Rabu, 25 Juni 2014

SEJARAH PEMBUKUAN HADITS



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Sejarah penulisan Hadits sering kali menjadi bahan kontroversi di kalangan sebagian kaum muslim. Ada sebagian yang menolak untuk menerima otentisitas Hadits Nabi lantaran mereka berargumen bahwa Hadits Nabi ditulis dan dibukukan dua abad sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW, suatu rentang waktu yang agak lama berlalu sehingga dapat menyebabkan timbulnya perubahan dan pergeseran lafazh serta makna Hadits yang bersangkutan. Mereka ini beranggapan hanya berdasarkan asumsi rasional semata dan tidak melihat serta meneliti berbagai argumen yang bisa diterima oleh syari’at Islam serta tidak mengkaji serta menelaah sejarah penulisan dan pembukuan  dengan benar. Sementara di sisi yang lain ada sebagian kaum yang secara tekstual menerima begitu saja Hadits Nabi tanpa mempedulikan kesahihan dan ketidaksahihannya. Pada makalah ini penulis mencoba berusaha secara ringkas untuk mengemukakan penjelasan yang benar tentang penulisan dan pembukuan Hadits Nabi sejak mulai abad ke 2 H sampai dengan abad ke 7 H hingga sekarang.
Para ulama tidak sependapat dalam menyusun sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits Nabi SAW. Ada yang membaginya pada tiga periode saja, yaitu masa Rasulullah SAW, Shahabat dan Tabi’in, masa pentadwinan dan masa setelah tadwin.[1]
Sejarah dan Periodesasi penghimpunan Hadits mengalami masa yang lebih panjang dibandingkan dengan dialami oleh Al-Quran, yang hanya memerlukan waktu relatife pendek, yaitu sekitar 15 tahun saja. Penghimpunan dan penulisan (tadwin) Hadits memerlukan waktu sekitar tiga abad.Yang dimaksud dengan Periodisasi penghimpunan Hadits disini adalah fase-fase yang telah ditempuh dan dialami dalam sejarah pembinaan dan perkembangan Hadits, sejak Rasulullah SAW masih hidup sampai terwujudnya kitab-kitab yang dapat disaksikan dewasa ini.
Penyusunan kitab Hadits atau penulisan Hadits di dalam sebuah kitab belum terjadi pada masa Rasulullah SAW dan demikian juga belum ada pada masa Shahabat. Pada masa Rasulullah SAW memang ada riwayat yang berasal dari Nabi yang membolehkan untuk menuliskan Hadits, namun penulisan Hadits pada masa Rasulullah SAW masih dilakukan oleh orang perorang yang sifatnya pribadi dan tertentu pada orang-orang yang membutuhkan menuliskannya atau diizinkan oleh Rasulullah SAW  untuk menulisnnya.
Penulisan Hadits pada masa Rasulullah SAW dan demikian juga pada masa Shahabat belumlah bersifat resmi. Para Shahabat di masa pemerintahan Khulafa' al-Rasyidin, pada umumnya, menahan diri dari melakukan penulisan Hadits. Hal tersebut karena adanya larangan Rasulullah SAW untuk menulis Hadits-Hadits beliau. Namun demikian, di samping adanya larangan, di sisi lain Rasulullah SAW juga memberi peluang kepada para Shahabat untuk menuliskan Hadits-hadits beliau. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya kontroversi dalam hal penulisan Hadits antara adanya larangan dan kebolehan dalam menuliskan Hadits.
Haditst adalah Segala ucapan perbuatan dan perilaku Rasulullah SAW.[2] yang  merupakan salah satu pedoman hidup umat islam dimana kedudukan hadits disini adalah sebagai sumber hukum islam yang ke 2 (dua) setelah al-Quran. Didalam ilmu hadits pun terdapat pula sejarah dan perkembangan hadits pada masa prapembukuan (kodifikasi). Mudah-mudahan dengan mengetahui sejarah pembukuan hadits kita menjadi bijak dan arif dalam menghadapi zaman yang serba instan dan bisa membawa misi islam Rahmatan lil’alamin.
Dari latar belakang sejarah perkembangan hadits yang dikemukakan banyak ulama tersebut, dari awal kedatangan agama islam periode Rasulullah SAW sampai sekarang, penulis akan mencoba membahas sejarah pembukuan Hadits Nabi SAW dengan rumusan masalah sebagai berikut.


B.  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah dan kondisi Hadits Nabi SAW sebelum dibukukan dan sesudahnya serta Bagaimana penyelesaian larangan tentang pembukuan hadits Nabi SAW ?
2.      Bagaimana perkembangan Hadits pada masa Shahabat,  Tabi’in sampai terhimpunnya Kutub As-Sittah?
3.      Bagaimana Pengaruh Hadits Nabi SAW, dalam perkembangan fiqh?
C.  Tujuan Pembahasan
1.      Untuk memahami perkembangan Hadits pada masa Nabi SAW dan Untuk memahami hikmah larangan penulisan Hadits Nabi SAW
2.      Untuk memahami perkembangan Hadits pada masa shahabat, Tabi’in sampai tersusunnya kutub As- Sittah
3.      Memahami Pengaruh hadits Nabi SAW terhadap perkembangan fiqh.


















BAB II
PEMBAHASAN

A.  Kondisi Hadits Nabi SAW Sebelum di Bukukan.
1.      Hadits Nabi SAW Sebelum di Bukukan.
Kondisi awal sejarah dan perkembangan Hadits yaitu pada masa Nabi SAW, masa ini hanya 23 tahun dimulai pada tahun 13 sebelum hijriyah atau bertepatan pada tahun 610 M sampai  pada tahun 11 H atau 623 M.
Pada masa tersebut Hadits itu diterima hanya dengan mengandalkan hafalan dari para shahabat-shahabat Nabi SAW  serta pada masa tersebut para shahabat belum ada pemikiran secara besar-besaran untuk melakukan penulisan terhadap Hadits Nabi SAW ini mengingat pada masa tersebut Rasulullah SAW masih sangat mudah untuk dihubungi dan dimintai keterangan-keterangan tentang segala hal yang berhubungan dengan ibadah dan muamalah keseharian umat Islam. pada masa inilah Hadits lahir berupa aqwali, afal dan taqrir Nabi SAW yang berfungsi untuk menerangkan Al-Qur’an dalam rangka menerangkan syariat dan membentuk mayarakat Islam.[3]
Munculnya Hadits itu mengalami proses yang memiliki keterkaitan dengan beberapa hal, yang meliputi: Pertama, peristiwa tersebut terjadi dihadapan Nabi, yang kemudian Nabi menjelaskan hukumnya dan menyebar luaskan kepda kaum muslimin. Kedua, peristiwa yang terjadi dikalangan umat Islam yang kemudian ditannyakan kepada Rasulullah SAW, baik kejadian yang menimpa pada diri orang baik itu secara langsung  maupun peristiwa yang terjadi padaorang lain. Ketiga, kejadian-kejadian yang disaksikan shahabat, mengenai apa yang diperbuat oleh Rasulullah SAW, kemudian shahabat itu menanyakannya dan kemudian Nabi SAW menjelaskannya. [4]
Dari sebab-sebab munculnya Hadits tersebut tergambar bahwa konteks munculnya Hadits Rasulullah SAW itu dapat dilihat dari tiga sisi: Pertama, Hadits muncul dalam kepentingan menafsirkan ayat al-Qur’an yang masih bersifat umum. Kedua, Hadits muncul dalam konteks memperkuat dan menetapkan hukum-hukum yang telah ada di dalam al-Qur’an. Ketiga, kemunculan Hadits dikarenakan adanya suatu persoalan atau peristiwa yang terjadi yang mengharuskan untuk di jawab sementara belum ditemukan jawabanya dalam nash al-Qur’an.[5]
Perbuatan, ucapan, tutur kata dan gerak-gerik Nabi SAW, menjadi perhatian tersendiri bagi para shahabat dan kaum muslimin waktu itu, kesemuanya itu dijadikan suatu pedoman hidup atau dijadikan suatu aturan-aturan dalam kebiasan sehari-hari. kebanyakan shahabat untuk menguasai Hadits Nabi SAW, melalui hafalan tidak melalui tulisan, karena difokuskan untuk mengumpulkan al-Quran dan dikhawatirkan apabila Hadits ditulis maka timbul kesamaran dengan al-Quran,[6] kecuali bagi mereka yang kurang kuat hapalannya atau memiliki kecakapan tulis menulis tidak ada kekahawatiran tercampur antara keduanya, maka diperbolehkan menulis Hadits. Penulisan Hadits disini berfungsi untuk membantu hapalan mereka.[7]
Ada beberapa cara penyampaian Hadits yang disampaikan oleh Nabi SAW:
a.       Melalui para jamaah pada pusat pembinannya yang disebut majlis ilmi.
b.      Dalam banyak kesempatan Rasulullah SAW juga menyampaikan Haditstnya melalui para shahabat tertentu, yang kemudian oleh para shahabat tersebut disampaikannya kepada orang lain. hal ini karena terkadang ketika ia mewurudkan suatu Hadits, para shahabat yang hadir hanya beberapa orang saja. baik karena disengaja oleh Rasulullah SAW sendiri atau secara kebetulan para shahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang.
c.       Melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan fathu makkah.
d.      Melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para shahabatnya (jalan musya’hadah), seperti yang berkaitan dengan praktek-praktek ibadah dan muamalah.
e.       Para shahabat yang mengemukakan masalah secara langsung atau bertanya dan berdialog kepada Nabi SAW.
Kebiasaan para shahabat dalam menerima Hadits yakni bertanya langsung kepada Nabi SAW. Contoh dalam problematika yang dihadapi oleh mereka, Seperti masalah hukum syara’ dan teologi. Diriwayatkan oleh imam Bukhari dari ‘Uqbah bin al-Harits tentang masalah pernikahan satu saudara karena  radla’ (sepersusuan). Tapi perlu diketahui, tidak selamanya para shahabat bertanya langsung. Apa bila masalah biologis dan rumah tangga, mereka bertanya kepada istri-istri beliau melalui utusan istri mereka, seperti masalah suami mencium istrinya dalam keadaan puasa.[8]
Setiap  shahabat  mempunyai  kedudukan  tersendiri  dihadapan  Rasulullah SAW. Adakalanya yang disebut dengan “Ash-Shabiqunn Al-Awwaluun” yakni para shahabat yang pertama-tama masuk Islam, seperti Abu Bakar As-Sidiq, Umar Bin Khattab, Usman Bian Affan, Ali Bin Abu Thalib, Abdullah Ibnu Mas’ud dan Abdurrahman Bin Auf, RA. Ada  juga  shahabat  yang  sungguh-sungguh  menghafal hadits Rasulullah SAW, misalnya Abu Hurairah. Ada juga shahabat yang usianya lebih panjang dari shahabat lain, sehingga mereka lebih banyak menghafalkan Hadits, seperi Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas. Demikian juga ada shahabat yang  mempunyai hubungan erat dengan Nabi SAW, seperti istri-istrinya. Semakin erat dan lama bergaul semakin banyak pula Hadits yang diriwayatkan dan kebenarannya tidak diragukan.[9]
Namun  demikian, para  shahabat  juga adalah  manusia  biasa,  harus mengurus rumah tangga, bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, maka tidak setiap kali lahir sebuah hadits disaksikan langsung oleh seluruh shahabat. Sehingga sebagian shahabat menerima Hadits dari shahabat lain yang mendengar langsung ucapan Nabi atau melihat langsung tindakannya. Apalagi shahabat yang berdomisili di daerah yang jauh dari Madinah seringkali hanya memperoleh hadits dari sesama shahabat.[10]
Rasulullah SAW membina umatnya selama 23 tahun. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan sekaligus adanya Hadits. Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan kehati-hatian para shahabat sebagai pewaris pertama ajaran Islam.
2.      Larangan Tentang Pembukuan Hadits Nabi SAW.
Hadits pada zaman Nabi Muhammad SAW belum ditulis secara umum sebagaimana al-Qur’an. Hal ini disebabkan oleh dua faktor ;
a.    Para shahabat mengandalkan kekuatan hafalan dan kecerdasan otaknya, disamping alat-alat tulis masih kurang.
b.    Karena adanya larangan menulis hadits Nabi.
Dalam shaih muslim disebutkan yang di riwayatkan oleh Abu sa’id al-khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda:
حَدَّثَنَا هَدَّابُ بْنُ خَالِدٍ الْأَزْدِيُّ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَكْتُبُوا عَنِّي وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ وَحَدِّثُوا عَنِّي وَلَا حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ قَالَ هَمَّامٌ أَحْسِبُهُ قَالَ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
Janganlah menulis sesuatu dariku selain al-Qua’an, dan barang siapa yang menulis dariku hendaklah ia menghapusnya Ceritakan saja yang kalian terima dariku, tidak mengapa. Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya dari neraka.” (HR Muslim 5326).[11]

Larangan tersebut disebabkan karena adanya kekawatiran bercampur aduknya hadits dengan al-Qur’an, atau mereka bisa melalaikan al-Qur’an, atau larangan khusus bagi orang yang dipercaya hafalannya.
Kesimpulan larangan penulisan hadits diantaranya:
a.         Al-Qur’an masih turun kepada Nabi Muhammad SAW dan kondisi penulisannya masih sangat sederhana ditulis di atas pelepah kurma, kulit, tulang binatang, dan batu-batuan dan belum dibukukan.
b.         Kemampuan tulis menulis bagi para shahabat pada awal Islam masih sangat langka yang dapat dihitung dengan jari dan mereka sudah difungsikan sebagai penulis Al-Qur’an.
c.         Ingatan orang-orang Arab yang dikenal bersifat ummi (tidak bisa baca tulis) sangat kuat dan diandalkan Rasulullah SAW untuk mengingat Hadits.[12]
Disamping Rasulullah SAW melarang menulis hadits, beliau juga memerintahkan kepada beberapa orang shahabat tertentu untuk menulis hadits. Misalnya hadits Abdullah ibn Amr ibn Al-Ash, Rasulullah SAW bersabda:
أُكْتُبْ عنِّي فوالذِّي نَفْسِيْ مَا خَرَجَ مِنْ فَمِي إِلَّا حَقٌّ (رواه ابو داود عن ابن عمر)
Tulislah!, demi Dzat yang diriku didalam kekuasaan-Nya, tidak keluar dariku kecuali yang hak”.(Riwayat Abu Dawud dari ibn Umar).[13]

Dengan melihat dua hadits yang kelihatannya terjadi kontradiksi, seperti hadits dari Abu Sa’id Al-Hudri di satu pihak, dengan hadits dari Abdullah ibn Amr ibn Al-Ash. Diantara mereka ada yang menggugurkan salah satunya, seperti dengan jalan nasikh dan mansukh dan ada yang berkompromi keduanya sehingga keduanya tetap digunakan (ma’mul) dengan alasan:
a.    Bahwa larangan menulis haditst itu bersifat umum, sedang perizinan menulisnya bersifat khusus bagi orang yang memiliki keahlian tulis menulis. Hingga terjaga dari kekeliruan dalam menulisnya, dan tidak akan dikhawatirkan salah seperti Abdullah bin Amr bin Ash.
b.    Bahwa larangan menulis Haditst ditujukan pada orang yang kuat hafalannya dari pada menulis, sedangkan perizinan menulisnya diberikan kepada orang yang tidak kuat hafalannya.[14]
Tetapi bagi orang yang tidak lagi dikawatirkan akn hafalannya, seperti yang pandai baca tulis, atau mereka kawatir akan lupa, maka penulisan Hadits bagi shahabat tertentu diperbolehkan, seperti peristiwa Abu Syah shahabat yang meminta di tuliskan Hadits Nabi  SAW: 
            
فَقَامَ أَبُو شَاهٍ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ فَقَالَ : اكْتُبُوْا لِي يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : اكْتُبُوْا لأَبِيْ شَاهٍ
 Berdirilah Abu Syah, yakni seorang laki-laki dari penduduk Yaman, dia berkata: Tuliskan untukku, wahai Rasullullah ! Maka Rasulullah saw bersabda: “Tuliskan untuk Abu Syah ! ( HR. Al-Bukhori dan Abu Dawud )
Menyikapi  dua riwayat Hadits Nabi SAW yang tampak saling bertentangan tersebut di atas , para ulama berbeda pendapat dalam memahaminya. Sebagian menganggap bahwa larangan itu mutlak, tetapi  sebagian ulama yang lain berusaha mengkompromikannya. Jadi duduk persoalannya dengan mengembalikan persoalan tersebut kepada empat pendapat:
1)   Sebagian ulama menganggap bahwa hadis Abi Said Al-Hudri tersebut Mauquf, maka tidak patut untuk dijadikan alasan, untuk melarang penulisan hadis;
2)   Larangan penulisan hadis berlaku hanya pada masa awal-awal  Islam, karena dikhawatirkan bercampur dengan al-Qur’an;
3)   Dengan adanya larangan penulisan hadis tersebut pada hakekatnya Nabi SAW mempercayai kemampuan para shahabat untuk menghafalkannya, dan Nabi khawatir seseorang akan bergantung pada tulisan, sedang pemberian izin Nabi untuk menulis hadisnya,   pada hakekatnya merupakan isyarat bahwa Nabi SAW tidak percaya kepada orang seperti Abi Syah,  dapat menghafalkannya dengan baik.
4)   Larangan  itu bersifat umum, tetapi secara khusus diizinkan kepada orang-orang yang bisa baca tulis dengan baik, tidak salah dalam tulisannya, seperti pada Abdullah bin Umar.
Meskipun para ulama mempunyai perbedaan pendapat tentang boleh tidaknya penulisan hadis ini, namun nyatanya para sahabat tetap memelihara dan melestarikan hadits Nabi SAW. Hal ini dibuktikan dengan adanya hadits Nabi SAW yang mengatakan: “Riwayatkanlah dari saya, barang siapa sengaja berbohong atas nama saya maka tempatnya di neraka”. Sehingga apabila menulis hadits menjadi praktek yang dilarang, maka untuk mengantisipasi terjadinya ketidakotentikan hadits ini, Nabi SAW juga memberikan peringatan atau ancaman neraka tersebut. Namun kalau kita lebih bijaksana menilai dan mengkeritisinya maka disinilah letak manajemen Rasulullah SAW, sebagi seorang Rasul, beliau mampu membedakan para shahabatnya yang kira-kira tidak mampu membedakan mana hadits dan mana Al-Qur’an, beliau juga mampu mengorgainisir para shahabat pada saat itu yang notabenenya berwatak kera dan letak georgafis arab yang tandus.  Apa hikmah dari dua hadits yang berbeda ini, disatu sisi melarang di satu sisi menganjurkan? tentu hikmanya sangatlah banyak diantaranya: agar para shahabat tidak menyamakan kedudukan hadits dengan Al-Qur’an, pada masa itu segala permasalahan diselesaikan dengan turunya wahyu, dan segala masalah bertumpu pada Nabi SAW, tentu yang terahir Nabi SAW tau hal-hal yang tidak diketahui para shahabat, karena beliau sebagai seorang Rasul yang diutus oleh Allah SWT.
Itulah beberapa hikmah yang tersirat di balik anjuran dan larangan penulisan Hadits Nabi SAW, yang kiranya dapat pemakalah simpulkan dari berbagi pendapat para shahabat Rasulullah SAW dan para ulama hadits mengenai perselisihan seputar larangan penulisan hadits Nabi SAW dimasa hidunya dan turunnya wahyu ilahi.
3.      Sejarah Pembukuan Hadits Nabi SAW.
Membicarakan Hadits pada masa Rasulullah SAW berarti membicarakan Hadits pada awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan terkait langsung dengan pribadi Rasulullah SAW sebagai sumber Hadits. Rasulullah SAW membina umatnya selama 23 tahun dan Pembukuan Hadits baru dilakukan pada abad ke 2 H pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, untuk itu ada sebagian yang meragukan otentisitas Hadits.[15] Namun hingga wafatnya Nabi SAW keyakinan umat Islam terhadap hadits tidaklah berubah, karena keberadaan hadits sangat sentral sebagai realisasi ajaran Islam yang terkandung dalam al-Quran.[16] Oleh sebab itu dengan adanya penjelasan tentang sejarah pembukuan dan perkembangan hadits Nabi SAW dapat di pertanggungjawabkan kebenaran dan keontikannya sampai sekarang.
Pembukuan dalam bahasa inggris dikenal dengan kata codification yang berarti penyusunan menurut aturan/ sistem tertentu.[17] Sedangkan dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah tadwin (التدوين) yang bermakna (المتشتت في ديوان) artinya: “mengikat yang terpisah dan mengumpulkan yang terurai (dari tulisan-tulisan) pada suatu diwaan. tadwin merupakan bentuk masdar dari  دوّن-يدوّن-تدوّينًا yang berarti menulis dan mencatat.[18] Dan “diwaan(الديوان) yang merupakan kumpulan kertas-kertas atau kitab (buku) yang biasanya dipakai untuk mencatat keperluan tertentu.[19] Sehingga kata tadwin tidak semata-mata berarti penulisan, namun mencakup penghimpunan, pembukuan dan pendokumentasian.[20] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kodifikasi diartikan sebagai perhimpunan berbagai peraturan menjadi undang-undang, klasifikasi hukum penggolongan hukum dan undang berdasarkan asas-asas tertentu di buku undang- undang yang baku, proses pencatatan norma yang telah dihasilkan oleh pembakuan dalam bentuk buku tata bahasa, dan pemberian nomor atau lambang pada perkiraan pos, jurnal, faktur, atau dokumen lain yang berfungsi sebagai alat untuk membedakan pos yang satu dengan yang lainnya dan termasuk satu golongan.[21]
Sedangkan secara istilah yang dimaksud dengan kodifikasi dalam hal ini adalah pembukuan secara resmi berdasarkan perintah khalifah dengan melibatkan shahabat yang ahli di bidangnya, bukan yang dilakukan secara perseorangan atau untuk kepentingan pribadi seperti yang terjadi pada masa-masa sebelumnya.[22]
Dari pengertian diatas dapat dibedakan antara kodifikasi Hadits dengan penulisan Hadits. Adapun perbedaannya adalah sebagai berikut:
a.         Kodifikasi Hadits secara resmi dilakukan oleh oleh lembaga administratif yang diakui oleh masyarakat, sedang penulisan Hadits dilakukan secara perseorangan.
b.         Kegiatan kodifikasi tidak hanya menulis, melainkan juga mengumpulkan, menghimpun dan mendokumentasikan.
c.         Kodifikasi Hadits dilakukan secara umum dengan melibatkan seseorang yang dianggap kompeten terhadapnya, sedangkan penulisan Hadits dilakukan oleh orang-orang tertentu.
Penghimpunan Hadits Nabi SAW secara tertulis pertama kali di kemukakan oleh Umar ibn Khatab (W 23 H atau 644 M). Namun ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena merasa khawatir umat Islam akan berpaling dari al-Qur’an. Dengan demikian, pembukuan Hadits secara resmi terjadi pada masa Umar ibn ‘Abd al-Aziz, (61-101 H) salah seorang khalifah bani Umayyah.[23]
Beliau berinisiatif mengkodifikasikan al-Hadits dengan beberapa pertimbangan:
a.       Kenginan beliau yang kuat untuk menjaga keontetikan hadits. karena beliau khawatir lenyapnya hadits dari perbendaharaan masyarakat, disebabkan belum adanya kodifikasi al-Hadits.
b.      Keinginan beliau yang keras untuk membersihkan dan memelihara al-Hadits dari hadits-hadits maudhu' yang dibuat oleh masyarakat untuk mempertahankan ediologi golongan dan mempertahankan madzhabnya, disebabkan adanya Konflik Politik ataupun "Fanatisme Madzhab" berlebihan,  yang mulai tersiar sejak awal berdirinya Khilafah Ali bin Abi thalib.
c.       Alasan tidak terkodifikasinya al-Hadits di zaman Rasulullah SAWullah saw. dan khulafaurrasyidin karena adanya kekhawatiran bercampur aduknya dengan al-Quran, telah hilang. hal ini disebabkan al-Quran telah dikumpulkan dalam satu mushaf dan telah merata diseluruh pelosok. Ia telah dihafal dan diresapkan di hati sanubari beribu-ribu umat Islam.[24]

Sejarah perkembangan penghimpunan dan pengkodifikasian Hadits disini dibagi menjadi 5 periode diantaranya:
a.       Periode Nabi Muhammad SAW (13 SH-11H)
b.      Periode Shahabat (12-98 H)
c.       Periode Tabi’in (Abad ke 2 H)
d.      Periode Tabi’ Tabi’in (abad ke 3 H )
e.       Periode Setelah Tabi’ Tabi’in (abad ke 4 H)
Pembagian periode pembukuan hadits ini dimaksudkan pertama untuk memahami peroses perkembangan hadits Nabi SAW yang dimulai sejak awal sampai periode penyempurnaannya bahkan sampai sekarang, kedua supaya mudah memahami rentetan sejarah pembukuannya, ketiga hikmah larangan penulisan Hadits Nabi SAW, artinya seandainya semua hadits nabi ditulis pada saat Nabi SAW masih hidup tentu usaha usaha umat islam selanjutnya statis alias tidak berkembang di sisi ilmu pengetahuan, keempat disinilah islam itu beda dengan umat-umat sebelumnya kepedulian kepada hadits sangatlah tinggi, dan yang kelima peroses ini dimaksudkan juga karena permasalahan yang ada selalu berkembang sesuai dengan tuntutan zaman namun hadits tidaklah usang, hilang ditelan gelombang zaman.

B.  Perkembangan Hadits Pada Masa Shahabat,  Tabi’in Sampai Terhimpunnya Kutub As-Ssittah.
1.    Periode Shahabat ( Khulafa al-Rasyidin, 12 H – 98 H)
الصَّحَابيِ مَنْ لَقِي النَّبيِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُؤْمِنًا بِهِ وَمَا تَ عَلىَ الأِسلامِ[25]
Periode ini disebut “Ashr al-Tatsabbut wa al-Iqlal min al-riwayah”,yakni masa pematerian dan penyedikitan riwayat.  Nabi Muhammad wafat pada tahun 11 H. Kepada umatnya beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidupnya, yaitu al-Qur’an dan Hadits (al-Sunnah) yang harus dipegangi bagi pengaturan seluruh aspek kehidupan umat.
Para khalifah dari khulafa al-rasyidin sejak Abu Bakar, ‘Umar, Ustman, dan ‘Ali, begitu pula dengan khalifah-khalifah setelah itu, menjunjung tinggi amanah tersebut. Abu Bakar sebagai khalifah serta secara bersungguh-sungguh segera mengadakan usaha pengumpulan al-Qur’an atas usul ‘Umar, yang pada masa Nabi SAW ayat al-Qur’an sudah tertulis seluruhnya tetapi belum terkumpul.
Realisasinya ditangani oleh Zaid ibn Tsabit. Usaha ini disempurnakan pada masa pemerintahan ‘Ustman ibn ‘Affan, yakni dengan membukukan al-Qur’an yang disalin dari lembaran hasil penulisan pada masa Abu Bakar.[26]
Adapun perhatian khulafa al-rasyidin terhadap Hadits pada dasarnya adalah:
a.    Para khulafa al-rasyidin dan para shahabat berpegang bahwa Hadits adalah dasar Tasyri’
b.    Para shahabat berusaha mentabligkan segala Hadits yang diterima mereka. Hal ini melaksanakan titah Rasulullah SAW yang menyatakan:
الَا لِيبْلُغَ الشَّاهِدُ مِنْكُمُ الغَائِبُ
Ketahuilah, hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada orang yang tidak hadir (jauh)”.
بَلِّغُوْا عَنِّيِ وَلَوْ أيةً (رواه البخارى)
Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat” (HR. Bukhari).
Namun periwayatan Hadits dipermulaan masa shahabat terutama pada masa Abu Bakar dan ‘Umar, masih terbats sekali, disampaikan kepada yang memerlukan saja, belum bersifat pelajaran.
Dalam prakteknya, cara shahabat meriwayatkan Hadits ada dua:
1)   Dengan lafaz asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW yang mereka hafal benar.
2)   Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan dengan lafaznya karena tidak  hafal lafazh yang asli dari Nabi.[27]
Suasana masyarakat masa khulafa al-rasyidin terutama pada masa Abu Bakar dan ‘Umar, pada umumnya baik dan tenteram. Namun timbul benih-benih kekacauan yang biasa merusak agama Islam dan mengganggu pengamalan umat Islam terhadap agamanya, yakni antara lain:
a.    Murtadnya orang sepeninggal Nabi SAW di awal pemerintahan Abu Bakar, mereka tidak mau membayar zakat. Gerakan ini dapat ditumpas oleh Abu Bakar, namun sebagaimanapun kasus pembangkangan dan insiden ghazwah al-riddah dan aksi penumpasan membawa efek yang kurang menguntungkan bagi pembinaan masyarakat Islam.
b.    Masuknya orang-orang Yahudi yang bermuka dua. Mereka menganut agama Islam bukan atas keikhlasan, tapi malah bertujuan untuk menghancurkan Islam dari dalam. Pelopornya adalah’Abdullah ibn Saba’.
c.    Ekses dari kebijakan (policy) ‘Ustman ibn ‘Affan dalam mengangkat kerabatnya untuk jabatan pemerintahan, menimbulkan ketidaksenangan rakyat.[28]

Atas suasana tersebut di atas maka mendorong para Shahabat untuk berhati-hati (ihtiyat) dalam soal periwayatan Hadits, baik dalam menerima maupun menyampaikan
Tindakan hati-hati para shahabat dalam periwayatan Hadits berupa:
a.       Menyedikitkan riwayat, yakni hanya mengeluarkan Hadits dalam batas kebutuhan primer dalam pengajaran dan tuntunan pengalaman agama. Hal ini karena khawatir akan dipergunakan oleh orang-orang munafik menjadi jalan membuat Hadits palsu.
b.      Menepis dalam penerimaan Hadits, yakni meneliti keadaan rawi dan marwi setiap Hadits, apakah rawinya cukup ‘adil dan dhabit atau masih meragukan, dan apakah rawinya cukup falid dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an, Hadits Mutawatir atau Mashur. Terkadang kalau menerima Hadits yang meragukan, para shahabat meminta saksi atau keterangan-keterangan yang bisa menimbulkan keyakinan. Contoh Abu Bakar kedatangan seorang nenek yang meminta diberikan hak dan harta peninggalan cucunya, beliau tidak mendapatkan dasar hukum dari al-Qur’an dan tidak mendapatkan atau mengetahui adanya sabda Rasulullah SAW tentang hal itu, maka berdirilah al-Mughirah dan menerangkan bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan seperenam kepada nenek dari harta peninggalan cucunya. Mendengar hal itu Abu Bakar bertanya kepada shahabat yang lain, apakah ada orang lain yang mendengar sabda Nabi SAW tersebut. Kemudian Muhammad ibn Maslamah yang juga mendengar dari Nabi SAW mengakui kebenaran al-Mughirah. Setelah Abu Bakar mendengar Hadits dari dua shahabat tadi, barulah memberikan seperenam kepada nenek dari harta pusaka yang ditinggalkan cucunya.
c.       Melarang meriwayatkan secara luas Hadits yang belum dapat dipahami umum.
Sikap kehati-hatian para shahabat ditujukan untuk menjaga kemurnian Hadits agar terhindar dari sisipan-sisipan yang ditambahkan oleh orang-orang munafik.[29]
Sikap ihtiyath terhadap Hadits, yang dilakukan oleh para shahabat di masa pertama menimbulkan subhat, yakni ada anggapan seolah-olah para shahabat tidak meriwayatkan Hadits, tidak memegangi Hadits Ahad, hanya berpegang pada al-Qur’an dan sunnah yang Masyhur dan bertahkim kepada hasil ijtihad mengenai hukum-hukum yang tidak terdapat padanya.
Pandangan dan anggapan demikian adalah tidak benar, sebab berlawanan dengan kenyataan yang berlaku di antara para shahabat:
a.    Para shahabat menyedikitkan riwayat adalah untuk menjaga agar tidak meriwayatkan sesuatu yang sebenarnya sudah tidak ingat lagi secara baik, dan untuk menghindari adanya sisipan-sisipan yang datang dari tujuan-tujuan hawa nafsu para periwayatannya.
b.    Mengenai tindakan shahabat meminta saksi yang turut mendengar Hadits, atau menyuruh perawi bersumpah adalah tidak setiap menerima Hadits. Hal ini terbatas apabila menghadapi rawi yang masih diragukan kedhabitannya. jadi sebenarnya para shahabatpun menerima Hadits Ahad untuk pengamalan urusan agama.
c.    Juga tidak benar kalau para shahabat lebih memegangi ijtihad meninggalkan Hadits. Penggunaan ijtihad di kalangan para shahabat adalah sesudah meneliti Hadits dan mencarinya ke sana ke mari.
d.   Adapun menulis Hadits masih tetap terbatas dan belum dilakukan secara resmi, walaupun pernah khalifah ‘Umar mempunyai gagasan membukukan Hadits, namun niat tersebut diurungkan setelah beliau beristikharah.[30]
Para shahabat tidak melakukan penulisan Hadits secara resmi, karena pertimbangan-pertimbangan:
a.    Agar tidak memalingkan umat dari perhatian terhadap al-Qur’an. Perhatian shahabat masa khulafa al-rasyidin adalah pada al-Qur’an seperti tampak pada urusan pengumpulan dan pembukuannya hingga menjadi mushaf.
b.    Para shahabat sudah menyebar sehingga terdapat kesulitan dalam menulis Hadits.
Adapun penulisan hadis sebelum pengkodifikasian secara resmi berdasarkan instruksi khalifah pada periode shahabat ini adalah:
a.    Ash-Shahifah Ash Sadiqiyah, tulisan Abdullah bin Amr bin Al-Ash (65 H)
Tulisan ini berbentuk lembaran-lembaran sesuai dengan namanya ash-shahifah (lembaran), memuat kurang lebih 1000 hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya dan kitab-kitab Sunan lain. Ash-Shahifah ini didokumentasi penting, ilmiah, dan bersejarah, karena ditulis dengan tangannya sendiri dan mendapat izin dari Rasulullah. Oleh karena itu dinamakan Ash-Shadiqah yang berarti benar-benar diterima dari Nabi secara langsung tanpa ada perantara.
b.    Ash-Shahifah Jabir bin Abd Allah An-Anshari (78 H)
Hadis yang diriwayatkan oleh sebagian shahabat. Jabir mempunyai majlis atau halaqah di Masjid Nabawi dan mengajarkan hadis-hadisnya secara imlak atau dikte.
c.         Ash-Shahifah Ash-Shahihah, catatan salah seorang tabi’in Hammam bin Munabbih (131 H)
Hadis-hadisnya banyak diriwayatkan dari shahabat besar Abu Hurairah, berisikan kurang lebih 138 buah hadis. Hadisnya sampai kepada kita yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya dan oleh Al-Bukhari dalam berbagai bab.
2.    Periode Tabi’in ( abad ke 2 H )
Periode ini disebut “Ashr Intisayar al-Riwayah ila al-Amshar”, yakni masa berkembang dan  meluasnya periwayatan Hadits.
Pada abad ini disebut masa pengkodifikasian hadits yang dilakukan pada pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz (Khalifah kedelapan dari kekahlifahan Bani Umayyah, 61-101 H) yang hidup pada awal abad 2 H. Beliau khawatir akan hilang dan lenyapnya ajaran-ajaran Nabi SAW setelah wafatnya para ulama, baik dari kalangan shahabat maupun tabi’in. Maka beliau instruksikan kepada para gubernur di seluruh wilayah Islam agar para ulama dan ahli ilmu untuk menghimpun dan  membukukan hadits Nabi SAW:
اُنْظُرُوُاحَدِيْثَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقْتُبُوْهُ فَإِنِّي خِفْتُ دُرُوْسَ الْعِلْمِ وَذِهَابِ اَهْلِهِ(وَفِى رِوَايَةٍهَابِ الْعُلْمَاءِ) وَلاَتُقْبَل إِلاَّحَدِيْثَ النَّبِيِّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Perhatikan atau periksa hadits-hadits Rasulullah SAW, kemudian tulislah! Aku khawatir akan lenyapnya ilmu dengan meninggalnya para ahli (menurut riwayat disebutkan para ulama). Dan janganlah kamu terima, kecuali hadis Rasulullah.[31]
Penghimpunan hadits pada abad ini masih tercampur dengan fatwa shahabat dan tabi’in. Dengan demikian kitab hadits pada periode ini belum diklasifikasi atau dipisah-pisah antara hadits-hadits marfu’, mauquf, dan maqthu’. Selain itu penulisan hadits pada periode ini berbeda dengan penulisan pada abad sebelumnya yang masih dalam bentuk lembaran-lembaran (shuhuf) yang hanya dikumpulkan tanpa klasifikasi ke dalam beberapa bab secara tertib. Sedangkan pada periode ini sudah dihimpun perbab. Materi hadits dihimpun dari shuhuf yang ditulis oleh para shahabat sebelumnya dan diperoleh melalui periwayatan secara lisan baik dari shahabat atau tabi’in. Adapun kitab-kitab yang muncul pada masa ini adalah:
a.    Al-Muwatha’ yang ditulis Imam Malik
b.    Al-Mushanaf oleh Abdul Razzaq bin Hammam Ash-Shan’ani
c.    As-Sunnah ditulis Abd bin Manshur
d.   Al-Mushanaf dihimpun oleh Abu Bakar bin Syaybah
e.    Musnad Asy-Syafi’i
Kitab-kitab hadits pada masa ini tidak sampai kepada kita kecuali diantaranya Al-Muwatha’ yang ditulis oleh Imam Malik dan Musnad Asy-Syafi’i yang ditulis Imam Asy-Syafi’i. Tulisan-tulisan hadits pada masa awal sangat penting sebagai bukti adanya penulisan hadits sejak zaman Rasulullah SAW sampai dengan pengkodifikasian ressmi dari Umar bin Abdul Aziz bahkan sampai sekarang.
Bagi pengamalan agama pada generasi setelah shahabat, yakni shahabat kecil dan tabi’in, yang memerlukan untuk mengetahui Hadits-Hadits Nabi SAW, mereka kemudian berangkat mencari Hadits, menanyakan dan belajar kepada para shahabat besar yang sudah tersebar di seluruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah. Dengan demikian, pada masa ini, di samping tersebarnya periwayatan Hadits ke pelosok-pelosok daerah Jazirah Arab, juga tentunya perlawatan untuk mencari Haditspun menjadi ramai di perbincangakan. Sehingga terbentuklah atau tersusunlah lima kitab-kitab para tabi’in yang disebutkan diatas tadi yang tidak lain karena jasa-jasa mereka dalam mencari hadits sebagai pedoman dalam menjawab persoalan kehidupan sehari-hari.
3.    Periode Tabi’ Tabi’in. ( abad ke 3 H )
Periode ini merupakan masa Ashr Al-Jami’ wa At-Tashhih (kodifikasi dan filterasi keemasan dalam pembukuan hadits), karena kegiatan perjalanan mencari ilmu dan hadits serta pembukuannya mengalami puncak keberhasilan yang luar biasa, sehingga pada periode ini dianggap seolah-olah hadits telah terhimpun semua dan pada periode berikutnya tidak mengalami perkembangan yang signifikan.[32] Pada periode ini para ulama hadits juga telah berhasil memisahkan hadits Nabi dari yang bukan hadits atau dari perkataan shahabat dan fatwanya. Selain itu pada masa ini juga telah mengadakan filterasi (penyaringan) yang sangat teliti tentang apa saja yang dikatakan Nabi (dikatakan matan dan sanadnya),[33] sehingga telah dapat dipisahkan mana yang merupakan hadits shahih atau yang bukan hadits shahih. Oleh karena itu pada periode ini disebut juga masa kodifikasi dan filterasi (Ashr Al-Jami’ wa At-Tashhih).
Sebagian ulama pada periode ini juga mengkodifikasikan hadits berdasarkan nama periwayat para shahabat yang diperolehnya yang kemudian disebut dengan bentuk musnad seperti:
a.    Musnad Abu Dawud Sulaiman bin Dawud Ath-Thayalisi
b.    Musnad Abu Bakar Abdullah bin Zubair Al-Humaidi
c.    Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal
d.   Musnad Abu Bakar Ahmad bin Amar Al-Bazzar
e.    Musnad Abi Ya’la Ahmad bin Ali Al-Mustanna Al-Mushili
Kendatipun kitab-kitab hadits permulaan abad ketiga sudah menyisihkan fatwa, namun masih mempunyai kelemahan yakni belum disisihkannya hadits-hadits termasuk palsu yang sengaja disisipkan untuk kepentingan golongan tertentu. Oleh karena itu pada abad ketiga pertengahan para ulama haditst hijrah untuk menyelamatkan hadits. Mereka membuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat untuk menentukan suatu hadits. Dalam hubungan ini, para perawi menjadi sasaran penelitian mereka untuk menyelidiki kejujuran, kehafalan dan lain sebagainya.
Sebagian hasil dari kerja keras para ulama muncullah kitab-kitab hadits yang terhindar dari hadits dhaif dan seterunya. Diantara kitab-kitab tersebut adalah:
a.    Shahih Al-Bukhary atau Al-Jami’ush Shahih
Kitab ini disusun oleh Muhammad bin Ismail al-Bukhary. Kitab ini memuat 8.122 hadits yang terdiri dari 6.397 hadits asli, dan selebihnya hadits yang terulang-ulang. Diantara jumlah tersebut terdapat 1.341 yang mu’allaq (dibuang sanadnya sebagian atau seluruhnya) dan 384 hadits mutabi’ (mempunyai sanad yang lain).
b.    Shahih Muslim atau Al-Jami’us Shahih
Kitab ini disusun oleh Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairy. Berisi sebanyak 7.273 hadits, termasuk hadits yang diulang-ulang. Jika tidak diulang-ulang maka jumlahnya hanya 4000 buah.
Kedua kitab tersebut sangat terkenal dikalangan masyarakat Islam di seluruh dunia, dan dikenal dengan sebutan al-Shahihain dan sekarang ini sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia.[34] Selain itu kedua kitab tersebut merupakan bagian dari buku induk hadits enam (Ummahat Kutub As-Sittah), yakni buku hadits Sunan, Al-Jami’ Ash-Shahih yang dipedomani oleh umat Islam dan buku-buku hadits Musnad. Buku induk hadits enam ini merupakan buku-buku hadits yang dijadikan pedoman dan refrensi para ulama hadits berikutnya, diantaranya adalah:
1)   Al-Jami’ Ash-Shahih li Al-Bukhari (194-252 H)
2)   Al-Jami’ Ash-Shahih li Muslim bin Hajjaj Al-Qusyayry ( 204-261  H)
3)   Sunan An-Nisa’i (215-303 H )
4)   Sunan Abu Dawud (202-207 H),
5)   Jami’ At-Tirmidzi (209-279 H),
6)   Sunan Ibn Majah Al-Qazwini (209-207 H).[35]
Kitab-kitab ini terbentuk pada abad ketiga sebagai gambaran kepedulian dan perhatian para ulama hadits terhadap perkembangan zaman.
4.    Periode Setelah Tabi’ Tabi’in (Abad ke 4 H).
Pada masa ini disebut Penghimpunan dan Penertiban Hadits. Ulama yang hidup pada abad ke 4 H dan berikutnya disebut ulama muta’akhirin atau khalaf (modern). Sedangkan ulama yang hidup sebelum abad ke 4 H disebut ulama mutaqaddimin atau ulama salah (klasik). Perbedaan mereka dalam periwayatan dan kodifikasi hadits adalah Ulama mutaqaddimin (sebelum abad ke 4 H) menghimpun hadits Nabi SAW dengan cara langsung mendengar dari guru-gurunya kemudian mengadakan penelitian sendiri baik sanad atau matannya. Sedang ulama muta’akhirin (abad ke 4 H) cara periwayatan dan pembukuannya bereferensi dan mengutip dari kitab-kitab mutaqaddimin. Oleh karena itu tidak banyak penambahan hadits pada abad ini dan berikutnya kecuali hanya sedikit saja.[36] Adapun kitab-kitab karya ulama  abad keempat ini adalah:
a.    Mu’jam Al Kabir, yang ditulis oleh Imam Sulaiman bin Ahmad al-Thabrany
b.    Mu’jam Al-Ausaih, yang ditulis oleh Imam Sulaiman bin Ahmad al-Thabrany
c.    Mu’jam Al-Shaghir, yang ditulis oleh Imam Sulaiman bin Ahmad al-Thabrany.[37]
Pada abad ke-5 dan seterusnya merupakan periode pengklasifikasian dan pensistematisasian hadits. Para ulama pada periode ini mengklasifikasikan hadits dengan menghimpun hadits-hadits yang sejenis kandungannya atau sifat-sifat isinya dalam suatu kitab hadits. Mereka juga berupaya mensyarahkan (menguraikan maksud hadits dengan luas) dan ada pula yang mengikhtisarkan atau meringkaskan kitab-kitab hadits yang telah disusun para ulama terdahulu. Dengan usaha mereka maka muncullah kitab-kitab hadits seperti:
1)   Sunan al-Kubra, karya Abu Bakar Ahmad bin Husain Ali Al-Baihaqy (384-458 H)
2)   Muntaqa al-Akhbar, karya Majdudin Al-Harrany (652 H)
3)   Nailul Authar, sebagai syarah kitab Muntaqa al-Akhbar karya Abu Muhammad bin Ali al-Syaukany (1172-1250 H)
Selain itu terdapat pula kitab hadits tentang targhib dan tarhib seperti:
1)   Al-Targhib wa al-Tarhib, karya Imam Zakiyuddin Abdu al-Adhim Al-Mundziry (656 H)
2)   Dalil al-Falihin, karya Muhammad Ibn Allan As-Shiddiqy  (1057 H) sebagai syarah kitab Riyadush Shalihin, karya Imam Muhyidin Abi Zakariya al-Nawawy (676 H).
Pada periode ini para ulama juga menciptakan kamus hadits untuk mencari pentakhrij suatu hadits attau untuk mengetahui dari kitab hadits apa suatu hadits didapatkan, misalnya :
1)   al-Jami’u al-Shaghir fi Ahaditsi al-Basyiri al-Nadzir, karya al-Imam Jalaluddin al-Suyuthy (849-911 H.) Kitab yang mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab enam dan lainnya ini disusun dengan alphabets dari awal hadits, dan selesai ditulis pada tahun 907 H.
2)   Dakhairu al-Mawarits fi Dalalati ‘Ala Mawadhi’i al-Ahadits, karya al-Imam al-‘Allamah al-Sayyid Abdul Ghani al-Maqdisy al-Nabulisy. Didalamnya terkumpul kibat athraf 7 (Shahih Bukhary dan Muslim, Sunan empat dan Muwattha’.
3)   Miftahu al-Kunuzi al-Sunnah, Karya Dr. A.J. Winsinc. berisikan hadits-hadits yang terdapat dalam 14 macam kitab hadits. Kitab tersebut disalin kedalam bahasa Arab oleh Ustadz Muhammad fuad abdu al-Baqy dan dicetak di Mesir pada tahun 1934 M.
4)   Al-Mu'jamu al-Mufahras Li al-Alfadzi al-Haditsi al-Nabawy, Karya Dr. A.J. Winsinc dan Dr. J.F. Mensing. keduanya adalah Dosen di Universitas Leiden. Kitab hadits yang mengandung hadits-hadits kitab enam, musnad al-Darimy, Muwattha’ Malik, dan Musnad Imam Ahmad, selesai dicetak di Leiden pada tahun 1936 M.[38]
Berkat upaya para ulama hadits ini sampai sekarang hadits-hadits Nabi kita temukan dan menjadikannya sebagai hujjah syar’i.
C.  Pengaruh Pembukuan Hadits Nabi SAW  Terhadap Perkembangan Fiqih
ترَكتُ فِىكُمْ اَمْرَىْنِ لَنْ تَضِلواابدًامَااِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَاكِتَابُ اللهِ وَ سُنَّةٌ رَسُوْلِهِ
Aku tinggalkan dua pusaka pada kalian, jika kalian berpegang kepada keduanya niscaya tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnah Rasulnya. (HR.Al-Hakim dari Abu Hurairah).[39]

Berbicara tentang pengaruh hadits terhadap perkembangan fiqih secara tidak langsung sama seperti sejarah perkembangan pembukuan hadits Nabi. Karena Hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Disamping sebagai sumber hukum kedua sesudah Al-Qur’an, Hadits mempunyai dua fungsi yakni menjelaskan maksud kandungan Alqur’an yang bersifat mujmal atau global dan menerangkan hukum-hukum yang tidak disebutkan di dalam Al-Qur’an itu sendiri. Sehingga Haditslah yang menjelaskan makna umum tersebut secara terperinci dan mudah difahami oleh umat Islam,[40] karena itu siapapun tidak akan bisa memahami Al-Qur’an tanpa dengan memahami dan menguasai hadits. Begitu pula halnya menggunakan hadits tanpa Al-Qur’an, karena Al-Qur’an dengan hadits memiliki kaitan sangat erat, untuk memahami dan mengamalkannya tidak bisa dipisah-pisahkan atau berjalan sendiri-sendiri,[41] sehingga hal ini membuat para shahabat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits Nabi SAW, sebagaimana pernah terjadi ketika Abu Musa Al-Asyari mendatangi rumah Umar, tiga kali Abu Musa memberi salam namun tidak dijawab oleh Umar maka Abu Musa  pulang. Umar bertanya kenapa anda pulang, Abu Musa memberi alasan  kata Rasulullah SAW kalau sudah tiga kali memberi salam tidak dijawab maka boleh pulang.[42] Dari kisah ini Umar tidak percaya apa yang di sampaikan Abu Musa kepadanya oleh karena itu sifat kehati-hatian dijaga jangan sampai hukum itu salah.
contoh kongkrit adalah hukum shalat, zakat, dan haji. Di dalam alqur’an perintah melaksanakan ibadah tersebut sangat jelas, tetapi tidak diterangkan berapa kali ibadah shalat harus dilaksanakan dalam sehari semalam, dan berapa pula rakaatnya. Masalah zakat tidak diterangkan berapa pula nishab dan jenis barang apa yang yang wajib dizakati. Jenis tanaman dan binatang apa, serta berapa persen zakatnya, sama sekali tidak diterangkan. Demikian pula halnya masalah haji, tidak ditegaskan cara mengerjakannya. Semua itu hanya diketahui secara jelas dari perbuatan dan ucapan Rasulullah SAW.[43]
pengaruh pembukuan hadits dalam perkembangan islam sangatlah penting, karena tidak semua para shahabat yang menghafal hadits dan islam telah menyebar keseluruh penjuru negeri sementara pengetahuan semakin berkembang hal ini mendorong ijtihad para shahabat. Seperti misalnya kasus Usyuur (bea masuk barang-barang impor), tanah-tanah yang luas yang dikuasai dijadikan tanah khardj, kasus muallaf dan lain-lain.[44]
Sejak Kekhalifahan Umar bin Khaththab (tahun 13 – 23 H atau 634 – 644 M) wilayah dakwah Islamiyah dan daulah Islamiyah mulai meluas hingga ke Jazirah Arab, maka mulailah timbul masalah-masalah baru khususnya pada daerah-daerah baru sehingga makin banyak jumlah dan macam masalah yang memerlukan pemecahannya. Meski para shahabat tempat tinggalnya mulai tersebar dan jumlahnya mulai berkurang, namun kebutuhan untuk memecahkan berbagai masalah baru tersebut terus mendorong para shahabat makin saling bertemu bertukar Al Hadits.
Selaras dengan perkembangan dan kemajuan zaman maka lahirlah ulama-ulama ahli fiqih  seperti Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbali. Dalam perjalanannya pengembangn fiqih, Imam Syafi’i mengatakan, “jika terdapat hadits yang shahih maka itu adalah madzabku, campakkan pendapatku jika ternyata bertentangan dengannya.” Pernyataan seperti ini yang kemudian diikuti juga oleh para ulama dan mujtahidin.[45] maka pada paruh abad ke 3 H muncul gerakan penulisan  kitab-kitab sunan seperti sunan Abu Daud (202-207 H), Ibn Majah (209-207 H), Al-Turmuzi (209-279 H), dan Al-Nasa’i (215-303H), di sini kelihatan bahwa perjalanan penulisan hadits lebih panjang dari pematangan fiqih.
Implikasi lebih jauh dari sistematika penyusunan hadits dikesankan bahwa ajaran islam yang di perkenalkan oleh kitab-kitab hadits adalah fiqh, dengan kata lain, setelah membaca kitab-kitab hadits kita menyimpulkan bahwa ajaran islam sama dengan fiqih.setidaknya ilmu yang paling dibantu oleh kitab-kitab hadits adalah ilmu fiqih. Ini menunjukkan bahwa betapa besar peran ilmu fiqih terhadap penyusunan hadits.  Kesepakan umat muslimin dalam mempercayai, menerima, dan mengamalkan segala ketentuan yang terkandung di dalam hadits telah dilakukan sejak masa Rasulullah SAW, sepeninggal Rasulullah SAW, masa Khulafaurrasidin hingga masa-masa selanjutnya dan tidak ada yang mengingkarinya. Banyak di antara mereka yang tidak hanya memahami dan mengamalkan isi kandungannya, tetapi menyebarluaskannya pada generasi-generasi selanjutnya.[46]
Contoh  peristiwa yang menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadits sebagai sumber hukum islam, antara lain dalam peristiwa dibawah ini:
1.    Ketika Abu Bakar dibaiat menjadi Khalifah, ia pernah berkat Saya tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan oleh Rasulullah SAW, sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya”.
2.    Saat Umar berda di depan Hajar Aswad dan ia berkata Saya tahu bahwa engkau adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah SAWmenciummu, saya tidak akan menciummu”.
3.    Pernah dinyatakan kepada Abdullah bin Umar tentang ketentuan salat safar dalam Al-Qur’an. Ibnu Umar menjawab Allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad SAW kepada kita dan kita tidak mengetahui sesuatu. Maka sesungguhnya kami berbuat sebagaimana kami melihat Rasulullah SAW berbuat.”
4.    Diceritakan dari Sa’id bin Musayyab bahwa Usman bin Affan berkata “ Saya duduk sebagaimana duduknya Rasulullah SAW, saya makan sebagaimana makannya Rasulullah SAW, dan saya shalat sebagaimana shalatnya Rasulullah SAW.[47]

Jarak antara masa Rasulullah SAW, masa lahirnya hadits, dengan masa dokumentasinya dalam kitb-kitab cukup lama. Hadits yang strategis sangat dibutuhkan dalam rangka mengamalkan Al-Qur’an ini tidak segera didokumentasikan karena tampaknya ada ketakutan kolektif melanggar larangan Nabi SAW. [48]

Suatu contoh dikemukakan di sini hadits tentang zakat fitrah yang berbunyi sebagai berikut :
Bahwasannya Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat islam pada bulan Ramadhan satu sukat (sha’) kurma dan gandum untuk setiap orang, baik hamba merdeka atau hamba sahaya, laki-laki atau perempuan”. (H.R Muslim).

Sampai sekarang pengaruh pembukuan hadits Nabi sangat kita rasakan, bayangkan jika tidak ada usaha pembukuan hadits, tidak menutup kemungkinan penafsiran Al-Qur’an dan hadits banyak yang diselewengkan dari makna yang sesunguhnya. Dengan ini jerih payah para penyusun kitab hadits tetap kita hargai dan kita do’akan agar pahala tetap mengalir kepada mereka, sembari kita kembangannya sesuai dengan kompetensi ilmiyah. Ibarat main bola, para ulama penulis hadits telah mengirim bola dari belakang, kemudian kita terima, kita olah, selanjutnya bola itu kita kirim ke pemain depan untuk digolkan ke gawang lawan.






BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
1)   Kondisi Hadits Nabi SAW di bagi menjadi tiga pase yaitu: 1) Hadits Nabi SAW Sebelum di Bukukan, Kondisi awal sejarah dan perkembangan Hadits yaitu pada masa Nabi SAW, masa ini hanya 23 tahun dimulai pada tahun 13 sebelum hijriyah atau bertepatan pada tahun 610 M sampai  pada tahun 11 H atau 623 M. Pada masa inilah Hadits lahir berupa aqwali, afal dan taqrir Nabi SAW yang berfungsi untuk menerangkan Al-Qur’an dalam rangka menerangkan syariat dan membentuk mayarakat Islam. Beberapa teknik penyampaian Hadits yang disampaikan oleh Nabi SAW: a) Melalui para jamaah pada pusat pembinannya yang disebut majlis ilmi. b)Dalam banyak kesempatan Rasulullah SAW juga menyampaikan Haditsnya melalui para shahabat tertentu, yang kemudian oleh para shahabat tersebut disampaikannya kepada orang lain. hal ini karena terkadang ketika ia mewurudkan suatu Hadits, para shahabat yang hadir hanya beberapa orang saja. baik karena disengaja oleh Rasulullah SAW sendiri atau secara kebetulan para shahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang. c) Melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan fathu makkah. d) Melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para shahabatnya (jalan musya’hadah), seperti yang berkaitan dengan praktek-praktek ibadah dan muamalah. e) Para shahabat yang mengemukakan masalah secara langsung atau bertanya dan berdialog kepada Nabi SAW. 2) Larangan Tentang Pembukuan Hadits Nabi SAW, Hal ini disebabkan oleh dua faktor : a) Para shahabat mengandalkan kekuatan hafalan dan kecerdasan otaknya, disamping alat-alat tulis masih kurang. b) Karena adanya larangan menulis hadits Nabi. Larangan tersebut disebabkan karena: (1) adanya kekawatiran bercampur aduknya hadits dengan al-Qur’an, atau mereka bisa melalaikan al-Qur’an, atau larangan khusus bagi orang yang dipercaya hafalannya. (2) Al-Qur’an masih turun kepada Nabi Muhammad SAW dan kondisi penulisannya masih sangat sederhana ditulis di atas pelepah kurma, kulit, tulang binatang, dan batu-batuan dan belum dibukukan. (3) Kemampuan tulis menulis bagi para shahabat pada awal Islam masih sangat langka yang dapat dihitung dengan jari dan mereka sudah difungsikan sebagai penulis Al-Qur’an. (4) Ingatan orang-orang Arab yang dikenal bersifat ummi (tidak bisa baca tulis) sangat kuat dan diandalkan Rasulullah SAW untuk mengingat Hadits. Disamping Rasulullah SAW melarang menulis hadits, beliau juga memerintahkan kepada beberapa orang shahabat tertentu untuk menulis hadits. 3) Sejarah Pembukuan Hadits Nabi SAW. Pembukuan Hadits baru dilakukan setelah abad ke II H pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, Dengan demikian, pembukuan Hadits secara resmi terjadi pada masa Umar ibn ‘Abd al-Aziz, (61-101 H.) salah seorang khalifah bani Umayyah.  Beliau berinisiatif mengkodifikasikan al-Hadits dengan tiga pertimbangan: (a) Kenginan beliau yang kuat untuk menjaga keontetikan hadits. karena beliau khawatir lenyapnya hadits dari perbendaharaan masyarakat, disebabkan belum adanya kodifikasi al-Hadits. (b) Keinginan beliau yang keras untuk membersihkan dan memelihara al-Hadits dari hadits-hadits maudhu' yang dibuat oleh masyarakat untuk mempertahankan ediologi golongan dan mempertahankan madzhabnya, disebabkan adanya Konflik Politik ataupun "Fanatisme Madzhab" berlebihan,  yang mulai tersiar sejak awal berdirinya Khilafah Ali bin Abi thalib. (c) Alasan tidak terkodifikasinya al-Hadits di zaman Rasulullah SAW. dan khulafaurrasyidin karena adanya kekhawatiran bercampur aduknya dengan al-Quran, telah hilang. hal ini disebabkan al-Quran telah dikumpulkan dalam satu mushaf dan telah merata diseluruh pelosok. Ia telah dihafal dan diresapkan di hati sanubari beribu-ribu umat Islam. Adapun sejarah perkembangan penghimpunan dan pengkodifikasian Hadits disini dibagi menjadi 5 periode diantaranya: (1) Periode Nabi Muhammad SAW (13 SH-11H), (2) Periode Shahabat (12-98 H), (3) Periode Tabi’in, (4) Periode Tabi’ Tabi’in, dan (5) Periode Setelah Tabi’ Tabi’in.
2)   Perkembangan Hadits Pada Masa Shahabat,  Tabi’in Sampai Terhimpunnya Kutub As-Sittah dibagi menjadi lima periode yaitu: a) periode Nabi Muhammad SAW (13 SH-11H). Periode ini disebutAshr-Wahyi wa al-Tkwin” (masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam). b) Periode Shahabat (Khulafa al-Rasyidin 11 H - 40 H). Periode ini disebut “Ashr al-Tatsabbut wa al-Iqlal min al-riwayah”,yakni masa pematerian dan penyedikitan riwayat. Pembukuan hadits pada masa ini antara lain: (1) Ash Shahifah Ash Sadiqiyah karya Abdullah Bin Amr Bin Ash, (65 H), (2) Ash Shahifah Jabir Bin Addullah Ananshari, (78 H) dan (3) Ash Shahifah Ash Shahihah, Karya Hammam Bin Munabbih, (131 H )  c) Periode Tabi’in (40 H – 100 H). Periode ini disebut “Ashr Intisayar al-Riwayah ila al-Amshar”, yakni masa berkembang dan  meluasnya periwayatan Hadits. Pada masa ini daerah Islam makin meluas, yakni ke negeri Syam, Irak, Mesir, Samarkand bahkan pada tahun 93 H sampai ke Spanyol. Hal ini dibarengi dengan keberangkatan para shahabat ke daerah-daerah tersebut terutama dalam rangka tugas memangku jabatan pemerintahan dan penyebaran ilmu agama. Adapun pembukuan hadits pada periode ini antara lain: (1), Al-Muwatha’ yang ditulis Imam Malik, (2), Al-Mushanaf oleh Abdul Razzaq bin Hammam Ash-Shan’ani, (3), As-Sunnah ditulis Abd bin Manshur, (4), Al-Mushanaf dihimpun oleh Abu Bakar bin Syaybah, dan (5), Musnad Asy-Syafi’i. d) Periode Tabi’ Tabi’in ( abad ke 3 H). Periode ini merupakan masa Ashr Al-Jami’ wa At-Tashhih (kodifikasi dan filterasi keemasan dalam pembukuan hadits. Sebagian ulama pada periode ini juga mengkodifikasikan hadits berdasarkan nama periwayat para shahabat yang diperolehnya yang kemudian disebut dengan bentuk musnad seperti: (1) Musnad Abu Dawud Sulaiman bin Dawud Ath-Thayalisi, (2) Musnad Abu Bakar Abdullah bin Zubair Al-Humaidi, (3) Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal, (4) Musnad Abu Bakar Ahmad bin Amar Al-Bazzar, (5) Musnad Abi Ya’la Ahmad bin Ali Al-Mustanna Al-Mushili. Sebagian hasil dari kerja keras para ulama muncullah kitab-kitab hadits yang terhindar dari hadits dhaif dan seterunya. Diantara kitab-kitab tersebut adalah: (1) Shahih Al-Bukhary atau Al-Jami’ush Shahih, dan (2) Shahih Muslim atau Al-Jami’us Shahih, Kedua kitab tersebut sangat terkenal dikalangan masyarakat Islam di seluruh dunia, dan dikenal dengan sebutan al-Shahihain dan sekarang ini sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia. Selain itu kedua kitab tersebut merupakan bagian dari buku induk hadits enam (Ummahat Kutub As-Sittah), yakni buku hadits Sunan, Al-Jami’ Ash-Shahih yang dipedomani oleh umat Islam dan buku-buku hadits Musnad. Buku induk hadits enam ini merupakan buku-buku hadits yang dijadikan pedoman dan refrensi para ulama hadits berikutnya, diantaranya adalah: (1) Al-Jami’ Ash-Shahih li Al-Bukhari (194-252 H) (2) Al-Jami’ Ash-Shahih li Muslim bin Hajjaj Al-Qusyayry ( 204-261  H), (3) Sunan An-Nisa’i (215-303 H ), (4) Sunan Abu Dawud (202-207 H), (5) Jami’ At-Tirmidzi (209-279 H), dan (5), Sunan Ibn Majah Al-Qazwini (209-207 H).  e). Periode Setelah Tabi’ Tabi’in (Abad ke 4 H). Pada masa ini disebut Penghimpunan dan Penertiban Hadits. Ulama yang hidup pada abad ke 4 H dan berikutnya disebut ulama muta’akhirin atau khalaf (modern). Adapun kitab-kitab karya ulama  abad keempat ini adalah: (1) Mu’jam Al Kabir, yang ditulis oleh Imam Sulaiman bin Ahmad al-Thabrany, (2) Mu’jam Al-Ausaih, yang ditulis oleh Imam Sulaiman bin Ahmad al-Thabrany, dan (3) Mu’jam Al-Shaghir, yang ditulis oleh Imam Sulaiman bin Ahmad al-Thabrany. Pada abad ke-5 dan seterusnya merupakan periode pengklasifikasian dan pensistematisasian hadits. Para ulama pada periode ini mengklasifikasikan hadits dengan menghimpun hadits-hadits yang sejenis kandungannya atau sifat-sifat isinya dalam suatu kitab hadits. Dengan usaha mereka maka muncullah kitab-kitab hadits seperti: Sunan al-Kubra, karya Abu Bakar Ahmad bin Husain Ali Al-Baihaqy (384-458 H), Muntaqa al-Akhbar, karya Majdudin Al-Harrany (652 H), dan Nailul Authar, sebagai syarah kitab Muntaqa al-Akhbar karya Abu Muhammad bin Ali al-Syaukany (1172-1250 H).
3)    Pengaruh hadits terhadap perkembangan fiqih  sangatlah kental, dari awal pengkodifikasian hadits abad ke II sampai abad ke V H, hampir semua kitab-kitab yang ditulis tersebut didominasi oleh fiqih seperti kitab Imam Malik, Hanafi, Syafi’i dan Ahmad Ibn Hanbali. pada paruh abad ke III H muncul gerakan penulisan  kitab-kitab sunan seperti sunan Abu Daud (202-207 H), Ibn Majah (209-207 H), Al-Turmuzi (209-279 H), dan Al-Nasa’i (215-303H).


























DAFTAR PUSTAKA


Ajjaj al-Khatib, Muhammad, Al-Sunnah Qabla al-Tadwin, Kairo: Maktabah wahbah, 1998

Athar, Nuruddin, Manhaj Naqd Fii Ulumul Hadits, Damaskus: Darul Fikir,1979

Atang, Abd. Hakim dan  Jaih Mubarak, Metodologi Studi Islam, (Bandnung:  Remaja Rosdakarya, 2006

Bisri, Adib dan Munawwir A. Fatah, Kamus Indonesia-Arab, Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressif, 1999

Dawud, Abu Sunan Abu Dawud, Beriud: Dar Al-Fikr, 1990

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007

Djazuli, Ilmu Fiqih, Penggalian, Perkembangan,Dan Penerapanhukum , Islam, Edisi Revisi, Jakarta: Kencana, 2005

Hasbi Ash-Shidiqie, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Bulan Bintang, 1974

Ibrahim, Hadits Sesudah Zaman Sahabat Hingga Sekarang, (http://makalahmajannaii. blogspot.com, diakses tanggal 24 Maret   2014 jam 06.00)

Jamaluddin, Tarihul Hadits Rasulullah SAWullah, Dar-El Khutubi, 2006

Jhon Echols, M dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1996

Kamus Mukhtar Ash Shihaah dan Qamus Al-Muhith

Khothib, Muhammad Ajjaj, "Ushulu al-Hadits Ulumuhu Wa Mushthalahuhu",  Daru al-Fikr: Beirut, tt...

Kitab Shahih Muslim (shoftware)

Mahalli, Ahmad  Mudjab, Menelusuri Makna Sabda Nabi, Yogyakarta:Izzan Pustaka, 2001

Majid, Abdul Khon, Ulumul Hadits, Jakarta: Grafika Offset, 2008

Mana’ al-Qathan. Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, Kairo: Maktabah Wahbah, 1989
Mudasir, Ilmu Hadits, Bandung: Pustaka Setia, 1999

Muhaimin, dan Abdul Mujib, dkk,  Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Cet 1: Jakarta, Kencana, 2005

Muhammad ibn Abdul Wahab, Kitab Tahuhid, Madinah: madar- wathon, 1429
Munzier, Supartam, Ilmu Hadits, Cet..3, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002
Mushtafa al-Suba’i,  Assunnah ,Kairo: Dar-Assalam. 2003
Nata, Abudin Al-Qur’an dan Hadits, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996

Nawawi, imam, Arbainnawaiyah, Hadits 13, ( shoft ware)

Qadir, Hasan. A, Ilmu Musthalah Hadits, Bandung: Dipenegoro, 2007

Sejarah Hadits Masa Tabi’in (Online), (http://novianikenzahrotin.wordpress.com/%E2%99%AA-islam/sejarah-hadits-masa-tabiin, diakses 23 Maret 2014

Qordhowi, Yusuf, Studi Kritis As-Sunnah, Kaifa Nata’amalu Maa’as Sunnatin Nabawiyyah, (Bandung: Trigendakarya, 1995

Soebahar, Erfan, Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah, Kritik Mushthafa Al-Siba’i terhadap Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadits dalam Fajr Al-Islam, Jakarta: Prenada Media Kencana, 2003

Sohari, Sahrani, Ulumul Hadits, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010

Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits, Bandung: Pustaka Setia, 2008

Sumbullah, Umi, Kajian Kritik Ilmu Hadits, Malang: UIN-Maliki Press, 2010

Suryadilaga, Alfatih, dkk, Ulumul Hadits, Yogyakarta: Teras, 2010

Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001

Zainul, Arifin, Studi Hadits, Surabaya: Alpha, 2005

Zainuddin MZ dkk, Studi Hadits, Surabaya: IAIN SA Press.2011

Zeid, B Smeer, Ulumul Hadits, Malang: UIN Malang Press, 2008

Zuhdi, Masjfuk, Pengantar Ilmu Haditst, Surabaya: Pustaka Progressif, 1998

Zuhri, Muh, Hadits Nabi Telaah Historis dan Metodelogis, Cet 11, Yogyakarta: Tiara wacana Yogya, 2003

_______, Telaah Matan Hadits, Sebuah Tawaran Metodologis, Yogyakarta: LESFI, 2003

_______, Hadits Nabi, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997



[1] Munzier, Supartam,  Ilmu Hadits,(Cet..3, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm,702
[2] Qadir, Hasan, Ilmu Musthalah Hadits, (Bandung: Dipenegoro, 2007), hlm. 17
[3] Suryadilaga, Alfatih, dkk, Ulumul Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 50
[4] Sumbullah, Umi, Kajian Kritik Ilmu Hadits, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), hlm. 37
[5] Ibid, hlm. 38
[6] Mana’ al-Qathan, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami (Kairo: Maktabah Wahbah, 1989), hlm. 106
[7] Majid, Abdul Khon, Ulumul Hadits, ( Jakarta: Grafika Offset, 2008), hlm. 46
[8] Mushtafa al-Suba’i,  Assunnah, (Kairo: Dar-Assalam. 2003), hlm. 67
[9]Muhaimin, dan Abdul Mujib, dkk,  Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Cet 1, Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 148
[10] Zuhri, Muh, Hadits Nabi Telaah Historis dan Metodelogis, (Cet 11, Yogyakarta: Tiara wacana Yogya, 2003), hlm. 29
[11] Kitab Shahih Muslim (shoftware)
[12] Majid, Abdul Khon, Ulumul Hadits..., hlm. 46
[13] Dawud, Abu, Sunan Abu Dawud, (Beriud: Dar Al-Fikr, 1990), hlm. 132
[14]Ajjaj al-Khatib, Muhammad, Al-Sunnah Qabla al-Tadwin, (Kairo: Maktabah wahbah, 1998), hlm. 303
[15] Ibrahim, Hadits Sesudah Zaman Sahabat Hingga Sekarang, (http://makalahmajannaii. blogspot.com, diakses tanggal 24 Maret   2014 jam 06.00)
[16] Soebahar, Erfan, Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah, Kritik Mushthafa Al-Siba’i terhadap Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadits dalam Fajr Al-Islam, (Jakarta: Prenada Media Kencana, 2003),  hlm. 4
[17] Jhon Echols, M dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1996), 122
[18]Bisri, Adib dan Munawwir A. Fatah, Kamus Indonesia-Arab, Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), hlm. 214
[19] Kamus Mukhtar Ash Shihaah dan Qamus Al-Muhith, hlm. 105
[20] Zainal Arifin, Studi Hadits, (Surabaya: Alpha, 2005), hlm. 34
[21]Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hlm. 578
[22]Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 65
                [23]Ranuwijaya, Utang, Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), hlm. 66
[24] Khothib, Muhammad Ajjaj, Ushulu al-Hadits Ulumuhu Wa Mushthalahuhu,  (Daru al-Fikr: Beirut, tt...), hlm. 170
[25] ‘Atar, Nuruddin, Manhaj Naqd Fii Ulumul Hadits, (Damaskus: Darul Fikir,1979), hlm. 116
[26] Zuhri, Muh., Hadis Nabi, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997),  hlm. 37
[27] Ibid, hlm. 38
[28] Suryadilaga, Alfatih, dkk, Ulumul Hadits..., hlm. 52
[29] Hasbi Ash-Shidiqie, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Bulan Bintang, 1974), hlm. 67
[30]Ibid, hlm. 43
[31] Sohari, Sahrani, Ulumul..., hlm. 65
[32] Ibid., hlm. 57
[33] Masjfuk, Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadist, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1998), hlm. 94
[34] Nata, Abudin, Al-Qur’an dan Hadis,  (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 199
[35] Atang, Abd. Hakim dan  Jaih Mubarak, Metodologi Studi Islam, (Bandnung:  Remaja Rosdakarya.,2006), hlm. 92
[36] Ibid, hlm. 58
[37] Nata, Abudin, Al-qur’an..., hlm. 200
[38] Ibid,  hlm. 201
 [39] Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 130
[40]Sejarah Hadits Masa Tabi’in (Online), (http://novianikenzahrotin.wordpress.com/%E2%99%AA-islam/sejarah-hadits-masa-tabiin, diakses 23 Maret 2014), hlm. 2
[41] Zainuddin MZ dkk, Studi Hadits, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011), hlm. 47
[42] Atar, Nuruddin, Manhaj Naqd Fii Ulumul Hadits, (Damaskus: Darul Fikir,1979), hlm. 27
[43] Mahalli, Ahmad  Mudjab, Menelusuri Makna Sabda Nabi, (Yogyakarta: Izzan Pustaka, 2001), hlm. 8
[44] Djazuli, Ilmu Fiqih, Penggalian, Perkembangan,Dan Penerapanhukum , Islam, Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm.147
[45] Zeid, B Smeer, Ulumul Hadits, ( Malang: UIN Malang Press, 2008), hlm. 14
[46] Mudasir, Ilmu Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 73
[47] Qordhowi, Yusuf, Studi Kritis As-Sunnah, Kaifa Nata’amalu Maa’as Sunnatin Nabawiyyah, (Bandung: Trigendakarya, 1995), hlm. 43
[48] Zuhri, Muh, Telaah Matam Hadits, Sebuah Tawaran Metodologis, (Yogyakarta: LESFI, 2003), hlm. 9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar