BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah penulisan Hadits sering kali menjadi bahan
kontroversi di kalangan sebagian kaum muslim. Ada sebagian yang menolak untuk
menerima otentisitas Hadits Nabi lantaran mereka berargumen bahwa Hadits Nabi
ditulis dan dibukukan dua abad sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW, suatu
rentang waktu yang agak lama berlalu sehingga dapat menyebabkan timbulnya
perubahan dan pergeseran lafazh serta makna Hadits yang bersangkutan.
Mereka ini beranggapan hanya berdasarkan asumsi rasional semata dan tidak
melihat serta meneliti berbagai argumen yang bisa diterima oleh syari’at Islam
serta tidak mengkaji serta menelaah sejarah penulisan dan pembukuan
dengan benar. Sementara di sisi yang lain ada sebagian kaum yang secara tekstual menerima
begitu saja Hadits Nabi tanpa mempedulikan kesahihan dan ketidaksahihannya. Pada makalah
ini penulis mencoba berusaha secara ringkas untuk mengemukakan penjelasan yang
benar tentang penulisan dan pembukuan Hadits Nabi sejak mulai abad ke 2 H
sampai dengan abad ke 7 H hingga sekarang.
Para ulama
tidak sependapat dalam
menyusun sejarah pertumbuhan
dan perkembangan hadits Nabi SAW.
Ada yang membaginya pada tiga periode saja, yaitu masa Rasulullah SAW, Shahabat dan Tabi’in, masa
pentadwinan dan masa setelah tadwin.[1]
Sejarah dan Periodesasi penghimpunan Hadits
mengalami masa yang lebih panjang dibandingkan dengan dialami oleh Al-Quran,
yang hanya memerlukan waktu relatife pendek, yaitu sekitar 15 tahun saja. Penghimpunan
dan penulisan (tadwin) Hadits memerlukan waktu sekitar tiga abad.Yang dimaksud
dengan Periodisasi penghimpunan Hadits disini adalah fase-fase yang telah
ditempuh dan dialami dalam sejarah pembinaan dan perkembangan Hadits, sejak Rasulullah
SAW masih hidup sampai terwujudnya kitab-kitab yang dapat disaksikan dewasa
ini.
Penyusunan kitab
Hadits atau penulisan Hadits di dalam sebuah kitab belum terjadi pada masa Rasulullah
SAW dan demikian juga belum ada pada masa Shahabat. Pada masa Rasulullah SAW
memang ada riwayat yang berasal dari Nabi yang membolehkan untuk menuliskan Hadits, namun penulisan
Hadits pada masa Rasulullah SAW masih dilakukan oleh orang perorang yang sifatnya pribadi
dan tertentu pada orang-orang yang membutuhkan menuliskannya atau diizinkan
oleh Rasulullah SAW untuk menulisnnya.
Penulisan Hadits
pada masa Rasulullah SAW dan demikian juga pada masa Shahabat belumlah bersifat resmi.
Para Shahabat
di masa pemerintahan Khulafa' al-Rasyidin, pada umumnya, menahan diri dari
melakukan penulisan Hadits. Hal tersebut karena adanya larangan Rasulullah SAW untuk menulis Hadits-Hadits beliau.
Namun demikian, di samping adanya larangan, di sisi lain Rasulullah SAW juga
memberi peluang kepada para Shahabat untuk menuliskan Hadits-hadits beliau. Hal tersebut
mengakibatkan terjadinya kontroversi dalam hal penulisan Hadits antara adanya
larangan dan kebolehan dalam menuliskan Hadits.
Haditst adalah
Segala ucapan perbuatan dan perilaku Rasulullah SAW.[2] yang merupakan salah satu pedoman hidup umat islam
dimana kedudukan hadits disini adalah sebagai sumber hukum islam yang ke 2 (dua) setelah al-Quran. Didalam ilmu
hadits pun terdapat pula sejarah dan perkembangan hadits pada masa prapembukuan
(kodifikasi). Mudah-mudahan dengan
mengetahui sejarah pembukuan
hadits kita menjadi bijak dan arif dalam menghadapi zaman yang serba instan dan
bisa membawa misi islam Rahmatan lil’alamin.
Dari latar
belakang sejarah perkembangan
hadits yang dikemukakan banyak ulama tersebut, dari awal
kedatangan agama islam periode Rasulullah SAW sampai sekarang, penulis akan mencoba membahas sejarah
pembukuan Hadits Nabi SAW dengan rumusan masalah sebagai berikut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah
dan kondisi Hadits Nabi
SAW sebelum dibukukan dan sesudahnya serta Bagaimana penyelesaian larangan
tentang pembukuan hadits Nabi SAW ?
2. Bagaimana
perkembangan Hadits pada masa Shahabat, Tabi’in
sampai terhimpunnya
Kutub As-Sittah?
3. Bagaimana Pengaruh Hadits Nabi SAW, dalam perkembangan fiqh?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk
memahami perkembangan Hadits pada masa Nabi SAW dan Untuk
memahami hikmah larangan penulisan Hadits Nabi SAW
2. Untuk
memahami perkembangan Hadits pada masa shahabat, Tabi’in sampai
tersusunnya kutub As- Sittah
3. Memahami Pengaruh hadits Nabi SAW terhadap perkembangan fiqh.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kondisi Hadits Nabi SAW Sebelum di Bukukan.
1.
Hadits Nabi
SAW Sebelum di Bukukan.
Kondisi awal sejarah dan perkembangan Hadits yaitu pada
masa Nabi SAW, masa ini hanya 23 tahun dimulai pada tahun 13 sebelum hijriyah
atau bertepatan pada tahun 610 M sampai
pada tahun 11 H atau 623 M.
Pada
masa tersebut Hadits itu diterima hanya dengan mengandalkan hafalan dari para shahabat-shahabat
Nabi SAW serta pada masa tersebut para shahabat
belum ada pemikiran secara besar-besaran untuk melakukan penulisan terhadap Hadits
Nabi SAW ini
mengingat pada masa tersebut Rasulullah SAW masih sangat mudah untuk dihubungi
dan dimintai keterangan-keterangan tentang segala hal yang berhubungan dengan
ibadah dan muamalah keseharian umat Islam. pada masa inilah Hadits lahir berupa aqwali, afal dan taqrir Nabi SAW yang berfungsi untuk
menerangkan Al-Qur’an dalam rangka menerangkan syariat dan membentuk mayarakat
Islam.[3]
Munculnya Hadits
itu mengalami proses yang memiliki keterkaitan dengan beberapa hal, yang
meliputi: Pertama, peristiwa tersebut
terjadi dihadapan Nabi, yang kemudian Nabi menjelaskan hukumnya dan menyebar
luaskan kepda kaum muslimin. Kedua,
peristiwa yang terjadi dikalangan umat Islam yang kemudian ditannyakan kepada Rasulullah
SAW, baik kejadian yang menimpa pada diri orang baik itu secara langsung maupun peristiwa yang terjadi padaorang lain.
Ketiga, kejadian-kejadian yang
disaksikan shahabat, mengenai apa yang diperbuat oleh Rasulullah SAW, kemudian shahabat
itu menanyakannya dan kemudian Nabi SAW menjelaskannya. [4]
Dari
sebab-sebab munculnya Hadits tersebut tergambar bahwa konteks munculnya Hadits Rasulullah
SAW itu dapat dilihat dari tiga sisi: Pertama,
Hadits muncul dalam kepentingan menafsirkan ayat al-Qur’an yang masih bersifat
umum. Kedua,
Hadits muncul dalam konteks memperkuat dan menetapkan hukum-hukum yang telah ada di dalam al-Qur’an. Ketiga, kemunculan Hadits dikarenakan
adanya suatu
persoalan atau peristiwa yang terjadi yang mengharuskan untuk di jawab
sementara belum ditemukan jawabanya dalam nash al-Qur’an.[5]
Perbuatan, ucapan, tutur kata dan gerak-gerik Nabi SAW, menjadi
perhatian tersendiri bagi para shahabat dan kaum muslimin waktu itu, kesemuanya
itu dijadikan suatu pedoman hidup atau dijadikan suatu aturan-aturan dalam
kebiasan sehari-hari. kebanyakan shahabat untuk menguasai Hadits Nabi SAW,
melalui hafalan tidak melalui tulisan, karena difokuskan untuk mengumpulkan
al-Quran dan dikhawatirkan apabila Hadits ditulis maka timbul kesamaran dengan
al-Quran,[6]
kecuali bagi mereka yang kurang kuat hapalannya atau memiliki kecakapan tulis
menulis tidak ada kekahawatiran tercampur antara keduanya, maka diperbolehkan
menulis Hadits. Penulisan Hadits disini berfungsi untuk membantu hapalan
mereka.[7]
Ada beberapa cara penyampaian
Hadits yang disampaikan oleh Nabi SAW:
a.
Melalui para jamaah pada pusat pembinannya yang
disebut majlis ilmi.
b.
Dalam banyak kesempatan Rasulullah SAW juga menyampaikan Haditstnya melalui para shahabat tertentu, yang kemudian oleh para shahabat tersebut disampaikannya kepada orang
lain. hal ini karena terkadang ketika ia mewurudkan suatu Hadits, para shahabat yang hadir hanya beberapa orang saja.
baik karena disengaja oleh Rasulullah SAW sendiri atau secara kebetulan para shahabat yang hadir hanya beberapa orang saja,
bahkan hanya satu orang.
c.
Melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka,
seperti ketika haji wada’ dan fathu makkah.
d.
Melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh
para shahabatnya
(jalan musya’hadah), seperti yang berkaitan dengan praktek-praktek ibadah dan
muamalah.
e.
Para shahabat
yang mengemukakan masalah secara langsung atau bertanya dan berdialog kepada
Nabi SAW.
Kebiasaan para shahabat dalam menerima Hadits yakni bertanya langsung kepada Nabi SAW.
Contoh dalam
problematika yang dihadapi oleh mereka, Seperti masalah hukum syara’ dan
teologi. Diriwayatkan oleh imam Bukhari dari ‘Uqbah bin al-Harits tentang
masalah pernikahan satu saudara karena
radla’ (sepersusuan). Tapi perlu diketahui, tidak selamanya para shahabat
bertanya langsung. Apa bila masalah biologis dan rumah tangga, mereka bertanya
kepada istri-istri beliau melalui utusan istri mereka, seperti masalah suami
mencium istrinya dalam keadaan puasa.[8]
Setiap shahabat
mempunyai kedudukan tersendiri
dihadapan Rasulullah SAW.
Adakalanya yang disebut dengan “Ash-Shabiqunn Al-Awwaluun” yakni para shahabat yang
pertama-tama masuk Islam, seperti Abu Bakar As-Sidiq, Umar Bin
Khattab, Usman Bian Affan, Ali Bin Abu Thalib, Abdullah Ibnu Mas’ud dan Abdurrahman Bin Auf, RA. Ada juga shahabat yang
sungguh-sungguh menghafal hadits Rasulullah
SAW, misalnya Abu Hurairah. Ada juga shahabat yang usianya lebih panjang dari shahabat
lain, sehingga mereka lebih banyak menghafalkan Hadits, seperi Anas bin Malik,
Abdullah bin Abbas. Demikian juga ada shahabat yang mempunyai hubungan erat dengan Nabi SAW,
seperti istri-istrinya. Semakin erat dan lama bergaul semakin banyak pula Hadits
yang diriwayatkan dan kebenarannya tidak diragukan.[9]
Namun demikian, para
shahabat juga adalah manusia
biasa, harus mengurus rumah
tangga, bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, maka tidak setiap kali
lahir sebuah hadits disaksikan langsung oleh seluruh shahabat. Sehingga
sebagian shahabat menerima Hadits dari shahabat lain yang mendengar langsung ucapan
Nabi atau melihat langsung tindakannya. Apalagi shahabat yang berdomisili di daerah
yang jauh dari Madinah seringkali hanya memperoleh hadits dari sesama shahabat.[10]
Rasulullah SAW membina umatnya
selama 23 tahun. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan sekaligus adanya Hadits. Keadaan ini sangat
menuntut keseriusan dan kehati-hatian para shahabat sebagai pewaris pertama
ajaran Islam.
2.
Larangan
Tentang Pembukuan Hadits Nabi SAW.
Hadits pada zaman Nabi
Muhammad SAW belum ditulis secara umum sebagaimana al-Qur’an. Hal ini disebabkan oleh dua faktor ;
a. Para shahabat
mengandalkan kekuatan hafalan dan kecerdasan otaknya, disamping alat-alat tulis
masih kurang.
b. Karena
adanya larangan menulis hadits Nabi.
Dalam shaih muslim disebutkan yang di riwayatkan oleh Abu sa’id al-khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda:
حَدَّثَنَا هَدَّابُ بْنُ خَالِدٍ الْأَزْدِيُّ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ
زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَكْتُبُوا
عَنِّي وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ وَحَدِّثُوا عَنِّي
وَلَا حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ قَالَ هَمَّامٌ أَحْسِبُهُ قَالَ مُتَعَمِّدًا
فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
Janganlah
menulis sesuatu dariku selain al-Qua’an, dan barang siapa yang menulis dariku
hendaklah ia menghapusnya Ceritakan saja yang kalian terima dariku,
tidak mengapa. Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia
menduduki tempat duduknya dari neraka.” (HR Muslim 5326).[11]
Larangan tersebut
disebabkan karena adanya kekawatiran bercampur aduknya hadits dengan al-Qur’an,
atau mereka bisa melalaikan al-Qur’an, atau larangan khusus bagi orang yang
dipercaya hafalannya.
Kesimpulan larangan penulisan hadits diantaranya:
a.
Al-Qur’an masih
turun kepada Nabi Muhammad SAW dan kondisi penulisannya masih sangat sederhana
ditulis di atas pelepah kurma, kulit, tulang binatang, dan batu-batuan dan
belum dibukukan.
b.
Kemampuan
tulis menulis bagi para shahabat pada awal Islam masih sangat langka yang dapat
dihitung dengan jari dan mereka sudah difungsikan sebagai penulis Al-Qur’an.
c.
Ingatan
orang-orang Arab yang dikenal bersifat ummi (tidak bisa baca tulis)
sangat kuat dan diandalkan Rasulullah SAW untuk mengingat Hadits.[12]
Disamping Rasulullah SAW
melarang menulis hadits, beliau juga memerintahkan kepada beberapa orang shahabat
tertentu untuk menulis hadits. Misalnya hadits Abdullah
ibn Amr ibn Al-Ash, Rasulullah SAW bersabda:
أُكْتُبْ عنِّي فوالذِّي
نَفْسِيْ مَا خَرَجَ مِنْ فَمِي إِلَّا حَقٌّ (رواه ابو داود عن ابن عمر)
Tulislah!,
demi Dzat yang diriku didalam kekuasaan-Nya, tidak keluar dariku kecuali yang
hak”.(Riwayat Abu Dawud dari ibn Umar).[13]
Dengan melihat dua hadits yang kelihatannya terjadi kontradiksi, seperti
hadits dari Abu Sa’id Al-Hudri di satu pihak, dengan hadits dari Abdullah ibn
Amr ibn Al-Ash. Diantara mereka ada yang menggugurkan salah satunya, seperti
dengan jalan nasikh dan mansukh dan ada yang berkompromi keduanya
sehingga keduanya tetap digunakan (ma’mul)
dengan alasan:
a.
Bahwa larangan menulis haditst itu bersifat umum, sedang
perizinan menulisnya bersifat khusus bagi orang yang memiliki keahlian tulis
menulis. Hingga terjaga dari kekeliruan dalam menulisnya, dan tidak akan
dikhawatirkan salah seperti Abdullah bin Amr bin Ash.
b. Bahwa
larangan menulis Haditst ditujukan pada orang yang kuat hafalannya dari pada
menulis, sedangkan perizinan menulisnya diberikan kepada orang yang tidak kuat
hafalannya.[14]
Tetapi bagi orang yang tidak lagi dikawatirkan akn
hafalannya, seperti yang pandai baca tulis, atau mereka kawatir akan lupa, maka
penulisan Hadits bagi shahabat tertentu
diperbolehkan, seperti peristiwa Abu Syah shahabat yang meminta di tuliskan
Hadits Nabi SAW:
فَقَامَ أَبُو شَاهٍ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ فَقَالَ : اكْتُبُوْا لِي يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : اكْتُبُوْا لأَبِيْ شَاهٍ
Berdirilah Abu Syah, yakni seorang laki-laki dari
penduduk Yaman, dia berkata: Tuliskan untukku, wahai Rasullullah ! Maka
Rasulullah saw bersabda: “Tuliskan untuk Abu Syah ! ( HR.
Al-Bukhori dan Abu Dawud )
Menyikapi dua
riwayat Hadits Nabi SAW yang
tampak saling bertentangan tersebut di atas , para
ulama berbeda pendapat dalam memahaminya. Sebagian menganggap bahwa larangan
itu mutlak, tetapi sebagian ulama yang lain berusaha mengkompromikannya. Jadi duduk persoalannya dengan mengembalikan
persoalan tersebut kepada empat pendapat:
1)
Sebagian ulama menganggap bahwa
hadis Abi Said Al-Hudri tersebut Mauquf, maka tidak patut untuk dijadikan
alasan, untuk melarang penulisan hadis;
2)
Larangan penulisan hadis berlaku
hanya pada masa awal-awal Islam, karena dikhawatirkan bercampur dengan
al-Qur’an;
3)
Dengan adanya larangan penulisan
hadis tersebut pada hakekatnya Nabi SAW
mempercayai kemampuan para shahabat
untuk menghafalkannya, dan Nabi khawatir seseorang akan bergantung pada
tulisan, sedang pemberian izin Nabi untuk menulis hadisnya, pada
hakekatnya merupakan isyarat bahwa Nabi SAW tidak
percaya kepada orang seperti Abi Syah, dapat menghafalkannya dengan baik.
4)
Larangan itu bersifat umum,
tetapi secara khusus diizinkan kepada orang-orang yang bisa baca tulis dengan
baik, tidak salah dalam tulisannya, seperti pada Abdullah bin Umar.
Meskipun
para ulama mempunyai perbedaan pendapat tentang boleh tidaknya penulisan hadis
ini, namun nyatanya para sahabat tetap memelihara dan melestarikan hadits Nabi SAW. Hal
ini dibuktikan dengan adanya hadits Nabi SAW yang mengatakan: “Riwayatkanlah dari saya, barang siapa sengaja berbohong atas nama saya maka
tempatnya di neraka”. Sehingga apabila menulis hadits menjadi praktek yang dilarang, maka untuk mengantisipasi terjadinya
ketidakotentikan hadits ini, Nabi SAW juga
memberikan peringatan atau ancaman neraka tersebut. Namun kalau kita lebih bijaksana menilai dan mengkeritisinya maka
disinilah letak manajemen Rasulullah SAW, sebagi seorang Rasul, beliau mampu
membedakan para shahabatnya yang kira-kira tidak mampu membedakan mana hadits
dan mana Al-Qur’an, beliau juga mampu mengorgainisir para shahabat pada saat itu yang
notabenenya berwatak kera dan letak georgafis arab yang tandus. Apa hikmah dari dua hadits yang berbeda ini, disatu
sisi melarang di satu sisi menganjurkan? tentu hikmanya sangatlah banyak
diantaranya: agar para shahabat tidak menyamakan kedudukan hadits dengan Al-Qur’an, pada masa itu
segala permasalahan diselesaikan dengan turunya wahyu, dan segala masalah
bertumpu pada Nabi SAW, tentu yang terahir Nabi SAW tau hal-hal yang tidak
diketahui para shahabat, karena beliau sebagai seorang Rasul yang diutus oleh
Allah SWT.
Itulah beberapa hikmah yang
tersirat di balik anjuran dan larangan penulisan Hadits Nabi SAW, yang kiranya
dapat pemakalah simpulkan dari berbagi pendapat para shahabat Rasulullah SAW
dan para ulama hadits mengenai perselisihan seputar larangan penulisan hadits
Nabi SAW dimasa hidunya dan turunnya wahyu ilahi.
3.
Sejarah Pembukuan
Hadits Nabi SAW.
Membicarakan Hadits pada masa Rasulullah SAW berarti membicarakan Hadits
pada awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan terkait langsung dengan
pribadi Rasulullah SAW sebagai sumber Hadits. Rasulullah SAW membina umatnya
selama 23 tahun dan Pembukuan Hadits baru dilakukan pada abad ke 2 H pada
masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, untuk itu ada sebagian yang
meragukan otentisitas Hadits.[15]
Namun hingga
wafatnya Nabi SAW keyakinan umat Islam terhadap hadits tidaklah berubah, karena keberadaan
hadits sangat sentral sebagai realisasi ajaran Islam yang terkandung dalam
al-Quran.[16]
Oleh sebab itu dengan adanya penjelasan tentang sejarah pembukuan dan perkembangan
hadits Nabi SAW dapat di pertanggungjawabkan kebenaran dan keontikannya sampai
sekarang.
Pembukuan
dalam bahasa inggris dikenal
dengan kata codification yang berarti penyusunan menurut aturan/
sistem tertentu.[17] Sedangkan dalam bahasa Arab dikenal dengan
istilah tadwin (التدوين) yang bermakna (المتشتت
في ديوان)
artinya: “mengikat yang terpisah dan mengumpulkan yang terurai (dari
tulisan-tulisan) pada suatu diwaan. tadwin merupakan bentuk
masdar dari دوّن-يدوّن-تدوّينًا
yang berarti menulis dan mencatat.[18] Dan “diwaan” (الديوان) yang merupakan kumpulan kertas-kertas atau kitab
(buku) yang biasanya dipakai untuk mencatat keperluan tertentu.[19] Sehingga kata tadwin tidak semata-mata
berarti penulisan, namun mencakup penghimpunan, pembukuan dan pendokumentasian.[20] Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kodifikasi diartikan sebagai perhimpunan berbagai
peraturan menjadi undang-undang, klasifikasi hukum penggolongan hukum dan
undang berdasarkan asas-asas tertentu di buku undang- undang yang baku, proses
pencatatan norma yang telah dihasilkan oleh pembakuan dalam bentuk buku tata
bahasa, dan pemberian nomor atau lambang pada perkiraan pos, jurnal, faktur,
atau dokumen lain yang berfungsi sebagai alat untuk membedakan pos yang satu
dengan yang lainnya dan termasuk satu golongan.[21]
Sedangkan secara istilah yang
dimaksud dengan kodifikasi dalam hal ini adalah pembukuan secara resmi
berdasarkan perintah khalifah dengan melibatkan shahabat yang ahli di
bidangnya, bukan yang dilakukan secara perseorangan atau untuk kepentingan
pribadi seperti yang terjadi pada masa-masa sebelumnya.[22]
Dari pengertian diatas dapat dibedakan antara kodifikasi Hadits dengan
penulisan Hadits. Adapun perbedaannya adalah sebagai berikut:
a.
Kodifikasi Hadits secara resmi dilakukan oleh oleh
lembaga administratif yang diakui oleh masyarakat, sedang penulisan Hadits
dilakukan secara perseorangan.
b.
Kegiatan kodifikasi tidak hanya menulis, melainkan
juga mengumpulkan, menghimpun dan mendokumentasikan.
c.
Kodifikasi Hadits dilakukan secara umum dengan
melibatkan seseorang yang dianggap kompeten terhadapnya, sedangkan penulisan
Hadits dilakukan oleh orang-orang tertentu.
Penghimpunan Hadits Nabi SAW secara tertulis
pertama kali di kemukakan oleh Umar ibn Khatab (W 23 H atau 644 M). Namun ide
tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena merasa khawatir umat Islam akan
berpaling dari al-Qur’an. Dengan demikian, pembukuan Hadits secara resmi terjadi
pada masa Umar ibn ‘Abd al-Aziz, (61-101 H) salah seorang khalifah bani Umayyah.[23]
Beliau berinisiatif mengkodifikasikan al-Hadits dengan beberapa pertimbangan:
a. Kenginan beliau yang kuat untuk menjaga keontetikan
hadits. karena beliau khawatir lenyapnya hadits dari perbendaharaan masyarakat,
disebabkan belum adanya kodifikasi al-Hadits.
b. Keinginan beliau yang keras untuk membersihkan dan memelihara
al-Hadits dari hadits-hadits maudhu' yang dibuat oleh masyarakat untuk
mempertahankan ediologi golongan dan mempertahankan madzhabnya, disebabkan
adanya Konflik Politik ataupun "Fanatisme Madzhab" berlebihan,
yang mulai tersiar sejak awal berdirinya Khilafah Ali bin Abi thalib.
c. Alasan tidak terkodifikasinya al-Hadits di zaman Rasulullah
SAWullah saw. dan khulafaurrasyidin karena adanya kekhawatiran bercampur
aduknya dengan al-Quran, telah hilang. hal ini disebabkan al-Quran telah
dikumpulkan dalam satu mushaf dan telah merata diseluruh pelosok. Ia telah
dihafal dan diresapkan di hati sanubari beribu-ribu umat Islam.[24]
Sejarah perkembangan
penghimpunan dan pengkodifikasian Hadits disini dibagi menjadi 5 periode
diantaranya:
a.
Periode Nabi Muhammad SAW (13 SH-11H)
b.
Periode Shahabat (12-98 H)
c.
Periode Tabi’in (Abad ke 2 H)
d.
Periode Tabi’ Tabi’in (abad ke 3 H )
e.
Periode Setelah Tabi’ Tabi’in (abad ke 4 H)
Pembagian periode pembukuan
hadits ini dimaksudkan pertama untuk memahami peroses perkembangan hadits Nabi
SAW yang dimulai sejak awal sampai periode penyempurnaannya bahkan sampai
sekarang, kedua supaya mudah memahami rentetan sejarah pembukuannya, ketiga
hikmah larangan penulisan Hadits Nabi SAW, artinya seandainya semua hadits nabi
ditulis pada saat Nabi SAW masih hidup tentu usaha usaha umat islam selanjutnya
statis alias tidak berkembang di sisi ilmu pengetahuan, keempat disinilah islam
itu beda dengan umat-umat sebelumnya kepedulian kepada hadits sangatlah tinggi,
dan yang kelima peroses ini dimaksudkan juga karena permasalahan yang ada
selalu berkembang sesuai dengan tuntutan zaman namun hadits tidaklah usang, hilang
ditelan gelombang zaman.
B. Perkembangan
Hadits Pada Masa Shahabat, Tabi’in Sampai Terhimpunnya Kutub As-Ssittah.
1.
Periode
Shahabat ( Khulafa
al-Rasyidin, 12 H – 98 H)
الصَّحَابيِ
مَنْ لَقِي النَّبيِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُؤْمِنًا بِهِ وَمَا تَ عَلىَ
الأِسلامِ[25]
Periode ini disebut
“Ashr
al-Tatsabbut wa al-Iqlal min al-riwayah”,yakni masa pematerian dan penyedikitan riwayat. Nabi Muhammad wafat pada tahun 11 H. Kepada
umatnya beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidupnya,
yaitu al-Qur’an dan Hadits (al-Sunnah) yang harus dipegangi bagi pengaturan
seluruh aspek kehidupan umat.
Para khalifah dari
khulafa al-rasyidin sejak Abu Bakar, ‘Umar, Ustman, dan ‘Ali, begitu pula
dengan khalifah-khalifah setelah itu, menjunjung tinggi amanah tersebut. Abu
Bakar sebagai khalifah serta secara bersungguh-sungguh segera mengadakan usaha
pengumpulan al-Qur’an atas usul ‘Umar, yang pada masa Nabi SAW ayat al-Qur’an
sudah tertulis seluruhnya tetapi belum terkumpul.
Realisasinya
ditangani oleh Zaid ibn Tsabit. Usaha ini disempurnakan pada masa pemerintahan
‘Ustman ibn ‘Affan, yakni dengan membukukan al-Qur’an yang disalin dari
lembaran hasil penulisan pada masa Abu Bakar.[26]
Adapun perhatian
khulafa al-rasyidin terhadap Hadits pada dasarnya adalah:
a.
Para khulafa al-rasyidin dan para shahabat berpegang bahwa
Hadits adalah dasar Tasyri’
b. Para
shahabat berusaha mentabligkan segala Hadits yang diterima mereka. Hal ini
melaksanakan titah Rasulullah SAW yang menyatakan:
الَا
لِيبْلُغَ الشَّاهِدُ مِنْكُمُ الغَائِبُ
Ketahuilah, hendaklah orang yang
hadir menyampaikan kepada orang yang tidak hadir (jauh)”.
بَلِّغُوْا
عَنِّيِ وَلَوْ أيةً (رواه البخارى)
Sampaikanlah
dariku walaupun satu ayat”
(HR. Bukhari).
Namun periwayatan
Hadits dipermulaan masa shahabat terutama pada masa Abu Bakar dan ‘Umar, masih
terbats sekali, disampaikan kepada yang memerlukan saja, belum bersifat
pelajaran.
Dalam prakteknya,
cara shahabat meriwayatkan Hadits ada dua:
1) Dengan
lafaz asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW yang mereka
hafal benar.
2) Dengan
maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan dengan lafaznya karena
tidak hafal lafazh yang asli dari Nabi.[27]
Suasana masyarakat
masa khulafa al-rasyidin terutama pada masa Abu Bakar dan ‘Umar, pada umumnya
baik dan tenteram. Namun timbul benih-benih kekacauan yang biasa merusak agama Islam
dan mengganggu pengamalan umat Islam terhadap agamanya, yakni antara lain:
a.
Murtadnya orang sepeninggal Nabi SAW di awal pemerintahan
Abu Bakar, mereka tidak mau membayar zakat. Gerakan ini dapat ditumpas oleh Abu
Bakar, namun sebagaimanapun kasus pembangkangan dan insiden ghazwah al-riddah
dan aksi penumpasan membawa efek yang kurang menguntungkan bagi pembinaan
masyarakat Islam.
b.
Masuknya orang-orang Yahudi yang bermuka dua. Mereka
menganut agama Islam bukan atas keikhlasan, tapi malah bertujuan untuk
menghancurkan Islam dari dalam. Pelopornya adalah’Abdullah ibn Saba’.
c.
Ekses dari kebijakan (policy) ‘Ustman ibn ‘Affan dalam
mengangkat kerabatnya untuk jabatan pemerintahan, menimbulkan ketidaksenangan
rakyat.[28]
Atas suasana
tersebut di atas maka mendorong para Shahabat untuk berhati-hati (ihtiyat)
dalam soal periwayatan Hadits, baik dalam menerima maupun menyampaikan
Tindakan hati-hati
para shahabat dalam periwayatan Hadits berupa:
a. Menyedikitkan
riwayat, yakni hanya mengeluarkan Hadits dalam batas kebutuhan primer dalam
pengajaran dan tuntunan pengalaman agama. Hal ini karena khawatir akan
dipergunakan oleh orang-orang munafik menjadi jalan membuat Hadits palsu.
b. Menepis dalam penerimaan Hadits, yakni meneliti keadaan
rawi dan marwi setiap Hadits, apakah rawinya cukup ‘adil dan dhabit atau masih
meragukan, dan apakah rawinya cukup falid dan tidak bertentangan dengan
al-Qur’an, Hadits Mutawatir atau Mashur. Terkadang kalau menerima Hadits yang meragukan, para
shahabat meminta saksi atau keterangan-keterangan yang bisa menimbulkan keyakinan. Contoh
Abu Bakar kedatangan seorang nenek yang meminta diberikan hak dan harta
peninggalan cucunya, beliau tidak mendapatkan dasar hukum dari al-Qur’an dan
tidak mendapatkan atau mengetahui
adanya sabda Rasulullah SAW tentang hal itu, maka berdirilah al-Mughirah dan
menerangkan bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan seperenam kepada nenek dari
harta peninggalan cucunya. Mendengar hal itu Abu Bakar bertanya kepada shahabat
yang lain, apakah ada orang lain yang mendengar sabda Nabi SAW
tersebut. Kemudian
Muhammad ibn Maslamah yang juga mendengar dari Nabi SAW mengakui kebenaran
al-Mughirah. Setelah Abu Bakar mendengar Hadits dari dua shahabat tadi, barulah
memberikan seperenam kepada nenek dari harta pusaka yang ditinggalkan cucunya.
c.
Melarang meriwayatkan secara luas Hadits yang belum dapat
dipahami umum.
Sikap kehati-hatian
para shahabat ditujukan untuk menjaga kemurnian Hadits agar terhindar dari
sisipan-sisipan yang ditambahkan oleh orang-orang munafik.[29]
Sikap ihtiyath
terhadap Hadits, yang dilakukan oleh para shahabat di masa pertama menimbulkan
subhat, yakni ada anggapan seolah-olah para shahabat tidak meriwayatkan Hadits,
tidak memegangi Hadits Ahad, hanya berpegang pada al-Qur’an dan sunnah yang
Masyhur dan bertahkim kepada hasil ijtihad mengenai hukum-hukum yang tidak
terdapat padanya.
Pandangan dan
anggapan demikian adalah tidak benar, sebab berlawanan dengan kenyataan yang berlaku di antara
para shahabat:
a. Para
shahabat menyedikitkan riwayat adalah untuk menjaga agar tidak meriwayatkan
sesuatu yang sebenarnya sudah tidak ingat lagi secara baik, dan untuk
menghindari adanya sisipan-sisipan yang datang dari tujuan-tujuan hawa nafsu
para periwayatannya.
b. Mengenai
tindakan shahabat meminta saksi yang turut mendengar Hadits, atau menyuruh
perawi bersumpah adalah tidak setiap menerima Hadits. Hal ini terbatas apabila
menghadapi rawi yang masih diragukan kedhabitannya. jadi sebenarnya para
shahabatpun menerima Hadits Ahad untuk pengamalan urusan agama.
c. Juga tidak
benar kalau para shahabat lebih memegangi ijtihad meninggalkan Hadits.
Penggunaan ijtihad di kalangan para shahabat adalah sesudah meneliti Hadits dan
mencarinya ke sana ke mari.
d. Adapun
menulis Hadits masih tetap terbatas dan belum dilakukan secara resmi, walaupun
pernah khalifah ‘Umar mempunyai gagasan membukukan Hadits, namun niat tersebut
diurungkan setelah beliau beristikharah.[30]
Para shahabat tidak
melakukan penulisan Hadits secara resmi, karena pertimbangan-pertimbangan:
a. Agar tidak
memalingkan umat dari perhatian terhadap al-Qur’an. Perhatian shahabat masa
khulafa al-rasyidin adalah pada al-Qur’an seperti tampak pada urusan
pengumpulan dan pembukuannya hingga menjadi mushaf.
b. Para
shahabat sudah menyebar sehingga terdapat kesulitan dalam menulis Hadits.
Adapun
penulisan hadis sebelum pengkodifikasian secara resmi berdasarkan instruksi
khalifah pada periode shahabat ini adalah:
a.
Ash-Shahifah
Ash Sadiqiyah, tulisan Abdullah bin Amr bin Al-Ash (65 H)
Tulisan ini
berbentuk lembaran-lembaran sesuai dengan namanya ash-shahifah
(lembaran), memuat kurang lebih 1000 hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam
Musnad-nya dan kitab-kitab Sunan lain. Ash-Shahifah ini didokumentasi
penting, ilmiah, dan bersejarah, karena ditulis dengan tangannya sendiri dan
mendapat izin dari Rasulullah. Oleh karena itu dinamakan Ash-Shadiqah
yang berarti benar-benar diterima dari Nabi secara langsung tanpa ada
perantara.
b.
Ash-Shahifah
Jabir bin Abd Allah An-Anshari (78 H)
Hadis yang
diriwayatkan oleh sebagian shahabat. Jabir mempunyai majlis atau halaqah di
Masjid Nabawi dan mengajarkan hadis-hadisnya secara imlak atau dikte.
c.
Ash-Shahifah
Ash-Shahihah, catatan salah seorang tabi’in Hammam bin Munabbih (131 H)
Hadis-hadisnya
banyak diriwayatkan dari shahabat besar Abu Hurairah, berisikan kurang lebih
138 buah hadis. Hadisnya sampai kepada kita yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad
dalam Musnad-nya dan oleh Al-Bukhari dalam berbagai bab.
2.
Periode Tabi’in
( abad ke 2 H )
Periode ini disebut “Ashr Intisayar al-Riwayah ila al-Amshar”, yakni masa berkembang dan meluasnya periwayatan Hadits.
Pada abad ini disebut masa pengkodifikasian hadits yang dilakukan pada
pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz (Khalifah kedelapan dari kekahlifahan
Bani Umayyah, 61-101 H) yang hidup pada awal abad 2 H. Beliau khawatir akan hilang dan lenyapnya ajaran-ajaran Nabi SAW setelah wafatnya para ulama, baik dari kalangan shahabat
maupun tabi’in. Maka beliau instruksikan kepada para gubernur di seluruh
wilayah Islam agar para ulama dan ahli ilmu untuk menghimpun dan membukukan hadits Nabi SAW:
اُنْظُرُوُاحَدِيْثَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقْتُبُوْهُ فَإِنِّي خِفْتُ دُرُوْسَ
الْعِلْمِ وَذِهَابِ اَهْلِهِ(وَفِى رِوَايَةٍهَابِ الْعُلْمَاءِ) وَلاَتُقْبَل
إِلاَّحَدِيْثَ النَّبِيِّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Perhatikan atau periksa hadits-hadits
Rasulullah SAW, kemudian tulislah! Aku khawatir akan lenyapnya ilmu dengan
meninggalnya para ahli (menurut riwayat disebutkan para ulama). Dan janganlah
kamu terima, kecuali hadis Rasulullah.[31]
Penghimpunan hadits pada abad ini masih tercampur
dengan fatwa shahabat dan tabi’in. Dengan demikian kitab hadits pada periode ini belum
diklasifikasi atau dipisah-pisah antara hadits-hadits marfu’, mauquf, dan
maqthu’. Selain itu penulisan hadits pada periode ini berbeda dengan
penulisan pada abad sebelumnya yang masih dalam bentuk lembaran-lembaran (shuhuf)
yang hanya dikumpulkan tanpa klasifikasi ke dalam beberapa bab secara tertib.
Sedangkan pada periode ini sudah dihimpun perbab. Materi hadits dihimpun dari shuhuf
yang ditulis oleh para shahabat sebelumnya dan diperoleh melalui periwayatan
secara lisan baik dari shahabat atau tabi’in. Adapun kitab-kitab yang muncul
pada masa ini adalah:
a.
Al-Muwatha’ yang ditulis Imam Malik
b.
Al-Mushanaf oleh Abdul Razzaq bin Hammam Ash-Shan’ani
c.
As-Sunnah ditulis Abd bin Manshur
d.
Al-Mushanaf dihimpun oleh Abu Bakar bin Syaybah
e.
Musnad Asy-Syafi’i
Kitab-kitab hadits pada masa ini tidak sampai
kepada kita kecuali diantaranya Al-Muwatha’ yang ditulis oleh Imam Malik
dan Musnad Asy-Syafi’i yang ditulis Imam Asy-Syafi’i. Tulisan-tulisan
hadits pada masa awal sangat penting sebagai bukti adanya penulisan hadits
sejak zaman Rasulullah SAW sampai dengan pengkodifikasian ressmi dari Umar bin
Abdul Aziz bahkan sampai sekarang.
Bagi pengamalan
agama pada generasi setelah shahabat, yakni shahabat kecil dan tabi’in, yang
memerlukan untuk mengetahui Hadits-Hadits Nabi SAW, mereka kemudian berangkat
mencari Hadits, menanyakan dan belajar kepada para shahabat besar yang sudah
tersebar di seluruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah. Dengan demikian, pada
masa ini, di samping tersebarnya periwayatan Hadits ke pelosok-pelosok daerah
Jazirah Arab, juga tentunya perlawatan untuk mencari Haditspun menjadi ramai di
perbincangakan. Sehingga terbentuklah atau tersusunlah lima kitab-kitab para
tabi’in yang disebutkan diatas tadi yang tidak lain karena jasa-jasa mereka
dalam mencari hadits sebagai pedoman dalam menjawab persoalan kehidupan
sehari-hari.
3. Periode
Tabi’ Tabi’in. ( abad ke 3 H )
Periode ini
merupakan masa Ashr Al-Jami’ wa At-Tashhih (kodifikasi dan filterasi keemasan
dalam pembukuan hadits), karena kegiatan perjalanan mencari ilmu dan hadits
serta pembukuannya mengalami puncak keberhasilan yang luar biasa, sehingga pada
periode ini dianggap seolah-olah hadits telah terhimpun semua dan pada periode
berikutnya tidak mengalami perkembangan yang signifikan.[32] Pada periode ini para
ulama hadits juga telah berhasil memisahkan hadits Nabi dari yang bukan hadits
atau dari perkataan shahabat dan fatwanya. Selain itu pada masa ini juga telah
mengadakan filterasi (penyaringan) yang sangat teliti tentang apa saja yang
dikatakan Nabi (dikatakan matan dan sanadnya),[33] sehingga telah dapat
dipisahkan mana yang merupakan hadits shahih atau yang bukan hadits shahih.
Oleh karena itu pada periode ini disebut juga masa kodifikasi dan filterasi (Ashr
Al-Jami’ wa At-Tashhih).
Sebagian
ulama pada periode ini juga mengkodifikasikan hadits berdasarkan nama periwayat
para shahabat yang diperolehnya yang kemudian disebut dengan bentuk musnad
seperti:
a.
Musnad Abu Dawud Sulaiman bin Dawud Ath-Thayalisi
b.
Musnad Abu Bakar Abdullah bin Zubair Al-Humaidi
c.
Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal
d.
Musnad Abu Bakar Ahmad bin Amar Al-Bazzar
e.
Musnad Abi Ya’la Ahmad bin Ali Al-Mustanna
Al-Mushili
Kendatipun kitab-kitab hadits permulaan abad
ketiga sudah menyisihkan fatwa, namun masih mempunyai kelemahan yakni belum
disisihkannya hadits-hadits termasuk palsu yang sengaja disisipkan untuk
kepentingan golongan tertentu. Oleh karena itu pada abad ketiga pertengahan
para ulama haditst hijrah untuk menyelamatkan hadits. Mereka membuat
kaidah-kaidah dan syarat-syarat untuk menentukan suatu hadits. Dalam hubungan
ini, para perawi menjadi sasaran penelitian mereka untuk menyelidiki kejujuran,
kehafalan dan lain sebagainya.
Sebagian hasil dari kerja keras para ulama
muncullah kitab-kitab hadits yang terhindar dari hadits dhaif dan seterunya.
Diantara kitab-kitab tersebut adalah:
a.
Shahih Al-Bukhary atau Al-Jami’ush Shahih
Kitab ini disusun oleh Muhammad bin Ismail
al-Bukhary. Kitab ini memuat 8.122 hadits yang terdiri dari 6.397 hadits asli,
dan selebihnya hadits yang terulang-ulang. Diantara jumlah tersebut terdapat
1.341 yang mu’allaq (dibuang sanadnya sebagian atau seluruhnya) dan 384 hadits
mutabi’ (mempunyai sanad yang lain).
b.
Shahih Muslim atau Al-Jami’us Shahih
Kitab ini disusun oleh Imam
Muslim bin Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairy. Berisi sebanyak 7.273 hadits,
termasuk hadits yang diulang-ulang. Jika tidak diulang-ulang maka jumlahnya
hanya 4000 buah.
Kedua kitab tersebut sangat terkenal dikalangan
masyarakat Islam di seluruh dunia, dan dikenal dengan sebutan al-Shahihain
dan sekarang ini sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia.[34] Selain itu kedua kitab tersebut merupakan bagian
dari buku induk hadits enam (Ummahat Kutub As-Sittah),
yakni buku hadits Sunan, Al-Jami’ Ash-Shahih yang dipedomani oleh umat
Islam dan buku-buku hadits Musnad. Buku induk hadits enam ini merupakan
buku-buku hadits yang dijadikan pedoman dan refrensi para ulama hadits
berikutnya, diantaranya adalah:
1)
Al-Jami’
Ash-Shahih li Al-Bukhari (194-252
H)
2)
Al-Jami’
Ash-Shahih li Muslim bin Hajjaj Al-Qusyayry ( 204-261 H)
3)
Sunan
An-Nisa’i (215-303 H )
4)
Sunan Abu
Dawud (202-207 H),
5)
Jami’
At-Tirmidzi (209-279 H),
Kitab-kitab ini terbentuk pada abad ketiga sebagai gambaran kepedulian dan
perhatian para ulama hadits terhadap perkembangan zaman.
4.
Periode Setelah Tabi’ Tabi’in (Abad ke 4 H).
Pada masa ini disebut Penghimpunan dan Penertiban Hadits.
Ulama yang hidup pada abad ke 4 H dan berikutnya disebut ulama muta’akhirin
atau khalaf (modern). Sedangkan ulama yang hidup sebelum abad ke 4 H disebut
ulama mutaqaddimin atau ulama salah (klasik). Perbedaan mereka dalam
periwayatan dan kodifikasi hadits adalah Ulama mutaqaddimin (sebelum
abad ke 4 H) menghimpun hadits Nabi SAW dengan cara langsung mendengar dari
guru-gurunya kemudian mengadakan penelitian sendiri baik sanad atau matannya.
Sedang ulama muta’akhirin (abad ke 4 H) cara periwayatan dan pembukuannya
bereferensi dan mengutip dari kitab-kitab mutaqaddimin. Oleh karena itu
tidak banyak penambahan hadits pada abad ini dan berikutnya kecuali hanya
sedikit saja.[36] Adapun kitab-kitab karya ulama abad keempat ini adalah:
a.
Mu’jam Al Kabir, yang ditulis oleh Imam Sulaiman
bin Ahmad al-Thabrany
b.
Mu’jam Al-Ausaih, yang ditulis oleh Imam Sulaiman
bin Ahmad al-Thabrany
Pada abad ke-5 dan seterusnya merupakan periode
pengklasifikasian dan pensistematisasian hadits. Para ulama pada periode ini
mengklasifikasikan hadits dengan menghimpun hadits-hadits yang sejenis
kandungannya atau sifat-sifat isinya dalam suatu kitab hadits. Mereka juga
berupaya mensyarahkan (menguraikan maksud hadits dengan luas) dan ada pula yang
mengikhtisarkan atau meringkaskan kitab-kitab hadits yang telah disusun para
ulama terdahulu. Dengan usaha mereka maka muncullah kitab-kitab hadits seperti:
1)
Sunan al-Kubra, karya Abu Bakar Ahmad bin Husain Ali Al-Baihaqy (384-458
H)
2)
Muntaqa al-Akhbar, karya Majdudin Al-Harrany (652 H)
3)
Nailul Authar, sebagai syarah kitab Muntaqa
al-Akhbar karya Abu Muhammad bin Ali al-Syaukany (1172-1250 H)
Selain itu terdapat pula kitab hadits tentang
targhib dan tarhib seperti:
1)
Al-Targhib wa al-Tarhib, karya Imam Zakiyuddin Abdu al-Adhim Al-Mundziry
(656 H)
2)
Dalil al-Falihin, karya Muhammad Ibn Allan As-Shiddiqy (1057 H) sebagai syarah kitab Riyadush
Shalihin, karya Imam Muhyidin Abi Zakariya al-Nawawy (676 H).
Pada periode ini para ulama juga menciptakan kamus hadits untuk mencari
pentakhrij suatu hadits attau untuk mengetahui dari kitab hadits apa suatu
hadits didapatkan, misalnya :
1) al-Jami’u al-Shaghir fi Ahaditsi
al-Basyiri al-Nadzir, karya al-Imam Jalaluddin
al-Suyuthy (849-911 H.) Kitab
yang mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab enam dan lainnya ini
disusun dengan alphabets dari awal hadits, dan selesai ditulis pada tahun 907 H.
2) Dakhairu al-Mawarits fi Dalalati
‘Ala Mawadhi’i al-Ahadits, karya al-Imam
al-‘Allamah al-Sayyid Abdul Ghani al-Maqdisy al-Nabulisy. Didalamnya terkumpul kibat athraf 7 (Shahih Bukhary dan Muslim, Sunan empat
dan Muwattha’.
3) Miftahu al-Kunuzi al-Sunnah, Karya Dr. A.J. Winsinc. berisikan hadits-hadits yang terdapat dalam 14
macam kitab hadits. Kitab tersebut disalin kedalam bahasa Arab oleh Ustadz
Muhammad fuad abdu al-Baqy dan dicetak di Mesir pada tahun 1934 M.
4) Al-Mu'jamu al-Mufahras Li
al-Alfadzi al-Haditsi al-Nabawy, Karya Dr.
A.J. Winsinc dan Dr. J.F. Mensing. keduanya adalah Dosen di
Universitas Leiden. Kitab hadits yang mengandung hadits-hadits kitab enam,
musnad al-Darimy, Muwattha’ Malik, dan Musnad Imam Ahmad, selesai dicetak di
Leiden pada tahun 1936 M.[38]
Berkat upaya para ulama hadits
ini sampai sekarang hadits-hadits Nabi kita temukan dan menjadikannya sebagai
hujjah syar’i.
C. Pengaruh
Pembukuan Hadits
Nabi SAW Terhadap
Perkembangan Fiqih
ترَكتُ فِىكُمْ اَمْرَىْنِ
لَنْ تَضِلواابدًامَااِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَاكِتَابُ اللهِ وَ سُنَّةٌ رَسُوْلِهِ
Aku
tinggalkan dua pusaka pada kalian, jika kalian berpegang kepada keduanya
niscaya tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnah Rasulnya.
(HR.Al-Hakim dari Abu Hurairah).[39]
Berbicara tentang pengaruh hadits terhadap
perkembangan fiqih secara
tidak langsung sama seperti sejarah perkembangan pembukuan hadits Nabi. Karena Hadits
merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Disamping sebagai sumber hukum
kedua sesudah Al-Qur’an, Hadits mempunyai dua fungsi yakni menjelaskan maksud
kandungan Alqur’an yang bersifat mujmal atau global dan menerangkan hukum-hukum yang tidak disebutkan
di dalam Al-Qur’an itu sendiri. Sehingga Haditslah yang menjelaskan
makna umum tersebut secara terperinci dan mudah difahami oleh umat Islam,[40] karena itu siapapun tidak akan bisa
memahami Al-Qur’an tanpa dengan memahami dan menguasai hadits. Begitu pula
halnya menggunakan hadits tanpa Al-Qur’an, karena Al-Qur’an dengan hadits memiliki
kaitan sangat erat, untuk memahami dan mengamalkannya tidak bisa
dipisah-pisahkan atau berjalan sendiri-sendiri,[41] sehingga hal ini
membuat para shahabat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits Nabi SAW, sebagaimana pernah terjadi ketika Abu Musa Al-Asyari
mendatangi rumah Umar, tiga kali Abu Musa memberi salam namun tidak dijawab
oleh Umar maka Abu Musa pulang. Umar bertanya
kenapa anda pulang, Abu Musa memberi
alasan kata Rasulullah SAW kalau sudah
tiga kali memberi salam tidak dijawab maka boleh pulang.[42] Dari kisah ini Umar tidak
percaya apa yang di sampaikan Abu Musa kepadanya
oleh karena itu sifat kehati-hatian dijaga jangan sampai hukum itu salah.
contoh kongkrit adalah hukum shalat, zakat, dan haji. Di dalam alqur’an
perintah melaksanakan ibadah tersebut sangat jelas, tetapi tidak diterangkan
berapa kali ibadah shalat harus dilaksanakan dalam sehari semalam, dan berapa
pula rakaatnya. Masalah zakat tidak diterangkan berapa pula nishab dan jenis
barang apa yang yang wajib dizakati. Jenis tanaman dan binatang apa, serta
berapa persen zakatnya, sama sekali tidak diterangkan. Demikian pula halnya
masalah haji, tidak ditegaskan cara mengerjakannya. Semua itu hanya diketahui
secara jelas dari perbuatan dan ucapan Rasulullah SAW.[43]
pengaruh pembukuan hadits dalam perkembangan islam sangatlah penting, karena tidak semua para shahabat yang
menghafal hadits dan islam telah menyebar keseluruh penjuru negeri sementara
pengetahuan semakin berkembang hal ini mendorong ijtihad para shahabat. Seperti
misalnya kasus Usyuur (bea masuk barang-barang impor), tanah-tanah yang
luas yang dikuasai dijadikan tanah khardj, kasus muallaf dan lain-lain.[44]
Sejak Kekhalifahan Umar bin Khaththab (tahun 13 –
23 H atau 634 – 644 M) wilayah dakwah Islamiyah dan daulah Islamiyah mulai meluas
hingga ke Jazirah Arab, maka mulailah timbul masalah-masalah baru khususnya
pada daerah-daerah baru sehingga makin banyak jumlah dan macam masalah yang
memerlukan pemecahannya. Meski para shahabat
tempat tinggalnya mulai tersebar dan jumlahnya mulai berkurang, namun kebutuhan
untuk memecahkan berbagai masalah baru tersebut terus mendorong para shahabat makin saling bertemu bertukar Al Hadits.
Selaras dengan perkembangan
dan kemajuan zaman maka lahirlah ulama-ulama ahli fiqih seperti
Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbali. Dalam
perjalanannya pengembangn fiqih, Imam Syafi’i mengatakan, “jika terdapat hadits
yang shahih maka itu adalah madzabku, campakkan pendapatku jika ternyata
bertentangan dengannya.” Pernyataan seperti ini yang kemudian diikuti
juga oleh para ulama dan mujtahidin.[45] maka pada paruh abad ke 3 H muncul
gerakan penulisan kitab-kitab sunan
seperti sunan Abu Daud (202-207 H), Ibn Majah (209-207 H), Al-Turmuzi (209-279
H), dan Al-Nasa’i (215-303H), di sini kelihatan bahwa perjalanan penulisan
hadits lebih panjang dari pematangan fiqih.
Implikasi lebih jauh dari
sistematika penyusunan hadits dikesankan bahwa ajaran islam yang di perkenalkan
oleh kitab-kitab hadits adalah fiqh, dengan kata lain, setelah membaca kitab-kitab
hadits kita menyimpulkan bahwa ajaran islam sama dengan fiqih.setidaknya ilmu
yang paling dibantu oleh kitab-kitab hadits adalah ilmu fiqih. Ini menunjukkan
bahwa betapa besar peran ilmu fiqih terhadap penyusunan hadits. Kesepakan umat muslimin dalam mempercayai, menerima,
dan mengamalkan segala ketentuan yang terkandung di dalam hadits telah
dilakukan sejak masa Rasulullah SAW, sepeninggal Rasulullah SAW, masa
Khulafaurrasidin hingga masa-masa selanjutnya dan tidak ada yang
mengingkarinya. Banyak di antara mereka yang tidak hanya memahami dan
mengamalkan isi kandungannya, tetapi
menyebarluaskannya pada generasi-generasi selanjutnya.[46]
Contoh peristiwa yang menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadits sebagai
sumber hukum islam, antara lain dalam peristiwa dibawah ini:
1.
Ketika Abu Bakar dibaiat
menjadi Khalifah, ia pernah berkat “Saya tidak meninggalkan sedikitpun
sesuatu yang diamalkan oleh Rasulullah SAW, sesungguhnya saya takut tersesat
bila meninggalkan perintahnya”.
2.
Saat Umar berda di depan Hajar
Aswad dan ia berkata “Saya tahu bahwa engkau adalah batu. Seandainya
saya tidak melihat Rasulullah SAWmenciummu, saya tidak akan menciummu”.
3.
Pernah dinyatakan kepada
Abdullah bin Umar tentang ketentuan salat safar dalam Al-Qur’an. Ibnu Umar
menjawab “Allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad SAW kepada kita dan
kita tidak mengetahui sesuatu. Maka sesungguhnya kami berbuat sebagaimana kami
melihat Rasulullah SAW berbuat.”
4.
Diceritakan dari Sa’id bin
Musayyab bahwa Usman bin Affan berkata “ Saya duduk sebagaimana duduknya Rasulullah
SAW, saya makan sebagaimana makannya Rasulullah SAW, dan saya shalat
sebagaimana shalatnya Rasulullah SAW.”[47]
Jarak antara masa Rasulullah
SAW, masa lahirnya hadits, dengan masa dokumentasinya dalam kitb-kitab cukup
lama. Hadits yang strategis sangat dibutuhkan dalam rangka mengamalkan Al-Qur’an
ini tidak segera didokumentasikan karena tampaknya ada ketakutan kolektif
melanggar larangan Nabi SAW. [48]
Suatu contoh dikemukakan di sini hadits tentang zakat fitrah yang
berbunyi sebagai berikut :
“Bahwasannya
Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat islam pada bulan
Ramadhan satu sukat (sha’) kurma dan gandum untuk setiap orang, baik hamba
merdeka atau hamba sahaya, laki-laki atau perempuan”. (H.R Muslim).
Sampai sekarang pengaruh pembukuan hadits Nabi sangat kita rasakan,
bayangkan jika tidak ada usaha pembukuan hadits, tidak menutup kemungkinan
penafsiran Al-Qur’an dan
hadits banyak yang diselewengkan dari makna yang sesunguhnya. Dengan ini jerih
payah para penyusun kitab hadits tetap kita hargai dan kita do’akan agar pahala
tetap mengalir kepada mereka, sembari kita kembangannya sesuai dengan
kompetensi ilmiyah. Ibarat main bola, para ulama penulis hadits telah mengirim
bola dari belakang, kemudian kita terima, kita olah, selanjutnya bola itu kita
kirim ke pemain depan untuk digolkan ke gawang lawan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1) Kondisi Hadits Nabi SAW di bagi menjadi tiga pase yaitu:
1) Hadits Nabi SAW Sebelum di Bukukan, Kondisi awal sejarah dan perkembangan Hadits yaitu pada
masa Nabi SAW, masa ini hanya 23 tahun dimulai pada tahun 13 sebelum hijriyah
atau bertepatan pada tahun 610 M sampai
pada tahun 11 H atau 623 M. Pada masa inilah Hadits lahir berupa
aqwali, afal dan taqrir Nabi SAW yang berfungsi untuk menerangkan Al-Qur’an
dalam rangka menerangkan syariat dan membentuk mayarakat Islam. Beberapa teknik penyampaian Hadits yang disampaikan oleh
Nabi SAW: a) Melalui para jamaah pada pusat pembinannya yang disebut majlis
ilmi. b)Dalam banyak kesempatan Rasulullah SAW juga menyampaikan Haditsnya
melalui para shahabat tertentu, yang kemudian oleh para shahabat tersebut
disampaikannya kepada orang lain. hal ini karena terkadang ketika ia mewurudkan
suatu Hadits, para shahabat yang hadir hanya beberapa orang saja. baik karena
disengaja oleh Rasulullah SAW sendiri atau secara kebetulan para shahabat yang
hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang. c) Melalui ceramah
atau pidato ditempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan fathu makkah. d)
Melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para shahabatnya (jalan
musya’hadah), seperti yang berkaitan dengan praktek-praktek ibadah dan
muamalah. e) Para shahabat yang mengemukakan masalah secara langsung atau
bertanya dan berdialog kepada Nabi SAW. 2) Larangan
Tentang Pembukuan Hadits Nabi SAW, Hal ini disebabkan oleh dua faktor :
a) Para shahabat mengandalkan kekuatan hafalan dan kecerdasan otaknya,
disamping alat-alat tulis masih kurang. b) Karena
adanya larangan menulis hadits Nabi. Larangan
tersebut disebabkan karena: (1) adanya kekawatiran bercampur aduknya hadits
dengan al-Qur’an, atau mereka bisa melalaikan al-Qur’an, atau larangan khusus
bagi orang yang dipercaya hafalannya. (2) Al-Qur’an
masih turun kepada Nabi Muhammad SAW dan kondisi penulisannya masih sangat
sederhana ditulis di atas pelepah kurma, kulit, tulang binatang, dan
batu-batuan dan belum dibukukan. (3) Kemampuan
tulis menulis bagi para shahabat pada awal Islam masih sangat langka yang dapat
dihitung dengan jari dan mereka sudah difungsikan sebagai penulis Al-Qur’an. (4) Ingatan orang-orang Arab yang dikenal
bersifat ummi (tidak bisa baca tulis) sangat kuat dan diandalkan Rasulullah
SAW untuk mengingat Hadits. Disamping Rasulullah SAW melarang menulis hadits,
beliau juga memerintahkan kepada beberapa orang shahabat tertentu untuk menulis
hadits. 3) Sejarah Pembukuan Hadits Nabi SAW. Pembukuan Hadits
baru dilakukan setelah abad ke II H pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin
Abdul Aziz, Dengan demikian, pembukuan Hadits
secara resmi terjadi pada masa Umar ibn ‘Abd al-Aziz, (61-101
H.) salah seorang khalifah bani
Umayyah. Beliau
berinisiatif mengkodifikasikan al-Hadits dengan tiga pertimbangan: (a) Kenginan
beliau yang kuat untuk menjaga keontetikan hadits. karena beliau khawatir
lenyapnya hadits dari perbendaharaan masyarakat, disebabkan belum adanya
kodifikasi al-Hadits. (b) Keinginan beliau yang keras untuk membersihkan dan
memelihara al-Hadits dari hadits-hadits maudhu' yang dibuat oleh masyarakat
untuk mempertahankan ediologi golongan dan mempertahankan madzhabnya,
disebabkan adanya Konflik Politik ataupun "Fanatisme Madzhab"
berlebihan, yang mulai tersiar sejak awal berdirinya Khilafah Ali bin Abi
thalib. (c) Alasan tidak terkodifikasinya al-Hadits di zaman Rasulullah SAW.
dan khulafaurrasyidin karena adanya kekhawatiran bercampur aduknya dengan
al-Quran, telah hilang. hal ini disebabkan al-Quran telah dikumpulkan dalam
satu mushaf dan telah merata diseluruh pelosok. Ia telah dihafal dan diresapkan
di hati sanubari beribu-ribu umat Islam. Adapun sejarah perkembangan penghimpunan dan pengkodifikasian Hadits disini
dibagi menjadi 5 periode diantaranya: (1) Periode Nabi Muhammad SAW (13 SH-11H), (2)
Periode Shahabat (12-98 H), (3)
Periode Tabi’in, (4) Periode Tabi’ Tabi’in, dan (5) Periode Setelah Tabi’ Tabi’in.
2) Perkembangan
Hadits Pada Masa Shahabat, Tabi’in Sampai Terhimpunnya Kutub As-Sittah
dibagi menjadi lima periode yaitu: a) periode Nabi Muhammad SAW (13 SH-11H). Periode
ini disebut “Ashr-Wahyi wa al-Tkwin” (masa
turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam). b) Periode Shahabat (Khulafa al-Rasyidin 11 H - 40 H). Periode ini disebut “Ashr al-Tatsabbut wa al-Iqlal min
al-riwayah”,yakni
masa pematerian dan penyedikitan riwayat. Pembukuan hadits pada masa ini antara
lain: (1) Ash Shahifah Ash Sadiqiyah karya Abdullah Bin Amr Bin Ash, (65 H),
(2) Ash Shahifah Jabir Bin Addullah Ananshari, (78 H) dan (3) Ash Shahifah Ash
Shahihah, Karya Hammam Bin Munabbih, (131 H ) c) Periode Tabi’in (40 H – 100 H). Periode ini
disebut “Ashr Intisayar al-Riwayah ila al-Amshar”, yakni masa berkembang
dan meluasnya periwayatan Hadits. Pada masa ini
daerah Islam makin meluas, yakni ke negeri Syam, Irak, Mesir, Samarkand bahkan
pada tahun 93 H sampai ke Spanyol. Hal ini
dibarengi dengan keberangkatan para shahabat ke daerah-daerah tersebut terutama
dalam rangka tugas memangku jabatan pemerintahan dan penyebaran ilmu agama. Adapun
pembukuan hadits pada periode ini antara lain: (1), Al-Muwatha’ yang ditulis Imam Malik, (2), Al-Mushanaf
oleh Abdul Razzaq bin Hammam Ash-Shan’ani, (3), As-Sunnah ditulis Abd
bin Manshur, (4), Al-Mushanaf dihimpun oleh Abu Bakar bin Syaybah, dan
(5), Musnad Asy-Syafi’i. d) Periode Tabi’ Tabi’in ( abad ke 3 H). Periode
ini merupakan masa Ashr Al-Jami’ wa At-Tashhih (kodifikasi dan filterasi
keemasan dalam pembukuan hadits. Sebagian
ulama pada periode ini juga mengkodifikasikan hadits berdasarkan nama periwayat
para shahabat yang diperolehnya yang kemudian disebut dengan bentuk musnad
seperti: (1) Musnad Abu Dawud
Sulaiman bin Dawud Ath-Thayalisi, (2) Musnad Abu Bakar Abdullah bin Zubair
Al-Humaidi, (3) Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal, (4) Musnad Abu Bakar Ahmad bin Amar Al-Bazzar, (5) Musnad Abi Ya’la Ahmad bin Ali Al-Mustanna
Al-Mushili. Sebagian hasil dari kerja keras para ulama
muncullah kitab-kitab hadits yang terhindar dari hadits dhaif dan seterunya.
Diantara kitab-kitab tersebut adalah: (1) Shahih Al-Bukhary atau Al-Jami’ush
Shahih, dan (2) Shahih Muslim atau Al-Jami’us Shahih, Kedua
kitab tersebut sangat terkenal dikalangan masyarakat Islam di seluruh dunia,
dan dikenal dengan sebutan al-Shahihain dan sekarang ini sudah
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia. Selain itu kedua kitab
tersebut merupakan bagian dari buku induk hadits enam (Ummahat
Kutub As-Sittah), yakni buku hadits Sunan, Al-Jami’ Ash-Shahih yang
dipedomani oleh umat Islam dan buku-buku hadits Musnad. Buku induk
hadits enam ini merupakan buku-buku hadits yang dijadikan pedoman dan refrensi
para ulama hadits berikutnya, diantaranya adalah: (1) Al-Jami’
Ash-Shahih li Al-Bukhari (194-252 H) (2) Al-Jami’ Ash-Shahih li Muslim bin
Hajjaj Al-Qusyayry ( 204-261 H), (3)
Sunan An-Nisa’i (215-303 H ),
(4) Sunan Abu Dawud (202-207 H), (5) Jami’ At-Tirmidzi (209-279 H), dan (5), Sunan Ibn Majah Al-Qazwini (209-207 H). e). Periode Setelah Tabi’ Tabi’in (Abad ke 4 H). Pada masa ini disebut Penghimpunan dan Penertiban
Hadits. Ulama yang hidup pada abad ke 4 H dan berikutnya disebut ulama muta’akhirin
atau khalaf (modern). Adapun kitab-kitab karya ulama abad keempat ini adalah: (1) Mu’jam Al Kabir,
yang ditulis oleh Imam Sulaiman bin Ahmad al-Thabrany, (2) Mu’jam Al-Ausaih,
yang ditulis oleh Imam Sulaiman bin Ahmad al-Thabrany, dan (3) Mu’jam Al-Shaghir,
yang ditulis oleh Imam Sulaiman bin Ahmad al-Thabrany. Pada abad ke-5 dan seterusnya merupakan
periode pengklasifikasian dan pensistematisasian hadits. Para ulama pada
periode ini mengklasifikasikan hadits dengan menghimpun hadits-hadits yang
sejenis kandungannya atau sifat-sifat isinya dalam suatu kitab hadits. Dengan
usaha mereka maka muncullah kitab-kitab hadits seperti: Sunan al-Kubra,
karya Abu Bakar Ahmad bin Husain Ali Al-Baihaqy (384-458 H), Muntaqa
al-Akhbar, karya Majdudin Al-Harrany (652 H), dan Nailul Authar, sebagai
syarah kitab Muntaqa al-Akhbar karya Abu Muhammad bin Ali al-Syaukany
(1172-1250 H).
3) Pengaruh
hadits terhadap perkembangan
fiqih sangatlah kental, dari awal
pengkodifikasian hadits abad ke II sampai abad ke V H, hampir semua kitab-kitab
yang ditulis tersebut didominasi oleh fiqih seperti kitab Imam Malik, Hanafi,
Syafi’i dan Ahmad Ibn Hanbali. pada paruh abad ke III H muncul gerakan
penulisan kitab-kitab sunan
seperti sunan Abu Daud (202-207 H), Ibn Majah (209-207 H), Al-Turmuzi (209-279
H), dan Al-Nasa’i (215-303H).
DAFTAR PUSTAKA
Ajjaj
al-Khatib,
Muhammad, Al-Sunnah Qabla al-Tadwin, Kairo:
Maktabah wahbah, 1998
Athar, Nuruddin, Manhaj
Naqd Fii Ulumul Hadits, Damaskus: Darul Fikir,1979
Atang,
Abd. Hakim dan Jaih Mubarak, Metodologi
Studi Islam, (Bandnung: Remaja Rosdakarya, 2006
Bisri, Adib dan Munawwir
A. Fatah, Kamus Indonesia-Arab, Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressif,
1999
Dawud, Abu Sunan Abu
Dawud, Beriud: Dar Al-Fikr, 1990
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, edisi ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007
Djazuli, Ilmu Fiqih, Penggalian,
Perkembangan,Dan Penerapanhukum , Islam, Edisi Revisi, Jakarta: Kencana, 2005
Hasbi Ash-Shidiqie, Sejarah dan Pengantar
Ilmu Hadits, Bulan Bintang, 1974
Ibrahim, Hadits Sesudah
Zaman Sahabat Hingga Sekarang, (http://makalahmajannaii. blogspot.com, diakses tanggal 24
Maret 2014 jam 06.00)
Jamaluddin, Tarihul
Hadits Rasulullah SAWullah, Dar-El Khutubi, 2006
Jhon Echols, M dan Hasan
Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1996
Kamus Mukhtar Ash Shihaah
dan Qamus Al-Muhith
Khothib, Muhammad Ajjaj, "Ushulu al-Hadits
Ulumuhu Wa Mushthalahuhu", Daru al-Fikr: Beirut, tt...
Kitab Shahih Muslim (shoftware)
Mahalli, Ahmad Mudjab, Menelusuri Makna Sabda Nabi, Yogyakarta:Izzan
Pustaka, 2001
Majid, Abdul Khon,
Ulumul Hadits, Jakarta: Grafika Offset, 2008
Mana’ al-Qathan. Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, Kairo: Maktabah Wahbah, 1989
Mudasir, Ilmu Hadits, Bandung: Pustaka Setia, 1999
Muhaimin, dan Abdul Mujib, dkk, Kawasan
dan Wawasan Studi Islam, Cet 1: Jakarta, Kencana, 2005
Muhammad
ibn Abdul Wahab, Kitab Tahuhid, Madinah: madar- wathon, 1429
Munzier, Supartam, Ilmu Hadits, Cet..3, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2002
Mushtafa
al-Suba’i, Assunnah ,Kairo: Dar-Assalam. 2003
Nata, Abudin Al-Qur’an
dan Hadits, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996
Nawawi,
imam, Arbainnawaiyah, Hadits 13, ( shoft
ware)
Qadir, Hasan. A, Ilmu Musthalah Hadits, Bandung: Dipenegoro, 2007
Sejarah
Hadits Masa Tabi’in (Online), (http://novianikenzahrotin.wordpress.com/%E2%99%AA-islam/sejarah-hadits-masa-tabiin, diakses 23 Maret 2014
Qordhowi, Yusuf, Studi Kritis
As-Sunnah, Kaifa Nata’amalu Maa’as Sunnatin Nabawiyyah, (Bandung:
Trigendakarya, 1995
Soebahar, Erfan, Menguak
Fakta Keabsahan Al-Sunnah, Kritik Mushthafa Al-Siba’i terhadap Pemikiran Ahmad
Amin Mengenai Hadits dalam Fajr Al-Islam, Jakarta: Prenada Media Kencana,
2003
Sohari, Sahrani, Ulumul
Hadits, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010
Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits, Bandung: Pustaka Setia, 2008
Sumbullah, Umi, Kajian
Kritik Ilmu
Hadits, Malang: UIN-Maliki Press, 2010
Suryadilaga, Alfatih, dkk, Ulumul Hadits, Yogyakarta:
Teras, 2010
Utang Ranuwijaya, Ilmu
Hadits, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001
Zainul, Arifin, Studi
Hadits, Surabaya: Alpha, 2005
Zainuddin MZ dkk, Studi Hadits, Surabaya:
IAIN SA Press.2011
Zeid, B Smeer, Ulumul Hadits, Malang: UIN Malang Press, 2008
Zuhdi, Masjfuk, Pengantar
Ilmu Haditst, Surabaya: Pustaka Progressif, 1998
Zuhri, Muh, Hadits
Nabi Telaah Historis dan Metodelogis, Cet 11, Yogyakarta: Tiara wacana Yogya, 2003
_______, Telaah Matan
Hadits, Sebuah Tawaran Metodologis, Yogyakarta: LESFI, 2003
_______, Hadits
Nabi, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997
[9]Muhaimin, dan Abdul Mujib, dkk, Kawasan
dan Wawasan Studi Islam, (Cet 1, Jakarta: Kencana,
2005), hlm. 148
[10] Zuhri,
Muh, Hadits Nabi Telaah Historis dan Metodelogis, (Cet
11, Yogyakarta: Tiara wacana Yogya, 2003), hlm. 29
[15] Ibrahim, Hadits Sesudah
Zaman Sahabat Hingga Sekarang, (http://makalahmajannaii.
blogspot.com, diakses tanggal 24 Maret 2014 jam 06.00)
[16] Soebahar, Erfan, Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah,
Kritik Mushthafa Al-Siba’i terhadap Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadits dalam
Fajr Al-Islam, (Jakarta: Prenada Media Kencana, 2003), hlm. 4
[17] Jhon Echols, M dan Hasan Shadily, Kamus Inggris
Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1996), 122
[18]Bisri, Adib dan Munawwir A. Fatah, Kamus
Indonesia-Arab, Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), hlm.
214
[21]Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hlm. 578
[22]Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2010), hlm. 65
[24] Khothib, Muhammad Ajjaj, Ushulu al-Hadits Ulumuhu Wa Mushthalahuhu, (Daru al-Fikr: Beirut, tt...), hlm. 170
[32] Ibid., hlm. 57
[33] Masjfuk, Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadist, (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1998), hlm. 94
[35] Atang,
Abd. Hakim dan Jaih Mubarak, Metodologi
Studi Islam, (Bandnung: Remaja Rosdakarya.,2006), hlm. 92
[36] Ibid, hlm. 58
[40]Sejarah
Hadits Masa Tabi’in (Online), (http://novianikenzahrotin.wordpress.com/%E2%99%AA-islam/sejarah-hadits-masa-tabiin, diakses 23 Maret 2014), hlm. 2
[44] Djazuli, Ilmu Fiqih, Penggalian,
Perkembangan,Dan Penerapanhukum , Islam, Edisi Revisi,
(Jakarta: Kencana, 2005), hlm.147
[47] Qordhowi, Yusuf, Studi Kritis As-Sunnah, Kaifa
Nata’amalu Maa’as Sunnatin Nabawiyyah, (Bandung: Trigendakarya, 1995), hlm.
43
Tidak ada komentar:
Posting Komentar