmad Al-Dhabi, Manhaj Naqd Al-Matan ‘Inda Ulama Al-Hadist An-Nabawi,
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004)
Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru
Memahami Hadis Nabi, (Jakarta: Renaisan, 2005)
M. Syuhudi Ismail, Kaedah
Keshahihan Hadis (Telaah Kritis dan Tinjauan Dengan Pendekatan Ilmu Sejarah),
(Jakarta: Bulan Bintang, 2005)
Ahmad Umar Hasyim, Qawa`id Ushul
Al-Hadits, (Beirut: Dar Al-Fikr, tth)
Mahmud Al-Thahhan, Taisir Mushthalah
Al-Hadits, (Beirut: Dar Al-Fikr, tth)
Sy Muhammad Ajaj Al-Khatib, Ushul
Al-Hadist (Pokok-Pokok Ilmu Hadist), (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2007)
Nuruddin “itr, Manhaj an Naqd fi ‘Ulum Al-Hadist, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1997)
Subhi Al-Salih, Ulum Al-Hadist wa Mustalahuh,
(Beirut: Dar Al ‘Ilmi,1998)
M. Syuhudi Ismail, Metodologi
Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992)
Muahammad Thahir Al-Jawwabi, Juhudul Muhadditsin fii Naqdi Matnil Hadits
an-Nabawi asy-Syarif, (Beirut: Darul Kitab Al-Arabi, 1405)
Imam Ibnusshalah, Mukaddimah Ibnisshalah,
(Beirut : Darul kutub Al-Ilmiah, 1978)
Muhammad Ruba'i, Fathul Mughits
Bisyarhi Alfiati Al-Hadits, (Beirut: Darul Fikr, 1995)
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Nuzhatu an-Nazr Fii
Taudihi Nukhbatil Fikr, (Damaskus: Matba'atu Ash-Sha'bah,
2000)
Aiman Shaleh Sya'ban, Jamiul
Ushul Min Ahaditsirrasul, (Darul Kutubul Ilmiah, 1998)
Nuruddin, Manhaju An-Naqd Fii
Ulumil Hadits, (Baerut: Darul Fikr, 1992)
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Syarh
Nukhabatil Fikr Fii Musthalahi Ahli al-Atsar, (Beirut: DarulMasyari',
2000)
Ahmad Umar Hasyim, Qawaid Ulumul
Hadits, (Beirut: Darul Fikr, 1405)
Ahmad Farid, 60 Biografi ulama Salaf,
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006)
Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-tokoh
Besar Islam Sepanjang Sejarah, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2008)
Daniel Juned, Ilmu Hadist, (Jakarta: Erlangga, 2010)
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003)
Abdillah Muhammad bin Abdullah Al-Hakim
Al-Naisaburi, Ma’rifat ‘Ulum Al-Hadist, (Madinah: Maktabah
Al-Ilmiyah, 1977)
Jalaluddin al-Suyuthi, Tadrib
Al-Rawi Syarah Taqrib al-Nawawi, (Kairo: Darul Hadits, 2004)
Mahfud al-Turmusi, Manhaj Dzawi
Al-Nazhar Syarah Manzhumat ‘ilmi Al-Atsar, (Surabaya: Haramain, tt)
Muhammad Ajjaj Al-Khathib, Ushul
al-Hadîts‘Ulumuhu Wa Musthalahuhu, (Beirut: Darul Fikr, 1989)
Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits,
(Yogyakarta: Idea Press, 2008)
Edi Safri, Al-Imam Al-Syafi’i; Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, (Padang: IAIN IB Press, 1999)
Ahmad Ibnu Syu’ib Ibnu ‘Aliy
Al-Nasa’iy, Sunan Al-Nasa’iy, (Beirut: Dar Kutub, 1995(
Abi Al-Hasan Muslim Al-Hajjaj Al-Qusairiy Al-Naisaburi, Shahih Muslim, (Qahirah: Dar Ibnu Al-Haitsam, 2001)
Badran Abu Al-‘Ainain Badran, Adllah
al-Tasyri’ Al-Muta’aridhah wa Wujuh Al-Tarjih Bainaha, (Al-Iskandariah:
Muassah Al-Syiariy Al-Jami’ah, 1985)
Al-Syafi’iy, Ihktilaf Al-Hadist,
(Beirut: Mu’assasah Al-Kutub Al-Tsaqafiyah, 1985)
Abu ‘Abdallah Muhammad Ibnu Isma'il
Ibnu Mughirah Ibnu Bardizban Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari,
(Beirut: Dar Al-Kutub, 1999)
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997)
[1] Yusuf Qardawi, Kayla
Nata ‘amal Ma’a As-Sunnah An-Nabawiyah, (Bandung: Karisma, 1994),
hal.17
[2] Surat Ali Imran, Ayat:164
[3] Zeid B.
Smeer, Ulumul Hadist Pengantar Praktis, (Malang: UIN Malang
Press, 2008), hal.15-17
[4] Surat Al-Nahl, Ayat:44
[7] Hans Wehr, A Dictionsry of Modern
Written Arabic, (London: Geore Allen dan Unwa Ltd, 1970), hal.990
[8] Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus
Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hal.466
[9] M. Musthofa al-A’zhami, Manhaj
Al-Naqd ‘inda Al-Muhadditsin, (Riyadh: Al-Ummariyah, 1982), hal.5
[11] Umi Sumbullah, Kritik Matan Hadist,
(Malang: UIN Maliki Press, 2008), hal.94
[13] Abu Daud, Sunan Abu Daud
Juz III, (Beirut: Darul Kitab al-‘Arabi, tth.), hal.81
[14] Abul Husain Muslim bin Al-Hajaj bin
Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi, Sahih Muslim Juz VI,
(Beirut: Darul Afaq, tth), hal. 6
[15] M. Ajaj al-Khatib, As-Sunnah Qablat-Tadwin,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1981), hal.154
[16] Ahmad bin Hambal, Musnad Imam
Ahmad bin Hambal Juz 1, (Al-Kahirah: Muassasah Qurthubah, tth.), hal.67
[18] Shalahddin Al-Adlibi, Manhaj Naqd
al-Matn ‘Inda ‘Ulama al-Hadist, (Berut: Dar Al-Afaq, Al-Jadidah,
1983), hal.143
[20] Shalahuddin Ibnu Ahmad Al-Dhabi, Manhaj
Naqd Al-Matan ‘Inda Ulama Al-Hadist An-Nabawi, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2004), hal.7
[21] Ibid, hal.11
[24] Bustamin, Op.cit, hal.64-87
[25] M. Syuhudi Ismail, Kaedah
Keshahihan Hadis (Telaah Kritis dan Tinjauan Dengan Pendekatan Ilmu Sejarah),
(Jakarta: Bulan Bintang, 2005), hal.135
[28] Sy Muhammad Ajaj Al-Khatib, Ushul
Al-Hadist (Pokok-Pokok Ilmu Hadist), (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2007),
hal.122
[32] Muahammad Thahir Al-Jawwabi, Juhudul Muhadditsin fii Naqdi Matnil Hadits
an-Nabawi asy-Syarif, (Beirut: Darul Kitab Al-Arabi, 1405),
hal.182
[35] Muhammad Ruba'i, Fathul Mughits Bisyarhi Alfiati
Al-Hadits,
(Beirut: Darul Fikr, 1995), hal.120
[37] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Nuzhatu an-Nazr Fii Taudihi Nukhbatil
Fikr,
(Damaskus: Matba'atu Ash-Sha'bah, 2000), hal.8
[41] Ibnu Hajar
Al-Asqalani, Syarh Nukhabatil Fikr Fii Musthalahi Ahli al-Atsar,
(Beirut: DarulMasyari', 2000), hal.183
[43] Ahmad Farid, 60 Biografi
ulama Salaf, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), hal.577
[44] Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-tokoh
Besar Islam Sepanjang Sejarah, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2008), hal.353
[47] Abdillah Muhammad bin
Abdullah Al-Hakim Al-Naisaburi, Ma’rifat ‘Ulum Al-Hadist,
(Madinah: Maktabah Al-Ilmiyah, 1977), hal.122
[48] Jalaluddin
al-Suyuthi, Tadrib Al-Rawi Syarah Taqrib al-Nawawi,
(Kairo: Darul Hadits, 2004), hal.467
[49] Mahfud al-Turmusi, Manhaj
Dzawi Al-Nazhar Syarah Manzhumat ‘ilmi Al-Atsar, (Surabaya: Haramain,
tt), hal.208
[50] Muhammad Ajjaj
Al-Khathib, Ushul al-Hadîts‘Ulumuhu Wa Musthalahuhu, (Beirut:
Darul Fikr, 1989), hal.283
[52] Edi Safri, Al-Imam Al-Syafi’i; Metode
Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, (Padang: IAIN IB Press, 1999), hal.97
[53] Ibid, hal.100
[55] Abi Al-Hasan Muslim Al-Hajjaj Al-Qusairiy Al-Naisaburi, Shahih Muslim, (Qahirah: Dar Ibnu Al-Haitsam, 2001), hal.401
[56] Badran Abu Al-‘Ainain Badran, Adllah
al-Tasyri’ Al-Muta’aridhah wa Wujuh Al-Tarjih Bainaha, (Al-Iskandariah:
Muassah Al-Syiariy Al-Jami’ah, 1985), hal.169
[59] Ibid, hal.374
[60] Al-Syafi’iy, Ihktilaf
Al-Hadist, (Beirut: Mu’assasah Al-Kutub Al-Tsaqafiyah, 1985), hal.247-248
[61] Abu ‘Abdallah Muhammad Ibnu Isma'il
Ibnu Mughirah Ibnu Bardizban Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari,
(Beirut: Dar Al-Kutub, 1999), hal.144
[62] Ibid, hal.146
[67] Edi Safri, Op.cit, hal.130
Tidak ada komentar:
Posting Komentar