A. PENDAHULUAN
Ketika islam ada yang dibawa oleh Nabi
Muhammad Saw, sesungguhnya sudah bersentuhan dengan agama dan budaya yang telah
ada dan berlangsung berabad-abad. Seiring dengan berkembang dan majunya islam,
sehingga islam pun yang dikelaim sebagai agama yang terahir, agama penyempurna
masuk ke wilayah indonesia. Di Lombok misalnya sebelum islam masuk ke beberapa
wilayah, budaya setempat sudah lama berperoses dan berlangsung cukup lama yang
mengakibatkan asimilasi atau percampuaran ajaran antara budaya lama
(hindu-budha) yang telah mapan dengan islam sebagi pendatang ajaran baru
sehingga dkenal disalah satu wilayah dengan islam waktu telu (islam waktu
tiga), kenapa dinamakan demikian menurut beberapa tokoh yang beberapa waktu
dulu ketika saya datang untuk dakwah kami wawancarai mereka menjawab,
bahwasanya islam waktu telu itu telah diajarkan oleh salah satu mubalig dari
tanah jawa yang bernama sunan ampel, namun sebelum menuntaskan ajaran islam di
wilayah itu sang sunan meninggalkannya sehingga dikelam itu sudah sempurna ajaran
islam.[1]
Dengan demikian terjadilah berbagai tafsiran diantara da’i waktu telu dengan
islam lima yang kita kenal sekarang ini, akibatnya disana-sini terjadilah
peroses saling menerima dan mengambil antara hindu-budha, dengan islam sehingga
terbentuklah islam tradisional yaitu islam yang sudah bersentuhan dengan budaya
lokal. Dari tradisioanal itu pula kemudian berkembang menjadi post
tradisionalisme yaitu islam pasca tradisional.
Hidup terus berlangsung menjadi peroses yang
tidak berujung sampai nanti kehidupan dibumi berakhir, saat ini disadari atau
tidak, masa tradisional telah bergerak lebih jauh memasuki era baru yang kita
kenal dengan post tradisional yang ditandai dengan perubahan pradigma
diberbagai bidang kehidupan.
Berbicara tentang islam post tradisional lebih
tepat merupakan pergeseran falsafah
hidup tradisional ke post tradisional. Dengan demikian, islam post tradisional
menjadi teradisi sebagai basis epistimologinya yang ditrasformasikan secara
meloncat, yakni pembentukan tradisi baru yang berakar pada tradisi miliknya
dengan jangkauan yang sangat jauh untuk memperoleh etos progersif dalam
transformasi dirinya.
Ketika istilah islam post tradisional
bersentuhan dengan tradisi lokal indonesia maka, islam post radisionalisme
diidentifikasi sebagai paham yang pertama,
sangat terikat dengan pemikiran ulama fiqih, hadits, tasauf, tafsir dan tauhid
yang hidup antara abad ketujuh hingga abad ke tiga belas. Kedua, Sebagian
mereka tinggal dipedesaan dengan pesantren sebagai basis pendidikannya,
kemudian ketiga, mereka terikat dengan paham akhlu sunnah wal jamaah
yang dipahami secara khusus.[2]
Dengan karakter demikian, islam post
tradisionalisme menjadi sasaran keritik gerakan islam modernisme yang menolak
sama sekali produk-produk intelektual yang menjadi landasan konstuksi post
tradisionalisme sehingga sampai pada tahapan tertentu teradisioalisme klasik
diinggalkan dan yang dominan adalah keterpesonaan terhadap berbagai aliran
barat.[3]
Pada tahun 1990-an berkembang wancana
pemikiran keislaman yang kembali menghargai khazanah pemikiran islam post
tradisional,[4]
yan mula-mula yang menjadi rujukan arus baru dinamika pemikiran keislaman yang
diidentifikasi sebagai islam Neo modernisme yang berusaha mencari sintesis
progersif dari rasionalitas modernis dengan tradisi islam klasik.
Mesikipun Neo Modernisme berusaha untuk
memadukan modernisme dengan tradisionalisme, namun oleh kalangan tertentu
dinilai gagal yang keluar dari hegemoni modernisme dan menjadikan
tradisionalisme sekedar ornamen sejarah dan bukan spirit transformasi sosial.
Dengan demikian lahirlah generasi baru tentang pemikiran islam yakni islam post
tradisionalisme yang secara teoritik berusaha menjadikan unsur tradisional
tidak sekedar sebagai ornamen sejarah tetapi, sebagi basis untuk melakukan
transformasi sosial.[5]
B. PEMBAHASAN
1.
Islam
Dalam Al-Qur’an, kata din dalam
berbagai derivasinya disebut sebanyak 95 kali dalam 85 surat.[6]
Kata Islam (Din) merupakan bentuk masdar (gerund) dari kata دان- يا دين- اديا ن (da-na,
ya-dinu, - ad yaa na),[7]
yang lazim diterjemahkan dengan agama.
Dari penyebutan sebanyak itu, kata
din memiliki makna kontekstual yang berbeda-beda yang secara ringkas dapat di
simpulkan sebagi berikut: Pertama, pada periode mekkah, kata din berarti
pembalasan dan akherat atau pembalasan di akherat kelak. Makna ini
diperkenalkan dan didakwahkan kepada masyarakat Arab yang mengalmi kemakmuran
dan perdagangan yang aman.
Dimensi pertama islam adalah
ketundukan, terdiri dari serangkaian aktifitas, seperti memberikan kesaksian,
shalat dan puasa. Selanjutnya kami menilai bahwa islam juga memiliki makna
lain. Dalam kontek ini, merujuk pada aktifitas yang harus dilakasanakan seorang
muslim.[8]
Istilah islam
dapat di maknai sebagai islam wahyu dan islam budaya. Islam wahyu meliputi
Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi, baik hadits Nabawi maupn hadits Qudsi.
Sementara itu islam budaya meliputi ungkapan shahabat Nabi, pemahaman ulama’,
pemahaman cendekiawan muslim dan budaya umat islam.[9]
Analisis
sejarah islam menunjukkan bahwa islam sendiri muncul sebagai agama revolusioner
dan sejak itu pula telah bekerja sebagai suatu gerakan revolusioner yang
berkesinambungan.[10]
Dalam konteks historis kaum muslimin telah mencapai tingkat solidaritas sosial
yang tinggi dalam kehidupam bermasyarakat sebagaimana yang diabadiakan dalam
al-Qur’an. Hubungan egaliter antar kelompok masyarakat yang terbagi menjadi
suku-suku terbangun setelah kehadiran islam di tengah jazirah arab.[11]
2. Post Tradisionalisme
Sebenarnya ketika penulis dikasih tugas materi mengenai
islam post tradisionalisme, saat itu pula penulis tau istilah yang namanya post
tradisionalisme yang sebelumnya tidak pernah membaca, jangankan membaca
mendengar istilah inipun baru kali ini, jadi sangat sulit sekali memahami
definisi, refrensi istilah ini, namun saya mencoba mencari dan membaca berbagai
literatur agar bisa memahami dan mengutip dan menjelaskan kompleksitas islam
post tradisionalisme.
Sebelum lebih jauh
membahas tentang post tradisionalisme, penting kiranya kita memahami akar kata
dari tradisionalisme ini. Kata tradisionalisme berasal dari kata latin yaitu tradere
yang artinya menyerahkan, memberikan, dan meninggalkan.[12]
Dari kat ini terbentuk kata benda traditio yang berarti penyerahan,
pemberian, peninggalan, warisan tradisi. Kata tradito inilah yang
menjadi asal istilah tradisionalisme. Jadi tradisionalisme adalah ajaran yang
mementingkan tradisi yang diterima dari generasi-generasi sebelumnya sebagai
pegangan hidup.[13]
Tradisi dapat berasal dari peraktek hidup yang sudah berjalan lama yang disebut
dengan tradisi kultural, dapat pula berasal dari keyakinan keagamaan yang
berpangkal dari wahyu yang disebut sebagai tradisi keagamaan.
Tradisi bisa juga segala sesuatu yang hadir dan menyertai
kekinian kita yang berasal dari masa lampau, baik itu masa lalu kita (muslim)
maupun masa masa lalu orang non islam, tradisi ini mencakup: 1) tradisi manawi
(al-turats al-maknawi), yang berupa tradisi pemikiran dan budaya; 2)
tradisi material (al-turats al-madi), seperti monumen dan benda-benda
masa lampau; 3) tradisi kebudayaan yaitu segala sesuatu yang kita miliki dari
masa lalu kita; 4) dan tradisi kemanusiaan universal, yakni segala sesuatu yang
hadir di tengah kita, namun berasal dari masa lalu orang lain.[14]
Adapun Tradisionalisme secara bahasa berarti paham
(ajaran) yang berdasar kepada tradisi.[15]
ajaran yang menekankan pelestarian dasar tradisi. Sehingga kita dapat
menyimpulkan tradisionalisme sebagaimana yang telah disebutkan oleh Marzuki
Wahid mendefinisiakan post tradisionalisme sebagi suatu gerakan melompat
teradisi yang tidak lain adalah upaya pembaharuan budaya secara terus menerus
dalam rangka dialog dengan modernitas, sehingga mengahsilkan tradisi baru (new
tradition) yang sama sekali berbeda dengan tradisi sebelumnya.
Islam
tradisionalisme sebenarnya adalah suatu ajaran yang berpegang kepada Al-Qur’an,
sunnah Nabi, ijmak yang diikuti oleh shahabat dan secara keyakinan telah
dipraktekkan oleh komunitas muslim akhlu al ssunnah wal al jamaah. Dalam
bahasa Fazlur Rahman, kelompok tradisional adalah mereka yang cendrung memahami
syari’ah sebagaimana yang telah diperaktekkan oleh ulama’ terdahulu (shalaf).
Sebagi gerakan yang berhasrat untuk melahirkan tradisi yang lahir dengan
peroses yang panjang dan berakar pada pemikiran tempo dulu.
M. Muhsin Jamil mengatakan bahwa Islam Post
tradisionalisme berpandangan bahwa sesungguhnya tidak mungkin melakukan
rekontruksi pemikiran dan kebudayaan dari ruang sejarah yang kosong, artinya
betapapun kita teramat bersemangat untuk melampaui Zaman yang sering disebut sebagai
kemunduran umat Islam, kita mesti mengaku bahwa khazanah pemikiran dan
kebudayaan yang kita miliki adalah kekayaan yang sangat berharga untuk
dikembangkan sebagai entry point merumuskan tradisi baru.[16] Dengan
demikian, islam post tradisionalisme menjadi sasaran keritik gerakan islam
modernisme yang menolak sama sekali peroduk-produk intelektual yang menjadi
landasan konstruksi tradisionalisme, sehingga sampai tahapan tertentu teradisi
pemikiran klasik di tinggalkan dan yang dominan adalah keterpesonaan terhadap
berbagai aliran.
3.
Kakarakter Dasar Post Tradisionalisme.
Post tradisionalisme diakui sebagai tradisi
pemikiran islam yang khas Inonesia, khususnya dalam komunitas Nahdatul Ulama
(NU). Dalam hal ini, dapat dinyatakan bahwa post tradisionalisme merupakan
konstruk intelektualisme yang berpijak pada kebudayaan lokal Indonesia, bukan
tekanan dari luar (peroyek asing) yang berintraksi dengan berbagai jenis elemen
masyarakat.
Satu hal yang harus di catat bahwa gerakan
intelektual isllam post tradisionalisme berangakat dari kesadaran untuk
melakukan revitalisasi tradisi, yaitu sebuah upaya untuk menjadikan tradisi
sebagi basis untuk melakukan trassformasi.[17]
Sepirit utama yang senantiasa menggelora dalam setiap aktivitas intelektual
komunitas post tradisionalisme adalah semangat untuk terus menerus.
C. KESIMPULAN
Dari
pembahasan diatas dapat
disimpulkan bahwa dengan berjalannya waktu dan perkembangnya zaman, islampun
mengalami perkembangan dengan munculnya gerakan-gerakan seperti
Islam Post Tradionalisme, Post Modernisme dan Neo Modernisme Islam, Islam
Liberal, Islam Kultural, menunjukkan adanya perkembangan keberagaman dalam pemikiran para cendekiawan
muslim baik yang tradisonal maupun modern atau kontemporer.
Inilah dinamika dalam Islam yang harus disikapi dengan inklusif dan bijaksana.
Islam adalah ketundukan, terdiri
dari serangkaian aktifitas, seperti memberikan kesaksian, shalat dan puasa.
Tradisionalisme adalah ajaran yang mementingkan tradisi
yang diterima dari generasi-generasi sebelumnya sebagai pegangan hidup.
Islam Tradisionalisme sebenarnya adalah suatu ajaran yang
berpegang kepada Al-Qur’an, sunnah Nabi, ijmak yang diikuti oleh shahabat dan
secara keyakinan telah dipraktekkan oleh komunitas muslim akhlu al ssunnah
wal al jamaah.
Post Tradisionalisme merupakan konstruk intelektualisme
yang berpijak pada kebudayaan lokal Indonesia, bukan tekanan dari luar (peroyek
asing) yang berintraksi dengan berbagai jenis elemen masyarakat.
DAFTAR RUJUKAN
A. Ezzatti, Gerakan Islam Sebuah Analisis,
Jakarta: Pustaka Hidayah,1990.
A. Mangunhardjana, Isme-Isme Dalam Etika
dari A Sampai Z, Jogjakarta: Kanisius, 1997.
Abdul Gafur, Waryono, Tafsir Sosial: Mendialogkan Teks dan
Konteks, Yogyakarta: eLSAQ, 2005.
Abdurrahman, Muslem, Semarak Islam Semarak
Demokrasi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.
Abed al-Jabiri, Muhammad, Post
Tradisionalisme Islam, Yogyakarta: LkiS, 2000.
Bisri, Adib &
Munawwir A. Fatah, Kamus Al-Bisri; Arab-Indonesia, Indonesia-Arab,
Surabaya: Pustaka Progresif, 1999.
Darmawan, Hendro, Kamus Ilmiyah Populer
Lengkap, Yogyakarta:Bintang Cemerlang, 2013.
Dhofir, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren:
Studi Tentang Pandangan Kyai, Jakarta: LP3ES, 1982.
http//Albizia%20falcata%20%20DINAMIKA%20ISLAM%20KONTEMPORER.htm, diakses 12
Juni 2014.
http// Wacana%20Islam%20%20Post-Tradisionalisme%20Islam%20%20Wacana%20Intelektualisme%20dalam%20Komunitas%20NU.htm.
diakses 12 Juni 2014.
Jamil, M. Muhsin, Pergulatan Islam Liberal
Versus Islam Literal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Kamisa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 2000.
Khamami Zada, Mencari Wajah Post Tradisionalisme Islam, Tashwirul
Afkar, No. 9 (2000.
Kurnia, Nia dan Amelia Fauzia, Gerakan
Modernisme, Dalam ed, Taufik Abdullah et al Ensiklopedi Tematis Dunia
Islam Asia Tenggara, Jilid 5, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003.
Murata, Sachiko & William C. Chittick, The
Vision Of Islam, Penterjemah Suharsono, Yogyakarta: Suluh Press, 2005.
Qomar, Mujamil, Manajemen Pendidikan Islam,
Strategi Baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam, Malang: Erlangga, 2007.
Rumadi, Post
Tradisionalisme Islam: Wacana Intelektualisme
dalam Komunitas NU, Jakarta: Ditjen Diktis, 2007.
Supriadi, Eko, Sosialisme Islam Pemikiran
Ali Syari’ati, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2003.
Wawancara dengan Raden Suandi, kamis 13 juni
2014 M.
[2] Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Kyai,
(Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 1.
[3] Nia Kurnia dan Amelia Fauzia, Gerakan Modernisme, Dalam ed, Taufik
Abdullah et al Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Asia Tenggara, Jilid 5,
(Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), hlm. 349.
[4] Rumadi, Post
Tradisionalisme Islam: Wacana Intelektualisme dalam Komunitas NU, (Jakarta: Ditjen Diktis, 2007), hlm.14.
[5] Khamami Zada, Mencari
Wajah Post Tradisionalisme Islam, Tashwirul Afkar, No. 9 (2000), hlm. 2-5.
[6] Abdul Gafur,
Waryono, Tafsir Sosial: Mendialogkan Teks dan Konteks, (Yogyakarta:
eLSAQ, 2005), hlm. 6.
[7] Adib Bisri
& Munawwir A. Fatah, Kamus Al-Bisri; Arab-Indonesia,
Indonesia-Arab, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1999), hlm. 215.
[8] Sachiko Murata & William C. Chittick, The Vision Of Islam, Penterjemah
Suharsono, (Yogyakarta: Suluh Press, 2005), hlm. Xxxv.
[9] Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, Strategi Baru Pengelolaan
Lembaga Pendidikan Islam, (Malang: Erlangga, 2007), hlm. 15.
[11] Eko Supriadi, Sosialisme Islam Pemikiran Ali Syari’ati, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar,2003), hlm. 101
[12] A. Mangunhardjana, Isme-Isme Dalam Etika dari A Sampai Z,
(Jogjakarta: Kanisius, 1997), hlm. 220.
[15] Hendro Darmawan, Kamus Ilmiyah Populer Lengkap, (Yogyakarta:Bintang
Cemerlang, 2013), hlm. 723.
[16] M. Muhsin Jamil, Pergulatan Islam Liberal Versus Islam Literal,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 123.
[17] Muslem Abdurrahman, Semarak Islam Semarak Demokrasi, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1996), hlm. 67.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar