Jumat, 10 Oktober 2014

ISLAM PADA ZAMAN Rasulullah SAW. (By Nuraini Hamzah).



BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Salah satu keistimewaan Nabi terakhir adalah bahwa beliau tidak pernah belajar membaca dan menulis pada seorangpun guru dari manusia(Q.S.An-Nahl: 103). Beliau tidak tumbuh dilingkungan ilmu, namun justru di masyarakat Jahiliah. Dan tak seorangpun yang mengingkari hakikat ini yang dijelaskan oleh Al-Qur’an(Q.S.Al-Ankabut:48).
Nabi SAW tumbuh ditengah-tengah kaum yang serba bodoh dan sangat primitif terhadap ilmu dan pengetahuan. Masa itu disebut dengan Jahiliah.
Disamping itu, Nabi saw datang dengan membawa kitab yang mengajak kita kepada ilmu, budaya, pikiran, dan rasionaliatas serta mengandung tumpukan makrifat dan berbagai disiplin ilmu. Beliau mulai mengajarkan kitab dan hikmah kepada manusia sesuai dengan metode yang mengagumkan sehingga beliau menciptakan peradaban yang unggul, yang ilmu dan sainsnya mampu menembus dunia Barat dan Timur. Dan sampai sekarang ilmu-ilmu Islam itu tetap bersinar.
Nabi adalah seorang Ummi, namun beliau begitu getol memerangi kebodohan dan penyembah berhala. Beliau diutus dengan membawa agama yang lurus kepada manusia, juga membawa syariat universal yang selalu menantang manusia sepanjang masa. Beliau dengan sendirinya merupakan mukjizat, baik ilmunya, pengetahuannya, penuturannya, kekuatan akalnya dan budayanya maupun metode pendidikannya. Oleh karena itu Allah berfirman, “Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimatnya dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk.”(Q.S.Al-A’raf: 158) Juga firmannya , “Dan Allah telah menurunkan kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar padamu.”(Q.S.An-Nisa: 113)
Allah SWT telah menurunkan wahyu padanya dan mengajarinya kitab dan hikmah dan menjadikannya sebagai cahaya dan pelita yang menerangi, dan dalil, saksi serta Rasul yang menjelaskan, yang menasehati, yang terpercaya, yang mengingatkan, yang membawa kabar gembira dan yang membawa kabar buruk (Q.S.Al-Ma’idah: 15).
Allah SWT telah melapangkan dadanya dan menyiapkannya untuk menerima wahyu serta melaksanakan misi pembimbingan masyarakat yang dikuasai oleh aroma fanatisme dan egoisme Jahiliah. Masyarakat mengenal beliau sebagai pemimpin tertinggi (termulia) dibidang dakwah, pendidikan, dan pengajaran.
Adalah suatu loncatan(reformasi) besar ketika masyarakat jahiliyah hanya dalam beberapa tahun berubah menjadi pengawal yang terpercaya dan pembela kuat kitab petunjuk dan pelita ilmu. Mereka menentang berbagai usaha distorsi dan penyimpanagan. Sesungguhnya itu merupakan mukjizat kitab yang kekal ini dan Rasul ummi yang memimpin semua itu. Beliau merupakan seseorang yang paling jauh di masyarakat jahiliyah itu dari berbagai mitos (khurafat) dan dongeng palsu. Beliau adalah cahaya basirah Ilahiah yang meliputi seluruh aspek wujudnya.







     
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana pandangan historian terhadap moment-moment penting dalam kehidupan Nabi Muhammad sebelum menjadi Rasul?
2.      Bagaimana dan apa saja tantangan-tantangan dakwah Islam yang dihadapi Nabi Muhammad di Makkah?
3.      Bagaimana dan apa saja tantangan-tantangan dakwah Islam yang dihadapi Nabi Muhammad di Madinah?

C.    TUJUAN PENULISAN
1.      Untuk mengetahui biografi Nabi Muhammad sebelum menjadi Rasul
2.      Untuk Mengetahui masa dakwah Islam Nabi Muhammad di Makkah
3.      Untuk mengetahui masa dakwah Islam Nabi Muhammad di Madinah



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sebelum Masa Kerasulan
Nabi Muhammad SAW adalah anggota Bani Hasyim, suatu kabilah yang kurang berkuasa dalam suku Quraisy. Nabi Muhammad lahir dari keluarga terhormat  yang relatif miskin. Ayahnya bernama Abdullah anak Abdul Muthalib, seorang kepala suku Quraisy yang besar pengaruhnya. Ibunya adalah Aminah binti Wahab dari Bani Zuhrah. Tahun kelahiran Nabi dikenal dengan tahun gajah (570M).[1] Dinamakan demikian karena pada tahun itu pasukan Abrahah, gubernur kerajaan Habsyi(Ethiopia), dengan menunggang gajah menyerbu Makkah untuk menghancurkan Ka’bah.
             Ketika  Nabi Muhammad SAW lahir (570 M), Makkah adalah sebuah kota yang sangat penting dan terkenal diantara kota-kota di negeri Arab, baik karena tradisinya maupun karena letaknya. Kota ini dilalui jalur perdagangan yang ramai menghubungkan Yaman selatan dan Syiria di utara. Dengan adanya Ka’bah di tengah kota , Makkah  menjadi pusat keagamaan Arab. Ka’bah adalah tempat berziarah, pada saat itu  di dalamnya terdapat 360 berhala yang mengelilingi  berhala utama. [2]
Muhammad lahir dalam keadaan yatim karena ayahnya Abdullah, meninggal dunia tiga bulan setelah dia menikahi Aminah. Muhammad kemudian diserahkan kepada ibu pengasuh, Halimah Sa’diyah. Dalam asuhannyalah Muhammad dibesarkan sampai empat tahun lamanya. Setelah itu dalam usia dua tahun dia diasuh oleh ibu kandungnya. Dan pada usia enam tahun dia menjadi yatim piatu. ­sebagaiman dijelaskan dalam Firman Allah (QS:95:6-7), yakni: “Bukankah Allah mendapatimu sebagai anak yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Allah mendapatimu sebagai orang yang bingung, lalu Dia memberimu petunjuk”.
Setelah Aminah meninggal, Abdul Muthalib mengambil alih tanggung jawab merawat Muhammad. Namun, dua tahun kemudian Abdul Muthalib meninggal dunia karena renta. Tanggung jawab selanjutnya beralih kepada pamannya, Abu Thalib. Seperti juga Abdul Muthalib, dia sangat disegani dan dihormati orang Quraisy dan penduduk makkah secara keseluruhan, meskipun hidupnya miskin.
Dalam usia muda Muhammad hidup sebagai pengembala kambing keluarganya, juga kambing sebagian penduduk Makkah. Melalui kegiatan pengembalaan ini dia menemukan tempat untuk merenung dan berpikir, yang mana dia belajar melihat sesuatu dibalik semuanya. Pemikiran dan perenungan inilah yang mengantarkan seorang Muhammad terhindar dari segala pemikiran nafsu duniawi, sehingga dia terhindar dari berbagai macam noda yang dapat merusak namanya, karena hal itulah dia sejak kecil sudah dijuluki sebagai Al-Amin, orang yang terpercaya.[3]
Nabi Muhammad ikut untuk pertama kali dalam kafilah dagang ke Syiria(Syam) dalam usia baru 12 tahun. Kafilah itu dipimpin oleh Abu Thalib. Dalam perjalanan ke Negri Syam tersebut, di Bushra, sebelah selatan Syiria, ia bertemu dengan pendeta Kristen bernama Buhairah. Pendeta ini mampu melihat tanda-tanda kenabian pada Muhammad sesuai dengan petunjuk cerita-cerita Kristen. Sebagian sumber juga menceritakan bahwa pendeta ini menasehatkan kepada Abu Thalib agar jangan terlalu jauh memasuki daerah Syiria, sebab dikuatirkan orang-orang Yahudi yang mengetahui tanda-tanda  ini akan berbuat jahat terhadapnya.[4]
Pada usia yang keduapuluhlima, Muhammad berangkat ke Syiria dengan membawa dagangan seorang saudagar wanita kaya raya yang telah lama menjanda, Khadijah. Dalam perdagangan ini Muhammad memperoleh laba yang besar. Dan pada akhirnya khadijah melamarnya, saat pernikahan berlangsug Muhammad berusia 25 tahun dan Khadijah 40 tahun.
Dalam perkembangan selanjutnya, Khadijah adalah  wanita pertama yang masuk Islam dan banyak membantu Nabi dalam perjuangan menyebarkan islam. Perkawinan bahagia dan saling mencintai itu dikaruniai enam orang anak, 2 putera Dan 4 puteri, yang bernama: Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqayah, Ummu Kulsum, dan Fatimah. Akan tetapi kedua puteranya meninggal waktu kecil[5]

B.     Masa dakwah di Makkah
Menjelang usianya yang ke 40, nabi Muhammad sudah terbiasa berkontemplasi ke gua Hira’, yang letaknya beberapa km di utara Makkah.[6] Disana Muhammad bertafakkur dari berjam-jam hingga berhari-hari. Pada tanggal 17 Ramadhan tahun 611M, malaikat Jibril muncul dihadapannya, untuk menyampaikan wahyu Allah yang pertama: ”Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia  telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu itu Maha Mulia. Dia telah mengajar dengan Qalam. Dia telah mengajar manusia apa yang tidak mereka ketahui”. Dengan turunnya wahyu pertama ini, berarti Muhammad telah dipilih Tuhan sebagai Nabi. Dalam wahyu pertama ini, dia belum diperintahkan untuk menyeru manusia kepada suatu agama.
Setelah wahyu pertama itu datang, Jibril tidak muncul lagi untuk beberapa lama, sementara Nabi Muhammad menantikannya dan selalu datang ke gua Hira’. Dlam keadaan menanti itulah turun wahyu yang membawa perintah kepadanya. Wahyu itu berbunyi sebagai berikut: “Hai orang yang berselimut, bangun bangun dan beri ingatlah. Hendaklah engkau besarkan Tuhanmu, dan bersihkanlah pakaianmu, tinggalkanlah perbuatan dosa, dan janganlah engkau memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak, dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu bersabarlah” (Al-Mudatsir: 1-7).
Dengan turunnya perintah itu, mulailah Rasullah berdakwah. Pertama-tama, beliau melakukannya secara diam-diam di lingkungan sendiri dan dikalangan rekan-rekannya. Karena itulah, orang yang pertama kali menerima dakwahnya adalah keluarga dan sahabat dekatnya. Mula-mula istrinya sendiri, Khadijah, kemudian saudara sepupunya Ali bin Abi Thalib yang saat itu berumur 10 tahun. Kemudian, Abu Bakar, sahabat karibnya sejak masa kanak-kanak. Lalu Zaid, bekas budak yang telah menjadi anak angkatnya. Ummu Aiman, pengasuh Nabi sejak ibunya Aminah masih hidup, juga termasuk orang yang pertama masuk Islam. Sebagai seorang pedagang yang berpengaruh, Abu Bakar berhasil mengislamkan beberapa orang teman dekatnya, seperti Usman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin ‘Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Thalhah bin Ubaidillah. [7]Mereka dibawa Abu Bakar langsung kepada Nabi Muhammad dan masuk Islam dihadapan Nabi secara langsung. Dengan dakwah secara sembunyi-sembunyi ini belasan orang telah memeluk agama Islam.
Setelah lama dakwah tersebut dilakukan secara sembunyi-sembunyi, turunlah perintah agar Nabi menjalankan dakwah secara terbuka. Mula-mula ia mengundang dan menyeru kerabat karibnya dari Bani Abdul Muthalib. Ia mengatakan kepada mereka, “Saya tidak melihat seorangpun di kalangan Arab yang dapat membawa sesuatu ke tengah-tengah mereka lebih baik dari apa yang saya bawa kepada kalian. Kubawakan kepadamu dunia dan akhirat yang terbaik. Tuhan memerintahkan saya mengajak kalian semua. Siapakah diantara kalian yang mau mendukung saya dalam hal ini?”.[8] Mereka semua menolak kecuali Ali.
Langkah selanjutnya yang ditempuh Nabi Muhammad adalah menyeru masyarakat umum. Nabi mulai menyeru lapisan masyarakat untuk masuk islam dengan terang-terangan, baik dari golongan bangsawan maupun hamba sahaya. Mula-mula ia menyeru penduduk Makkah, kemudian penduduk-penduduk negeri lain. Di samping itu, ia juga menyeru orang-orang yang datang ke Makkah. Kegiatan dakwah dijalankannya tanpa mengenal lelah. Dengan usahanya yang gigih, hasil yang diharapkan mulai terlihat. Jumlah pengikut Nabi yang tadinya belasan orang, semakin hari semakin bertambah. Mereka terutama terdiri dari kaum wanita, budak, pekerja, dan orang-orang yang tak punya.
Setelah dakwah terang-terangan itu pemimpin Quraisy mulai menghalangi dakwah Rasulullah. Semakin bertambahnya jumlah pengikut Nabi semakin keras tantangan yang dilancarkan kaum Quraisy. Menurut Ahmad Syalabi, ada lima faktor yang mendorong orang Quraisy menentang seruan Islam[9] :
1)      Mereka tidak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan. Mereka menganggap tunduk kepada seruan Muhammad berarti tunduk kepada kepemimpinan Bani Abdul Muthalib.
2)      Nabi Muhammad menyerukan persamaan hak antara bangsawan dan hamba sahaya. Hal ini tidak disetujui oleh kelas bangsawan Quraisy
3)      Para pemimpin Quraisy tidak dapat menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan pembalasan akhirat.
4)      Taklid kepada nenek moyang adalah kebiasaan yang berakar pada bangsa Arab.
5)      Pemahat dan penjual patung memandang Islam sebagai penghalang rezeki.
Banyak cara yang ditempuh para pemimpin Quraisy untuk mencegah dakwah Nabi Muhammad. Pertama-tama mereka mengira bahwa kekuatan Nabi terletak pada perlindungan dan pembelaan Abu Thalib yang amat disegani pada saaat itu. Karena itu mereka aimana melepaskan hubungan Nabi dengan Abu Thalib  dan mengancam dan mengatakan: ‘Kami minta anda memeilih satu diantara dua: memerintahakan Muhammad berhenti dari dakwahnya atau anda menyerahkan kepada kami. Dengan demikian anda akan terhindar dari kesulitan yang tidak diinginkan “. Nampaknya Abu Thalib cukup terpengaruh dengan ancaman tersebut sehingga ia mengarahkan Muhammad untuk menghentikan dakwahnya. Namun, Nabi menolak dengan mengatakan. “Demi Allah saya tidak akan berhenti  memperjuangkan amanat Allah ini, walaupun seluruh anggota keluarga dan sanak saudara  akan mengucilkann saya”. Abu Thalib sangat terharu mendengar jawaban kemenakannya itu, kemudian berkata: “Teruskanlah, demi Allah aku akan terus membelamu”[10].
Merasa gagal dengan cara ini, kaum Quraisy kemudian mengutus Walid ibn Mughirah dengan membawa Umarah ibn Walid, seorang pemuda yang gagah dan tampan, untuk dipertukarkan dengan Nabi Muhammad. Walid bin Mughirah berkata kepada Abu Thalib:”Ambillah dia menjadi anak Saudara, tetapi serahkan Muhammad kepada kami untuk kami bunuh”. [11]Usul ini langsung ditolak keras oleh Abu Thalib.
Untuk kali berikutnya mereka langsung kepada Nabi Muhammad. Mereka mengutus utbah ibn Rabiah, seorang ahli retorika, untuk membujuk Nabi. Mereka menawarkan tahta, wanita, dan harta asal Nabi Muhammad bersedia menghentikan dakwahnya. Semua tawaran itu ditolak Muhammad dengan mengatakan: “ Demi Alllah, biarpun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku. Aku tidak akan berhenti melakukan ini, hingga agama ini menang atau aku binasa karenanya”.[12]
Setelah cara-cara diplomatik dan bujuk rayu yang dilakukan oleh kaum Quraisy gagal, tindakan-tindakan kekerasan secara fisik yang sebelumnya sudah dilakukan semakin ditingkatkan. Tindakan kekerasan itu lebih intensif setelah mereka mengetahui bahwa dilingkungan rumah tangga mereka sendiri banyak yang sudah masuk islam, budak-budak yang selama ini mereka anggap sebagai harta, sudah ada yang masuk islam dan mempunyai kepercayaan yang berbeda dengan tuan mereka.  Budak-budak itu disiksa oleh tuannya dengan sangat kejam. Para pemimpin Quraisy juga mengharuskan setiap keluarga untuk menyiksa anggota keluarganya yang masuk islam sampai dia murtad kembali.[13]
Kekejaman yang dilakukan oleh penduduk Makkah terhadap kaum muslimin itu, mendorong Nabi Muhammad untuk mengungsikan sahabat-sahabatnya ke luar Makkah. Pada tahun kelima kerasulannya, Nabi menetapkan Habsyah(Ethiopia) sebagai negri tempat pengungsian, karena Negus(Raja) negeri itu adalah seorang yang adil. Rombongan pertama sejumlah sepuluh orang pria dan empat orang wanita, diantaranya Usman bin Affan beserta istrinya Rukayah putri Rasulullah, Zubair ibn Awwam dan Abdurrahman ibn ‘Auf. Kemudian menyusul rombongan kedua sejumlah hampir seratus orang, dipimpin oleh Ja’far ibn Abu Thalib. [14]Usaha orang-orang Quraisy untuk  menghalangi hijrah ke Habsyah ini, termasuk membujuk Negus agar menolak kehadiran umat Islam disana gagal. Disamping itu, semakin kejam mereka memperlakukan orang yang beragama islam, semakin banyak orang yang masuk agama ini.bahkan ditengah meningkatnya kekejaman itu, dua orang kuat Quraisy masuk Islam, hamzah dan Umar bin Khathab.[15] Dengan masuk Islamnya dua tokoh besar ini posisi umat Islam semakin kuat.
Menguatnya posisi umat Islam memperkeras reaksi kaum musyrik Quraisy. Mereka menempuh cara baru dengan melumpuhkan kekuatan mauhammmad yang bersandar pada perlindungan bani Hasyim. Dengan demikian, untuk melumpuhkan kaaum muslimin yang dipimpin oleh Muhammad mereka harus melumpuhkan bani Hasyim terlebih dahulu secara keseluruhan. Cara yang ditempuh ialah pemboikotan. Mereka memutuskan segala bentuk hubungan dengan suku ini. Tidak seorangpun penduduk makah yang diperkenankan melakukan hubungan jual beli dengan Bani hasyim. Persetujuan dibuat dengan bentuk piagam dan ditandatangani bersama dan disimpan di dalam ka’bah. Akibat boikot tersebut, Bani Hasyim menderita kelaparan, kemiskinan dan kesengsaraan yang tak ada bandingnya. Untuk meringankan penderitaan itu, Bani Hasyim akhirnya pindah ke suatu lembah di luar kota makkah. Tindakan pemboikotan yang dimulai pada tahun ke-7 kenabian ini berlangsung selama 3 tahun.[16] Ini merupakan tindakan yang paling menyiksa dan melemahkan umat Islam.
Pemboikotan itu baru berhenti stelah beberapa pemimpin Quraisy menyadari bahwa apa yang mereka lakukan sungguh suatu tindakan yang keterlaluan. Dan setelah pemboikotan diberhentikan, kembalilah bani Hasyim ke rumah masing-masing. Namun, tidak lama kemudian paman nabi Abu Thalib yang merupakan pelindung utamanya meninggal pada usia 87 tahun. Tiga hari setelah itu Khadijah istri Nabi meninggal dunia pula. Peristiwa itu terjadi pada tahun kesepuluh kenabian yang disebut dengan ‘Amul-huzn(tahun kesedihan).[17] Tahun ini merupakan tahun kesedihan bagi nabi muhammad. Sepeninggal dua pendukung itu, kafir quraisy tidak segan-segan lagi melampiaskan nafsu kemarahannya kepada Nabi. Melihat reaksi penduduk Makkah sedemikian rupa, Nabi kemudian berusaha menyebarkan islam ke luar kota. Namun di Thaif ia diejek, disoraki dan dilempar batu, bahkan sampai terluka dibagian kepala dan badannya.
Untuk menghibur Nabi yang sedang ditimpa duka, Allah mengisra’ dan memi’rajkan beliau pada tahun ke-10 kenabian itu. Berita isra’ Mi’raj ini menggemparkan Masyarakat Makkah. Bagi orang kafir, ia dijadikan bahan propaganda untuk mendustakan nabi. Sedangkan bagi orang yang beriman, ia merupakan ujian keimanan.
Setelah Isra’ Mi’raj yang terjadi pada tanggal 27 Rajab[18], suatu perkembangan besar bagi kemajuan dakwah Islam muncul. Perkembangan yang datang dari sejumlah penduduk yatsrib yang berhaji ke Makkah. Mereka yang terdiri dari suku ‘Aus dan Khazraj.
Setelah mereka pulang dari haji, masing-masing dari mereka yang telah masuk Islam menceritakan kepada penduduk Madinah lainnya akan terutusnya seorang Rasulullah. Dan banyak diantara mereka yang masuk agama Islam.
Pada tahun keduabelas kenabian delegasi Yatsrib, terdiri dari sepuluh orang suku khazraj dan dua orang suku ‘Aus serta seorang wanita menemui Nabi di suatu tempat bernama Aqabah. Dihadapan Nabi mereka menyatakan ikrar kesetiaan, Rasulullah lalu mengutus Mash’ab Bin ‘Umair Bin Hasyim Bin Abdu Manaf ke Madinah untuk mengajarkan Islam kepada mereka, serta menyampaikan ayat-ayat Al-Qur’an dan memfahamkannya.[19] Ikrar ini disebut dengan perjanjian “Aqabah Pertama”. Pada musim haji berikutnya, jamaah yang datang dari Yatsrib berjumlah 73 orang. Atas nama orang Yatsrib mereka meminta kepada Nabi agar berkenan pindah ke Yatsrib. Mereka berjanji akan membela Nabi dari segala ancaman. Nabi pun menyetujui usul yang mereka ajukan. Perjanjian ini disebut dengan “Aqabah kedua”.
Akhirnya setiap rumah dari rumah-rumah Aus dan Khazraj (di Madinah) menyebut-nyebut akan nama Muhammad. Mash’ab kembali ke Makkah  melaporkan kepada Rasulullah bahwa Islam sudah tersebar luas dikalangan orang-orang Madinah. Kedudukan kuat sekali, dan disana tidak ada tantangan, baik dari golongan Yahudi atau dari golongan Musyrikin, seperti yang dialami Rasulullah di Kota Makkah.
C.    Masa dakwah di Madinah
Setelah tiba dan diterima penduduk Yatsrib (Madinah), Nabi resmi menjadi pemimpin penduduk kota itu.  Berbeda dengan periode Makkah, pada periode Madinah Islam merupakan kekuatan politik. Ajaran Islam yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat banyak yang turun di Madinah. Nabi Muhammad mempunyai kedudukan, bukan saja sebagai kepala agama, tetapi juga sebagai kepala negara. Dengan kata lain, dalam diri Nabi terkumpul dua kekuasaan, kekuasaan spiritual dan kekuasaan duniawi. Kedudukannya sebagai Rasul secara otomatis merupakan kepala negara.[20]
Dalam rangka memperkokoh masyarakat dan negara baru itu, ia segera meletakkan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat.[21] Dasar pertama, pembangunan masjid, selain untuk tempat ibadah (shalat), juga sebagai sarana penting untuk mempersatukan kaum muslimin dan mempertalikan jiwa mereka, di samping sebagai tempat bermusyawarah merundingkan  masalah-masalah yang dihadapi. Masjid pada masa Nabi juga sebagai pusat pemerintahan.
Dasar Kedua, adalah ukhuwwah islamiyyah, persaudaraan sesama muslim. Nabi mempersaudarakan antara golongan Muhajirin,  orang-orang yang hijrah dari Makkah ke Madinah, dan Anshar, penduduk Madinah yang sudah masuk Islam dan ikut membantu kaum Muhajirin tersebut. Dengan demikian, diharapkan, setiap muslim merasa terikat dalam suatu persaudaraan dan kekeluargaan.
Dasar Ketiga, hubungan persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tidak beragama Islam. Di Madinah, di samping orang-orang Arab Islam, juga terdapat golongan masyarakat Yahudi dan orang-orang Arab yang masih menganut agama nenek moyang. Agar stabilitas masyarakat dapat diwujudkan, Nabi Muhammad mengadakan ikatan perjanjian dengan mereka. Sebuah piagam yang menjamain kebebasan beragama orang-orang Yahudi sebagai suatu komunitas dikeluarkan. Setiap golongan masyarakat memiliki hak tertentu dalam bidang politik dan keagamaan. Kemerdekaan beragama dijamin, dan seluruh anggota masyarakat berkewajiban mempertahankan keamanan negeri itu dari serangan luar.[22]
Dengan terbentuknya negara Madinah, Islam makin bertambah kuat. Perkembangan Islam yang pesat itu membuat orang-orang Makkah dan musuh-musuh Islam lainnya menjadi risau. Untuk itu, Nabi sebagai kepala pemerintah mengatur siasat dan membentuk pasukan tentara. Umat islam diizinkan berperang dengan dua alasan[23]:
1)      Untuk mempertahankan diri dan dan melindungi hak miliknya
2)      Menjaga keselamatan dalam penyebaran kepercayaan dan mempertahankannya dari orang-orang yang menghalang-halanginya.
Dalam sejarah negara Madinah ini memang banyak terjadi peperangan sebagai upaya kaum muslimin dalam mempertahankan diri dari serangan musuh.
Perang pertama yang sangat menentukan masa depan Islam ini adalah perang Badar, perang antara kaum muslimin dengan musyrik Quraisy. Pada tanggal 8 Ramadhan tahun 2 Hijriah, Nabi bersama  305 orang muslim bergerak keluar kota membawa perlengkapan yang sederhana. Di daerah Badar, kurang lebih 120 kilometer dari Madinah, pasukan Nabi bertemu dengan pasukan Quraisy yang berjumlah sekitar  900 sampai 1000 orang. Dalam perang ini kaum muslimin lah yang keluar sebagai pemenang. Namun, orang-orang Yahudi Madinah tidak senang, yang memang dari awal tidak sepenuh hati menerima perjanjian yang telah dibuat antara mereka dengan Nabi.
Bagi kaum Quraisy Makkah kekalahan mereka dalam perang Badar merupakan pukulan berat. Mereka bersumpah akan balas dendam. Pada tahun 3 H, mereka berangkat menuju Madinah membawa tidak kurang dari 3000 pasukan berkendaraan unta, 200 pasukan berkuda di bawah pimpinan Khalid bin Walid, 700 orang diantara  mereka memakai  baju besi. Nabi Muhammad menyongsong kedatangan mereka dengan pasukan sekitar seribu orang namun, sesampai melewati batas kota, Abdullah ibn Ubay aeorang munafik dengan 300 orang Yahudi  kembali ke Madinah. Mereka  melanggar perjanjian dan disiplin perang. Meskipun demikian, dengan 700 pasukan yang tertinggal  Nabi melanjutkan perjalanan[24].  Beberapa kilometer dari kota Madinah, tepatnya bukit Uhud, kedua pasukan bertemu.
Dalam perang Uhud , orang-orang Makkah di bawah pimpinan Abu Sufyan, bisa membalas kekalahan mereka bahkan melukai Nabi, namun kemenangan itu tidak bertahan lama. Islam bangkit kembali, kemudian berubah dari posisi bertahan menjadi penyerang, dan tampaknya setiap seruan dakwah Islam selalu mendapat sambutan.
Pada 627, sebuah “persekutuan” (Al-ahzab), yang terdiri atas orang-orang Makkah dan tentara bayaran dari suku Badui dan Abissinia, kembali memerangi  orang-orang Madinah. Sekali lagi, pasukan kafir berbaris melawan Allah. Atas usulan Salman[25], seorang muslim dari Persia, Muhammad memerintahkan pasukannya untuk menggali parit(Khandaq)[26] mengelilingi Madinah, yang pada akhirnya dengan taktik ini terbunuhnya 600 orang suku utama Yahudi, banu Quraidzah , dan sisanya yang masih hidup diusir dari Madinah. Kelompok Muhajirin yang akhirnya ditempatkan di daerah perkebunan kurma yang kosong karena ditinggalkan oleh pemiliknya(Q.S. 33: 26-27).
Pada tahun 628 orang-orang Yahudi Khaibar menyerah dan bersedia membayar upeti. Dan pada tahun ini pula Muhammad memimpin delegasi umat Islam dalam perjanjian Hudaybiyah, dengan memutuskan bahwa orang-orang Makkah dan orang-orang Islam harus mendapat perlakuan yang sama. Perjanjian ini praktis mengakhiri peperangan dengan orang Quraisy. Dan pada saat ini pula Khalid bin Walid “pedang Islam” dan ‘Amr bin Ash masuk dalam pengakuan Islam. Dua Tahun kemudian pada akhir Januari  630M (8H), umat Islam berhasil menaklukkan kota Makkah. Nabi Muhammad menghancurkan seluruh berhala yang berjumlah 360 buah sambil berseru “ Kebenaran telah datang, dan kebathilan telah sirna”[27].Dan pada masa inilah kawasan sekitar Ka’bah dinyatakan oleh Nabi sebagai daerah haram (terlarang, sakral).
Pada 9 H, Muhammad menempatkan pos militer di Tabuk, yang berbatasan dengan daerah  Gassan, dan tanpa melalui pertempuran  berhasil membuat perjanjian damai dengan kepala suku Kristen, Aylah (Al-‘Aqabah). Perjanjian itu diantaranya menetapkan bahwa penduduk asli yang beragama Yahudi dan Kristen akan dilindungi oleh umat Islam dan memberikan bayaran yang disebut dengan “jizyah”.
Tahun ke 9 H (630-631) ini disebut sebagai “tahun utusan“ (sanah al-wufud). Sepanjang tahun ini, berbagai utusan berdatangan dari tempat yang dekat maupun yang jauh untuk menawarkan persekutuan dengan Nabi-penguasa ini. Banyak suku yang ikut bergabung karena di dasari oleh pertimbangan untung-rugi, bukan keyakinan.[28] dan Islam hanya menghendaki pengucapan ikrar keimanan dan pembayaran zakat.
Setahun berikutnya, ke-10 H, Muhammad masuk dengan damai pada awal musim haji ke kota sucinya yang baru, Makkah. Perjalanan hajinya ke Makkah itu merupakan perjalanan terakhir, sehingga sejarah mengenalnya sebagai “haji perpisahan”. Tiga bulan setelah pulang ke Madinah, tanpa disangka-sangka beliau jatuh sakit dan meninggal pada usia 63 tahun (8 Juni 632)[29].


BAB III
PENUTUP
A.    Analisis
a)      Sebelum  masa kerasulan
Nabi Muhammad adalah keturunan dari Bani Hasyim, yang mempunyai seorang kakek bernama Abdul Muthalib, dan Ayah yang bernama Abdullah serta Ibu yang bernama Aminah, beliau lahir pada 570M yang disebut dengan tahun gajah.
Pada saat itu Makkah merupakan tempat strategis perdagangan dan Ka’bah merupakan tempat ziarah yang dikelilingi oleh 360 berhala.
Nabi lahir dalam keadaan yatim, karena ayahnya wafat 3 bulan setelah menikah, dan selama 4 tahun Halimah Sa’diyah merawat dan menyusui Nabi, setelah itu ditinggal mati oleh Ibunya pada usia 6 tahun Muhammad sudah menjadi yatim piatu.
Kemudian dirawat oleh kakeknya Abdul Muthalib selama 2 tahun, dan saat kakeknya meninggal Muhammad diasuh oleh pamannya Abu Thalib.
            Pada Usia muda Muhammad sudah belajar mengembala kambing milik keluarganya maupun sebagian masyarakat Makkah, sehingga julukan Al-Amin itu dia sandang karena pada saat itu Muhammad adalah anak yang mampu dipercaya.
            Pada usia 12 tahun Muhammad diajak oleh Abu Thalib untuk ikut berdagang ke negri Syam. Akan tetapi ditengah jalan ada seorang pendeta Kristen yang bernama Buhaira memberi sran untuk tidak terlalu jauh masuk negri Syam karena melihat tanda kenabian ada pada Muhammad, yang dikhawatirkan dapat mencelakainya.
            Pada usia 25 tahun Nabi Muhammad memoerdagangkan barang dagangan milik seorang janda yang bernama Khadijah, yang pada akhirnya menjadi Isteri Nabi pada usianya 40 tahun dan dikaruniai 6 orang anak , yakni : Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqayah, Ummu Kulsum, dan Fatimah. Akan tetapi kedua puteranya meninggal waktu kecil.

b)      Masa dakwah Makkah
Pada usia ke 40 tahun Nabi sudah terbiasa berkontemplasi di Gua Hira’, yang pada tanggal 17 Ramadhan 611 Malaikat Jibril menyampaikan wahyu pertamanya  dengan surat Al-Alaq. Dan setelah itu turunlah lagi ayat dengan Surat Al-Mudatsir  yang menyerukan pada Nabi untuk berdakwah.
Dakwah pertama kali dilakukan secara sembunyi-sembunyi kepada keluarga dan sahabat terdekat Nabi (Khadijah, Ali, Abu Bakar, Zaid, dan Ummu aiman). Yang kemudian Abu Bakar mampu mengajak (Usman, Zubair, Abdurrahman, Sa’ad bin Abi Waqash, dan Thalhah bin Ubaidillah).
Dakwah terang-terangan dilakukan kepada kerabat karib dari bani Abdul Muthalib, dan hanya Ali bin Abi thalib yang bersedia mengikuti. Dan setelah itu diikuti oleh beberapa masyarakat Makkah (wanita, budak, dan orang-orang miskin).
Pemimpin Quraisy menghalangi, dan melakukan banyak cara untuk mencegah Nabi dalam melanjutkan dakwah Islam. Mulanya dengan crara mengancam Abu Thalib, kemudian mengutus Walid ibn Mughirah, dan langsung mendatangi Nabi dengan mengutus Utbah bin Rabi’ah untuk menawarkan tahta, wanita, dan harta, akan tetapi semua usaha itu gagal. Yang mengundang kekerasan semakin terjadi pada penyiksaan seorang budak.
Nabi Muhammad memerintahkan untuk mengungsikan sahabt ke Habsyah dengan pertimbangan Raja Negus yang terkenal akan kearifannya pada saat itu. Rombongan pertama sejumlah 10 pria dan 4 orang wanita.
Kaum Quraisy tidak lagi mampu menghalangi hijrah  itu, sehingga perlakuannya terhadap kaum Muslimin semakin kejam, dan dengan kekejamannya itulah semakin banyak masyarakat Makkah yang masuk Islam, salah satunya adalah Hamzah dan Umar bin Khattab.
Pada tahun ke 7 kenabian berlangsug pemboikat selama 3 tahun terhadap bani Hasyim, yang dilarang untuk melakukan transaksi perdagangan dengan perjanjian yang berpiagam dan disimpan di dalalm Ka’bah.
Pada tahun ke 10 kenabian  Abu Thalib wafat pada usia 87 tahun dan 3 hari kemudian disusul oleh meninggalnya khadijah. Yang pada akhirnya sering dikenal dengan sebutan Amul Huzni      (kesedihan).
Dengan meninggalnya kedua orang penting dalam hidup Nabi, kaum Quraisy di Thaif tidak lagi sungkan menyiksa nabi dengan mengejek dan melempari batu.
Untuk menghibur kesedihan Nabi, pada tahun ke 10 kenabian  27 Rajab, Allah meng Isra’Mi’rajkan Nabi dan memerintahkan untuk ditunaikannya shalat  waktu.
Perkembangan besar dakwah Islam bermula ketika penduduk Yatsrib berhaji ke Makkah, dari suku Khazraj dan ‘Aus. Yang sepulang dari haji masuk Islam dan menyebarkan kepada masyarakat yatsrib. Pada haji ke 12, delegasi Yatsrib yang terdiri dari 10 Khazraj dn 2 ‘Aus menyatakn ikrar masuk Islam dihadapn Nabi, yang kemudian dinamakn Aqobah I. Dan untuk selanjutnya Nabi memerintahkan kepada Mush’ab bin Umair untuk mnyampaikan ayat Al-Qur’an pada masyaraakat Yatsrib.
Pada haji berikutnya 73 orang, meminta Nbai untuk berkenan pindah ke Yatsrib , dengan janji membela Nabi dari berbagi ancaman, yang selanjutnya disebut dengan Aqobah II.
  
c)      Masa dakwah Madinah
Ketika masyarakat Yatsrib menerima Nabi,  pada saat itu Nabi  dipercaya untuk menjabat sebagai Kepala Negara juga sebagai Rasul. Sebagai kepala Negara Nabi memperkokoh Masyarakat dengan berbagai cara, mulanya membangun masjid,selain sebagai tempat ibadah juga sebagai tempat musyawarah dan pusat pemerintahan. Selnjutnya dengan ukhuwah antara muhajirin dan Anshar. Dan yang ketiga dengan pihak lain yang beragama Yahudi  dan Arab yang membuat piagam dengan perjanjian “kebebasan beragama, dan mempertahankan keamanan negrinya”.Kemudian Nabi membentuk pasukan tentara  sebagai bentuk ikhtiar dalam mempertahankan diri dari serangan musuh.
Terjadinya perang Badar pada 8 Ramadhan  tahun 2 H dengan kemenangan berada pada pihak muslim yang beranggotakan 305 tentara dan 1000 tentara dari kaum Quraisy.
Terjadinya perang Uhud 625 M. Orang-orang Makkah dibawah pimpinan Abu Sufyan berhasil membalas kekalahan dengan terbunuhnya sahabat Hamzah, dan terlukanya Nabi.
Kemenangan tidak berlagsung lama, Islam bangkit dan menyerang. Pada tahun 627 M, persekutuan Makkah dengan tentara suku Baduwi dan Abissinia datang, dan Salman memerintahkan untuk menggali parit mengelilingi Madinah, dengan taktik inilah tetrbunuh 600 orang Yahudi dan Quraisy. Yang pada peperangan ini kemenangan ada pada kaum muslim, yang disebut dengan perang Khandaq.
Pada tahun 628 M, orang Yahudi Khaibar menyerah , Nabi memimpin perjanjian Hudaybiyah, bahwasannya ”Orang Makkah dan orang Islam harus mendapat perlakuan yang sama”. Secara praktis mengakhiri peperangan  dengan Quraisy, dan masuk islamnya sahabat Khalid bin Walid dan Amr bin Ash.

Pada Tahun 630M /8 H, umat Islam menaklukkan kota Makkah , Nabi Muhammad menghancurkan seluruh berhala yang berjumlah 360 buah dan dinyatakan sebagai daerah Haram (terlarang/sakral).
Pada Tahun 9 H/ 630-631 M pos militer diletakkan di Tabuk,
Dan tanpa melalui peperangan, berhasil membuat perjanjian dengan kepala suku Kristen, Aylah. Bahwa “Penduduk asli Yahudi Kristen dilindungi oleh umat Islam dengan membayar jizyah”. Dan pada tahun ini juga disebut dengan tahun utusan, dengan banyaknya yang menawarkan persekutuan dengan Islam hanya dengan pertimbangan untung-rugi.
            Tahun ke 10 H Nabi melakukan haji Wada’(terakhir), karena 3 bulan setelahnya Nabi sakit dan meninggal pada usia 63 tahun (8 Juni 632 M). Berakhirlah masa pemerintahan Nabi, yang selanjutnya dakwah Islam diteruskan oleh para sahabat.

B.     Kesimpulan
Nabi merupakan sosok Voltaire-nya kaum Muslim pada saat itu, karena Masa dakwah Nabi merupakan masa awal dari beberapa dakwah yang berkembang setelahnya. Banyak hal yang terjadi dalm sebuah perubahan, dari masa jahiliyah hingga menjadi Ad-din Al-Islam.
Tidak terlepas dari peran seorang Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, pada pemerintahan masa dakwah di Madinah beliau juga sebagai kepala Negara pada saat itu yang memperkenalkan akan kebijakan dalam memimpin suatu negara, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam beragama. Meskipun pada saat itu Allah mengutus untuk mendakwahkan agama islam, akan tetapi ajaran Islam tidak pernah memaksakan pengikutnya untuk mengikuti agama Islam dengan cara yang kasar. Seprti halnya dakwah di Makkah, Nabi tidak pernah membalas kekerasan atau kekejaman yang dilakukan oleh kaum Quraisy terhadapnya dengan balasan serupa, akan tetapi dengan metode tertentu dan kesabaran.
Menurut hemat penulis, Nabi Muhammad sebelum menjadi Rasul, bahkan sampai masa dakwah Makkah dan Madinah, jika dikaitkan dengan karakteristik Manajmen Pendidikan Islam, merupakan sosok pemimpin yang uswatun hasanah. Mengigat tujuan dari pendidikan adalah Memanusiakan manusia, pada saat zaman Rasul hal itu sudah diterapkan dalam ajaran Islam. Baik dalam segi kebijakannya, bahkan kesabarannya dalam menghadapi segala konsekwensi  yang diterima semata-mata hanya untuk memperjuangkan Agama Allah. Sehingga ajaran Islam disadari atau tidak mampu membumikan subtansi agung dari berbagai aspek persoalan sosial, budaya, dan kepemerintahan. Untuk mencapai “Baldatun Thoyyibatu Wa Rabbun Ghafur”















DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, Akbar.S, 2003, Rekontruksi Sejarah Islam, Fajar Pustaka Baru,    Bangutapan Yogyakarta
Alcaff, Muhammad. 2009. Muhammad Rasulullah Saw. Jakarta: Al-Huda.
Al-Khatib, Abdul Hamid. 1976. Ketinggian Risalah Nabi Muhammad, jilid            I. Jakarta: Bulan Bintang.
Al-Ismail, Tahnia. 1996. Tarikh Muhammad SAW Teladan Perilaku Ummat.          Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.
A. Zainudin, S.Ag & Muhammad Jamhari, S.Ag, Al-Islam I “Akidah dan Ibadah”, CV. Pustaka Setia, Bandung, 1999.
Chalil, Moenawar. 2001. Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Saw, jilid I.           Jakarta: Gema Insani Press.
Ghani, Muhammad Ilyas Abdul. 2003. Sejarah Kota Mekah Klasik dan      Modern. Jakarta: Akbar.
Hassan, Hassan Ibrahim. 1989. Sejarah dan Kebudayaan Islam.      Yogyakarta: Kota Kembang.
Hasan, Abdul, 2008, Sirah Nabawiyah Sejarah Lengkap Nabi Muhammad             saw, Mardiyah press nandan, Yogyakarta,
Husain Haekal, Muhammad. 1990.  Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta:     Litera   Antarnusa.
Jamil, ahmad, 2008, Sejarah Kebudayaan Islam Kelas 3, Cv. Putra Kembar            Jaya,  Gresik.
K.Hitti, Phillip. 2008. History of the Arabs, Pent.R.Cecep Lukman yasin.    Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Mahmudunnasir, Syed, 1993, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, cet. III        Remaja Rosdakarya, Bandung
Nasr, Hossein. 1986. Muhammad Hamba Allah. Jakarta: Rajawali.

Nasution, Harun. 1985. Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I.         Jakarta: UI Press.
Rahman, Syaikh Shafiyyur,2008.Sirah Nabawiyah. Jakarta: Pustaka Al       kausar
Samsul Nizar, 1999. Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah   Era Rasulullah Sampai Indonesia, Prenada Media Group, Jakarta.
Syalabi, A. 1983. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka al-        Husna.
Turmudi,dkk.2004.Lembar Kerja Dan Evaluasi Pendidikan Agama Islam   AL Munawar. Malang : Mega Ilmu
Yatim, Badri. 2002.  Sejarah Peradaban Islam Dirasah IslamiyahII.           Jakarta: Raja    Grafindo Persada.




[1] Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Litera Antarnusa, 1990),h.49
                [2] Drs.turmudi,dkk.2004.Lembar Kerja Dan Evaluasi Pendidikan Agama Islam AL Munawar. Malang : Mega Ilmu hal: 25
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah IslamiyahII, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h.17
[4] Muhammad Husain Haekal, op. cit., h.56
[5] Hossein Nasr, Muhammad Hamba Allah, (Jakarta: Rajawali, 1986), h.8
[6]Tahnia Al-Ismail, Tarikh Muhammad SAW Teladan Perilaku Ummat, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1996), h.31
[7].Hossein Nasr, op.cit., h.15
[8] Muhammad Husain Haekal, op. cit., h.91
[9] A.Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1983), h.87-90
[10] Badri Yatim, op. cit., h.21
[11]Muhammad Alcaff, Muhammad Rasulullah Saw, (Jakarta: Al-Huda, 2009), h.141
[12] Ibid, h.140
                [13] Drs. H. Ahmad Jamil, dkk. 2010. Sejarah Kebudayaan Islam. Gresik: Al-Azhar. Hal: 3
[14] Badri Yatim, op. Cit., h.22
[15] Ibid, h.22
[16] Muhammad Alcaff, op. Cit., h.155
[17] Ibid, h.157
[18] Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Saw, jilid I, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h.378
[19]Abdul Hamid Al-Khatib, Ketinggian Risalah Nabi Muhammad, jilid I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h.172
[20] Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I,(Jakarta: UI Press, 1985, cetakan ke lima), h.101
                [21] Dr. Muhammad Ilyas Abdul Ghani. 2003. Sejarah Kota Mekah Klasik dan Modern. Jakarta: Akbar. Hal: 2
[22] Muhammad Husain Haikal, op.cit., h.199-205
[23]Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), h.28-29
[24] Badri Yatim, op. cit., h.28
[25]Phillip K.Hitti, History of the Arabs, Pent.R.Cecep Lukman yasin, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2008), h. 147
[26] Ibid, h.147
[27] Phillip K.Hitti, History of the Arabs, Pent.R.Cecep Lukman yasin, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2008), h.148
[28] Ibid, h.149
                [29] Ibid, h.150

Tidak ada komentar:

Posting Komentar