Rabu, 25 Juni 2014

ISLAM POST TRADISIONALISME



A.  PENDAHULUAN

Ketika islam ada yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw, sesungguhnya sudah bersentuhan dengan agama dan budaya yang telah ada dan berlangsung berabad-abad. Seiring dengan berkembang dan majunya islam, sehingga islam pun yang dikelaim sebagai agama yang terahir, agama penyempurna masuk ke wilayah indonesia. Di Lombok misalnya sebelum islam masuk ke beberapa wilayah, budaya setempat sudah lama berperoses dan berlangsung cukup lama yang mengakibatkan asimilasi atau percampuaran ajaran antara budaya lama (hindu-budha) yang telah mapan dengan islam sebagi pendatang ajaran baru sehingga dkenal disalah satu wilayah dengan islam waktu telu (islam waktu tiga), kenapa dinamakan demikian menurut beberapa tokoh yang beberapa waktu dulu ketika saya datang untuk dakwah kami wawancarai mereka menjawab, bahwasanya islam waktu telu itu telah diajarkan oleh salah satu mubalig dari tanah jawa yang bernama sunan ampel, namun sebelum menuntaskan ajaran islam di wilayah itu sang sunan meninggalkannya sehingga dikelam itu sudah sempurna ajaran islam.[1] Dengan demikian terjadilah berbagai tafsiran diantara da’i waktu telu dengan islam lima yang kita kenal sekarang ini, akibatnya disana-sini terjadilah peroses saling menerima dan mengambil antara hindu-budha, dengan islam sehingga terbentuklah islam tradisional yaitu islam yang sudah bersentuhan dengan budaya lokal. Dari tradisioanal itu pula kemudian berkembang menjadi post tradisionalisme yaitu islam pasca tradisional.
Hidup terus berlangsung menjadi peroses yang tidak berujung sampai nanti kehidupan dibumi berakhir, saat ini disadari atau tidak, masa tradisional telah bergerak lebih jauh memasuki era baru yang kita kenal dengan post tradisional yang ditandai dengan perubahan pradigma diberbagai bidang kehidupan.
Berbicara tentang islam post tradisional lebih tepat  merupakan pergeseran falsafah hidup tradisional ke post tradisional. Dengan demikian, islam post tradisional menjadi teradisi sebagai basis epistimologinya yang ditrasformasikan secara meloncat, yakni pembentukan tradisi baru yang berakar pada tradisi miliknya dengan jangkauan yang sangat jauh untuk memperoleh etos progersif dalam transformasi dirinya.
Ketika istilah islam post tradisional bersentuhan dengan tradisi lokal indonesia maka, islam post radisionalisme diidentifikasi sebagai paham yang  pertama, sangat terikat dengan pemikiran ulama fiqih, hadits, tasauf, tafsir dan tauhid yang hidup antara abad ketujuh hingga abad ke tiga belas. Kedua, Sebagian mereka tinggal dipedesaan dengan pesantren sebagai basis pendidikannya, kemudian ketiga, mereka terikat dengan paham akhlu sunnah wal jamaah yang dipahami secara khusus.[2]
Dengan karakter demikian, islam post tradisionalisme menjadi sasaran keritik gerakan islam modernisme yang menolak sama sekali produk-produk intelektual yang menjadi landasan konstuksi post tradisionalisme sehingga sampai pada tahapan tertentu teradisioalisme klasik diinggalkan dan yang dominan adalah keterpesonaan terhadap berbagai aliran barat.[3]
Pada tahun 1990-an berkembang wancana pemikiran keislaman yang kembali menghargai khazanah pemikiran islam post tradisional,[4] yan mula-mula yang menjadi rujukan arus baru dinamika pemikiran keislaman yang diidentifikasi sebagai islam Neo modernisme yang berusaha mencari sintesis progersif dari rasionalitas modernis dengan tradisi islam klasik.
Mesikipun Neo Modernisme berusaha untuk memadukan modernisme dengan tradisionalisme, namun oleh kalangan tertentu dinilai gagal yang keluar dari hegemoni modernisme dan menjadikan tradisionalisme sekedar ornamen sejarah dan bukan spirit transformasi sosial. Dengan demikian lahirlah generasi baru tentang pemikiran islam yakni islam post tradisionalisme yang secara teoritik berusaha menjadikan unsur tradisional tidak sekedar sebagai ornamen sejarah tetapi, sebagi basis untuk melakukan transformasi sosial.[5]

B.  PEMBAHASAN
1.    Islam
Dalam Al-Qur’an, kata din dalam berbagai derivasinya disebut sebanyak 95 kali dalam 85 surat.[6] Kata Islam (Din) merupakan bentuk masdar (gerund) dari kata  دان- يا دين- اديا ن   (da-na, ya-dinu, - ad yaa na),[7] yang lazim diterjemahkan dengan agama.
Dari penyebutan sebanyak itu, kata din memiliki makna kontekstual yang berbeda-beda yang secara ringkas dapat di simpulkan sebagi berikut: Pertama, pada periode mekkah, kata din berarti pembalasan dan akherat atau pembalasan di akherat kelak. Makna ini diperkenalkan dan didakwahkan kepada masyarakat Arab yang mengalmi kemakmuran dan perdagangan yang aman.
Dimensi pertama islam adalah ketundukan, terdiri dari serangkaian aktifitas, seperti memberikan kesaksian, shalat dan puasa. Selanjutnya kami menilai bahwa islam juga memiliki makna lain. Dalam kontek ini, merujuk pada aktifitas yang harus dilakasanakan seorang muslim.[8]
Istilah islam dapat di maknai sebagai islam wahyu dan islam budaya. Islam wahyu meliputi Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi, baik hadits Nabawi maupn hadits Qudsi. Sementara itu islam budaya meliputi ungkapan shahabat Nabi, pemahaman ulama’, pemahaman cendekiawan muslim dan budaya umat islam.[9]
Analisis sejarah islam menunjukkan bahwa islam sendiri muncul sebagai agama revolusioner dan sejak itu pula telah bekerja sebagai suatu gerakan revolusioner yang berkesinambungan.[10] Dalam konteks historis kaum muslimin telah mencapai tingkat solidaritas sosial yang tinggi dalam kehidupam bermasyarakat sebagaimana yang diabadiakan dalam al-Qur’an. Hubungan egaliter antar kelompok masyarakat yang terbagi menjadi suku-suku terbangun setelah kehadiran islam di tengah jazirah arab.[11]
2.    Post Tradisionalisme
Sebenarnya ketika penulis dikasih tugas materi mengenai islam post tradisionalisme, saat itu pula penulis tau istilah yang namanya post tradisionalisme yang sebelumnya tidak pernah membaca, jangankan membaca mendengar istilah inipun baru kali ini, jadi sangat sulit sekali memahami definisi, refrensi istilah ini, namun saya mencoba mencari dan membaca berbagai literatur agar bisa memahami dan mengutip dan menjelaskan kompleksitas islam post tradisionalisme.
 Sebelum lebih jauh membahas tentang post tradisionalisme, penting kiranya kita memahami akar kata dari tradisionalisme ini. Kata tradisionalisme berasal dari kata latin yaitu tradere yang artinya menyerahkan, memberikan, dan meninggalkan.[12] Dari kat ini terbentuk kata benda traditio yang berarti penyerahan, pemberian, peninggalan, warisan tradisi. Kata tradito inilah yang menjadi asal istilah tradisionalisme. Jadi tradisionalisme adalah ajaran yang mementingkan tradisi yang diterima dari generasi-generasi sebelumnya sebagai pegangan hidup.[13] Tradisi dapat berasal dari peraktek hidup yang sudah berjalan lama yang disebut dengan tradisi kultural, dapat pula berasal dari keyakinan keagamaan yang berpangkal dari wahyu yang disebut sebagai tradisi keagamaan.
Tradisi bisa juga segala sesuatu yang hadir dan menyertai kekinian kita yang berasal dari masa lampau, baik itu masa lalu kita (muslim) maupun masa masa lalu orang non islam, tradisi ini mencakup: 1) tradisi manawi (al-turats al-maknawi), yang berupa tradisi pemikiran dan budaya; 2) tradisi material (al-turats al-madi), seperti monumen dan benda-benda masa lampau; 3) tradisi kebudayaan yaitu segala sesuatu yang kita miliki dari masa lalu kita; 4) dan tradisi kemanusiaan universal, yakni segala sesuatu yang hadir di tengah kita, namun berasal dari masa lalu orang lain.[14]
Adapun Tradisionalisme secara bahasa berarti paham (ajaran) yang berdasar kepada tradisi.[15] ajaran yang menekankan pelestarian dasar tradisi. Sehingga kita dapat menyimpulkan tradisionalisme sebagaimana yang telah disebutkan oleh Marzuki Wahid mendefinisiakan post tradisionalisme sebagi suatu gerakan melompat teradisi yang tidak lain adalah upaya pembaharuan budaya secara terus menerus dalam rangka dialog dengan modernitas, sehingga mengahsilkan tradisi baru (new tradition) yang sama sekali berbeda dengan tradisi sebelumnya.
 Islam tradisionalisme sebenarnya adalah suatu ajaran yang berpegang kepada Al-Qur’an, sunnah Nabi, ijmak yang diikuti oleh shahabat dan secara keyakinan telah dipraktekkan oleh komunitas muslim akhlu al ssunnah wal al jamaah. Dalam bahasa Fazlur Rahman, kelompok tradisional adalah mereka yang cendrung memahami syari’ah sebagaimana yang telah diperaktekkan oleh ulama’ terdahulu (shalaf). Sebagi gerakan yang berhasrat untuk melahirkan tradisi yang lahir dengan peroses yang panjang dan berakar pada pemikiran tempo dulu.
M. Muhsin Jamil mengatakan bahwa Islam Post tradisionalisme berpandangan bahwa sesungguhnya tidak mungkin melakukan rekontruksi pemikiran dan kebudayaan dari ruang sejarah yang kosong, artinya betapapun kita teramat bersemangat untuk melampaui Zaman yang sering disebut sebagai kemunduran umat Islam, kita mesti mengaku bahwa khazanah pemikiran dan kebudayaan yang kita miliki adalah kekayaan yang sangat berharga untuk dikembangkan sebagai entry point merumuskan tradisi baru.[16] Dengan demikian, islam post tradisionalisme menjadi sasaran keritik gerakan islam modernisme yang menolak sama sekali peroduk-produk intelektual yang menjadi landasan konstruksi tradisionalisme, sehingga sampai tahapan tertentu teradisi pemikiran klasik di tinggalkan dan yang dominan adalah keterpesonaan terhadap berbagai aliran.
3.    Kakarakter Dasar Post Tradisionalisme.
Post tradisionalisme diakui sebagai tradisi pemikiran islam yang khas Inonesia, khususnya dalam komunitas Nahdatul Ulama (NU). Dalam hal ini, dapat dinyatakan bahwa post tradisionalisme merupakan konstruk intelektualisme yang berpijak pada kebudayaan lokal Indonesia, bukan tekanan dari luar (peroyek asing) yang berintraksi dengan berbagai jenis elemen masyarakat.
Satu hal yang harus di catat bahwa gerakan intelektual isllam post tradisionalisme berangakat dari kesadaran untuk melakukan revitalisasi tradisi, yaitu sebuah upaya untuk menjadikan tradisi sebagi basis untuk melakukan trassformasi.[17] Sepirit utama yang senantiasa menggelora dalam setiap aktivitas intelektual komunitas post tradisionalisme adalah semangat untuk terus menerus.












C.  KESIMPULAN
Dari  pembahasan  diatas dapat disimpulkan bahwa dengan berjalannya waktu dan perkembangnya zaman, islampun mengalami perkembangan dengan munculnya gerakan-gerakan seperti Islam Post Tradionalisme, Post Modernisme dan Neo Modernisme Islam, Islam Liberal, Islam Kultural, menunjukkan adanya perkembangan  keberagaman dalam pemikiran para cendekiawan muslim baik yang tradisonal maupun modern atau kontemporer. Inilah dinamika dalam Islam yang harus disikapi dengan inklusif dan bijaksana.
Islam adalah ketundukan, terdiri dari serangkaian aktifitas, seperti memberikan kesaksian, shalat dan puasa.
Tradisionalisme adalah ajaran yang mementingkan tradisi yang diterima dari generasi-generasi sebelumnya sebagai pegangan hidup.
Islam Tradisionalisme sebenarnya adalah suatu ajaran yang berpegang kepada Al-Qur’an, sunnah Nabi, ijmak yang diikuti oleh shahabat dan secara keyakinan telah dipraktekkan oleh komunitas muslim akhlu al ssunnah wal al jamaah.
Post Tradisionalisme merupakan konstruk intelektualisme yang berpijak pada kebudayaan lokal Indonesia, bukan tekanan dari luar (peroyek asing) yang berintraksi dengan berbagai jenis elemen masyarakat.













DAFTAR RUJUKAN

A. Ezzatti, Gerakan Islam Sebuah Analisis, Jakarta: Pustaka Hidayah,1990.

A. Mangunhardjana, Isme-Isme Dalam Etika dari A Sampai Z, Jogjakarta: Kanisius, 1997.

Abdul Gafur, Waryono, Tafsir Sosial: Mendialogkan Teks dan Konteks, Yogyakarta: eLSAQ, 2005.

Abdurrahman, Muslem, Semarak Islam Semarak Demokrasi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.

Abed al-Jabiri, Muhammad, Post Tradisionalisme Islam, Yogyakarta: LkiS, 2000.

Bisri, Adib & Munawwir A. Fatah, Kamus Al-Bisri; Arab-Indonesia, Indonesia-Arab, Surabaya: Pustaka Progresif, 1999.

Darmawan, Hendro, Kamus Ilmiyah Populer Lengkap, Yogyakarta:Bintang Cemerlang, 2013.

Dhofir, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Kyai, Jakarta: LP3ES, 1982.

http//Albizia%20falcata%20%20DINAMIKA%20ISLAM%20KONTEMPORER.htm, diakses 12 Juni 2014.
http// Wacana%20Islam%20%20Post-Tradisionalisme%20Islam%20%20Wacana%20Intelektualisme%20dalam%20Komunitas%20NU.htm. diakses 12 Juni 2014.
Jamil, M. Muhsin, Pergulatan Islam Liberal Versus Islam Literal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Kamisa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2000.

Khamami Zada, Mencari Wajah Post Tradisionalisme Islam, Tashwirul Afkar, No. 9 (2000.

Kurnia, Nia dan Amelia Fauzia, Gerakan Modernisme, Dalam ed, Taufik Abdullah et al Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Asia Tenggara, Jilid 5, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003.

Murata, Sachiko & William C. Chittick, The Vision Of Islam, Penterjemah Suharsono, Yogyakarta: Suluh Press, 2005.

Qomar, Mujamil, Manajemen Pendidikan Islam, Strategi Baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam, Malang: Erlangga, 2007.

Rumadi, Post  Tradisionalisme  Islam: Wacana Intelektualisme dalam Komunitas NU, Jakarta: Ditjen Diktis, 2007.
Supriadi, Eko, Sosialisme Islam Pemikiran Ali Syari’ati, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2003.

Wawancara dengan Raden Suandi, kamis 13 juni 2014 M.




[1] Wawancara dengan Raden Suandi, kamis 13 juni 2014 M.
[2] Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 1.
[3] Nia Kurnia dan Amelia Fauzia, Gerakan Modernisme, Dalam ed, Taufik Abdullah et al Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Asia Tenggara, Jilid 5, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), hlm. 349.
[4] Rumadi, Post  Tradisionalisme  Islam: Wacana Intelektualisme dalam Komunitas NU, (Jakarta: Ditjen Diktis, 2007), hlm.14.
[5] Khamami Zada, Mencari Wajah Post Tradisionalisme Islam, Tashwirul Afkar, No. 9 (2000), hlm. 2-5.
[6] Abdul Gafur, Waryono, Tafsir Sosial: Mendialogkan Teks dan Konteks, (Yogyakarta: eLSAQ, 2005), hlm. 6.
[7] Adib Bisri & Munawwir A. Fatah, Kamus Al-Bisri; Arab-Indonesia, Indonesia-Arab, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1999), hlm. 215.
[8] Sachiko Murata & William C. Chittick, The Vision Of Islam, Penterjemah Suharsono, (Yogyakarta: Suluh Press, 2005), hlm. Xxxv.
[9] Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, Strategi Baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam, (Malang: Erlangga, 2007), hlm. 15.
[10] A. Ezzatti, Gerakan Islam Sebuah Analisis, (Jakarta: Pustaka Hidayah,1990), hlm. 11.
[11] Eko Supriadi, Sosialisme Islam Pemikiran Ali Syari’ati, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2003), hlm. 101
[12] A. Mangunhardjana, Isme-Isme Dalam Etika dari A Sampai Z, (Jogjakarta: Kanisius, 1997), hlm. 220.
[13] Kamisa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), hlm. 745.
[14] Muhammad Abed al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, (Yogyakarta: LkiS, 2000), hlm. 24.
[15] Hendro Darmawan, Kamus Ilmiyah Populer Lengkap, (Yogyakarta:Bintang Cemerlang, 2013), hlm. 723.
[16] M. Muhsin Jamil, Pergulatan Islam Liberal Versus Islam Literal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 123.
[17] Muslem Abdurrahman, Semarak Islam Semarak Demokrasi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), hlm. 67.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar