Kamis, 09 Oktober 2014

KERITIK MATAN HADITS (By ALDHO)



BAB I
PENDAHULUAN

A.           PENDAHULUAN
Perihal Ucapan, Kepribadian dan perbuatan Nabi Muhammad SAW. Merupakan pegangan dan uswah bagi Muslimin. Selain itu, sejarah perjuanganya pun dijadikan sebagai sumber inspirasi dan motovasi bagi umat Islam dalam berdakwah menyebarkan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Oleh karena itu, kita (umat Islam) dapat mempelajari secara rinci dalam As-Sunnah An-Nabawiyah tentang keberhasilan perjuangan, karakteristik, dan pokok ajaran beliau.[1] Hadist merupakan segala hal yang berasal dari Nabi Muhammad SAW yang telah termuat dalam ajaran Islam, dipraktekkan dan diterapkan dalam pendidikan umat Islam, sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah SWT:[2]
ôs)s9 £`tB ª!$# n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# øŒÎ) y]yèt/ öNÍkŽÏù Zwqßu ô`ÏiB ôMÎgÅ¡àÿRr& (#qè=÷Gtƒ öNÍköŽn=tæ ¾ÏmÏG»tƒ#uä öNÍkŽÅe2tãƒur ãNßgßJÏk=yèãƒur |=»tGÅ3ø9$# spyJò6Ïtø:$#ur bÎ)ur (#qçR%x. `ÏB ã@ö6s% Å"s9 9@»n=|Ê AûüÎ7B ÇÊÏÍÈ  
Artinya:
Sungguh Allah Telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata
Sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur`an, hadist memang harus dipelihara, dijaga, dipahami dan diamalkan. Setiap umat Islam dianjurkan untuk mengamalkan apa yang datang dari Rasulullah SAW, baik melalui ucapan, perkataan atau persetujuan. Mengamalkan sunnah Rasulullah SAW berarti mengamalkan perintah Al-Qur'an, Keduanya tidak bisa dipisahkan, bukankah Rasulullah SAW, diperintahkan untuk menjelaskan Al-Qur`an? Penjelasan Rasulullah SAW baik secara teoritis ataupun praktis, merupakan landasan hukum yang mesti diamalkan.[3] Sebagaimana firman Allah SWT:[4]
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ ̍ç/9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍköŽs9Î) öNßg¯=yès9ur šcr㍩3xÿtGtƒ ÇÍÍÈ  
Artinya:
(Kami utuskan Rasul-rasul itu) membawa keterangan- keterangan yang jelas nyata (yang membuktikan kebenaran mereka) dan Kitab-kitab Suci (yang menjadi panduan) dan Kami pula turunkan kepadamu (wahai Muhammad) Al-Quran yang memberi peringatan, supaya engkau menerangkan kepada umat manusia akan apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka memikirkannya.
Posisi sunnah yang begitu esensial, sangat dipahami oleh generasi Islam sepanjang masa. Itulah sebabnya segala cara dilakukan demi terpeliharanya sumber Islam ini. Tidak sedikit di antara para sahabat dan ulama yang rela melakukan perjalanan (rihlah) ke berbagai kota hanya untuk mendengar satu hadist saja. Upaya yang dilakukan tidak berhenti hanya pada pengumpulan hadist-hadist Rasulullah SAW melalui periwayatan. Namun lebih dari itu, mereka berupaya memisahkan antara hadist yang bisa dijadikan sandaran hukum dengan hadist yang tidak layak untuk diamalkan.
Dengan demikian, untuk mengetahui apakah riwayat berbagai hadist yang terhimpun dapat dijadikan sebagai hujjah ataukah tidak, terlebih dahulu perlu dilakukan penelitian. Kegiatan penelitian hadist tidak hanya ditujukan kepada apa yang menjadi materi berita dalam hadis itu saja, yang biasa dikenal dengan masalah matan hadist, tetapi juga kepada berbagai hal yang berhubungan dengan periwayatannya, dalam hal ini sanadnya, yakni rangkaian para periwayat yang menyampaikan matan hadis kepada kita.
Penelitian kualitas hadist perlu dilakukan, bukan berarti meragukan hadist Nabi Muhammad SAW, tetapi melihat keterbatasan perawi hadist sebagai manusia, yang adakalanya melakukan kesalahan, baik karena lupa maupun karena didorong oleh kepentingan tertentu. Keberadaan perawi hadist sangat menentukan kualitas hadist, baik kualitas sanad maupun kualitas matan hadist.
Untuk menguji orisinilitas sebuah hadist, dalam ilmu hadist berkembang teori tentang ilmu riwayah hadist (ilmu yang dipakai untuk meneliti sanad suatu hadis) dan ilmu dirayah hadist (ilmu yang dipakai untuk meneliti matan suatu hadis). Penerapan kedua ilmu ini dalam pengujian ribuan bahkan jutaan hadist sangatlah menyita waktu, sehingga pada perkembangan selanjutnya, ahli hadist lebih memfokuskan diri pada ilmu riwayah hadist (kritik sanad) dari pada ilmu dirayah hadist (kritik matan).
Selama ini, orisinilitas hadist pada umumnya masih baru teruji dari segi sanadnya saja. Padahal asumsi yang berkembang di kalangan ulama hadist sendiri mengatakan bahwa yang disebut hadist shahih tentulah hadist shahih dari segi sanad maupun matannya. Akibatnya, kritik matan hadist (orisinilitas teks) terhadap hadist shahih (dari segi sanad) tersebut, dianggap tidak perlu. Dengan demikian tidak ada jaminan bahwa jika sanad sebuah hadist sehat atau shahih maka demikian juga dengan redaksi matannya. Banyak lagi yang harus dikaji lebih mendalam terkait dengan redaksi orisinilitas hadist.
Dari uraian diatas, maka makalah ini akan menjelaskan kritik matan hadist, kedhabitan perawi hadist, dan mukhtalif hadist

B. RUMUSAN MASALAH
1.    Apa yang dimaksud kritik matan hadist?
2.    Bagaimana kedhabitan perawi hadist?
3.    Apa yang dimaksud dengan Mukhtalif Al-Hadist?
C. TUJUAN PEMBAHASAN
1.    Menjelaskan kritik matan hadist ditinjau dari sisi kemunculan kritik matan hadist, metode kritik matan hadist dan langkah-langkah kritik matan hadist
2.    Mengetahui kedhabitan perawi hadist di tinjau dari sisi ragam kedhabitan perawi hadist, pengujian tingkat kedhabitan perawi hadist, hal-hal yang meruntuhkan kedhabitan perawi hadist dan contoh perawi hadist yang dhabit
3.    Mengetahui pengertian dari mukhtalif al-hadist, sebab-sebabnya dan metode penyelesaiannya












BAB II
PEMBAHASAN

A. KRITIK MATAN HADIST
1.    Pengertian Kritik Matan Hadist
Kata kritik dalam bahasa Arab lazim diterjemahkan dengan Al-Naqd.[5] Kata kritik sebenarnya bahasa serapan yang berasal dari bahasa latin. Kritik itu sendiri berarti menghakimi, membanding, menimbang.[6] Naqd dalam bahasa Arab popular berarti penelitian, analisis, pengecekan dan pembedaan.[7] Salinan arti naqd dengan pembedaan, kiranya bertemu sesuai dengan judul karya Imam Muslim, Ibnu Hajaj (W. 261 H) yang membahas kritik hadits, yakni kitab Al-Tamyiz. Selanjutnya, dalam pembicaraan umum orang Indonesia, kata “kritik” berkonotasi pengertian bersifat tidak lekas percaya, tajam dalam penganalisaan, ada uraian pertimbangan baik buruk terhadap suatu karya.[8] Kata Sedangkan dalam Lisanul Arabi bermakna tamyiz (membedakan).
Dari tebaran arti kebahasaan tersebut, kata kritik bisa diartikan sebagai upaya membedakan antara yang benar (asli) dan yang salah (tiruan/palsu). Sedangkan menurut istilah kritik hadits bermakna sebagai berikut:
a.    Menurut Ibnu Abi Hatim Al-Razi (w.327 H):[9]
تمييز الاحاديث الصحيحة من الضعيفة والحكم على الرواة توثيقا وتجريحا
Artinya
Upaya menyeleksi (membedakan) antara hadist shahih dan dha’if dan menetapkan status perawi-perawinya dari segi kepercayaan atau cacat.
b.    Sebagai sebuah disiplin ilmu, kritik hadits adalah:[10]
الحكم على الرواة تجريحا وتعديلا بألفاظ خاصة ذات دلائل معلومه عند أهله و النظرمتون الاحاديث التى صح سنده لتصحيحها او تضعيفها ولرفع الأشكال عما بدا مشكلا من صحيحها ودفع التعارض بينها يتطبيق مقاييس دقيقه.  
Artinya:
Penetapan status cacat atau ‘adil pada peawi hadits dengan mempergiunakan idiom khusus berdasar bukti-bukti yang mudah diketahui oleh para ahlinya dan mencermati matan-matan hadits sepanjang shahis sanadnya untuk tujuan mengakui validitas atau menilai lemah dan upaya menyingkap kemusykilan pada matan hadits yang shahih serta mengatasi gejala kontradiksi antar matan dengan mengaplikjasikan tolak ukur yang detail.
c.    Menurut Umi Sumbulah[11]
Istilah kritik matan hadts, dipahami sebagai upaya pengujian atas keabsahan matan hadits, yang dilakukan untuk memisahkan antara matan-matan hadits yang shahih dan yang tidak shahih.
Bercermin pada perumusan kritik hadist di atas, maka hakikat kritik hadist bukan untuk menilai salah atau membuktikan ketidakbenaran sabda Rasulullah SAW, karena otoritas kenabian dan penerima mandat risalah dijamin terhindar dari salah ucap atau melanggar norma, tetapi sekadar uji perangkat yang memuat informasi tentang beliau, termasuk uji kejujuran informatornya. Teks redaksi matan hadist tentu membawa serta perawi selaku perekam fakta kesejarahan masa lampau terposisikan sebagai sumber primer. Sedang kaitan yang mendokumentasikan fakta kehadistan berbentuk kutub hadist merupakan sumber sekunder. Demikian ini bila ditinjau dari tradisi kritik sejarah.
Kritik hadist pada dasarnya bertujuan untuk menguji dan menganalisis secara kritis apakah fakta sejarah hadist itu dapat dibuktikan, termasuk komposisi kalimat yang terekspos dalam ungkapan matan. Lebih jauh lagi, kritik hadist bergerak pada level menguji apakah kandungan ungkapan matan amat berhubungan dengan taraf intelektualitas perawi hadis dan bayang-bayang bias informasi sebagai implikasi daya berfantasi dan kreasi berfikir saat mengamati dan melaporkan kesaksian itu kepada orang lain. Sangat mungkin terjadi, perawi tidak hadir pada saat fakta hadist berlangsung.
2.    Awal Mula Kemunculan Kritik Matan Hadist
Kritik terhadap matan hadist telah dimulai pada masa hidup Nabi Muhammad SAW. Tapi, pada masa itu istilah ini hanya berarti "pergi menemui Nabi Muhammad SAW untuk membuktikan sesuatu yang dilaporkan telah dikatakan beliau". Pada tahap ini, merupakan proses konsolidasi dengan tujuan agar kaum muslimin merasa tentram, seperti kejadian Dimam bin Tsa’labah datang menemui Nabi Muhammad SAW, dan bertanya: "Muhammad, utusanmu mengatakan kepada kami begini dan begitu", Nabi Muhammad SAW menjawab: Dia berkata benar".[12]
Berdasarkan kejadian tersebut dapatlah dikatakan bahwa kritik matan hadist telah dimulai dalam bentuk yang sederhana di masa hidup Nabi Muhammad SAW. Praktik merujuk kepada Nabi Muhammad SAW ini dengan sendirinya berhenti dengan wafatnya beliau. Tetapi adalah kewajiban umat Islam untuk mengikuti jejak Nabi Muhammad SAW. Konsekuensinya, mereka harus bersikap sangat berhati-hati dalam menisbatkan pernyataan-pernyataan dari Nabi Muhammad SAW dan harus menelitinya dengan cermat.
Khalifah pertama, Abu Bakar Shiddiq adalah perintis di bidang ini. Selanjutnya Umar dan Ali. Selama periode awal ini, terdapat sahabat-sahabat lain yang melakukan kritik matan hadist, seperti Aisyah dan Ibnu Umar. Maka dengan tersebarnya matan hadist ke berbagai daerah di dunia Islam, kemungkinan kekeliruan pun timbul, maka kebutuhan akan kritik pun menjadi tampak jelas.
Sementara itu dalam setiap tahap penyebaran matan hadist di dunia Islam, masyarakat menghadapi kejadian-kejadian besar dan penting, dan terjadi pula pergolakan besar pada masa seperempat abad setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, salah satunya adalah konspirasi politik, yaitu pembuhuan terhadap Utsman dan peperangan antara Ali dengan Muawiyah yang menimbulkan perpecahan di kalangan kaum muslimin. Di sini tampak seolah-olah pemalsuan matan hadist yang mula-mula dimulai di lapangan politik, untuk mengangkat atau menurunkan citra kelompok tertentu.
a.    Masa Sahabat (Setelah Rasulullah SAW wafat)
Sejak kapan muncul kritik matan hadist, adalah sebuah pertanyaan awal mengkaji matan hadist. Kritik matan hadist itu sebuah upaya memilah matan yang benar dari yang salah. Mana yang otentik dari Rasulullah SAW dan yang palsu, yang boleh jadi disebabkan oleh kekurangcermatan dalam periwayatan, dapat ditelusuri dengan cara ini. Pada masa Rasulullah SAW hal ini sudah dilakukan para sahabat, seperti:
Imam Muslim meriwayatkan melalui jalur Anas bin Malik, ada seorang dari dusun datang kepada Rasulullah, kami mendengar ia bertanya, “Hai Muhammad, telah datang kepada kamu utusanmu menjelaskan bahwa Allah mengirim Engkau sebagai Rasul?” beliau menjawab, “benar.” Riwayat ini menunjukkan ada upaya mencari kebenaran berita di masa Rasulullah SAW.
Konfirmasi tentang orisinilitas matan hadist dilakukan juga oleh sahabat senior semacam Abu Bakar Shiddiq di saat Rasulullah SAW sudah tiada, seperti:[13]
عَنْ قَبِيصَةَ بْنِ ذُؤَيْبٍ أَنَّهُ قَالَ جَاءَتِ الْجَدَّةُ إِلَى أَبِى بَكْرٍ الصِّدِّيقِ تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا فَقَالَ مَا لَكِ فِى كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى شَىْءٌ وَمَا عَلِمْتُ لَكِ فِى سُنَّةِ نَبِىِّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- شَيْئًا فَارْجِعِى حَتَّى أَسْأَلَ النَّاسَ. فَسَأَلَ النَّاسَ فَقَالَ الْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ حَضَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَعْطَاهَا السُّدُسَ. فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ هَلْ مَعَكَ غَيْرُكَ فَقَامَ مُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ فَقَالَ مِثْلَ مَا قَالَ الْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ فَأَنْفَذَهُ لَهَا أَبُو بَكْرٍ.
Artinya:
Dari Qubaisyah bin Dzuaib bahwa seorang nenek datang kepada Abu Bakar untuk meminta (menanyakan) harta warisan untuk dirinya. Abu Bakar menjawab: "Di dalam Al-Qur'an saya tidak menemukan sesuatu untuk dirimu, dan saya tidak mengetahui Rasulullah SAW menyebut sesuatu untuk dirimu". Kemudian, Abu Bakar bertanya kepada para sahabat yang lain, Al-Mughirah berdiri dan berkata: "Saya mendengar Rasulullah SAW berkata bahwa ia memberikan seperenam untuknya", Abu Bakar bertanya kepada Al-Mughirah: “Adakah orang lain bersamamu (ketika mendengar sabda Rasulullah SAW itu)?” Maka berdirilah Muhammad bin Maslamah memberi kesaksian. Setelah Muhammad bin Maslamah memberi kesaksian tentang hal itu maka Abu Bakar memberikan warisan nenek itu berdasarkan sabda Rasulullah SAW itu.

Dengan peristiwa itu, menunjukkan bahwa Abu Bakar sangat berhati-hati dalam menerima kabar.  Bukan bermaksud menutup periwayatan hadist. Dengan demikian, pembatasan dan penyeleksian riwayat tersebut memang telah dilakukan sejak masa Abu Bakar.
Kemudian pengukuhan Umar bin Khathab terhadap penerimaan kabar:[14]
عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِىَّ يَقُولُ كُنْتُ جَالِسًا بِالْمَدِينَةِ فِى مَجْلِسِ الأَنْصَارِ فَأَتَانَا أَبُو مُوسَى فَزِعًا أَوْ مَذْعُورًا. قُلْنَا مَا شَأْنُكَ قَالَ إِنَّ عُمَرَ أَرْسَلَ إِلَىَّ أَنْ آتِيَهُ فَأَتَيْتُ بَابَهُ فَسَلَّمْتُ ثَلاَثًا فَلَمْ يَرُدَّ عَلَىَّ فَرَجَعْتُ فَقَالَ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَأْتِيَنَا فَقُلْتُ إِنِّى أَتَيْتُكَ فَسَلَّمْتُ عَلَى بَابِكَ ثَلاَثًا فَلَمْ يَرُدُّوا عَلَىَّ فَرَجَعْتُ وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- (إِذَا اسْتَأْذَنَ أَحَدُكُمْ ثَلاَثًا فَلَمْ يُؤْذَنْ لَهُ فَلْيَرْجِعْ). فَقَالَ عُمَرُ أَقِمْ عَلَيْهِ الْبَيِّنَةَ وَإِلاَّ أَوْجَعْتُكَ. فَقَالَ أُبَىُّ بْنُ كَعْبٍ لاَ يَقُومُ مَعَهُ إِلاَّ أَصْغَرُ الْقَوْمِ. قَالَ أَبُو سَعِيدٍ قُلْتُ أَنَا أَصْغَرُ الْقَوْمِ. قَالَ فَاذْهَبْ بِهِ.
Artinya:
Abu Sa’id al-Khudri, Ia berkata: "Saya berada disuatu majelis para sahabat Anshar. Tiba-tiba Abu Musa al-Asy’ari datang, seakan-akan ia sedang dalam ketakutan, kemudian ia berkata: 'Saya meminta izin (mengucapkan salam) tiga kali hendak masuk ke rumah Umar, saya tidak diizinkan, kemudian saya pulang.' Umar bertanya: 'Apa yang menghalangimu (masuk kerumahku)?' Saya (Abu Musa) menjawab: 'Saya telah meminta izin tiga kali (tetapi) saya tidak diizinkan, kemudian saya kembali karena Rasulullah SAW bersabda: 'Jika salah seorang diantaramu telah meminta izin tiga kali kemudian ia tidak diizinkan kepadanya maka hendaklah ia kembali.' Umar berkata: 'Hadirkan saksi atas kebenaran sabda Rasulullah SAW, jika tidak, saya akan menyakitimu.' Kemudian Ubay bin Ka’ab berkata: 'Tidak ada yang menemaninya (ketika itu) kecuali orang yang paling muda di antara kaum."  Abu Sa’id berkata: 'Aku orang yang paling muda diantara mereka'. Maka Ubay berkata: “Maka pergilah (untuk menjadi saksi kepada Umar) dengannya.
Di sini dapat kita lihat, bagaimana kehati-hatian Umar dalam menerima kabar dari sahabat, bahkan dia memberi ancaman akan menyakiti jika Abu Musa tidak bisa menghadirkan saksi dengan apa yang diucapkannya. Tindakan Umar ini mendorong kaum muslimin melakukan  pembuktian ilmiah dengan sebaik-baiknya dan bersikap hati-hati terhadap agama Allah sehingga seseorang tidak bisa dengan mudah mengatakan sesuatu atas nama Rasulullah SAW. Hal ini tampak jelas pada perkataan Umar ketika Abu Musa Al-Asy’ari pulang bersama Abu Sa’id Al-Khudri dan memberikan kesaksian kepadanya. Umar berkata, “Ingat, sesungguhnya saya tidak (bermaksud) mencurigaimu, tetapi saya khawatir manusia berkata-kata atas (nama) Rasulullah SAW.[15] Hal ini juga dilakukan oleh Ustman bin Affan, ketika beliau berwudhu dan menanyakan keshahihan dari cari berwudhunya kepada para sahabat yang lain, seperti:[16]
     عَنْ بِسْرِ بْنُ سَعِيْد قَالَ: أَتَى عُثْمَانُ المَقَاعِدُ فَدَعَا بِوُضُوْءِ فَتَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا وَيَدَيْهِ ثَلَاثًا ثَلَاثًا ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ وَرِجْلَيْهِ ثَلَاثًا ثَلَاثًا ثُمَّ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَكَذَا يَتَوَضَّأَ يَا هَؤُلَاءِ أَكَذَاكَ؟ قَالُوْا: نَعَمْ، لِنفر مِنْ أَصْحَابِ رسول الله صلى الله عليه وسلم عِنْدَهُ
Artinya:
Diriwayatkan dari Bisr bin Sa’id, ia berkata: "Utsman datang di tempat duduk (suatu lokasi di masjid tempat dia dan para sahabat berwudhu). Ia meminta air lalu berwudhu. Pertama, ia berkumur dan menghirup air ke hidung. Kemudian ia membasuh wajahnya dan membasuh tangannya masing-masing tiga kali. Setelah itu, ia mengusap sebagian kepalanya dan kedua kakinya, masing-masing tiga kali. Selesai berwudhu, ia berkata: 'Demikianlah saya melihat Rasulullah SAW berwudhu, Wahai para sahabat, benarkah demikian wudhu Rasulullah SAW?' Mereka menjawab: 'Ya, sekelompok sahabat Rasulullah SAW menyaksikan wudhu beliau demikian'."
Kemudian Ali bin Abi Thalib, juga berhati-hati dalam mengambil suatu hadist, seperti:
عَنْ علي رضي الله عَنْهُ قَالَ كُنْتُ إِذَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وسلم حَدِيثًا نفعني الله بما شاء منه وإذا حدثني عنه غيري استحلفته فإذا حلف لي صدقته وإن أبا بكر رضي الله عنه حدثني وصدق أبو بكر أنه سمع النبي صلى الله عليه و سلم قال: ما من رجل يذنب ذنبا فيتوضأ فيحسن الوضوء قال مسعر ويصلي وقال سفيان ثم يصلي ركعتين فيستغفر الله عز وجل إلا غفر له.
Artinya:
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata: "Jika saya mendengar suatu hadist dari Rasulullah SAW maka semoga Allah memberi manfaat kepadaku dengan apa yang Dia kehendaki dari hadist itu, jika orang lain meriwayatkan hadist kepadaku maka saya memintanya bersumpah. Jika dia bersedia bersumpah maka saya membenarkannya. Sesungguhnya Abu Bakar meriwayatkan hadist kepadaku dan Abu Bakar adalah benar- bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: "Tidaklah seseorang berbuat (suatu) dosa kemudian dia berwudhu, menyempurnakan wudhunya, dan melakukan shalat dua rakaat, kemudian memohon ampun kepada Allah Azza wa Jalla, kecuali Allah SAW akan memberi ampunan kepadanya."  
Berdasarkan keterangan di atas, ditemukan adanya upaya selektivitas yang dilakukan sahabat untuk menerima periwayatan. Hal ini didorong kehati-hatian mereka terhadap terjadinya pemalsuan, kesalahan, atau kealfaan dalam meriwayatkan hadist Rasulullah SAW. Sebaliknya, hal ini bukanlah sikap eksklusif sebagian sahabat atau didasari sikap negatif untuk menyembunyikan dan meninggalkan sunnah sebagaimana yang dilakukan kelompok inkar sunnah. Tidak ada satu indikasipun  yang menggiring logika untuk menyimpulkan ke arah itu.
Bagaimanapun, kritik terhadap orisinilitas matan berangkat dari paling tidak sebuah keraguan, apakah sebuah informasi berasal dari Rasulullah SAW, keraguan ini tiada lain dimaksudkan untuk menjaga Hadist dari pemalsuan. Para sahabat tidak mengalami kesulitan memahami Hadist Nabi Muhammad SAW secara harfiyah, karena bahwasanya sesuai dengan konteks mereka. Bila ada kesulitan memahami ajaran agama mereka dapat langsung bertanya kepada Rasulullah SAW. Tidak diragukan bahwa Hadist sebagai “produk” Rasulullah SAW berfungsi menjelaskan Al-Qur’an sehingga apa yang terkandung di dalamnya dapat diaktualisasikan. Perintah shalat, zakat, puasa, dan lain-lain tidak dapat dibayangkan melaksanakannya tanpa membaca Hadist Nabi Muhammad SAW. Atas dasar inilah para sahabat melakukan kritik matan hadist dengan cara menghadapkan hadist yang bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an. Mereka menolak sebuah hadist yang bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an. Di samping itu, para sahabat menghadapkan hadist dengan hadist lain yang temanya sama. Mereka menolak hadist yang bertentangan dengan hadist lain yang diriwayatkan oleh orang yang lebih terpercaya.
b.    Masa Pasca Sahabat
Kritik periwayatan hadist dilakukan juga oleh para ulama dengan cara yang dilakukan oleh para sahabat seperti contoh dimuka, terutama ketika terjadi penyebaran hadist maudhu’ karena kepentingan tertentu, utamanya kepentingan politik. Setelah terbunuhnya khalifah Utsman, suhu politik dalam masyarakat Islam memanas. Dan semakin tinggi panas itu ketika khalifah Ali harus berhadapan dengan Mu’awiyah dalam perang besar. Perseturuan ini, karena harus saling menambah pendukung fanatik, maka implikasinya, mereka perlu mengeluarkan doktrin-doktrin agama berupa hadist maudhu’, selanjutnya, untuk mengecek apakah hadist itu maudhu’ apa tidak, ulama hadist melihat redaksi hadist, apakah susunan katanya layak diucapkan oleh Rasulullah SAW atau tidak, di antaranya hadist riwayat Abu Daud:[17]
عن سفينة قال: قال: رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ خلافة النبوة ثلاثون سنة ثم يؤتى الله الملك أو ملكه من يشاء قال: سعيد، قال: لي سفينة أمسك عليك أبا بكر سنتين وعمر عشرا وعثمان اثنتي عشرة وعلي كذا، قال: سعيد، قلت لسفينة إن هؤلاء يزعمون أن عليا عليه السلام لم يكن بخليفة قال كذبت أستاذه بنى الزرقاء يعنى بنى مروان
Hadist ini mengandung informasi bahwa masa kekhalifahan itu 30 tahun, kemudian berpindah ke dinasti kerajaan. Hadist ini, kendati sesuai dengan fakta, tetapi justru dinilai maudhu’ karena diperkirakan para periwayat mencocok-cocokkan masa kekhalifahan Abu Bakar 2 tahun, Umar 10 tahun, Utsman 12 tahun, sisa genapnya mencapai 30 tahun, masa kekhalifahan Ali, Nabi Muhammad SAW bukan peramal.
Berdasarkan pedoman penolakan terhadap Hadist yang isinya tidak masuk akal itu para ahli Hadist generasi berikutnya mengadakan kritik terhadap hadist yang dipandang mencemari keotentikan Hadist seperti, seperti hadist yang menyebutkan bahwa Hajar Aswad itu dari surga, asalnya berwarna putih, lebih putih dari susu. Ia menjadi hitam karena banyaknya kesalahan yang dilakukan Bani Adam. Sudut Ka’bah dan maqam Ibrahim itu dibuat dari Yaqut surga yang bersinar. Allah SWT menghapuskannya, teks hadist itu berbunyi:
روى الترمذى عن ابن عباس أن رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ قال: نَزَلَ الْحَجَرُ الْأَسْوَدُ مِنْ الْجَنَّةِ وَهُوَ أَشَدُّ بَيَاضًا مِنْ اللَّبَنِ فَسَوَّدَتْهُ خَطَايَا بَنِي آدَمَ.
Artinya:
Diriwayatkan Tirmidzi dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW, berkata: Hajar Aswad turun dari surga, dalam kondisi berwarna lebih putih dari air susu. Kemudian, dosa-dosa anak Adam-lah yang membuatnya sampai berwarna hitam
وروى عن عبد الله بن عمرو أن رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ قال: إن الركن والمقام ياقوتتان من ياقوت الجنة، طمس الله نورهما، ولو لم يطمس نورهما لأضاءتا بين المشرق والمغرب.
Artinya:
Diriwayatkan dari Abdullah ibnu Amru, bahwa Rasulullah berkata: Rukun (Hajar Aswad) dan Maqam (Batu/Maqam Ibrahim dua batu ruby dari Surga yang dihilangkan cahayanya oleh Allah.  Kalau cahayanya tidak dihilangkan, maka dua batu ruby tersebut mampu menyinari dunia dari Barat sampai Timur".
Salahuddin Al-Adlibi memberi komentar hadist tersebut sebagai tidak masuk akal. Sekiranya batu itu dulunya putih, sekarang pun tetap putih. Ia mengutip riwayat Ibnu Abbas ketika melihat Umar bin Khattab mencium Hajar Aswad mengatakan, “Sungguh engkau adalah batu yang tidak memberi manfaat atau madharat. Sekiranya aku tidak melihat Rasulullah menciummu, niscaya aku tidak pernah akan melakukannya.” Ungkapan Umar ini menunjukkan bahwa Hajar Aswad itu bukan dari surga seperti yang dipersepsikan orang secara berlebih-lebihan sebagai benda keramat.[18]
3.    Metode Kritik Matan Hadist
Metode kritik matan bersandar pada kriteria hadis yang diterima (maqbul, yakni yang shahih dan hasan), atau matan tidak jangkal (syadz) dan tidak memiliki cacat (illat). Untuk itu metode yang digunakan atau dikembangkan untuk kritik matan adalah metode perbandingan dengan menggunakan pendekatan rasional. Metode tersebut, terutama perbandigannya, telah berkembang sejak masa sahabat. Dalam menentukan otentitas hadist, mereka melakukan studi perbandingan dengan Al-Qur'an, sebagai sumber yang lebih tinggi, perbandingan dengan hadis yang lain mahfuzh, juga dengan kenyataan sejarah. Bila terjadi pertentangan, maka hadist yang bersangkutan dicoba untuk di-takwil atau di-takhsish, sesuai sifat dan tingkat pertentangan, sehingga dikompromikan satu dengan yang lain. Tetapi jika tetap tidak bisa maka dilakukan tarjih dengan mengamalkan yang lebih kuat.[19]



Menurut Shalahuddin Ibnu Ahmad Al-Dhabi, urgensi obyek studi kritik matan hadist tampak dari beberapa segi, di antaranya:[20]
a.    Menghindari sikap kekeliruan (tasahhul) dan berlebihan (tasyaddud) dalam meriwayatkan suatu hadist karena adanya ukuran-ukuran tertentu dalam metodologi kritik matan hadist.
b.    Menghadapi kemungkinan adanya kesalahan pada diri periwayat.
c.    Menghadapi musuh-musuh Islam yang memalsukan hadist dengan menggunakan sanad hadis yang shahih, tetapi matannya tidak shahih
d.    Menghadapi kemungkinan terjadinya kontradiksi antara beberapa periwayat.
Selanjutnya, ada beberapa kesulitan dalam melakukan penelitian terhadap obyek studi kritik matan hadist, yaitu:[21]
a.    Minimnya pembicaraan mengenai kritik matan hadist dan metodenya.
b.    Terpencar-pencarnya pembahasan mengenai kritik matan hadist
c.    Kekhawatiran terbuangnya sebuah hadist.
Jika melihat kembali sosio-historis perkembangan hadis, maka akan ditemukan banyak problem di seputarnya. Di antaranya, banyak upaya pemalsuan hadis dan sebagainya. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya adalah kesenjangan, baik itu untuk menyerang dan menghancurkan Islam, maupun untuk pembelaan terhadap kepentingan kelompok atau golongan, atau ketidak-sengajaan, seperti kekeliruan pada diri periwayat, dan lain-lain.[22]
Ulama ahli hadist sepakat bahwa unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh suatu matan hadist yang berkualitas shalih ada dua macam, yaitu terhindar dari syuzuz (kejanggalan) dan terhindar dari illat (cacat), yaitu sebagai berikut:[23]
a.    Terhindar dari syuzuz
Matan Hadist bersangkutan tidak menyendiri, tidak  bertentangan dengan hadis yang lebih kuat, tidak bertentangan  dengan Al-Qur’an, tidak bertentangan dengan akal sehat, indera dan sejarah.
b.    Terhindar dari 'illat
Matan hadist tidak mengandung idraj (sisipan), tidak mengandung ziyadah (tambahan), tidak mengandung maqlub (pergantian lafaz atau kalimat), tidak terjadi idhthirab (pertentangan yang tidak dapat dikompromikan). Kelima, tidak terjadi kerancuan lafaz dan penyimpangan makna yang jauh dari matan hadis itu.
4.    Langkah-langkah Kritik Matan Hadist
Ada lima langkah yang harus ditempuh dalam rangka mengkritik matan hadis yaitu:[24]
a.    Menghimpun hadist-hadist yang terjalin dalam tema yang sama.
Yang dimaksud dengan hadis yang terjalin dalam tema yang sama adalah
1)   Hadist-hadist yang mempunyai sumber sanad dan matan yang sama, baik riwayat bi Al-lafzh maupun melalui riwayat riwayat bi Al-Ma’na.
2)   Hadist-hadist mengandung makna yang sama, baik sejalan maupun bertolak belakang.
3)   Hadist-hadist yang memiliki tema yang sama, seperti tema aqidah, ibadah, dan lainnya.
Hadist yang pantas dibandingkan adalah hadist yang sederajat kualitas sanad dan matannya. Perbedaan lafad pada matan hadist yang semakna ialah karena dalam periwayatan secara makna (al-riwayah bi al-ma’na). Perbedaan lafazh yang tidak mengakibatkan perbedaan makna, dapat ditoleransi asalkan sanad dan matannya sama-sama sahih.
b.    Kesahihan Penelitian matan hadist dengan pendekatan hadist
Sekiranya kandungan suatu matan hadist bertentangan dengan matan hadist lainnya, perlu diadakan pengecekan secara cermat. Sebab, Nabi Muhammad SAW tidak mungkin melakukan perbuatan yang bertentangan dengan perkataan yang lain, demikian pula dengan Al-Qur'an. Pada dasarnya, kandungan matan hadist tidak ada yang bertentangan, baik dengan hadist maupun dengan Al-Qur'an. Hadist yang pada akhirnya bertentangan dapat diselesaikan melalui pendekatan mukhtalifu al-hadist. Imam Syafi’i mengemukakan empat jalan keluar:
1)   Mengandung makna universal (mujmal) dan lainnya terperinci (mufassar).
2)   Mengandung makna umum (am) dan lainnya khusus.
3)   Mengandung makna penghapus (al-naikh) dan lainnya dihapus (mansukh).
4)   Kedua-duanya mungkin dapat diamalkan.
Untuk menyatukan suatu hadis yang bertentangan dengan hadist lainnya, diperlukan pengkajian yang mendalam guna menyeleksi hadist yang bermakna universal dari yang khusus, hadist yang naskh dari yang mansukh.

c.    Penelitian matan hadist dengan pendekatan Al-Qur'an
Pendekatan ini dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa Al-Qur'an adalah sebagai sumber pertama atau utama dalam Islam untuk melaksanakan berbagai ajaran, baik yang ushul maupun yang furu’, maka Al-Qur'an haruslah berfungsi sebagai penentu hadis yang dapat diterima dan bukan sebaliknya. Hadist yang tidak sejalan dengan Al-Qur'an haruslah ditinggalkan sekalipun sanadnya sahih. Cara yang ditempuh mereka untuk meloloskan matan hadist yang kelihatannya bertentangan dengan teks Al-Qur'an adalah dengan menta’wil atau menerapkan mukhtalif al-hadist. Oleh karena itu, kita akan kesulitan menemukan hadist yang dipertentangkan dengan Al-Qur'an dalam buku-buku hadist atau hadist sahih dari segi sanad dan matannya dibatalkan karena bertentangan dengan Al-Qur’an.
d.    Penelitian matan hadis dengan pendekatan bahasa
Pendekatan bahasa dalam upaya mengetahui kualitas hadis tertuju pada beberapa obyek:
1)   Struktur bahasa, artinya apakah susunan kata dalam matan hadis yang menjadi obyek penelitian sesuai dengan kaedah bahasa Arab
2)   Kata-kata yang terdapat dalam matan hadis, apakah menggunakan kata-kata yang lumrah dipergunakan bangsa Arab pada masa Nabi Muhammad atau menggunakan kata-kata baru, yang muncul dan dipergunakan dalam literatur Arab Modern?
3)   Matan hadis tersebut menggambarkan bahasa kenabian. Keempat, menelusuri makna kata-kata yang terdapat dalam matan hadis, dan apakah makna kata tersebut ketika diucapkan oleh nabi Muhammad sama makna dengan yang dipahami oleh pembaca atau peneliti
e.    Penelitian matan dengan pendekatan sejarah
Salah satu langkah yang ditempuh para muhadditsin untuk penelitian matan hadis adalah mengetahui peristiwa yang melatarbelakangi munculnya suatu hadis (asbab al-wurud haditsi). Langkah ini mempermudah memahami kandungan hadis. Fungsi azhab al-wurud hadits ada tiga, yaitu:
1)   Menjelaskan makna hadist.
2)   Mengetahui kedudukan Rasulullah pada saat kemunculan hadist apakah sebagai rasul, sebagai pemimpin masyarakat, atau sebagai manusia biasa.
3)   Mengetahui situasi dan kondisi masyarakat saat hadist itu disampaikan.
Salah satu contoh matan hadis yang dianggap oleh sebagian ulama bertentangan dengan fakta adalah, hadis yang terdapat dalam sahih Bukhari yang berbunyi :
“......Orang Islam tidak dibunuh karena membunuh orang kafir.”
Dikalangan ulama ada yang tidak mengamalkan hadist ini. Diantaranya adalah Abu Hanifah. Ia menolak hadist ini bukan karena sanadnya lemah, tetapi ia menolaknya karena hadist ini dianggap bertentangan dengan sejarah. Di dalam sejarah disebutkan bahwa apabila kaum kafir memerangi kaum muslimin, maka kaum muslimin diperintahkan memeranginya. Jika ia terbunuh, tidak ada hukum apapun atas pembunuhan itu. Berbeda dengan ahlu al-zimmi (orang kafir yang terikat perjanjian dengan kaum muslimin). Apabila seseorang membunuhnya, maka ia dijatuhi hukum qishahs. Hadist yang diteliti tidak memenuhi kriteria kesahihan hadist, baik dari segi sanad maupun dari segi matan. Dari segi sanad  hadis diatas bersifat mauquf  tidak mencapai derajat marfu’ (tidak disandarkan kepada Nabi, hanya sampai sahabat) dan dari segi matan dengan pendekatan sejarah, hadis tersebut tidak menggambarkan praktik hukum dari Rasulullah SAW.
B. KEDHABITAN PERAWI HADIST
Dhabit secara bahasa ada beberapa macam makna yakni: yang kokoh, yang kuat, yang tepat, dan yang halal dengan sempurna. Adapun dhabit secara istilah terdapat berbagai macam pendapat dari para ahli yaitu:
1.    Menurut Syuhudi Ismail:
Seseorang yang dinyatakan dhabit adalah orang yang kuat hafalannya kapan saja dia menghendaki.[25]
2.    Menurut Ahmad Umar Hasyim:
Kedhabitan seorang perawi adalah seorang periwayat yang harus terpercaya di dalam riwayatnya, yakni harus mempunyai hafalan yang meyakinkan setiap meriwayatkan hadist.[26]
3.    Menurut Mahmud Al-Thahan:
Diantara kriteria dhabit antara lain tidak betentangan dengan hadist yang diriwayatkan perawi-perawi tsiqah, tidak susah dalam hafalan, tidak jahat, tidak pelupa, bukan orang yang suka ragu-ragu.[27]
4.    Menurut M. Ajjaj Al-Khatib
Dhabit ialah perawi sadar secara penuh ketika menerima hadis dan faham tentang apa yang ia dengar dan mampu menghafal sejak ia menerima hadis tersebut sampai pada waktu dia meriwayatkan. Dabit ada kalanya berdasarkan hafalannya atau ingatannya (dabit sadran), dan adakalanya berdasarkan catatannya (dabit kitaban), artinya perawi mampu memelihara catatannya dari kekeliruan terjadi pertukaran, pengurangan apabila ia meriwayatkan dari kitabnya.[28]

5.    Menurut Nuruddin
Dhabit ialah perawi tersebut sadar secara penuh, bukan seorang pelupa, hafal apabila meriwayatkan dari hafalannya atau catatannya dan apabila ia meriwayatkan secara makna perawi tersebut mengetahui tentang sesuatu yang dibolehkan diriwayatkan secara makna.[29]

6.    Menurut Subhi As-Sahlih
Dhabit orang yang mendengarkan riwayat sebagaimana seharusnya, dia memahamkannya dengan pemahaman yang mendetail, kemudian ia menghafal dengan sempurna dan dia memiliki kemampuan yang demikian itu sedikitnya sejak dia menyampaikan riwayat tersebut sampai dia menyampaikan riwayat tersebut pada orang lain.[30]

Adapun Syuhudi Ismail, dia mengungkap makna dhabit dengan mempertemukan berbagai pendapat para ulama, dan dia juga memberikan rumusan mengenai maksud dari dhabit secara istilah sebagai berikut:[31]
1.    Periwayat yang dhabit adalah periwayat yang mempunyai ciri-ciri yaitu: hafal dengan sempurna hadis yang diterimanya, dan mampu menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalnya itu kepada orang lain.
2.    Periwayat yang bersifat dhabit adalah periwayat yang memiliki ciri seperti yang tertera di atas, dan mampu memahami dengan baik hadis yang dihafalnya.
Tingkat kedhabitan seorang perawi dapat dikatakan baik jika riwayat-riwayatnya banyak yang sesuai dengan para perawi yang terpercaya dan teliti. Bahkan walapun kesesuaian itu hanya pada level makna dan tidak sampai pada kesesuaian lafazh maka juga dikatakan sebagai perawi yang dhabit. Artinya bahwa jika ketidaksesuaian riwayat yang dibawakan oleh seorang perawi dengan para perawi level atas terhitung kecil maka tetap saja ia dianggap sebagai seorang yang dhabit. Kedhabitan seseorang menjadi cacat jika terjadi banyak ketidaksesuaian dengan riwayat para perawi profesioanal sebelumnya.[32] Dhabit mempunyai beberapa hal yang dapat merusak kedhabitan para periwayat hadist, yaitu sebagai berikut:[33]
1.    Dalam meriwayatkan hadist, lebih banyak salahnya dari pada benarnya.
2.    Lebih menonjolkan sifat lupanya dari pada hafalnya.
3.    Riwayat yang disampaikan diduga keras mengandung kekeliruan (al-wahm).
4.    Riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang disampaikan oleh orang-orang yang tsiqah.
5.    Jelek hafalannya, walaupun ada juga sebagian riwayatnya itu yang benar.
Menurut Ibnu Shalah, Kedhabitan seorang perawi dikenal dengan cara membandingkan riwayat-riwayatnya dengan riwayat orang-orang yang terpercaya dan terkenal tingkat kedhabitannya. Jika kita mendapati riwayatnya sesuai, walaupun hanya pada level makna, dengan riwayat mereka, atau secara umum sama dan ketidaksesuaiannya hanya sedikit maka ketika itu kita mengenal bahwa ia dhabit. Jika kita menemukan banyak ketidaksesuaian, maka kita mengetahui bahwa kedhabitannya telah runtuh sehingga kita tidak lagi berhujjah dengan hadits-hadits yang diriwayatkan.[34]

1.    Ragam Kedhabitan Seorang Perawi
Kedhabitan seorang perawi hadits terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:
a.    Kedhabitan dari segi sumber periwayatan.
Dari segi ini, kedhabitan seorang perawi terbagi menjadi dua, yaitu:[35]
1)   Dhabit Shadri
Yaitu melekatnya hadits yang didengar oleh seorang perawi pada memorinya, yang mana ia mampu menghadirkannya ketika ia membutuhkan.
2)   Dhabit Kitab
Yaitu seorang perawi hadits menyimpan baik-baik kitab yang ia gunakan dalam menulis hadits yang didengar dari syekh-nya hingga sampai pada saat periwayatan. Dalam bahasa Ibnu Hajar, jenis ini dimaknai sebagai usaha seorang perawi hadits dalam menjaga catatan yang dimiliki dari tahap awal mendengar hadits dari seorang syekh, serta selalu memperbaiki kondisinya hingga ia meriwayatkan hadits tersebut dari bukunya.
Pembagian ulama terhadap hadits berdasarkan sumbernya ini didasarkan pada kondisi umum seorang perawi. Maksudnya bahwa jika ia sering meriwayatkan hadits melalui hafalannya maka kedhabitannya diklarifakasikan sebagai dhabit shadri. Tetapi jika kitabnya menjadi sumber utama dalam meriwayatkan hadits, maka ia tergolong ke dalam dhabtu kitab. Bahkan bisa jadi seorang perawi memadukan antara keduanya, sehingga ia menempati posisi utama di kalangan para Huffazul Hadits. Maksud Al-Hifz di sini adalah menjaga dan bukan sekedar menghafal semata (seperti yang selama ini dipahami). Karenanya ia mencakup tiga bentuk tersebut di atas, yakni periwayatan dengan hafalan, periwayatan melalui kitab dan perpaduan antara keduanya.[36]
b.    Kedhabitan dari segi tingkatan hafalan.
      Dari sisi tingkatan hafalan, perawi juga terbagi menjadi dua golongan, yaitu:[37]
1)   Dhabit At-Taam
Yaitu seorang perawi menghafal hadits dengan kesadaran penuh dengan tidak sering lalai, lupa dan ragu pada saat membawakan dan meriwayatkan hadits.
2)   Dhabit An-Naqish
Yaitu jika seorang perawi tidak memenuhi standar dhabit at-taam. Misalnya ketika seorang perawi sering lalai, lupa atau ragu ketika meriwayatkan sebuah hadits.
Pembagian ini sebenarnya merupakan sub dari dhabit shadri, karena tidak bisa digambarkan bahwa dhabit kitab terbagi menjadi dhabit at-taam dan dhabit an-naqish. Karena dhabit kitab hanya bisa menerima dhabit at-taam Hal ini disinggung oleh As-Shan'ani dengan mengatakan, dhabit shadri bisa menjadi taam dan bisa pula menjadi naqish. Adapun dhabit kitab maka yang nampak adalah bahwa semuanya taam dan tidak bisa digambarkan ia terkena nuqshan, walaupun sebenarnya buku juga berbeda tingkatannya antara satu dengan lainnya.[38]

a.    Kedhabitan dari segi pemahaman hadits yang dibawakan.
Ada tingkatan yang menandai perbedaan antara seorang perawi dengan perawi lainnya dari segi pemahaman kandungan hadits yang diriwayatkan. Tingkatan itu terbagi menjadi dua, yaitu:[39]
1)   Dhabit Al-Zhahir
Yaitu tingkat pemahaman seorang perawi terhadap makna bahasa yang dikandung oleh hadits yang disampaikan.
2)   Al-Dhabtu al-Bathin
Yaitu tingkat pemahaman seorang perawi dari segi keterkaitan hukum-hukum syari'ah dengan hadits yang diriwayatkannya. Hal ini sering dikenal dengan istilah Al-Fiqh.
   Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa dalam tradisi saarjana hadits, yang dibutuhkan adalah jenis pertama. Adapun yang kedua, ia hanyalah pelengkap (pendukung), terutama jika terjadi pertentangan riwayat dengan perawi hadits yang lain. Bahkan menurut Nuruddin, kemampuan memahami makna disyaratkan ketika seorang perawi meriwayatkan hadits secara makna dan bukan secara lafzi.[40]
2.    Menguji Tingkat Kedhabitan Perawi Hadits
Ahli hadits menguji kedhabitan perawi hadits dengan menggunakan beberapa cara, diantaranya:[41]
a.    Merangkum sebagian besar riwayat seorang perawi yang hendak diuji tanpa sepengetahuannya kemudian mengujinya setelah berlalu beberapa waktu.
b.    Mendengar langsung hadits-hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang hendak diuji dari syekhnya kemudian kedua riwayat itu dikomparisikan secara langsung untuk melihat ketepatannya dengan sumber asli.
c.    Membandingkan antara hafalan seorang perawi dengan kitab hadits yang menjadi pegangannya dalam meriwayatkan hadits.
d.    Menguji seorang perawi dengan mengujukan sebuah riwayat kepadanya, yang mana riwayat tersebut telah dirobah tata letaknya. Jika ia seorang yang hafizh maka tentu mampu mengembalikan hadits tersebut ke redaksinya semula.
3.    Hal-hal yang Meruntuhkan Kedhabitan Seorang Perawi.
Kedhabitan seorang perawi hadits diragukan jika terjadi padanya salah  satu dari hal-hal di bawah ini:[42]
a.    Al-Ghalat
Yaitu suatu kondisi di mana seorang perawi meriwayatkan hadits tidak seperti seharusnya. Misalnya, ia menambah atau atau merubah atau memutar-balik matan atau sanad hadits.
b.    Su'ul Hifzh
Yaitu ketidakmampuan seorang perawi untuk menghadirkan hadits yang telah dihafalnya dari memorinya ketika sedang membutuhkannya.
c.    Al-Ikhtilaf
Yaitu ketidak teraturan ucapan atau perbuatan seorang perawi karena penyebab yang bersifat sementara, baik karena ketuaan atau terjadinya kebutaan atau hilangnya kitab yang menjadi sumber periwayatan, jika ia meriwayatkan dari kitab.
d.    Asy-Syuzuz
Seorang perawi banyak meriwayatkan hadits-hadits yang berbeda dengan riwayat orang-orang yang terpercaya. Akhirnya ia hanya sendirian dalam riwayat tersebut تفرد به)).
e.    Talkin
Yaitu seseorang yang mengatakan kepada perawi hadits bahwa hadist tertentu adalah termasuk riwayatnya, padahal sebenarnya bukan, lalu Ia mengakuinya begitu saja. Hal ini menunjukkan bahwa ia tidak bisa membedakan riwayatnya dengan riwayat-riwayat yang lain.
f.     Tasahul
Yaitu ketidakhati-hatian seorang perawi dalam menjaga kitab-kitab haditsnya, khususnya jika ia meriwayatkan hadits dai kitab. Atau ia meriwayatkaan hadits dari kitab yang tidak benar atau kitab yang belum disesuaikan dengan sumber aslinya (diedit).
4.    Contoh dari Perawi Hadist yang Dhabit
Nama lengkapnya abu Abdurrahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Sinan bin Bahr Al-Kurasani An-Nasa’i. Nama imam An-Nasa’i dinisbatkan pada sebuah daerah bernama Nasa’ di wilayah kurasan yang disebut juga Nasawi. Kelahiran An-Nasa’i menurut Adz-Dzahabi, “imam An-Nasa’i lahir di daerah Nasa’i pada tahun 215 hijriah.[43]
Pada awalnya, beliau tumbuh dan berkembang di daerah Nasa’. Beliau berhasil menghafal Al-Qur’an di Madrasah yang ada di desa kelahirannya. Beliau juga banyak menyerap berbagai disiplin ilmu keagamaan dari para ulama di daerahnya. Saat remaja, seiring dengan peningkatan kapasitas intelektualnya, beliaupun mulai gemar melakukan lawatan ilmiah ke berbagai penjuru dunia. Apalagi kalau bukan untuk guna memburu ilmu-ilmu keagamaan, terutama disiplin hadist dan ilmu Hadist.
Belum genap usia 15 tahun, beliau sudah melakukan mengembara ke berbagai wilayah Islam, seperti Mesir, Hijaz, Iraq, Syam, Khurasan, dan lain sebagainya. Sebenarnya, lawatan intelektual yang demikian, bahkan dilakukan pada usia dini, bukan merupakan hal yang aneh dikalangan para Imam Hadis. Semua imam hadist, yang biografinya banyak kita ketahui, sudah gemar melakukan perlawatan ilmiah ke berbagai wilayah Islam semenjak usia dini. Dan itu merupakan ciri khas ulama-ulama hadist, termasuk Imam al-Nasa’i.
Kemampuan intelektual Imam al-Nasa’i menjadi kian matang dan berisi dalam masa pengembaraannya. Namun demikian, awal proses pembelajarannya di daerah Nasa’ tidak bisa dikesampingkan begitu saja, karena justru di daerah inilah, beliau mengalami proses pembentukan intelektual, sementara masa pengembaraannya dinilai sebagai proses pematangan dan perluasan pengetahuan.[44]
C. MUKHTALIF AL-HADIST
Pelopor dalam ilmu Mukhtalif Al-Hadist ini adalah Imam Syafi’i. Beliau menulis sebuah kitab yang berjudul Ikhtilaf Al-Hadist yang menjadi peletak dasar ilmu ini, sehingga diteruskan oleh para ulama sepeninggalnya.
Dalam kaidah bahasa Mukhtalaf Al-Hadist adalah susunan dua kata benda (isim) yakni Mukhtalaf dan Al-Hadis. Mukhtalaf sendiri adalah isim maf’ul dari kata ikhtalafa yang berarti perselisihan dua hal atau ketidaksesuaian dua hal, secara umum apabila ada dua hal yang bertentangan, hal tersebut bisa dikatakan mukhtalaf atau ikhtilaf. Sedangkan dalam istilah ahli hadis, Mukhtalif Al-Hadis (dengan dibaca kasroh lam’) adalah hadis yang secara dhohir  tampak saling bertentangan dengan hadis lain. dan dengan dibaca fathah lam’nya adalah dua hadis yang secara makna saling bertentangan. dari dua definisi diatas bisa disimpulkan bahwa Mukhtalif Al-Hadis adalah adalah esensi hadis itu sendiri, sedangkan Mukhtlaf Al-Hadis adalah pertentangannya.[45]
Sedangkan menurut istilah ilmu mukhtalif al-Hadits ialah ilmu yang membahas hadits-hadits, yang menurut lahirnya bertentangan atau berlawanan, kemudian pertentangan tersebut dihilangkan atau dilkompromikan antara keduanya, sebagaimana membahas hadits-hadits yang sulit dipahami kandungannya, dengan menghilangkan kesulitannya serta menjelaskan hakikatnya.[46]
Para ulama memberikan pengertian Mukhtalif al-hadits yang beragam, yaitu sebagai berikut:
a.    Hakim Naisaburi, menyebutkan bahwa mukhtalif al-hadist adalah:[47]
سنن لرسول الله صلى الله عليه وسلم يعارضها مثلها فيحتج أصحاب المذاهب بأحدهما وهما في الصحة والسقم سيان



Artinya:
Sunah-sunah Rasulullah saw. yang bertentangan dengan sesamanya, lalu para ulama memakai salah satunya sebagai dalil, di sisi lain keduanya setara dalam kesahihan dan kelemahannya.
b.    An-Nawawi mendefinisikannya ikhtilaf al-hadits dengan:[48]
أن يأتي حديثان متضادان في المعنى ظاهرا فيوفق بينهما او يرجح أحدهما
Artinya:
Dua hadis yang secara lahiriah maknanya saling bertentangan, lalu dikompromikan atau dikuatkan salah satunya.
c.    Imam as-Suyuthi, mendefinisikannya dengan,
حديث قد أباه اخر# فالجمع إن أمكن لاينافر
Artinya:
Hadist yang ditolak oleh hadis lain, yang bila mungkin hendaknya di-jam’u.[49]
d.    M. Ajjaj al-Khatib, memberikan pengertian:[50]
العلم الذي يبحث في الاحاديث التي ظاهرها متعارض فيزيل تعارضها أو يوفق بينهما كما يبحث في الاحاديث التي يشكل فهمها أوتصورها فيدفع إشكالها ويوضح حقيقتها
Artinya
Ilmu yang membahas hadis-hadis yang lahiriahnya bertentangan, lalu dihilangkan sisi pertentangannya atau di-taufiq antara keduanya, sebagaimana dibahas tentang kejanggalan pemahaman atau penggambaran atas hadis-hadis, lalu ditolak kejanggalannya dan dijelaskan hakikat sebenarnya.
Dari beberapa pengertian yang di sebutkan oleh para ulama di atas, dapat difahami bahwa bidang kajian mukhtalif hadits ini meliputi:
a.    Terjadi pertentangan yang melibatkan dua hadis
b.    Pertentangan bersifat lahiriah
c.    Pertentangan itu diselesaikan dengan beberapa cara.
2.    Sebab-sebab yang Melatarbelakangi timbulnya Mukhtalif Hadist[51]
a.    Faktor Internal
Yakni berkaitan dengan internal dari redaksi hadits tersebut. Biasanya terdapat ‘illat (cacat) di dalam hadits tersebut yang nantinya kedudukan hadits tersebut menjadi dha’if. Dan secara otomatis hadits tersebut ditolak ketika hadits tersebut berlawanan dengan hadits shahih.
b.    Faktor Eksternal
Yakni faktor yang disebabkan oleh konteks penyampaian dari Nabi, yang mana menjadi ruang lingkup dalam hal ini adalah waktu, dan tempat di mana Nabi menyampaikan haditsnya.
c.    Faktor Metodologi
Yakni berkaitan dengan cara bagaimana cara dan proses seseorang memahami hadits tersebut. Ada sebagian dari hadits yang dipahami secara tekstual dan belum secara kontekstual, yaitu dengan kadar keilmuan dan kecenderungan yang dimiliki oleh seorang yang memahami hadits, sehingga memunculkan hadits-hadits yang mukhtalif.
d.    Faktor Ideologi
Yakni berkaitan dengan ideologi atau manhaj suatu madzhab dalam memahami suatu hadits, sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan dengan berbagai aliran yang sedang berkembang.

3.    Metode Penyelesaian Mukhtalif Hadist
Metode menyelesaikan mukhtalif hadist, adalah peringatan yang tegas dalam memahami mukhtalif hadist, sebagaiman yang diungkapkan Imam Syafi'i, yaitu:
لا تجعل عن رسول الله حديثين مختلفين أبدا إذا وجد السبيل إلى أن يكونا مستعملين، فلا نعطل منهما واحدا لأن علينا في كل ما علينا في صاحبه، ولا نجعل المختلف إلا فيما يجوز أن يستعمل أبدا ألا بطرح صاحبه.
Artinya
Jangan mempertentangkan hadist Rasulullah SAW satu dengan yang lainnya, apabila mungkin ditemukan jalan untuk menjadikan hadist-hadist tersebut dapat sama-sama diamalkan. Jangan tinggalkan salah satu antara keduanya karena kita punya kewajiban untuk mengamalkan keduanya. Dan jangan jadikan hadist-hadist bertentangan kecuali tidak mungkin untuk diamalkan selaian harus meninggalkan salah satu darinya.
Peringatan ini disampaikan berdasarkan suatu prinsip bahwa tidak mungkin Rasulullah SAW menyampaikan ajaran Islam yang antara satu dengan yang lainnya benar-benar saling bertentangan. Jika ada penilaian yang menyatakan bahwa satu hadist dengan hadist lainnya saling bertantangan, maka dalam hal ini ada dua kemungkinan, yaitu:[52]
a.    Salah satu dari hadist tersebut bukanlah hadist maqbul, karena hadist mardud, baik dha’if maupun mawdhu’, besar kemungkinan bertentangan dengan hadist shahih atau hasan.
b.    Karena pemahaman yang keliru terhadap maksud yang dituju oleh hadist-hadist tersebut.
Karena bisa saja masing-masing Hadîts tersebut memiliki maksud dan orientasi yang berbeda sehingga keduanya dapat diamalkan menurut maksud masing-masing.
Menurut Imam Syafi’i, mengenai metode penyelesaian mukhtalif hadist, ada tiga cara yang mesti dilakukan yakni penyelesaian dengan cara kompromi, penyelesaian dengan cara nasakh dan penyelesaian dengan cara tarjîh, yaitu sebagai berikut:
a.    Penyelesaian dengan Cara Kompromi
Adapun yang dimaksud dengan metode kompromi dalam menyelesaikan mukhtalif hadist ialah menghilangkan pertentangan yang tampak (makna lahiriyahnya) dengan cara menelusuri titik temu kandungan makna masing-masingnya sehingga maksud sebenarnya yang dituju oleh satu dengan yang lainnya dapat dikompromikan. Artinya, mencari pemahaman yang tepat yang menunjukkan kesejalanan dan keterkaitan makna sehingga masing-masingnya dapat diamalkan sesuai dengan tuntutannya. Untuk menemukan benang merah antara kedua hadist yang saling bertentangan itu, dapat diselesaikan dengan empat cara, yaitu:
1)   Pemahaman dengan Menggunakan Pendekatan Kaedah Ushul
Penyelesaian berdasarkan pemahaman dengan menggunakan pendekatan kaedah ushul ialah memahami hadist Rasulullah SAW dengan memperhatikan dan mempedomani ketentuan-ketentuan atau kaedah-kaedah ushul yang terkait yang telah dirumuskan oleh ulama (ushûliyûn). Adapun yang menjadi objek kajian ilmu ushul fiqh ialah bagaimana meng-istimbâth-kan hukum dari dalil-dalil syara’, baik Al-Qur'an maupun hadist. Untuk sampai pada hukum-hukum yang dimaksud, maka terlebih dahulu dalil-dalil tersebut dipahami agar istimbâth hukum sesuai dengan yang dituju oleh dalil. Di antara kaedah ushul yang terkait seperti am, khash, muthlaq, dan muqayyad. Nash yang umum haruslah dipahami dengan keumumannya selama tidak ada nash lain yang men-takhsishkan-nya, apabila ada dalil yang men-thakhsish-kannya maka nash tersebut tidak lagi diberlakukan secara umum. Demikian juga bagi nash yang muthlaq dengan yang muqayyad.[53] Contoh hadist yang menggunakan pendekatan kaedah ushul:
a)   Hadist tentang larangan mengambil upah dari jasa berbekam
1.حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ عَنْ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ الْمُغِيرَةِ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ أَبِي نُعْمٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كَسْبِ الْحَجَّامِ وَعَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَعَنْ عَسْبِ الْفَحْلِ.[54]
2.حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ عَنْ الْأَوْزَاعِيِّ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ قَارِظٍ عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ حَدَّثَنِي رَافِعُ بْنُ خَدِيجٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَمَنُ الْكَلْبِ خَبِيثٌ وَمَهْرُ الْبَغِيِّ خَبِيثٌ وَكَسْبُ الْحَجَّامِ خَبِيثٌ.[55]
b)   Hadist tentang mengambil upah dari jasa berbekam
3.حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ يَعْنُونَ ابْنَ جَعْفَرٍ عَنْ حُمَيْدٍ قَالَ سُئِلَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ عَنْ كَسْبِ الْحَجَّامِ فَقَالَ احْتَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَجَمَهُ أَبُو طَيْبَةَ فَأَمَرَ لَهُ بِصَاعَيْنِ مِنْ طَعَامٍ وَكَلَّمَ أَهْلَهُ فَوَضَعُوا عَنْهُ مِنْ خَرَاجِهِ وَقَالَ إِنَّ أَفْضَلَ مَا تَدَاوَيْتُمْ بِهِ الْحِجَامَةُ أَوْ هُوَ مِنْ أَمْثَلِ دَوَائِكُمْ
Hadits, pada nomor 3 menunjukkan bahwa Rasulullah SAW pernah berbekam yang dilakukan oleh Abu Thaibah kemudian ia diberi upah oleh Rasulullah SAW. Hadits no.1 dikeluarkan oleh Imam Nasa’i dan hadits no.2 dan no. 3 dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab yang sama. Di lihat dari sisi redaksi antara no. 1 dan no. 2 dengan no. 3, nampak saling bertentangan. Hadist no.1 dan no.2 menjelaskan adanya larangan mengambil keuntungan dari berbekam yang sekaligus menunjukkan bahwa perbuatan tersebut haram. Para ulama mencoba memahami pertenatangan tersebut dengan menggunakan pendekatan muthlaq dan muqyyad. Haramnya kasb al-hajâm merupakan suatu yang muthlaq, kemudian dibatasi oleh adanya qarinah untuk mengambil manfaat dari orang lain karena Rasullullah melakukannya. Adanya qarinah menjadikan kasb al-hajam tidak lagi haram akan tetapi makruh.[56]
2)   Pemahaman Kontekstual
Pemahaman kontekstual yang dimaksud di sini ialah memahami hadist-hadist Rasulullah SAW dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi yang menjadi latarbelakang disampaikannya hadist, dengan memperhatikan asbab al-wurud hadist tersebut. Dalam kata lain dengan memperhatikan konteks. Jika asbab al-wurud al-hadist tidak diperhatikan, maka akan terjadi kekeliruan dalam memahmi maksud yang dituju suatu hadist sehingga hal ini menimbulkan penilaian yang bertentangan antara satu Hadîts dengan yang lainnya. Oleh sebab itu mengetahui konteks hadist menjadi hal yang sangat orgen dalam pemahaman hadist. Jika konteks suatu hadist diikutsertakan dalam memahami mukhtalif hadist, akan terlihat perbedaan konteks antara satu dengan yang lainnya sehingga pertentangan yang tampak secara lahiriyah dapat dilenyapkan dan masing-masing hadist dapat diketahui arah pemahamannya.[57] Contoh hadist yang menggunakan pendekatan kontekstual:
a)   Hadist melarang meminang seseorang yang telah dipinang oleh orang lain[58]
و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى جَمِيعًا عَنْ يَحْيَى الْقَطَّانِ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ أَخْبَرَنِي نَافِعٌ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَبِعْ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلَا يَخْطُبْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ إِلَّا أَنْ يَأْذَنَ لَهُ.
b)   Hadist dimana Rasulullah SAW meminang Fatimah Binti Qais untuk Usamah Ibnu Zaid[59]
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ مَوْلَى الْأَسْوَدِ بْنِ سُفْيَانَ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ أَنَّ أَبَا عَمْرِو بْنَ حَفْصٍ طَلَّقَهَا الْبَتَّةَ وَهُوَ غَائِبٌ فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا وَكِيلُهُ بِشَعِيرٍ فَسَخِطَتْهُ فَقَالَ وَاللَّهِ مَا لَكِ عَلَيْنَا مِنْ شَيْءٍ فَجَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ لَيْسَ لَكِ عَلَيْهِ نَفَقَةٌ فَأَمَرَهَا أَنْ تَعْتَدَّ فِي بَيْتِ أُمِّ شَرِيكٍ ثُمَّ قَالَ تِلْكِ امْرَأَةٌ يَغْشَاهَا أَصْحَابِي اعْتَدِّي عِنْدَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ رَجُلٌ أَعْمَى تَضَعِينَ ثِيَابَكِ فَإِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِي قَالَتْ فَلَمَّا حَلَلْتُ ذَكَرْتُ لَهُ أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَأَبَا جَهْمٍ خَطَبَانِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ فَكَرِهْتُهُ ثُمَّ قَالَ انْكِحِي أُسَامَةَ فَنَكَحْتُهُ فَجَعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا وَاغْتَبَطْتُ
Dalam hadist pertama Rasulullah melarang meminang seseorang yang telah dipinang oleh orang lain. Namun dalam Hadîts kedua justru Rasulullah sendiri yang meminang Fatimah Bint Qais untuk Usamah Ibnu Zaid, yang sebelumnya telah dipinang oleh Mu’awiyah dan Abu Jahm. Mengapa hal ini terjadi, apakah Rasulullah tidak konsisten dengan pernyataannya? Tentu pertanyaan seperti ini yang akan muncul ketika tidak dilihat konteks kedua hadist tersebut. Imam Syafi'i berpendapat bahwa hadist pertama tidak bertentangan dengan hadist kedua karena hadist pertama berlaku pada kondisi dan situasi tertentu, tidak berlaku pada situasi dan kondisi lainnya. dikarenakan:[60]
a)   Pada hadist pertama, Rasulullah ditanya tentang seseorang yang meminang perempuan dan pinangannya diterima untuk selanjutanya diteruskan kejenjang perkawinan. Akan tetapi datang lagi pinangan dari laki-laki lain yang ternyata lebih menarik hati perempuan tersebut, dibanding laki-laki pertama sehingga ia pun membatalkan pinangan pertama.
b)   Pada hadist kedua, berbeda konteksnya dengan hadist pertama, dimana Fatimah binti Qais datang kepada Nabi Muhammad SAW seraya memberitahukan bahwa ia telah dipinang oleh Mu’awiyah dan Abu Jahm. Rasulullah tidak menyanggah pernyataan ini sesuai dengan hadist pertama karena Rasulullah SAW tahu bahwa Fatimah sendiri tidak suka dan belum menerima kedua pinangan itu, sebab Fatimah datang kepada Rasulullah untuk meminta pertimbangan. Lalu Rasulullah memberikan solusi dengan miminangkannya untuk Usamah. Hal ini menggambarkan bahwa konteks hadist pertama berbeda dengan konteks hadist kedua, hadist pertama kondisi di mana seorang perempuan dengan persetujuan walinya telah menerima pinangan dari seorang laki-laki, maka ia tidak boleh lagi menerima pinangan lelaki lainnya. Sementara hadist kedua kondisi di mana seorang laki-laki baru sebatas mengajukan proposal pinangan, belum ada kepastian diterima atau ditolak, maka dalam kondisi seperti ini seorang perempuan boleh menolak pinangan tersebut dan menerima pinangan yang disukainya.
3)   Pemahaman Korelatif
Pemahaman korelatif yang dimaksud ialah memperhatikan keterkaitan makna antara satu hadist dengan hadist lainnya yang dipandang mukhtalif hadist yang membahas permasalahan yang sama sehingga pertentangan yang nampak secara lahiriyahnya dapat dihilangkan. Karena dalam menjelaskan satu persoalan tidak hanya ada satu atau dua hadist saja akan tetapi bisa saja ada beberapa hadist yang saling terkait satu sama lainnya. Oleh karena itu semua hadist tersebut mesti dipahami secara bersama untuk dilihat hubungan makna antara satu hadist dengan hadist lainnya sehingga diperoleh gambaran yang utuh tentang satu masalah tersebut dan pertentangan yang terjadi dapat diselesaikan. Contoh hadist yang menggunakan pendekatan korelatif:
a)   Hadist tentang larangan menunaikan shalat di waku setelah subuh hingga terbit matahari dan waktu setelah ashar hingga terbenamnya matahari[61]
حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ قَالَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ شَهِدَ عِنْدِي رِجَالٌ مَرْضِيُّونَ وَأَرْضَاهُمْ عِنْدِي عُمَرُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَشْرُقَ الشَّمْسُ وَبَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ
b)   Hadist tentang di mana seseorang dapat melakukan shalat kapan saja apabila ia lupa menunaikan kewajibannya, baik watu setelah subuh hingga terbit matahari maupun waktu setelah ashar hingga terbenam matahari[62]
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ وَمُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ قَالَا حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا لَا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ وَأَقِمْ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي قَالَ مُوسَى قَالَ هَمَّامٌ سَمِعْتُهُ يَقُولُ بَعْدُ وَأَقِمْ الصَّلَاةَ للذِّكْرَى
Dua hadist di atas dipandang yang bertentangan, keduanya tidak bisa dipertemukan begitu saja, sebelum dilihat riwayat lainnya yang dipandang relevan untuk menarik benang merah pertentangan antara keduanya. Karena shalat yang dimaksudkan oleh hadist pertama adalah shalat sunnat, sementara hadist kedua merupakan shalat wajib yang tidak dapat tidak mesti dikerjakan, dan jika lupa maka merupakan rukhshah melaksanakannya pada waktu ingat. Jika hadist kedua dipahami dengan shalat wajib, maka hadist kedua berkenaan dengan shalat sunnat.
4)   Menggunakan Cara Ta’wîl
Takwil berarti memalingkan lafaz dari makna lahiriyahnya kepada makna lain yang dikandung oleh lafaz karena adanya qarinah yang menghendakinya. Hal ini dikukan makna lahiriyah yang ditampilkan oleh lafaz hadist dinilai tidak tepat untuk menjelaskan makna yang ditujunya, dengan mengambil kemungkinan makna lain yang lebih tepat di antara kemungkinan makna yang dikandung oleh lafaz. Pemalingan ini dilakukan kerana adanya dalil yang menghendakinya. Imam Syafi'i, menggunakan metode takwil untuk menghilangkan pertenatangan antara satu hadist dengan hadist lainnya. Contoh hadist yang menggunakan pendekatan ta'wil:
a)   Hadist tentang waktu yang lebi afdhal untuk melaksanakan shalat subuh ialah waktu asfar[63]
أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ ابْنِ عَجْلَانَ قَالَ حَدَّثَنِي عَاصِمُ بْنُ عُمَرَ بْنِ قَتَادَةَ عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَسْفِرُوا بِالْفَجْرِ.
b)   Hadist tentang waktu yang afdhal untuk melaksanakan shalat subuh ia ghalas, yakni susana gelap diujung malam dan datangnya cahaya subuh[64]
وحَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ وَإِسْحَقُ بْنُ مُوسَى الْأَنْصَارِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا مَعْنٌ عَنْ مَالِكٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ عَمْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ إِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُصَلِّي الصُّبْحَ فَيَنْصَرِفُ النِّسَاءُ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوطِهِنَّ مَا يُعْرَفْنَ مِنْ الْغَلَسِ و قَالَ الْأَنْصَارِيُّ فِي رِوَايَتِهِ مُتَلَفِّفَاتٍ
Dalam hal ini, Imam Syafi’i mengatakan bahwa beliau tidak melihat pertentanagn antara kedua hadist tersebut. Imam Syafi’i mentakwilkan kata isfar pada hadist pertama. Di mana isfar yang semulanya dimaknai dengan “waktu subuh yang sudah mulai terang mendekati matahari terbit”, ditakwilkan dengan makna “awal waktu subuh yang ditandai dengan terbitnya cahaya fajar yang tampak di langit. Dalam kata lain, makna isfar pada hadist pertama ditakwil­kan dengan makna ghalas pada hadist kedua. Hal ini dilakukan karena hadist kedua dipandang memiliki nilai lebih dibanding hadist kedua untuk dijadikan sebagai sandaran alasan.[65]
b.    Penyelesaian dengan Cara Nasakh
Penyelesaian dalam bentuk nasakh dipandang sebagai bentuk penyelesaian mukhtalif hadist non-kompromi. Dikatakan demikian karena salah satu dari hadist tidak lagi dapat diamalkan, hal ini sesuai dengan ungkapan Imam Syafi'i terdahulu yakni: ”Dan jangan jadikan hadist bertentangan kecuali tidak mungkin untuk diamalkan selaian harus meninggalkan salah satu darinya.” Di sini terungkap bahwa cara kompromi tidak membuahkan penyelesaian, oleh sebab itu ditempuh cara nasakh. Sebab pada mukhtalif hadist yang pertentangannya tidak saja pada makna lahiriyahnya namun juga pada makna yang dikandungnya, dalam masalah seperti ini mungkin sekali antara hadist tersebut telah terjadi nasakh. Oleh karena itu ia mesti dipahami dengan melihat ketentuan-ketentuan nasakh yakni mengamalkan yang nasakh dan meninggalkan yang mansukh. Secara etimologi nasakh mengandung dua makna, yaitu الإزالة (menghilangkan) dan النقل (memindahkan).[66] Contoh penyelesaian hadist dengan cara nasakh: dapat dilihat dalam persoalan hukum makan daging kuda:
a)    Hadist tentang larangan makan daging kuda
أَخْبَرَنَا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ قَالَ حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ عَنْ ثَوْرِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ صَالِحِ بْنِ يَحْيَى بْنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْخَيْلِ وَالْبِغَالِ وَالْحَمِيرِ وَكُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ
b)   Hadist tentang kebolehan makan daging kuda
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ وَنَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ جَابِرٍ قَالَ أَطْعَمَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لُحُومَ الْخَيْلِ وَنَهَانَا عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ
Dua hadist di atas terlihat saling bertantangan, hadist pertama bersisi tentang larangan makan daging kuda yang sekaligus menjadikan ia haram dan hadist kedua menunjukkan kebolehan memakan daging kuda. Pertentangan ini mesti dihilangkan dengan cara nasakh. Hukum keharaman makan daging kuda pada hadist pertama telah dinasakhkan oleh hukum kebolehan makan daging kuda pada hadist Jabir Ibnu Abdallah yang datang setelahnya.
c.    Penyelesaian dengan Cara Tarjih
Dalam masalah penyelesaian mukhtalif hadist dengan cara tarjih, dimaksudkan membandingkan hadist yang tampak bertentangan yang tidak dapat dikompromikan dan tidak pula ditemukan adanya indikasi nasakh, maka dengan perbandingan tersebut diambil hadist yang lebih kuat yang memilki nilai alasan yang lebih tinggi dari hadist yang lainnya, di mana yang lebih kuat diamalkan dan yang lemah ditinggalkan. Oleh karena hal-hal yang dapat menguatkan sautu hadist untuk dijadikan hujjah digunakan sebagi data dan senjata untuk melemahkan hadist lain yang memiliki data kehujjahan yang lebih sedikit, baik dari aspek sanad maupun matn. Dengan mengadu data kehujjahan dapat diketahui antara hadist yang bertentangan tersebut yang lebih benar, sehingga dengan kebenarannya yang lemah mengakibatkan pertentangan yang terjadi hilang, dan sekaligus melahirkan konsekuensi baru, yakni ditinggalkannya yang lemah.[67]
Sebelum masuk pada pembahasan berikutnya perlu dijelaskan bahwa konsep penyelesaian mukhtalif hadist di atas, menurut Imam Syafi’i dilakukan dengan berurutan. Namun, menurut Hanafiyah, urutannya tidak seperti yang diungkapkan Imam Syaf’i, dan bahkan Hanafiyah memiliki metode lain yang tidak ditemukan dalam pendapat Imam Syafi’i. Hanafiyah mendahulukan penyelesaian mukhtalif hadist dengan terlebih dahulu menerapkan metode nasakh, jika tidak ditemukan indikasi nasakh dan mansûkh, maka diteruskan dengan tarjih, jika dengan cara tarjih tidak juga berbuah solusi atas pertentangan yang terjadi barulah digunakan jalan kompromi, terakhir kitika ketiga cara tidak juga menuai hasil yang pasti, maka Hanafiyah menempuh jalan yang tidak ada dalam konsep Imam Syafi’i, yakni tasaqut al-dalilain. Tasaqut al-dalilain mengandung arti menggungurkan dua dalil yang bertentangan, maka dalam problem mukhtalif hadist yang saling bertentangan tersebut digugurkan segugur-gugurnya, untuk kemudian merujuk pada dalil yang derajatnya dibawah derajat dalil yang saling bertentangan tersebut.[68]
Di sini lah letak perbedaan Imam Syafi’i dengan Hanafiyah dalam menyelesaikan bertentangan antara satu dalil dengan dalil lainnya. Hal ini didasari oleh cara pandang yang berbeda, Hanafiyah mendahulukan nasakh, hal ini bisa saja dilakukan agar kerja tidak berulang karena jika ditempuh kompromi terlebih dahulu, ternyata pertentangan yang terjadi sudah ada kejelasan nasakhnya maka cara kompromi dipandang dapat menyita waktu. Dalam persoalan ini belum diteliti apa yang melatarbelakangi Hanafiah menggunakan urutan metode yang berbeda dengan Imam Syafi’i. Namun Imam Syafi’i dalam pernyataan terdahulu telah dijelaskan bahwa ia memilki prinsip mengamalkan kedua dalil lebih baik daripada meninggalkan salah satu darinya, apalagi meninggalkan kedua dalil tersebut.
d.    Masalah Tanawwu’ Al-‘Ibadah
Tanawwu’ al-‘ibadah merupakan salah satu cara yang ditempuh Imam Syafi’i dalam menyelesaikan mukhtalif hadist dengan catatan mukhtalif hadist tidak pada makna ta'aruth tapi tanawwu’. Adapun yang dimakud dengan tanawwu’ al-ibâdah ialah hadist yang menerangkan praktek ibadah tertentu yang diajarkan oleh Rasulullah SAW akan tetapi antara yang satu dengan yang lain terdapat perbedaan, bukan pertentangan, sehingga menggambarkan keberagaman dalam pelaksanaan ibadah tersebut.[69] Manakah yang lebih afdhal untuk diamalkan? Dalam masalah ini perlu disimak tiga hal:
1)   Ragam ibadah yang sering dilakan oleh Rasulullah dan sahabat.
2)   Memperhatikan ajaran yang dibawa oleh Hadîts itu sendiri, manakah yang lebih tepat dan lengkap sesuai dengan situasi dan kondisi si pemakai.
3)   Memperhatikan manakah di antara Hadîts-Hadîts tersebut yang lebih tinggi tingkat ke-shahîh-annya.
Maka dalam hal ini tingkat kesumpurnaan lebih penting untuk dijadikan yang utama. Contoh masalah tanawwu' al-ibadah:
 حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ أَبِي الضُّحَى عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ فِي رُكُوعِهِ وَسُجُودِهِ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي يَتَأَوَّلُ الْقُرْآنَ
وحَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ وَيُونُسُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى قَالَا أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ غَزِيَّةَ عَنْ سُمَيٍّ مَوْلَى أَبِي بَكْرٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ فِي سُجُودِهِ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي كُلَّهُ دِقَّهُ وَجِلَّهُ وَأَوَّلَهُ وَآخِرَهُ وَعَلَانِيَتَهُ وَسِرَّهُ
و حَدَّثَنِي حَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْحُلْوَانِيُّ وَمُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ قَالَا حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ قَالَ قُلْتُ لِعَطَاءٍ كَيْفَ تَقُولُ أَنْتَ فِي الرُّكُوعِ قَالَ أَمَّا سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ فَأَخْبَرَنِي ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ افْتَقَدْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَظَنَنْتُ أَنَّهُ ذَهَبَ إِلَى بَعْضِ نِسَائِهِ فَتَحَسَّسْتُ ثُمَّ رَجَعْتُ فَإِذَا هُوَ رَاكِعٌ أَوْ سَاجِدٌ يَقُولُ سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ فَقُلْتُ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي إِنِّي لَفِي شَأْنٍ وَإِنَّكَ لَفِي آخَرَ
Tiga contoh bacaan dalam ruku’ dan sujud di atas merupakan ragam ibadah yang ketiganya diajarkan oleh Rasulullah SAW dan diriwayatkan dengan isnad yang shahih. Dalam mengamalkannya tergantung pada orang yang mengamalkannya manakah yang menurutnya tapat untuknya, baik dari kebiasaan, hafalan, atau makna yang dikandung oleh bacaan itu sesuai dengan doa yang ingin ia panjatkan ketika sujud dan ruku’. Masih banyak bacaan yang lain yang diajarkan oleh Rasulullah menyangkut bacaan ruku’ dan sujud, maupun bacaan yang lainnya











BAB III
KESIMPULAN

Kritik matan hadist adalah suatu upaya untuk menyeleksi kehadiran hadist, memberikan penilaian dan membuktikan kemurnian dan keaslian sebuah matan hadist. Upaya ini juga berarti mendudukkan hadist sebagai hal yang sangat penting sebagai sumber hukum Islam kedua, itulah bukti kehati-hatian kita. Upaya ini juga sebagai upaya untuk memahami matan hadist dengan tepat dalam mengamalkan isi dari hadist tersebut.
Didalam kritik matan hadist hal penting yang perlu diperhatikan dan ditekankan adalah masalah dhabit. Dhabit (Aspek intelektualitas) perawi yang dikenal dalam ilmu hadist dipahami sebagai kapasitas kecerdasan perawi hadist. Istilah dhabit ini secara etimologi memiliki arti menjaga sesuatu. Seorang perawi layak disebut dhabit, apabila dalam dirinya terdapat sifa-sifat, yaitu: perawi itu memahami dengan baik riwayat yang telah didengarnya dan diterimanya, perawi itu hafal dengan baik atau mencatat dengan baik atau mencatat dengan baik riwayat yang telah didengarnya (diterimanya) dan perawi itu mampu menyampaikan riwyat hadis yang telah didengarnya dengan baik, kapanpun diperlukan, terutama hingga saat perawi tersebut menyampaikan riwayat hadisnya kepada orang lain.
Sejarah perkembangan mukhtalif hadits terkait dengan konflik ideologis antara kelompok-kelompok keilmuan dalam lingkungan kaum muslimin. Tepatnya antara aliran yang sering disebut rasional, baik dalam konteks fikih maupun kalam, dengan ahli hadis, dan secara khusus sebagai sebuah perlawanan terhadap gerakan kalam ini. Dan pada masa akhir, justru menjadi medan polemik bagi sesama ahli hadist. Secara khusus, Imam Syafi’i mengambil medan fikih sebagai wahana pencanangan gagasan teoretisnya pada As-Sunnah. Menurut para ulama Ikhtilaf al hadis adalah hadis-hadis yang tampak saling bertentangan satu sama lain. Namun   kita   jangan   terburu-buru   menolak   suatu   hadis   yang kontradiktif, sebelum benar-benar melakukan verifikasi secara mendalam. Hal ini  bisa  jadi  hadis-hadis  tersebut  tidak  benar-benar  kontradiksi,  sehingga masih bisa diberikan solusi. Ikhtilaf hadis terjadi disebabkan beberapa faktor, yaitu: faktor internal (al-aamil al-dakhili), faktor eksternal (al-aamil al-khariji), faktor metodologi (al-bu’du al-manhaji) dan faktor ideologi (al-bu’du al-madzhabi). Penyelesaian ikhtilaf al-hadis dapat ditempuh dengan menggunakan beberapa metode, yaitu: Metode tarjih, metode al-jamu wa al-taufiq, metode nasikh wal al-mansukh, metode tawil dan petode al-tauqif.


















DAFTAR PUSTAKA

Yusuf Qardawi, Kayla Nata ‘amal Ma’a As-Sunnah An-Nabawiyah, (Bandung: Karisma, 1994)
Zeid B. Smeer, Ulumul Hadist Pengantar Praktis, (Malang: UIN Malang Press, 2008)
Ahmad Warson Al-Munawir, Kamus Al-Munawir
Atar Semi, Kritik Sastra, (Bandung: Angkasa, 1987)
Hans Wehr, A Dictionsry of Modern Written Arabic, (London: Geore Allen dan Unwa Ltd, 1970)
Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988)
M. Musthofa al-A’zhami, Manhaj Al-Naqd ‘inda Al-Muhadditsin, (Riyadh: Al-Ummariyah, 1982)
Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadist, (Yogyakarta: TERAS, 2004)
Umi Sumbullah, Kritik Matan Hadist, (Malang: UIN Maliki Press, 2008)
Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadist, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992)
Abu Daud, Sunan Abu Daud Juz III, (Beirut: Darul Kitab al-‘Arabi, tth.)
Abul Husain Muslim bin Al-Hajaj bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi, Sahih Muslim Juz VI, (Beirut: Darul Afaq, tth)
M. Ajaj al-Khatib, As-Sunnah Qablat-Tadwin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1981)
Ahmad bin Hambal, Musnad Imam Ahmad bin Hambal Juz 1, (Al-Kahirah: Muassasah Qurthubah, tth.)
Muh. Zuhri, Telaah Matan Hadist: Sebuah Tawaran Metodologis, (Jogyakarta: LESFI, th.)
Shalahddin Al-Adlibi, Manhaj Naqd al-Matn ‘Inda ‘Ulama al-Hadist, (Berut: Dar Al-Afaq, Al-Jadidah, 1983)
Bustamin, Metodologi Kritik  Matan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004)
Shalahuddin Ibnu Ahmad Al-Dhabi, Manhaj Naqd Al-Matan ‘Inda Ulama Al-Hadist An-Nabawi, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004)
Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, (Jakarta: Renaisan, 2005)
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Hadis (Telaah Kritis dan Tinjauan Dengan Pendekatan Ilmu Sejarah), (Jakarta: Bulan Bintang, 2005)
Ahmad Umar Hasyim, Qawa`id Ushul Al-Hadits, (Beirut: Dar Al-Fikr, tth)
Mahmud Al-Thahhan, Taisir Mushthalah Al-Hadits, (Beirut: Dar Al-Fikr, tth)
Sy Muhammad Ajaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadist (Pokok-Pokok Ilmu Hadist), (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007)
Nuruddin “itr, Manhaj an Naqd fi ‘Ulum  Al-Hadist, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1997)
Subhi Al-Salih, Ulum Al-Hadist wa Mustalahuh, (Beirut: Dar Al ‘Ilmi,1998)
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992)
Muahammad Thahir Al-Jawwabi,  Juhudul Muhadditsin fii Naqdi Matnil Hadits an-Nabawi asy-Syarif, (Beirut: Darul Kitab Al-Arabi, 1405)
Imam Ibnusshalah, Mukaddimah Ibnisshalah, (Beirut : Darul kutub Al-Ilmiah, 1978)
Muhammad Ruba'i, Fathul Mughits Bisyarhi Alfiati Al-Hadits, (Beirut: Darul Fikr, 1995)
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Nuzhatu an-Nazr Fii Taudihi Nukhbatil Fikr, (Damaskus: Matba'atu Ash-Sha'bah, 2000)
Aiman Shaleh Sya'ban, Jamiul Ushul Min Ahaditsirrasul, (Darul Kutubul Ilmiah, 1998)
Nuruddin, Manhaju An-Naqd Fii Ulumil Hadits, (Baerut: Darul Fikr, 1992)
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Syarh Nukhabatil Fikr Fii Musthalahi Ahli al-Atsar, (Beirut: DarulMasyari', 2000)
Ahmad Umar Hasyim, Qawaid Ulumul Hadits, (Beirut: Darul Fikr, 1405)
Ahmad Farid, 60 Biografi ulama Salaf, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006)
Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2008)
Daniel Juned, Ilmu Hadist, (Jakarta: Erlangga, 2010)
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003)
Abdillah Muhammad bin Abdullah Al-Hakim Al-Naisaburi, Ma’rifat ‘Ulum Al-Hadist, (Madinah: Maktabah Al-Ilmiyah, 1977)
Jalaluddin al-Suyuthi, Tadrib Al-Rawi Syarah Taqrib al-Nawawi, (Kairo: Darul Hadits, 2004)
Mahfud al-Turmusi, Manhaj Dzawi Al-Nazhar Syarah Manzhumat ‘ilmi Al-Atsar, (Surabaya: Haramain, tt)
Muhammad Ajjaj Al-Khathib, Ushul al-Hadîts‘Ulumuhu Wa Musthalahuhu, (Beirut: Darul Fikr, 1989)
Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits, (Yogyakarta: Idea Press, 2008)
Edi Safri, Al-Imam Al-Syafi’i; Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, (Padang: IAIN IB Press, 1999)
Ahmad Ibnu Syu’ib Ibnu ‘Aliy Al-Nasa’iy, Sunan Al-Nasa’iy, (Beirut: Dar Kutub, 1995(
Abi Al-Hasan Muslim Al-Hajjaj Al-Qusairiy Al-Naisaburi, Shahih Muslim, (Qahirah: Dar Ibnu Al-Haitsam, 2001)
Badran Abu Al-‘Ainain Badran, Adllah al-Tasyri’ Al-Muta’aridhah wa Wujuh Al-Tarjih Bainaha, (Al-Iskandariah: Muassah Al-Syiariy Al-Jami’ah, 1985)
Al-Syafi’iy, Ihktilaf Al-Hadist, (Beirut: Mu’assasah Al-Kutub Al-Tsaqafiyah, 1985)
Abu ‘Abdallah Muhammad Ibnu Isma'il Ibnu Mughirah Ibnu Bardizban Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, (Beirut: Dar Al-Kutub, 1999)
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997)



[1] Yusuf Qardawi, Kayla Nata ‘amal Ma’a As-Sunnah An-Nabawiyah, (Bandung: Karisma, 1994), hal.17 
[2] Surat Ali Imran, Ayat:164
[3] Zeid B. Smeer, Ulumul Hadist Pengantar Praktis, (Malang: UIN Malang Press, 2008), hal.15-17
[4] Surat Al-Nahl, Ayat:44
[5] Ahmad Warson Al-Munawir, Kamus Al-Munawir, hal.466
[6] Atar Semi, Kritik Sastra, (Bandung: Angkasa, 1987), hal.7
[7] Hans Wehr, A Dictionsry of Modern Written Arabic, (London: Geore Allen dan Unwa Ltd, 1970), hal.990
[8] Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hal.466
[9] M. Musthofa al-A’zhami, Manhaj Al-Naqd ‘inda Al-Muhadditsin, (Riyadh: Al-Ummariyah, 1982), hal.5
[10] Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadist, (Yogyakarta: TERAS, 2004), hal.10
[11] Umi Sumbullah, Kritik Matan Hadist, (Malang: UIN Maliki Press, 2008), hal.94
[12] Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadist, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992), hal.82
[13] Abu Daud, Sunan Abu Daud Juz III, (Beirut: Darul Kitab al-‘Arabi, tth.), hal.81
[14] Abul Husain Muslim bin Al-Hajaj bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi, Sahih Muslim Juz VI, (Beirut: Darul Afaq, tth), hal. 6
[15] M. Ajaj al-Khatib, As-Sunnah Qablat-Tadwin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1981), hal.154
[16] Ahmad bin Hambal, Musnad Imam Ahmad bin Hambal Juz 1, (Al-Kahirah: Muassasah Qurthubah, tth.), hal.67
[17] Muh. Zuhri, Telaah Matan Hadist: Sebuah Tawaran Metodologis, (Jogyakarta: LESFI, th.), hal.46
[18] Shalahddin Al-Adlibi, Manhaj Naqd al-Matn ‘Inda ‘Ulama al-Hadist, (Berut: Dar Al-Afaq, Al-Jadidah, 1983), hal.143
[19] Bustamin, Metodologi Kritik  Matan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hal.61
[20] Shalahuddin Ibnu Ahmad Al-Dhabi, Manhaj Naqd Al-Matan ‘Inda Ulama Al-Hadist An-Nabawi, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004), hal.7
[21] Ibid, hal.11
[22] Shalahuddin Ibnu Ahmad Al-Dhabi, Op.cit, hal.33
[23] Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, (Jakarta: Renaisan, 2005), hal.109
[24] Bustamin, Op.cit, hal.64-87
[25] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Hadis (Telaah Kritis dan Tinjauan Dengan Pendekatan Ilmu Sejarah), (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), hal.135
[26] Ahmad Umar Hasyim, Qawa`id Ushul Al-Hadits, (Beirut: Dar Al-Fikr, tth), hal.40
[27] Mahmud Al-Thahhan, Taisir Mushthalah Al-Hadits, (Beirut: Dar Al-Fikr, tth), hal.121
[28] Sy Muhammad Ajaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadist (Pokok-Pokok Ilmu Hadist), (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hal.122
[29] Nuruddin “itr, Manhaj an Naqd fi ‘Ulum  Al-Hadist, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1997), hal.80
[30] Subhi Al-Salih, Ulum Al-Hadist wa Mustalahuh, (Beirut: Dar Al ‘Ilmi,1998), hal.128
[31] H M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hal.70
[32] Muahammad Thahir Al-Jawwabi,  Juhudul Muhadditsin fii Naqdi Matnil Hadits an-Nabawi asy-Syarif, (Beirut: Darul Kitab Al-Arabi, 1405), hal.182
[33] M. Syuhudi Ismail, Op.cit, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, hal.70
[34] Imam Ibnusshalah, Mukaddimah Ibnisshalah, (Beirut : Darul kutub Al-Ilmiah, 1978), hal.146

[35] Muhammad Ruba'i, Fathul Mughits Bisyarhi Alfiati Al-Hadits, (Beirut: Darul Fikr, 1995), hal.120
[36] Muahammad Thahir Al-Jawwabi, Op.cit, hal.183
[37] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Nuzhatu an-Nazr Fii Taudihi Nukhbatil Fikr, (Damaskus: Matba'atu Ash-Sha'bah, 2000), hal.8
[38] Aiman Shaleh Sya'ban, Jamiul Ushul Min Ahaditsirrasul, (Darul Kutubul Ilmiah, 1998), hal.43
[39] Aiman Shaleh Sya'ban, Op.cit, hal.52-53
[40] Nuruddin, Manhaju An-Naqd Fii Ulumil Hadits, (Baerut: Darul Fikr, 1992), hal.92
[41] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Syarh Nukhabatil Fikr Fii Musthalahi Ahli al-Atsar, (Beirut: DarulMasyari', 2000), hal.183
[42] Ahmad Umar Hasyim, Qawaid Ulumul Hadits, (Beirut: Darul Fikr, 1405), hal.120-121.
[43] Ahmad Farid, 60 Biografi ulama Salaf, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), hal.577
[44] Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2008), hal.353
[45] Daniel Juned, Ilmu Hadist, (Jakarta: Erlangga, 2010), hal.111
[46] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal.42
[47] Abdillah Muhammad bin Abdullah Al-Hakim Al-Naisaburi, Ma’rifat ‘Ulum Al-Hadist, (Madinah: Maktabah Al-Ilmiyah, 1977), hal.122
[48] Jalaluddin al-Suyuthi, Tadrib Al-Rawi Syarah Taqrib al-Nawawi, (Kairo: Darul Hadits, 2004), hal.467
[49] Mahfud al-Turmusi, Manhaj Dzawi Al-Nazhar Syarah Manzhumat ‘ilmi Al-Atsar, (Surabaya: Haramain, tt), hal.208
[50] Muhammad Ajjaj Al-Khathib, Ushul al-Hadîts‘Ulumuhu Wa Musthalahuhu, (Beirut: Darul Fikr, 1989), hal.283
[51] Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits, (Yogyakarta: Idea Press, 2008), hal.87
[52] Edi Safri, Al-Imam Al-Syafi’i; Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, (Padang: IAIN IB Press, 1999), hal.97
[53] Ibid, hal.100
[54] Ahmad Ibnu Syu’ib Ibnu ‘Aliy Al-Nasa’iy, Sunan Al-Nasa’iy, (Beirut: Dar Kutub, 1995(, hal.222
[55] Abi Al-Hasan Muslim Al-Hajjaj Al-Qusairiy Al-Naisaburi, Shahih Muslim, (Qahirah: Dar Ibnu Al-Haitsam, 2001), hal.401
[56] Badran Abu Al-‘Ainain Badran, Adllah al-Tasyri’ Al-Muta’aridhah wa Wujuh Al-Tarjih Bainaha, (Al-Iskandariah: Muassah Al-Syiariy Al-Jami’ah, 1985), hal.169
[57] Edi Safri, Op.cit, hal.103
[58] Abi Al-Hasan Muslim Al-Hajjaj Al-Qusairiy Al-Naisaburi, Op.cit, hal.347
[59] Ibid, hal.374
[60] Al-Syafi’iy, Ihktilaf Al-Hadist, (Beirut: Mu’assasah Al-Kutub Al-Tsaqafiyah, 1985), hal.247-248
[61] Abu ‘Abdallah Muhammad Ibnu Isma'il Ibnu Mughirah Ibnu Bardizban Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, (Beirut: Dar Al-Kutub, 1999), hal.144
[62] Ibid, hal.146
[63] Ahmad Ibnu Syu’ib Ibnu ‘Aliy Al-Nasa’iy, Op.cit, hal.199
[64] Abi Al-Hasan Muslim Al-Hajjaj Al-Qusairiy Al-Naisaburi, Op.cit, hal.154
[65] Edi Safri, Op.cit, hal.121
[66] M. Ajjaj Al-Khatib, Op.cit, hal.287
[67] Edi Safri, Op.cit, hal.130
[68] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal.175-178
[69] Edi Safri, Op.cit, hal.132

Tidak ada komentar:

Posting Komentar